Tubuh Allina seakan membeku saat Alex berbisik di telinganya. Bahkan wanita itu sampai tidak sadar saat Alex pergi meninggalkannya ke kamar mandi. Dia bingung harus melakukan apa agar suaminya itu percaya bahwa bukanlah dia pelaku pejebakan itu. Allina memang butuh uang, tapi bukan berarti dia akan melakukan hal yang licik apalagi sampai menjebak bosnya sendiri.
Suara gemericik air dari dalam kamar mandi menyadarkan lamunan Allina. Segera dia memaksakan diri melanjutkan pekerjaannya. Setelah selesai menyiapkan baju untuk suaminya dan buru-buru ke dapur untuk memasak. Apapun perlakuan suaminya, tak menyurutkan Allina untuk memenuhi tugasnya.
Hanya dalam waktu singkat, berbagai jenis makanan sudah tersaji di meja. Allina yang sudah terbiasa memasak sendiri dengan cepat menyelesaikannya. Kini dia hanya tinggal menunggu sang suami datang untuk sarapan. Namun, tiba-tiba saja ponsel yang ada di sakunya bergetar. Allina terkejut saat melihat ternyata itu panggilan dari rumah sakit. Bergegas Allina pun mengangkat panggilan itu.
“Hallo, dengan keluarga Alvino Zain? Saya dari rumah sakit, ingin mengabarkan sesuatu.” Suara seorang perempuan terdengar dari ujung telepon.
“Iya, ini saya kakak pasien. Ada apa ya, Bu?” tanya Allina.
“Saya hanya ingin mengabarkan, jika operasi untuk yang kedua kalinya untuk pasien yang Bernama Alvino Zain akan segera dilaksanakan. Mohon segera lunasi untuk biaya kekurangannya.”
“Baiklah. Akan segera saya lunasi kekurangannya.”
Tubuh Allina seakan terpaku saat mendengar kabar adiknya harus segera operasi lagi, bahkan dia sampai tidak sadar saat panggilannya berakhir. Pikirannya melayang memikirkan biaya rumah sakit adiknya. Uang yang diberikan Alex saat membeli dirinya sudah habis, sudah dia bayarkan semua ke rumah sakit. Namun, nyatanya itu pun masih belum mencukupi untuk biaya operasi. Di tengah kepanikannya, ia hanya bisa berharap ada jalan keluar untuk menyelamatkan adiknya.
Lamunan Allina membuyar seketika saat Alex tiba-tiba membentaknya dari belakang.
“Allina! Sampai kapan kamu hanya akan berdiri seperti itu?!” bentak Alex. Tanpa Allina sadari Alex sudah duduk di kursi meja makan.
“Jangan buang waktumu untuk hal-hal yang tidak berguna! Cepat siapkan sarapan untukku dan layani aku!” ucap Alex lantang.
Allina hendak ikut duduk di kursi samping Alex. Namun, tiba-tiba saja suaminya itu menghentikannya. “Jangan pernah coba-coba duduk di meja yang sama denganku. Wanita malam sepertimu tidak pantas duduk di sampingku!” Suara Alex terdengar tajam, memotong sisa keberanian yang masih tersisa dalam diri Allina.
Allina menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Dengan langkah berat, dia mengambil makanan yang sudah dia siapkan sebelumnya dan menyajikannya di meja makan. Setelah semua tertata, dia berdiri di sudut ruangan, menunggu Alex makan tanpa berani mengangkat wajah. Setiap bentakan Alex membuat hati Allina semakin terluka. Namun dia tetap diam dan menerima semua perlakuan itu. Bagi Allina, tak ada pilihan lain. Dia harus bertahan, setidaknya demi adiknya.
Allina berdiri di sudut ruangan, menatap Alex yang tengah menikmati makanannya. Hatinya penuh gejolak, tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak punya siapa pun, apalagi untuk dimintai tolong. Satu-satunya harapan yang tersisa adalah Alex, meskipun dia tahu betapa kecil kemungkinan suaminya itu bersedia membantu. Akan tetapi, demi adiknya itu dia harus mencoba.
