Share

Bab 3. Tak bisa mundur lagi

Aisa kini sedang berdiri di depan pintu gerbang rumah mewah yang tak lain adalah rumah Keluarga Admaja. Dia lalu memencet tombol bel yang berada di dekat pintu gerbang.

Pria bertubuh kekar yang tak lain adalah penjaga keamanan di rumah itu membuka pintu gerbang. Dahi pria itu mengernyit saat melihat Aisa yang berdiri di depannya.

"Maaf, anda mencari siapa ya?" tanya pria itu yang memang baru pertama kali melihat Aisa, karena waktu Aisa berada di rumah itu, pria itu sedang tidak bertugas.

"Saya mencari Nyonya Merlin, Pak. Apa saya bisa bertemu dengan Nyonya Merlin?" tanya Aisa dengan perasaan was-was, takut pria bertubuh kekar yang berdiri di depannya melarangnya untuk masuk.

"Apa anda sudah membuat janji dengan Nyonya Merlin sebelumnya?" tanya pria itu, karena dia tak bisa sembarangan membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah majikannya.

Aisa menggelengkan kepalanya, karena dirinya memang belum membuat janji temu dengan Merlin. Dirinya tidak sempat menghubungi pemilik rumah itu untuk memberitahukan tentang kedatangannya.

"Maaf, Nyonya Merlin tidak bisa ditemui kalau anda belum membuat janji, jadi lebih baik sekarang anda pergi," usir pria itu.

Pria itu mengira Aisa adalah orang yang suka meminta-minta sumbangan, karena Aisa kini tengah membawa amplop coklat yang berisi tentang surat perjanjian.

Pria itu ingin menutup pintu gerbang tapi di halangi oleh Aisa.

"Tunggu Pak!" seru Aisa.

"Ada apa lagi? Saya masih banyak pekerjaan, lebih baik sekarang kamu pergi atau saya panggilkan semua keamanan di sini!" ancam pria itu.

"Tolong panggilkan Nyonya Merlin, bilang saja Aisa datang," pinta Aisa.

Pria itu mengernyitkan dahinya.

‘Tunggu-tunggu, gadis ini tadi bilang namanya Aisa!’ gumamnya dalam hati.

"Tunggu di sini,” titah pria itu.

Aisa menganggukkan kepalanya.

Pria itu menutup pintu gerbang. Dia lalu bergegas pergi menuju rumah utama.

Merlin yang tengah duduk di ruang tengah, melihat petugas keamanan rumahnya yang sedang berjalan cepat ke arahnya.

"Ada apa?" tanya Merlin sambil menikmati secangkir kopi panas di tangannya.

"Nyonya, di depan ada seorang gadis yang mengaku bernama Aisa,” ucap pria itu sambil membungkukkan tubuhnya.

"Aisa! Kamu yakin dia bilang namanya Aisa?" tanya Merlin dengan dahi mengernyit.

Pria itu menganggukkan kepalanya.

"Akhirnya menyerah juga dia. Suruh dia masuk," lanjut Merlin.

Pria itu membungkuk lalu berjalan keluar untuk memanggil Aisa. Pria itu membuka pintu gerbang dan menyuruh Aisa masuk.

"Terima kasih." Aisa melangkah masuk melewati pintu gerbang.

Saat ini Aisa merasa sangat gugup. Dia seakan tengah menjilat ludahnya sendiri. Aisa ingat dengan sangat jelas, saat itu dengan lantang dia menolak penawaran yang Merlin berikan padanya. Tapi kini dirinya sendiri yang mendatangi Merlin tanpa disuruh.

"Akhirnya kamu menyerah," ucap Merlin sambil melangkah menghampiri Aisa yang tengah berjalan memasuki pintu utama.

Aisa membungkukkan tubuhnya. "Apakah penawaran ini masih berlaku, Nyonya?" tanyanya sambil menyerahkan amplop coklat yang dia bawa.

Merlin mengambil amplop coklat itu dari tangan Aisa. Dia juga menyuruh Aisa untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Jadi apa keputusanmu? Bukannya kamu sudah menolak penawaran yang saya berikan?" tanyanya Merlin sambil menatap Aisa.

"Sa—saya ...." Aisa meremas jari jemari tangannya saking gugupnya.

Aisa sebenarnya masih ragu, apa dia akan benar-benar menjual harga dirinya demi uang? Tapi jika dia tidak melakukannya, nasib ayahnya sedang diambang hidup dan mati.

