Aisa terbangun dari tidurnya, membuka kedua matanya secara perlahan. Kedua matanya mulai mengerjap berkali-kali sambil mengingat kejadian tadi malam. Sepertinya Aisa menyesali apa yang sudah dirinya lakukan tadi malam.Aisa menepuk keningnya sendiri. "Bodoh! Sekarang aku terjebak dengan dua perjanjian yang sudah aku tanda tangani. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aisa lalu menatap ke arah ranjang, melihat Alan yang masih tertidur nyenyak di atas ranjangnya. Pria yang tak punya hati itu bahkan bisa-bisa masih terlelap dalam tidurnya setelah mengerjai Aisa.“Lebih baik sekarang aku mandi sebelum dia bangun yang meminta yang aneh-aneh padaku.”Aisa lalu bergegas melangkah menuju kamar mandi untuk melakukan ritual mandinya.Setelah melakukan ritual mandinya dan berpakaian dengan pakaian yang sudah tersedia di dalam lemari pakaiannya yang berada di samping lemari Alan, Aisa akan memulai pekerjaannya dengan membersihkan kamar itu. Tapi sepertinya tidak ada yang bisa dia lakukan, karena
Sepulang dari bandara mengantarnya papanya, Alan langsung diajak duduk di ruang tengah oleh mamanya. Ada Aisa juga di ruangan itu. Entah apa yang ingin mamanya bicarakan dengannya.“Alan, kamu kan baru saja menikah. Apa tidak sebaiknya kamu ambil cuti dulu? ajak Aisa jalan-jalan,” pinta Merlin sambil menggenggam tangan Aisa.“Alan tidak bisa meninggalkan pekerjaan Alan, Ma. Alan bisa mengajak Aisa jalan-jalan jika Alan libur nanti. Iya kan, Sayang?” tanya Alan sambil menatap Aisa dengan senyuman palsunya.“Iya, Ma. Kami bisa pergi jalan-jalan nanti. Sekarang....” Aisa menghentikan ucapannya karena ia bingung harus memanggil apa saat berbicara dengan suaminya di depan mama mertuanya.“Sekarang Mas Alan sedang banyak pekerjaan. Aisa juga tidak mungkin meminta Mas Alan untuk mengabaikan pekerjaannya,” lanjut Aisa lagi.Alan begitu terkejut saat Aisa memanggilnya dengan sebutan ‘mas’, dia merasa ada yang aneh dengan dirinya saat Aisa memanggilnya seperti itu, tapi Alan mencoba untuk menga
Aisa membulatkan kedua matanya. Baru pertama kali ini dia pergi jalan-jalan dengan dikawal oleh 4 bodyguard yang berjalan di depan dan di belakang mereka. Sedangkan Rendy berjalan tepat di samping Alan.‘Gila. Jalan-jalan ke mall saja sudah bikin heboh pengunjung mall yang lain. Sudah kayak anak presiden saja,’ gumam Aisa dalam hati.Rendy adalah asisten sekaligus teman yang siaga. Dia tidak akan membiarkan wanita manapun mendekati Alan. Bahkan, dia rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan majikannya.“Aku akan mengizinkan kamu untuk membeli apapun yang kamu mau,” ucap Alan dengan nada datar.Aisa menggelengkan kepalanya. “Tidak. Terima kasih,” tolaknya dengan nada halus, karena dia tidak ingin menyinggung pria yang mengajaknya bicara.“Ini perintah, bukan tawaran!”Aisa hanya diam.Alan lalu meminta Rendy untuk mengosongkan butik yang ingin dia masuki bersama dengan Aisa.Aisa seketika membulatkan kedua matanya, bahkan dengan mulut yang menganga, saat melihat para pengunjung bu
