Melihat yang datang adalah temannya Alex, Allina kembali meneruskan langkahnya. Namun, baru saja dia akan melangkah pergi, suara Alex terdengar tajam memanggilnya. “Allina, tunggu!”
Ia membalikkan badan perlahan, menatap Alex yang kini berdiri di dekat Roy. “Setelah menaruh semua dokumen itu di mejamu, buatkan kopi untukku dan Roy dulu. Jangan terlalu lama,” perintahnya dengan nada dingin.
“Baiklah,” jawab Allina, lalu pergi menjalankan tugasnya sesuai perintah Alex.
Roy duduk di sofa panjang di sisi sebelah meja kerja Alex, kedua tangannya bertaut di depan dada. “Aku dengar Clarissa pergi, ya. Apa itu benar? Sekarang di mana dia? Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, makanya aku cepat-cepat ke sini,” tanyanya dengan nada santai, meskipun tatapan matanya penuh siasat.
Alex mendengus, berjalan menyusul Roy untuk duduk di sofa. “Jika aku tahu, apa menurutmu aku akan membuang-buang waktu di sini? Dia pergi begitu saja tanpa kabar, Roy. Aku bahkan tidak tahu apakah dia akan kembali.”
Roy mengangguk perlahan, seolah berpikir keras. “Aneh. Aku pikir kamu dan dia tidak terpisahkan. Apa yang terjadi sebenarnya?”
Alex menatap Roy tajam, seperti menimbang-nimbang apakah dia harus bercerita. Akhirnya, dia mendesah berat. “Ini semua karena malam sial itu.”
“Malam apa?” tanya Roy, pura-pura terkejut.
“Malam pesta tahunan perusahaan,” jawab Alex sambil mengepalkan tangan di meja. “Setelah minum-minum, aku merasakan panas luar biasa di tubuhku. Aku melakukan hal bodoh. Aku terpaksa menyewa seorang wanita malam untuk memuaskan hasratku.”
Roy menatap Alex dengan ekspresi terkejut. Kali ini dia tidak pura-pura. Dia benar-benar terkejut saat Alex berkata bahwa telah menyewa seseorang. Pasalnya malam itu dia dan Clarissa sudah menyuruh seorang wanita untuk pergi ke kamar Alex dan melayaninya, tetapi nyatanya Alex telah menyewa wanita lain. “Kamu serius? Kamu menyewa seorang wanita malam?”
“Bukan hanya itu,” lanjut Alex, matanya menyipit penuh amarah. “Wanita malam itu ternyata Allina. Sekretarisku sendiri.”
Roy membelalakkan matanya, semakin terkejut. “Allina? Wanita yang tadi? Kamu bercanda, kan?”
Alex menggeleng dengan ekspresi penuh kebencian. “Dia pasti sudah merencanakan semuanya. Aku yakin dia menjebakku, entah untuk apa. Aku juga tidak tahu dari mana Clarissa tahu kejadian itu, Roy. Dia pergi karena itu.”
Roy menghela napas panjang, mencoba terlihat simpati. Namun, di dasar hatinya dia sungguh terkejut. Ternyata semua terjadi di luar rencana. Wanita yang seharusnya dia suruh untuk menjebak Alex ternyata tidak menjalankan tugasnya dengan baik. Kini mereka malah melibatkan Allina.
“Itu ... rumit, Alex. Tapi, kau yakin Allina pelakunya? Mungkin ada orang lain di balik semua ini.” Roy bertanya pada Alex untuk memastikan, karena akan bahaya jika Alex mencurigai orang lain apalagi mencurigainya. Bisa-bisa rencananya dan Clarissa gagal.
Alex memukul meja dengan keras. “Siapa lagi kalau bukan dia? Tidak ada orang lain yang tahu jadwalku sedetail itu. Dia selalu ada di sekitarku. Hanya dia tersangka yang paling punya peluang untuk melakukan itu.”
Sebelum Roy sempat menjawab, pintu terbuka perlahan. Allina muncul dengan nampan berisi dua cangkir kopi. dia berjalan perlahan, meletakkan kopi di depan Alex dan Roy, tanpa berani menatap keduanya terlalu lama.
“Ini kopinya. Kalian butuh yang lain,” katanya pelan, lalu berdiri dengan tangan di sisi tubuhnya, menunggu instruksi lebih lanjut. Namun, tak ada jawaban dari Alex, melainkan hanya tatapan tajam yang dilayangkan padanya.
“Alex, jika memang dia yang menjebakmu? Kenapa kamu masih ijinkan dia bekerja? Kamu tidak takut dia menjebak atau melukaimu? Dia bisa saja kan memberi racun tanpa sepengetahuan dirimu,” kata Roy tanpa menutup-nutupi meski di depan Allina.