Aisa lalu mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya secara perlahan. Dia harus segera mengambil keputusan, sebelum wanita cantik yang ada di depannya ini berubah pikiran dan membatalkan tawaran yang pernah ditawarkan padanya.

"Saya akan menerima tawaran anda, tapi saya mempunyai syarat."

Merlin mengernyitkan dahinya. Dia tidak menyangka gadis yang duduk di depannya ini berani memberikan syarat kepadanya.

"Syarat!"

Aisa menganggukkan kepalanya.

"Apa itu?" tanyanya kemudian.

"Saya membutuhkan uang sebesar enam puluh juta rupiah, saat ini juga." Aisa membuang jauh-jauh egonya.

Sebenarnya Aisa merasa sangat malu meminta uang itu dengan cara seperti ini. Tapi dalam perjanjian dia akan mendapatkan uang sebagai gantinya.

Merlin tersenyum. "Baiklah. Tapi sebelum saya memberikan uang itu, kamu harus menandatangani dulu perjanjian ini,” ucapnya sambil membuka amplop coklat yang tadi dibawa oleh Aisa.

Merlin memberikan sebuah pena kepada Aisa. Sebelum menyuruh Aisa untuk menandatangani surat perjanjian itu, dia meminta Aisa untuk membaca surat perjanjian itu sekali lagi.

Tapi tanpa ragu-ragu Aisa langsung menandatangani surat perjanjian itu.

"Saya sudah menandatanganinya. Saya harap anda tidak akan ingkar janji," ucap Aisa sambil menaruh pena di atas meja.

"Kamu tenang saja, saya tidak akan ingkar janji."

Merlin lalu menghubungi seseorang, dia menyuruh orang itu untuk membawa kan uang secepatnya.

"Kamu mau minum apa? Saya lihat kamu begitu kehausan," tawar Merlin.

"Terima kasih, Nyonya. Saya tidak merasa haus," tolak Aisa.

Merlin begitu merasa penasaran, kenapa tiba-tiba gadis itu berubah pikiran, dan untuk apa gadis itu membutuhkan uang sebanyak itu.

"Apa alasan kamu hingga kamu berubah pikiran, bukannya kamu memegang teguh harga diri kamu waktu itu?"

"Maaf, saya tidak bisa memberi tahu apa alasan saya," ucap Aisa sambil menundukkan kepalanya.

"Apa saya terlihat seperti orang jahat di mata kamu?" tanya Merlin dengan dahi mengernyit.

Aisa menggelengkan kepalanya.

"Lalu kenapa kamu tidak mau menceritakan masalah kamu? siapa tau saya bisa bantu kamu,” ucap Merlin masih dengan menatap Aisa.

Aisa mulai menceritakan masalah keluarganya kepada Merlin, hingga membuatnya mengambil keputusan sebesar ini dalam hidupnya. Keputusan yang mungkin akan dia sesali suatu saat nanti.

Aisa lalu menghapus air matanya yang terus mengalir membasahi kedua pipinya.

Merlin tidak menyangka gadis itu mempunyai hati yang sangat baik, dirinya merasa iba dengan nasib tragis yang menimpa keluarganya. Ia merasa sudah melakukan hal yang tepat, gadis itu memang pilihan yang tepat untuk anak tunggalnya.

"Setelah kamu menerima uang itu, saya harap kamu segera pindah ke rumah ini. Saya juga akan mengenalkan kamu dengan anak saya."

"Tapi saya ...."

"Saya tidak suka dibantah, itu adalah perintah. Setelah kamu menandatangani perjanjian itu, pernikahan kamu dan anak saya akan segera dilaksanakan. Saya tidak suka menunda-nunda sesuatu!" tegasnya dengan nada penuh penekanan.

Aisa hanya mampu menganggukkan kepalanya. Dirinya tidak mempunyai pilihan lain selain menuruti permintaan sang nyonya besar. Apalagi dirinya sudah menandatangani dokumen perjanjian pernikahan. Kini dirinya seakan sudah tidak memiliki harga diri lagi.

‘Semoga keputusan yang aku ambil ini adalah keputusan yang tepat. Hanya dengan cara ini aku bisa membantu keluargaku, menyelamatkan ayahku dari ambang kematian. Ibu, Ayah, maafkan aku. Aku terpaksa melakukan semua ini,’ gumam Aisa dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status