Setelah selesai makan, Alex bangkit dari kursinya, meraih jaket, dan bersiap untuk pergi. Melihat itu, Allina segera menghampirinya, memberanikan diri untuk berbicara.
“A-alex ... tunggu sebentar,” ucap Allina pelan, seraya menghampiri dan meraih tangan Alex.
Alex berbalik dengan tatapan kesal. “Berani sekali kamu menyentuhku!” ucap Alex lantang seraya mengibaskan tangannya yang dipegang oleh Allina.
“Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Apa kurang aku menyiksamu semalam? Kamu ingin lagi?” ucap Alex ketus.
Dengan cepat Allina menggelengkan kepala. “Tidak. Kumohon jangan lakukan itu! Aku hanya ingin ….” Ucapan Allina terhenti, mendadak dia ragu untuk mengatakannya.
“Lama!” Alex hendak berjalan lagi, tetapi dengan cepat Allina berlari dan menghadang di depan Alex.
“Dengarkan aku dulu. Kumohon,” ucap Allina sambil mengatupkan kedua tangannya di depan dada. “Aku hanya ingin minta tolong, boleh tidak jika uang yang kamu janjikan dalam surat perjanjian semalam saya minta sekarang? Juga, apa boleh aku tetep bekerja di kantor seperti biasa?”
Alex tertawa sinis. Dia tidak menyangka, setelah disiksa sebegitu rupanya, Allina masih saja berani memohon sebuah pemintaan. Tidak salah apa yang dia pikirkan. Seorang Allina sangat suka sekali uang dan berfoya-foya, sehingga uang yang dia berikan kemarin sudah habis hanya dalam berapa hari saja. Hal itu membuat Alex semakin yakin bahwa memang Allina lah yang menjebaknya.
“Bekerja? Kamu pikir aku akan membiarkanmu bekerja di perusahaan? Semua orang akan tahu kalau kita menikah. Apa kamu lupa perjanjian kita?"
Allina terdiam sejenak, mencoba memahami maksud Alex. “Baiklah, aku janji akan menyembunyikan pernikahan kita. Tidak akan ada yang tahu jika kita sudah menikah,” katanya penuh keyakinan.
Alex menatap Allina lama, seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya, dia mengangkat dagunya sedikit, memberikan jawaban. “Baik. Kamu boleh bekerja di perusahaan lagi, tapi dengan satu syarat. Jangan pernah bilang ke siapa pun kalau kita menikah. Kalau sampai ada yang tahu, aku akan memastikan hidupmu lebih sulit dari pada sekarang. Mengerti?”
Allina mengangguk cepat, meskipun hatinya terasa perih mendengar ucapan Alex. “Baiklah, aku janji bahwa pernikahan kita tidak akan bocor,” ucapnya lirih, "tapi, bagaimana dengan uangnya?" lanjutnya.
"Soal uang, kita lihat saja nanti." Alex mendengus kecil, lalu meraih kunci mobilnya. “Jangan lupa, aku tidak akan segan berlaku kasar padamu jika sampai semua terbongkar,” katanya sebelum berlalu keluar rumah, sementara Allina hanya mengangguk sambil menundukkan kepala.
Allina berdiri diam di tempat, menatap punggung Alex yang makin lama menghilang. Ada rasa lega karena akhirnya dia diizinkan bekerja kembali, tapi juga rasa takut yang menyelimuti pikirannya. Kini, dia harus bermain peran dan menjaga rahasia ini rapat-rapat, demi menyelamatkan nyawa adiknya.
**
Di tempat lain, di sebuah hotel mewah di negara tetangga, suasana terasa berbeda. Seorang lelaki tampan bersama seorang wanita cantik tampak memasuki sebuah kamar. Clarissa, wanita cantik dengan gaun satin merah yang membalut tubuhnya, tersenyum penuh godaan sambil menyandarkan kepala di dada Roy. Sahabat dekat Alex itu membelai rambut Clarissa dengan lembut sambil memendanginya penuh nafsu.
