Di dalam ruangan, Roy tampak gelisah begitu Alex menyebut soal rekaman CCTV. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, matanya sesekali melirik ke layar laptop Alex yang masih kosong.
“Alex, kau yakin rekaman itu perlu dilihat sekarang?” Roy membuka suara, berusaha terdengar santai meski jelas ada kegelisahan di nada suaranya.
Alex menoleh sekilas. “Tentu. Kenapa tidak?”
Roy tertawa kecil, mencoba menyembunyikan ketegangannya. “Maksudku, apa kita tidak sebaiknya menyelidiki dengan cara lain dulu? Kadang, rekaman CCTV tidak menunjukkan apa pun yang berguna. Lagipula, kita bisa mencari informasi dari orang-orang yang ada di sekitar saat kejadian.”
Alex menatap Roy lebih lama kali ini, matanya menyipit. “Kau terdengar seperti seseorang yang tidak ingin aku melihat rekaman itu.”
Roy buru-buru menggeleng. “Bukan begitu. Aku hanya berpikir kalau—”
“Roy.” Suara Alex terdengar lebih dingin. “Kenapa kau begitu keberatan?”
Roy tercekat. Ia sadar, semakin ia mencoba membujuk Alex, semakin aneh sikapnya terlihat. Jika ia terus berusaha mengalihkan perhatian, bukan tidak mungkin Alex justru akan semakin curiga.
Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam dan mengendurkan bahunya, berusaha terlihat lebih tenang. “Baiklah, kalau kau memang ingin melihatnya, silakan.”
Beberapa detik kemudian, pintu ruangan terbuka. Allina melangkah masuk, membawa flash drive berisi rekaman yang diminta.
“Ini rekamannya, Pak,” ucapnya, menyerahkan perangkat itu kepada Alex.
Alex menerimanya tanpa berkata-kata, langsung memasukkannya ke laptop. Sementara itu, Roy hanya bisa berdiri di tempatnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Saat layar mulai menampilkan rekaman malam itu, Roy tahu bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Yang tersisa hanya menunggu—dan berharap sesuatu di rekaman itu tidak akan menghancurkannya.
Allina menelan ludah saat menyerahkan flash drive itu ke tangan Alex. Tangannya sedikit bergetar, meskipun ia berusaha keras menyembunyikannya. Jantungnya berdegup cepat, dan perasaan was-was semakin menekan dadanya.
Alex menerima flash drive itu tanpa ekspresi, namun sebelum memasukkannya ke laptop, ia menatap Allina dengan dingin.
“Aku harap kau berkata jujur,” ucapnya pelan, tapi sarat dengan ancaman terselubung. “Kalau rekaman ini membuktikan kau bersalah, aku pastikan kau mendapatkan pelajaran yang setimpal.”
Allina menggigit bibirnya, berusaha tetap tenang. “Saya tidak melakukan apa pun, Pak.”
Alex tidak menjawab. Ia hanya menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya memasukkan flash drive ke laptop. Ruangan terasa begitu sunyi saat layar mulai menampilkan rekaman malam itu.
Allina menahan napas. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tubuhnya tegang. Ia berharap rekaman itu bisa membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi ketakutan tetap menyelimuti pikirannya.
Di sisi lain, Roy berdiri tanpa suara. Ia tampak lebih gelisah dari sebelumnya, tangannya mengepal erat. Tidak seperti Allina, yang takut akan tuduhan yang menimpanya, Roy tampaknya memiliki ketakutan lain—sesuatu yang ia tahu bisa terbongkar dari rekaman itu.
Rekaman mulai diputar. Gambar dari kamera keamanan menunjukkan koridor kantor yang sepi.
Allina menahan napas lebih dalam. Tolong… jangan ada sesuatu yang memberatkanku…
Hampir saja Alex melihat rekaman CCTV itu…
Layar laptop mulai menampilkan rekaman malam itu, menunjukkan koridor kantor yang sepi. Alex menyipitkan mata, bersiap memperhatikan setiap detail. Allina menggigit bibirnya, napasnya pendek-pendek. Di sampingnya, Roy semakin gelisah. Ia tidak bisa membiarkan Alex melihat rekaman itu.
Tiba-tiba, Roy menepuk saku jasnya dan mengangkat ponsel.
“Sebentar,” katanya buru-buru, lalu berpura-pura melihat layar ponselnya. Ia mengernyit, lalu menoleh ke arah Alex. “Ini dari Clarissa.”
Alex mengerutkan dahi. “Clarissa?”
Roy mengangguk cepat, berpura-pura mendengar sesuatu dari ponselnya. “Ya… Clarissa, kau di mana?” Ia lalu menatap Alex dengan ekspresi serius. “Dia bilang ada sesuatu yang harus segera dia bicarakan denganmu. Kelihatannya penting.”