“Aku tidak akan terjebak untuk kedua kalinya, Roy. Kamu sudah kenal aku, kan. Tidak ada ampun bagi dia yang berani menyinggungku,” ucap Alex menatap sinis Allina.
Deg
Allina tahu jelas saat ini kedua orang itu pasti membicarakan dirinya. Dengan teganya dua orang itu menuduhnya, padahal belum jelas ada bukti yang menyatakan bahwa dia lah pelakunya. Meski sakit, Allina hanya bisa menunduk diam, setidaknya sampai dia menemukan bukti bahwa dia tidak bersalah.
Alex meliriknya tajam. “Keluar. Aku tidak ingin melihat wajahmu sekarang.”
Allina menunduk dan segera melangkah keluar tanpa berkata apa-apa, meskipun hatinya penuh luka. Wanita itu melangkah keluar dari ruangan Alex dengan kepala tertunduk, berharap bisa segera kembali ke meja kerjanya tanpa ada gangguan. Namun, tepat sebelum pintu tertutup, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang aneh. Roy tersenyum. Bukan senyuman biasa—senyuman itu tampak seperti menandakan sesuatu. Roy tersenyum kecil sambil menatap Alex, seolah menyimpan rencana di balik percakapan mereka.
Allina berhenti sejenak di luar pintu, alisnya berkerut. "Apa tadi itu?" gumamnya dalam hati. Roy terlihat seperti pria ramah dan sopan, tetapi senyum itu ... ada sesuatu yang tidak beres. Meski begitu, Allina segera menggeleng, mencoba mengusir pikiran itu. Dia tidak ingin terlalu memikirkan hal yang mungkin tidak ada artinya.
Namun, begitu dia kembali ke meja kerjanya, bayangan senyum Roy terus menghantui pikirannya. Dia duduk, memandang layar komputer yang menyala, tetapi pikirannya melayang ke percakapan yang baru saja terjadi di ruangan Alex. Wajahnya menegang, tangannya tanpa sadar meremas ujung mejanya.
“Kenapa aku merasa ada yang tidak beres?” pikir Allina.Dia mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi gelagat Roy tidak bisa hilang dari benaknya.
Allina menarik napas panjang, mencoba mengabaikan firasatnya. Dari pada mengurus hal itu, dia lebih baik fokus untuk mencari bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Melihat tumpukan dokumen di meja, Allina dengan cepat memulai pekerjaannya. Dia tidak mau Alex marah lagi karena kerjaannya yang tidak beres.
Tiba-tiba, telepon di mejanya berdering, memecah konsentrasinya. Allina pun segera mengangkatnya.
“Ya, Pak?” suaranya terdengar tenang, meskipun jantungnya masih berdegup kencang.
“Aku ingin kamu pergi ke ruang CCTV. Minta rekaman CCTV yang terjadi malam itu. Ambil dan bawa rekamannya ke ruanganku setelah kamu mendapatkannya,” perintah Alex, seketika membuat Allina semakin gusar.
Allina terkejut mendengar perintah Alex. Kenapa tidak pernah terpikirkan olehnya untuk melihat CCTV? Mungkin saja di dalam CCTV itu bisa terbukti bahwa bukanlah dia pelakunya.
“Baik, Pak,” jawab Allina sambil menutup telepon. Dia menghela napas panjang, mempersiapkan diri untuk kembali ke ruangan itu, di mana ada ketegangan antara dirinya dan Alex. “Semoga kali ini aku terbukti tidak bersalah?” gumam Allina.