“Aku tidak percaya kamu bisa melakukannya, Clar,” ucap Roy dengan suara rendah, tapi penuh dengan nada menggoda. “Alex itu tipe pria yang tidak akan mudah memaafkan pengkhianatan. “Apa yang membuatmu begitu berani?”
Clarissa tertawa kecil, memperlihatkan deretan giginya yang putih. Dia mengangkat wajahnya, menatap Roy penuh keyakinan. “Untuk apa aku takut? Kamu tahu sendiri, kan, Alex itu tergila-gila padaku. Lagipula, bukankah kamu akan selalu membantuku jika aku kesulitan?”
Roy yang awalnya tampak senang terus menggoda Clarissa, tiba-tiba tersenyum kaku. “Aku bisa lakukan apapun untuk kamu, Clar. Hanya saja, bagaimana kamu bisa yakin Alex tidak akan tahu kalau kita yang telah menjebaknya?.”
Clarissa menatap Roy dengan tatapan tajam, seolah menilai setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tangannya mengusap dada Roy dengan gerakan lembut, lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, berbisik dengan suara penuh desah.“Roy, kenapa kamu terlihat khawatir?” katanya pelan. “Aku sangat yakin Alex tidak akan pernah tahu. Kita berdua sudah merencanakan ini dengan sangat hati-hati. Pasti semua akan berjalan lancar.”Roy menelan ludah, rasa takut mulai menggerogoti hatinya. Dia sangat tahu bagaimana kekuasaan Alex, sahabatnya. Jika sampai Alex tahu, dia bisa saja kehilangan banyak hal. “Aku berharap kamu benar, Clar. Aku tidak mau kehilangan segalanya hanya karena satu malam.”Clarissa menarik mundur sedikit, menatap Roy dengan senyum menggoda. "Kamu tidak akan kehilangan apa-apa, Roy. Kita sudah melangkah jauh, tinggal satu langkah lagi kita pasti berhasil."Dengan kata-kata itu, Clarissa melangkah mundur, menuju meja di sudut kamar. Ia memutar tubuhnya, menatap Roy dengan pen
Melihat yang datang adalah temannya Alex, Allina kembali meneruskan langkahnya. Namun, baru saja dia akan melangkah pergi, suara Alex terdengar tajam memanggilnya. “Allina, tunggu!”Ia membalikkan badan perlahan, menatap Alex yang kini berdiri di dekat Roy. “Setelah menaruh semua dokumen itu di mejamu, buatkan kopi untukku dan Roy dulu. Jangan terlalu lama,” perintahnya dengan nada dingin.“Baiklah,” jawab Allina, lalu pergi menjalankan tugasnya sesuai perintah Alex.Roy duduk di sofa panjang di sisi sebelah meja kerja Alex, kedua tangannya bertaut di depan dada. “Aku dengar Clarissa pergi, ya. Apa itu benar? Sekarang di mana dia? Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, makanya aku cepat-cepat ke sini,” tanyanya dengan nada santai, meskipun tatapan matanya penuh siasat.Alex mendengus, berjalan menyusul Roy untuk duduk di sofa. “Jika aku tahu, apa menurutmu aku akan membuang-buang waktu di sini? Dia pergi begitu saja tanpa kabar, Roy. Aku bahkan tidak tahu apakah dia akan kembali.”R
“Wah …! sepertinya kamu sangat senang, ya, menjadi istri dari seorang Alexander Grey. Selamat! Kini tujuanmu sudah tercapai,” ujar Alex dengan lantang dan penuh penekanan.Di dalam kamar megah nan luas itu Alex mulai menunjukkan sikap aslinya pada Allina, istri yang baru dia nikahi tadi siang. Alex yang baru saja ditinggal kekasihnya, hidupnya menjadi kacau, dan dia menuduh Allina lah penyebab kepergian sang kekasih. Atas dasar dendam, Alex membeli dan menikahi Allina.DegAllina sungguh terkejut dengan apa yang diucapkan suaminya, Alex. Allina sungguh tidak mengerti apa maksud suaminya berbicara seperti itu. Jika ditanya apakah dia senang? Pasti jawabannya iya. Siapa yang tidak senang jika mendapatkan suami seperti Alexander Grey. Pria kaya raya, CEO dari Grey Corporation, perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai bidang usaha. Namun, sungguh Allina tidak pernah menginginkannya. Jangankan berharap, membayangkan saja dia tidak berani."Apa maksudmu berbicara seperti itu? Sungguh ak