Alex tampak ragu sejenak, matanya berpindah dari Roy ke layar laptop. Tapi, jika itu soal Clarissa—mungkin memang penting.
Roy segera melangkah maju, menekan sedikit layar laptop agar tidak terlalu menarik perhatian. “Aku bisa membantumu mencari Clarissa sekarang. Kalau memang dia butuh bicara, mungkin lebih baik kau temui dia dulu.”
Alex menghela napas, pikirannya tampak terbagi antara rekaman dan urusan Clarissa. Akhirnya, ia menutup laptopnya dengan gerakan tegas. “Baiklah. Aku akan mencarinya sebentar.”
Roy mengangguk, berpura-pura sibuk dengan ponselnya seakan benar-benar sedang menghubungi Clarissa. Di dalam hatinya, ia merasa sedikit lega—setidaknya untuk sementara waktu, ia berhasil mengalihkan perhatian Alex dari rekaman itu.
Namun, di sampingnya, Allina memperhatikan semua ini dengan tatapan curiga. Ada sesuatu yang aneh dalam sikap Roy.
Dan ia berniat mencari tahu apa itu.
“Wah …! sepertinya kamu sangat senang, ya, menjadi istri dari seorang Alexander Grey. Selamat! Kini tujuanmu sudah tercapai,” ujar Alex dengan lantang dan penuh penekanan.Di dalam kamar megah nan luas itu Alex mulai menunjukkan sikap aslinya pada Allina, istri yang baru dia nikahi tadi siang. Alex yang baru saja ditinggal kekasihnya, hidupnya menjadi kacau, dan dia menuduh Allina lah penyebab kepergian sang kekasih. Atas dasar dendam, Alex membeli dan menikahi Allina.DegAllina sungguh terkejut dengan apa yang diucapkan suaminya, Alex. Allina sungguh tidak mengerti apa maksud suaminya berbicara seperti itu. Jika ditanya apakah dia senang? Pasti jawabannya iya. Siapa yang tidak senang jika mendapatkan suami seperti Alexander Grey. Pria kaya raya, CEO dari Grey Corporation, perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai bidang usaha. Namun, sungguh Allina tidak pernah menginginkannya. Jangankan berharap, membayangkan saja dia tidak berani."Apa maksudmu berbicara seperti itu? Sungguh ak
Allina tidak menyangka, orang yang selama ini selalu menunjukkan sikap baik padanya, ternyata mempunyai sisi kejam. Padahal selama ini yang Allina tahu, suaminya itu seorang pimpinan yang baik dan bijaksana. Namun sekarang, hanya karena kesalahan yang belum tentu Allina lakukan, Alex dengan tega bersikap kasar dan menyakitinya.Begitu lama Allina menangis, meratapi nasibnya yang tragis. Sejak orang tuanya meninggal dia hanya hidup dengan sang adik, tetapi kini adiknya terbaring tak berdaya. Ia pun terpaksa hidup sebagai wanita malam. Saat Alex datang membelinya dan mengeluarkannya dari kehidupan yang gelap, dia pikir hidupnya akan berubah. Nyatanya dia seperti masuk kandang singa, harus rela menjadi pelampiasan amarah suaminya.Tidak mau berlarut dalam kesedihan, Allina beranjak ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Malam sudah semakin larut, sudah waktunya bagi Allina untuk tidur. Namun, pria yang baru menjadi suaminya itu belum juga masuk ke kamar. Mau bagaimanapun, malam ini a
Tubuh Allina seakan membeku saat Alex berbisik di telinganya. Bahkan wanita itu sampai tidak sadar saat Alex pergi meninggalkannya ke kamar mandi. Dia bingung harus melakukan apa agar suaminya itu percaya bahwa bukanlah dia pelaku pejebakan itu. Allina memang butuh uang, tapi bukan berarti dia akan melakukan hal yang licik apalagi sampai menjebak bosnya sendiri.Suara gemericik air dari dalam kamar mandi menyadarkan lamunan Allina. Segera dia memaksakan diri melanjutkan pekerjaannya. Setelah selesai menyiapkan baju untuk suaminya dan buru-buru ke dapur untuk memasak. Apapun perlakuan suaminya, tak menyurutkan Allina untuk memenuhi tugasnya.Hanya dalam waktu singkat, berbagai jenis makanan sudah tersaji di meja. Allina yang sudah terbiasa memasak sendiri dengan cepat menyelesaikannya. Kini dia hanya tinggal menunggu sang suami datang untuk sarapan. Namun, tiba-tiba saja ponsel yang ada di sakunya bergetar. Allina terkejut saat melihat ternyata itu panggilan dari rumah sakit. Bergegas