“Wah …! sepertinya kamu sangat senang, ya, menjadi istri dari seorang Alexander Grey. Selamat! Kini tujuanmu sudah tercapai,” ujar Alex dengan lantang dan penuh penekanan.Di dalam kamar megah nan luas itu Alex mulai menunjukkan sikap aslinya pada Allina, istri yang baru dia nikahi tadi siang. Alex yang baru saja ditinggal kekasihnya, hidupnya menjadi kacau, dan dia menuduh Allina lah penyebab kepergian sang kekasih. Atas dasar dendam, Alex membeli dan menikahi Allina.DegAllina sungguh terkejut dengan apa yang diucapkan suaminya, Alex. Allina sungguh tidak mengerti apa maksud suaminya berbicara seperti itu. Jika ditanya apakah dia senang? Pasti jawabannya iya. Siapa yang tidak senang jika mendapatkan suami seperti Alexander Grey. Pria kaya raya, CEO dari Grey Corporation, perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai bidang usaha. Namun, sungguh Allina tidak pernah menginginkannya. Jangankan berharap, membayangkan saja dia tidak berani."Apa maksudmu berbicara seperti itu? Sungguh ak
Allina tidak menyangka, orang yang selama ini selalu menunjukkan sikap baik padanya, ternyata mempunyai sisi kejam. Padahal selama ini yang Allina tahu, suaminya itu seorang pimpinan yang baik dan bijaksana. Namun sekarang, hanya karena kesalahan yang belum tentu Allina lakukan, Alex dengan tega bersikap kasar dan menyakitinya.Begitu lama Allina menangis, meratapi nasibnya yang tragis. Sejak orang tuanya meninggal dia hanya hidup dengan sang adik, tetapi kini adiknya terbaring tak berdaya. Ia pun terpaksa hidup sebagai wanita malam. Saat Alex datang membelinya dan mengeluarkannya dari kehidupan yang gelap, dia pikir hidupnya akan berubah. Nyatanya dia seperti masuk kandang singa, harus rela menjadi pelampiasan amarah suaminya.Tidak mau berlarut dalam kesedihan, Allina beranjak ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Malam sudah semakin larut, sudah waktunya bagi Allina untuk tidur. Namun, pria yang baru menjadi suaminya itu belum juga masuk ke kamar. Mau bagaimanapun, malam ini a
Tubuh Allina seakan membeku saat Alex berbisik di telinganya. Bahkan wanita itu sampai tidak sadar saat Alex pergi meninggalkannya ke kamar mandi. Dia bingung harus melakukan apa agar suaminya itu percaya bahwa bukanlah dia pelaku pejebakan itu. Allina memang butuh uang, tapi bukan berarti dia akan melakukan hal yang licik apalagi sampai menjebak bosnya sendiri.Suara gemericik air dari dalam kamar mandi menyadarkan lamunan Allina. Segera dia memaksakan diri melanjutkan pekerjaannya. Setelah selesai menyiapkan baju untuk suaminya dan buru-buru ke dapur untuk memasak. Apapun perlakuan suaminya, tak menyurutkan Allina untuk memenuhi tugasnya.Hanya dalam waktu singkat, berbagai jenis makanan sudah tersaji di meja. Allina yang sudah terbiasa memasak sendiri dengan cepat menyelesaikannya. Kini dia hanya tinggal menunggu sang suami datang untuk sarapan. Namun, tiba-tiba saja ponsel yang ada di sakunya bergetar. Allina terkejut saat melihat ternyata itu panggilan dari rumah sakit. Bergegas
Clarissa menatap Roy dengan tatapan tajam, seolah menilai setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tangannya mengusap dada Roy dengan gerakan lembut, lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, berbisik dengan suara penuh desah.“Roy, kenapa kamu terlihat khawatir?” katanya pelan. “Aku sangat yakin Alex tidak akan pernah tahu. Kita berdua sudah merencanakan ini dengan sangat hati-hati. Pasti semua akan berjalan lancar.”Roy menelan ludah, rasa takut mulai menggerogoti hatinya. Dia sangat tahu bagaimana kekuasaan Alex, sahabatnya. Jika sampai Alex tahu, dia bisa saja kehilangan banyak hal. “Aku berharap kamu benar, Clar. Aku tidak mau kehilangan segalanya hanya karena satu malam.”Clarissa menarik mundur sedikit, menatap Roy dengan senyum menggoda. "Kamu tidak akan kehilangan apa-apa, Roy. Kita sudah melangkah jauh, tinggal satu langkah lagi kita pasti berhasil."Dengan kata-kata itu, Clarissa melangkah mundur, menuju meja di sudut kamar. Ia memutar tubuhnya, menatap Roy dengan pen