Allina tidak menyangka, orang yang selama ini selalu menunjukkan sikap baik padanya, ternyata mempunyai sisi kejam. Padahal selama ini yang Allina tahu, suaminya itu seorang pimpinan yang baik dan bijaksana. Namun sekarang, hanya karena kesalahan yang belum tentu Allina lakukan, Alex dengan tega bersikap kasar dan menyakitinya.Begitu lama Allina menangis, meratapi nasibnya yang tragis. Sejak orang tuanya meninggal dia hanya hidup dengan sang adik, tetapi kini adiknya terbaring tak berdaya. Ia pun terpaksa hidup sebagai wanita malam. Saat Alex datang membelinya dan mengeluarkannya dari kehidupan yang gelap, dia pikir hidupnya akan berubah. Nyatanya dia seperti masuk kandang singa, harus rela menjadi pelampiasan amarah suaminya.Tidak mau berlarut dalam kesedihan, Allina beranjak ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Malam sudah semakin larut, sudah waktunya bagi Allina untuk tidur. Namun, pria yang baru menjadi suaminya itu belum juga masuk ke kamar. Mau bagaimanapun, malam ini a
Melihat yang datang adalah temannya Alex, Allina kembali meneruskan langkahnya. Namun, baru saja dia akan melangkah pergi, suara Alex terdengar tajam memanggilnya. “Allina, tunggu!”Ia membalikkan badan perlahan, menatap Alex yang kini berdiri di dekat Roy. “Setelah menaruh semua dokumen itu di mejamu, buatkan kopi untukku dan Roy dulu. Jangan terlalu lama,” perintahnya dengan nada dingin.“Baiklah,” jawab Allina, lalu pergi menjalankan tugasnya sesuai perintah Alex.Roy duduk di sofa panjang di sisi sebelah meja kerja Alex, kedua tangannya bertaut di depan dada. “Aku dengar Clarissa pergi, ya. Apa itu benar? Sekarang di mana dia? Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, makanya aku cepat-cepat ke sini,” tanyanya dengan nada santai, meskipun tatapan matanya penuh siasat.Alex mendengus, berjalan menyusul Roy untuk duduk di sofa. “Jika aku tahu, apa menurutmu aku akan membuang-buang waktu di sini? Dia pergi begitu saja tanpa kabar, Roy. Aku bahkan tidak tahu apakah dia akan kembali.”R
Clarissa menatap Roy dengan tatapan tajam, seolah menilai setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tangannya mengusap dada Roy dengan gerakan lembut, lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, berbisik dengan suara penuh desah.“Roy, kenapa kamu terlihat khawatir?” katanya pelan. “Aku sangat yakin Alex tidak akan pernah tahu. Kita berdua sudah merencanakan ini dengan sangat hati-hati. Pasti semua akan berjalan lancar.”Roy menelan ludah, rasa takut mulai menggerogoti hatinya. Dia sangat tahu bagaimana kekuasaan Alex, sahabatnya. Jika sampai Alex tahu, dia bisa saja kehilangan banyak hal. “Aku berharap kamu benar, Clar. Aku tidak mau kehilangan segalanya hanya karena satu malam.”Clarissa menarik mundur sedikit, menatap Roy dengan senyum menggoda. "Kamu tidak akan kehilangan apa-apa, Roy. Kita sudah melangkah jauh, tinggal satu langkah lagi kita pasti berhasil."Dengan kata-kata itu, Clarissa melangkah mundur, menuju meja di sudut kamar. Ia memutar tubuhnya, menatap Roy dengan pen