Clarissa menatap Roy dengan tatapan tajam, seolah menilai setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tangannya mengusap dada Roy dengan gerakan lembut, lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, berbisik dengan suara penuh desah.“Roy, kenapa kamu terlihat khawatir?” katanya pelan. “Aku sangat yakin Alex tidak akan pernah tahu. Kita berdua sudah merencanakan ini dengan sangat hati-hati. Pasti semua akan berjalan lancar.”Roy menelan ludah, rasa takut mulai menggerogoti hatinya. Dia sangat tahu bagaimana kekuasaan Alex, sahabatnya. Jika sampai Alex tahu, dia bisa saja kehilangan banyak hal. “Aku berharap kamu benar, Clar. Aku tidak mau kehilangan segalanya hanya karena satu malam.”Clarissa menarik mundur sedikit, menatap Roy dengan senyum menggoda. "Kamu tidak akan kehilangan apa-apa, Roy. Kita sudah melangkah jauh, tinggal satu langkah lagi kita pasti berhasil."Dengan kata-kata itu, Clarissa melangkah mundur, menuju meja di sudut kamar. Ia memutar tubuhnya, menatap Roy dengan pen
Melihat yang datang adalah temannya Alex, Allina kembali meneruskan langkahnya. Namun, baru saja dia akan melangkah pergi, suara Alex terdengar tajam memanggilnya. “Allina, tunggu!”Ia membalikkan badan perlahan, menatap Alex yang kini berdiri di dekat Roy. “Setelah menaruh semua dokumen itu di mejamu, buatkan kopi untukku dan Roy dulu. Jangan terlalu lama,” perintahnya dengan nada dingin.“Baiklah,” jawab Allina, lalu pergi menjalankan tugasnya sesuai perintah Alex.Roy duduk di sofa panjang di sisi sebelah meja kerja Alex, kedua tangannya bertaut di depan dada. “Aku dengar Clarissa pergi, ya. Apa itu benar? Sekarang di mana dia? Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, makanya aku cepat-cepat ke sini,” tanyanya dengan nada santai, meskipun tatapan matanya penuh siasat.Alex mendengus, berjalan menyusul Roy untuk duduk di sofa. “Jika aku tahu, apa menurutmu aku akan membuang-buang waktu di sini? Dia pergi begitu saja tanpa kabar, Roy. Aku bahkan tidak tahu apakah dia akan kembali.”R
Di dalam ruangan, Roy tampak gelisah begitu Alex menyebut soal rekaman CCTV. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, matanya sesekali melirik ke layar laptop Alex yang masih kosong.“Alex, kau yakin rekaman itu perlu dilihat sekarang?” Roy membuka suara, berusaha terdengar santai meski jelas ada kegelisahan di nada suaranya.Alex menoleh sekilas. “Tentu. Kenapa tidak?”Roy tertawa kecil, mencoba menyembunyikan ketegangannya. “Maksudku, apa kita tidak sebaiknya menyelidiki dengan cara lain dulu? Kadang, rekaman CCTV tidak menunjukkan apa pun yang berguna. Lagipula, kita bisa mencari informasi dari orang-orang yang ada di sekitar saat kejadian.”Alex menatap Roy lebih lama kali ini, matanya menyipit. “Kau terdengar seperti seseorang yang tidak ingin aku melihat rekaman itu.”Roy buru-buru menggeleng. “Bukan begitu. Aku hanya berpikir kalau—”“Roy.” Suara Alex terdengar lebih dingin. “Kenapa kau begitu keberatan?”Roy tercekat. Ia sadar, semakin ia mencoba membujuk Alex, semakin aneh sikapn
Melihat yang datang adalah temannya Alex, Allina kembali meneruskan langkahnya. Namun, baru saja dia akan melangkah pergi, suara Alex terdengar tajam memanggilnya. “Allina, tunggu!”Ia membalikkan badan perlahan, menatap Alex yang kini berdiri di dekat Roy. “Setelah menaruh semua dokumen itu di mejamu, buatkan kopi untukku dan Roy dulu. Jangan terlalu lama,” perintahnya dengan nada dingin.“Baiklah,” jawab Allina, lalu pergi menjalankan tugasnya sesuai perintah Alex.Roy duduk di sofa panjang di sisi sebelah meja kerja Alex, kedua tangannya bertaut di depan dada. “Aku dengar Clarissa pergi, ya. Apa itu benar? Sekarang di mana dia? Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, makanya aku cepat-cepat ke sini,” tanyanya dengan nada santai, meskipun tatapan matanya penuh siasat.Alex mendengus, berjalan menyusul Roy untuk duduk di sofa. “Jika aku tahu, apa menurutmu aku akan membuang-buang waktu di sini? Dia pergi begitu saja tanpa kabar, Roy. Aku bahkan tidak tahu apakah dia akan kembali.”R