Melihat yang datang adalah temannya Alex, Allina kembali meneruskan langkahnya. Namun, baru saja dia akan melangkah pergi, suara Alex terdengar tajam memanggilnya. “Allina, tunggu!”Ia membalikkan badan perlahan, menatap Alex yang kini berdiri di dekat Roy. “Setelah menaruh semua dokumen itu di mejamu, buatkan kopi untukku dan Roy dulu. Jangan terlalu lama,” perintahnya dengan nada dingin.“Baiklah,” jawab Allina, lalu pergi menjalankan tugasnya sesuai perintah Alex.Roy duduk di sofa panjang di sisi sebelah meja kerja Alex, kedua tangannya bertaut di depan dada. “Aku dengar Clarissa pergi, ya. Apa itu benar? Sekarang di mana dia? Aku sangat terkejut mendengar kabar itu, makanya aku cepat-cepat ke sini,” tanyanya dengan nada santai, meskipun tatapan matanya penuh siasat.Alex mendengus, berjalan menyusul Roy untuk duduk di sofa. “Jika aku tahu, apa menurutmu aku akan membuang-buang waktu di sini? Dia pergi begitu saja tanpa kabar, Roy. Aku bahkan tidak tahu apakah dia akan kembali.”R
Clarissa menatap Roy dengan tatapan tajam, seolah menilai setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tangannya mengusap dada Roy dengan gerakan lembut, lalu ia mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, berbisik dengan suara penuh desah.“Roy, kenapa kamu terlihat khawatir?” katanya pelan. “Aku sangat yakin Alex tidak akan pernah tahu. Kita berdua sudah merencanakan ini dengan sangat hati-hati. Pasti semua akan berjalan lancar.”Roy menelan ludah, rasa takut mulai menggerogoti hatinya. Dia sangat tahu bagaimana kekuasaan Alex, sahabatnya. Jika sampai Alex tahu, dia bisa saja kehilangan banyak hal. “Aku berharap kamu benar, Clar. Aku tidak mau kehilangan segalanya hanya karena satu malam.”Clarissa menarik mundur sedikit, menatap Roy dengan senyum menggoda. "Kamu tidak akan kehilangan apa-apa, Roy. Kita sudah melangkah jauh, tinggal satu langkah lagi kita pasti berhasil."Dengan kata-kata itu, Clarissa melangkah mundur, menuju meja di sudut kamar. Ia memutar tubuhnya, menatap Roy dengan pen
Tubuh Allina seakan membeku saat Alex berbisik di telinganya. Bahkan wanita itu sampai tidak sadar saat Alex pergi meninggalkannya ke kamar mandi. Dia bingung harus melakukan apa agar suaminya itu percaya bahwa bukanlah dia pelaku pejebakan itu. Allina memang butuh uang, tapi bukan berarti dia akan melakukan hal yang licik apalagi sampai menjebak bosnya sendiri.Suara gemericik air dari dalam kamar mandi menyadarkan lamunan Allina. Segera dia memaksakan diri melanjutkan pekerjaannya. Setelah selesai menyiapkan baju untuk suaminya dan buru-buru ke dapur untuk memasak. Apapun perlakuan suaminya, tak menyurutkan Allina untuk memenuhi tugasnya.Hanya dalam waktu singkat, berbagai jenis makanan sudah tersaji di meja. Allina yang sudah terbiasa memasak sendiri dengan cepat menyelesaikannya. Kini dia hanya tinggal menunggu sang suami datang untuk sarapan. Namun, tiba-tiba saja ponsel yang ada di sakunya bergetar. Allina terkejut saat melihat ternyata itu panggilan dari rumah sakit. Bergegas
Allina tidak menyangka, orang yang selama ini selalu menunjukkan sikap baik padanya, ternyata mempunyai sisi kejam. Padahal selama ini yang Allina tahu, suaminya itu seorang pimpinan yang baik dan bijaksana. Namun sekarang, hanya karena kesalahan yang belum tentu Allina lakukan, Alex dengan tega bersikap kasar dan menyakitinya.Begitu lama Allina menangis, meratapi nasibnya yang tragis. Sejak orang tuanya meninggal dia hanya hidup dengan sang adik, tetapi kini adiknya terbaring tak berdaya. Ia pun terpaksa hidup sebagai wanita malam. Saat Alex datang membelinya dan mengeluarkannya dari kehidupan yang gelap, dia pikir hidupnya akan berubah. Nyatanya dia seperti masuk kandang singa, harus rela menjadi pelampiasan amarah suaminya.Tidak mau berlarut dalam kesedihan, Allina beranjak ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Malam sudah semakin larut, sudah waktunya bagi Allina untuk tidur. Namun, pria yang baru menjadi suaminya itu belum juga masuk ke kamar. Mau bagaimanapun, malam ini a
“Wah …! sepertinya kamu sangat senang, ya, menjadi istri dari seorang Alexander Grey. Selamat! Kini tujuanmu sudah tercapai,” ujar Alex dengan lantang dan penuh penekanan.Di dalam kamar megah nan luas itu Alex mulai menunjukkan sikap aslinya pada Allina, istri yang baru dia nikahi tadi siang. Alex yang baru saja ditinggal kekasihnya, hidupnya menjadi kacau, dan dia menuduh Allina lah penyebab kepergian sang kekasih. Atas dasar dendam, Alex membeli dan menikahi Allina.DegAllina sungguh terkejut dengan apa yang diucapkan suaminya, Alex. Allina sungguh tidak mengerti apa maksud suaminya berbicara seperti itu. Jika ditanya apakah dia senang? Pasti jawabannya iya. Siapa yang tidak senang jika mendapatkan suami seperti Alexander Grey. Pria kaya raya, CEO dari Grey Corporation, perusahaan raksasa yang bergerak di berbagai bidang usaha. Namun, sungguh Allina tidak pernah menginginkannya. Jangankan berharap, membayangkan saja dia tidak berani."Apa maksudmu berbicara seperti itu? Sungguh ak