Tubuh Allina seakan membeku saat Alex berbisik di telinganya. Bahkan wanita itu sampai tidak sadar saat Alex pergi meninggalkannya ke kamar mandi. Dia bingung harus melakukan apa agar suaminya itu percaya bahwa bukanlah dia pelaku pejebakan itu. Allina memang butuh uang, tapi bukan berarti dia akan melakukan hal yang licik apalagi sampai menjebak bosnya sendiri.Suara gemericik air dari dalam kamar mandi menyadarkan lamunan Allina. Segera dia memaksakan diri melanjutkan pekerjaannya. Setelah selesai menyiapkan baju untuk suaminya dan buru-buru ke dapur untuk memasak. Apapun perlakuan suaminya, tak menyurutkan Allina untuk memenuhi tugasnya.Hanya dalam waktu singkat, berbagai jenis makanan sudah tersaji di meja. Allina yang sudah terbiasa memasak sendiri dengan cepat menyelesaikannya. Kini dia hanya tinggal menunggu sang suami datang untuk sarapan. Namun, tiba-tiba saja ponsel yang ada di sakunya bergetar. Allina terkejut saat melihat ternyata itu panggilan dari rumah sakit. Bergegas
Allina tidak menyangka, orang yang selama ini selalu menunjukkan sikap baik padanya, ternyata mempunyai sisi kejam. Padahal selama ini yang Allina tahu, suaminya itu seorang pimpinan yang baik dan bijaksana. Namun sekarang, hanya karena kesalahan yang belum tentu Allina lakukan, Alex dengan tega bersikap kasar dan menyakitinya.Begitu lama Allina menangis, meratapi nasibnya yang tragis. Sejak orang tuanya meninggal dia hanya hidup dengan sang adik, tetapi kini adiknya terbaring tak berdaya. Ia pun terpaksa hidup sebagai wanita malam. Saat Alex datang membelinya dan mengeluarkannya dari kehidupan yang gelap, dia pikir hidupnya akan berubah. Nyatanya dia seperti masuk kandang singa, harus rela menjadi pelampiasan amarah suaminya.Tidak mau berlarut dalam kesedihan, Allina beranjak ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Malam sudah semakin larut, sudah waktunya bagi Allina untuk tidur. Namun, pria yang baru menjadi suaminya itu belum juga masuk ke kamar. Mau bagaimanapun, malam ini a
“Wah …! sepertinya kamu sangat senang, ya, menjadi istri dari seorang Alexander Grey. Selamat! Kini tujuanmu sudah tercapai,” ujar Alex dengan lantang dan penuh penekanan.Di dalam kamar megah nan luas itu Alex mulai menunjukkan sikap aslinya pada Allina, istri yang baru dia nikahi tadi siang. Alex yang baru saja ditinggal kekasihnya, hidupnya menjadi kacau, dan dia menuduh Allina lah penyebab kepergian sang kekasih. Atas dasar dendam, Alex membeli dan menikahi Allina.DegAllina sungguh terkejut dengan apa yang diucapkan suaminya, Alex. Allina sungguh tidak mengerti apa maksud suaminya berbicara seperti itu. Jika ditanya apakah dia senang? Pasti jawabannya iya. Siapa yang tidak senang jika mendapatkan suami seperti Alexander Grey. Pria kaya raya, CEO dari Grey Corporation, perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai bidang usaha. Namun, sungguh Allina tidak pernah menginginkannya. Jangankan berharap, membayangkan saja dia tidak berani."Apa maksudmu berbicara seperti itu? Sungguh ak