Clarissa menatap Roy dengan tatapan tajam, seolah menilai setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tangannya mengusap dada Roy dengan gerakan lembut, lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, berbisik dengan suara penuh desah.“Roy, kenapa kamu terlihat khawatir?” katanya pelan. “Aku sangat yakin Alex tidak akan pernah tahu. Kita berdua sudah merencanakan ini dengan sangat hati-hati. Pasti semua akan berjalan lancar.”Roy menelan ludah, rasa takut mulai menggerogoti hatinya. Dia sangat tahu bagaimana kekuasaan Alex, sahabatnya. Jika sampai Alex tahu, dia bisa saja kehilangan banyak hal. “Aku berharap kamu benar, Clar. Aku tidak mau kehilangan segalanya hanya karena satu malam.”Clarissa menarik mundur sedikit, menatap Roy dengan senyum menggoda. "Kamu tidak akan kehilangan apa-apa, Roy. Kita sudah melangkah jauh, tinggal satu langkah lagi kita pasti berhasil."Dengan kata-kata itu, Clarissa melangkah mundur, menuju meja di sudut kamar. Ia memutar tubuhnya, menatap Roy dengan pen
Tubuh Allina seakan membeku saat Alex berbisik di telinganya. Bahkan wanita itu sampai tidak sadar saat Alex pergi meninggalkannya ke kamar mandi. Dia bingung harus melakukan apa agar suaminya itu percaya bahwa bukanlah dia pelaku pejebakan itu. Allina memang butuh uang, tapi bukan berarti dia akan melakukan hal yang licik apalagi sampai menjebak bosnya sendiri.Suara gemericik air dari dalam kamar mandi menyadarkan lamunan Allina. Segera dia memaksakan diri melanjutkan pekerjaannya. Setelah selesai menyiapkan baju untuk suaminya dan buru-buru ke dapur untuk memasak. Apapun perlakuan suaminya, tak menyurutkan Allina untuk memenuhi tugasnya.Hanya dalam waktu singkat, berbagai jenis makanan sudah tersaji di meja. Allina yang sudah terbiasa memasak sendiri dengan cepat menyelesaikannya. Kini dia hanya tinggal menunggu sang suami datang untuk sarapan. Namun, tiba-tiba saja ponsel yang ada di sakunya bergetar. Allina terkejut saat melihat ternyata itu panggilan dari rumah sakit. Bergegas
Allina tidak menyangka, orang yang selama ini selalu menunjukkan sikap baik padanya, ternyata mempunyai sisi kejam. Padahal selama ini yang Allina tahu, suaminya itu seorang pimpinan yang baik dan bijaksana. Namun sekarang, hanya karena kesalahan yang belum tentu Allina lakukan, Alex dengan tega bersikap kasar dan menyakitinya.Begitu lama Allina menangis, meratapi nasibnya yang tragis. Sejak orang tuanya meninggal dia hanya hidup dengan sang adik, tetapi kini adiknya terbaring tak berdaya. Ia pun terpaksa hidup sebagai wanita malam. Saat Alex datang membelinya dan mengeluarkannya dari kehidupan yang gelap, dia pikir hidupnya akan berubah. Nyatanya dia seperti masuk kandang singa, harus rela menjadi pelampiasan amarah suaminya.Tidak mau berlarut dalam kesedihan, Allina beranjak ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Malam sudah semakin larut, sudah waktunya bagi Allina untuk tidur. Namun, pria yang baru menjadi suaminya itu belum juga masuk ke kamar. Mau bagaimanapun, malam ini a
“Wah …! sepertinya kamu sangat senang, ya, menjadi istri dari seorang Alexander Grey. Selamat! Kini tujuanmu sudah tercapai,” ujar Alex dengan lantang dan penuh penekanan.Di dalam kamar megah nan luas itu Alex mulai menunjukkan sikap aslinya pada Allina, istri yang baru dia nikahi tadi siang. Alex yang baru saja ditinggal kekasihnya, hidupnya menjadi kacau, dan dia menuduh Allina lah penyebab kepergian sang kekasih. Atas dasar dendam, Alex membeli dan menikahi Allina.DegAllina sungguh terkejut dengan apa yang diucapkan suaminya, Alex. Allina sungguh tidak mengerti apa maksud suaminya berbicara seperti itu. Jika ditanya apakah dia senang? Pasti jawabannya iya. Siapa yang tidak senang jika mendapatkan suami seperti Alexander Grey. Pria kaya raya, CEO dari Grey Corporation, perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai bidang usaha. Namun, sungguh Allina tidak pernah menginginkannya. Jangankan berharap, membayangkan saja dia tidak berani."Apa maksudmu berbicara seperti itu? Sungguh ak