Alan melihat Rendy dan Aisa yang saling menatap satu sama lain, membuatnya semakin curiga. Apalagi Aisa dan Rendy sama-sama diam, tak ada yang mau menjawab pertanyaannya.“Ada apa ini? kenapa kalian diam, hah!” sarkas Alan yang tak bisa terima diabaikan oleh mereka berdua.Rendy sedikit menundukkan wajahnya. “Ma—maf, Tuan. Nona Aisa mengatakan jika beliau merasa lapar. Beliau meminta untuk makan siang terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah.”Lapar?Alan seakan tak percaya dengan apa yang Rendy katakan. “Kamu yakin hanya karena masalah itu?”“Apa maksud, Tuan? Memangnya ada masalah apa lagi yang ….”“Tidak! Kita pulang sekarang juga!” potong Alan dengan nada tegas, lalu membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kakinya.Rendy menyuruh kedua bodyguard yang berada di belakangnya mengikuti Alan.Ada apa dengannya? Apa dia berpikir aku dan Aisa ada apa-apa?Kedua bodyguard itu menganggukkan kepalanya dan melangkah mengikuti Alan dan kedua bodyguard yang sudah lebih dulu mengawal Alan.“Nona A
Saat ini Rendy tengah berada di ruang kerja Alan. Alan memang sengaja menyuruh Rendy untuk menunggunya di ruang kerjanya.“Alan pasti salah paham padaku. Apa yang harus aku katakan padanya nanti? Mana mungkin aku mengatakan jika Aisa meminta ku untuk menjadi temannya.”Rendy menghela nafas panjang. Sepertinya sikap lunaknya kepada Aisa akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.Terdengar suara pintu terbuka.Alan masuk ke dalam ruang kerjanya dengan penampilan yang lebih santai. Dia lalu melangkah menuju sofa dan mendudukkan tubuhnya di sofa itu.“Kemari dan duduklah,” ucap Alan sambil menatap Rendy yang tengah berdiri di depan meja kerjanya.Entah mengapa langkah Rendy kali ini terasa begitu berat. Dia seperti akan mendapatkan hukuman mati akan kesalahan yang sama sekali tidak dilakukannya.Alan menatap ke arah Rendy yang masih terus berdiri di depannya dan hanya terhalang meja yang berbentuk persegi panjang.“Apa kamu sudah berani membantah perintahku?”“Tidak, Tuan. Maafkan saya,
Aisa merasakan nyeri dibagian perutnya, dia juga merasa tubuhnya menjadi panas dingin.“Ah!” pekik Aisa sambil meremas bagian perutnya yang terasa sakit.Alan yang mendengar suara teriakan Aisa, seketika langsung membuka kedua matanya. Dia menatap ke arah sofa, tempat dimana Aisa tengah meringkuk menahan rasa sakit di perutnya.‘Ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat begitu kesakitan?’ tanyanya dalam hati.Alan beranjak dari duduknya, melangkah menghampiri Aisa. “Hai, kenapa kamu berteriak tadi? Apa kamu sengaja ingin mengganggu tidurku!”Aisa hanya diam, dia tidak peduli dengan kata-kata yang keluar dari mulut Alan.“Ah! Sakit!” pekiknya lagi.Alan mengernyitkan dahinya, dia lalu duduk berjongkok di depan Aisa. “Kamu kenapa?” tanyanya panik.“Perutku sakit!”“Memangnya semalam kamu makan apa, hah!” seru Alan dengan nada keras.Alan terkejut saat melihat air mata mengalir dari kedua sudut mata Aisa. ‘Kenapa dia malah menangis? Apa aku terlalu kasar padanya?’ tanyanya dalam hati.Aisa
Alan memberitahu mamanya soal pembatalannya untuk pergi berbulan madu. Dia menghela nafas lega, saat mamanya percaya dengan alasan yang diberikannya, tentu Alan mengatakan jika Aisa sedang tidak enak badan dan tidak memungkinkan untuk pergi berbulan madu.Aisa mendengar suara pintu kamarnya yang diketuk dari luar. “Masuk,” sahutnya.Merlin membuka pintu kamar Aisa dengan perlahan.“Mama!” seru Aisa terkejut.Merlin melangkah masuk ke dalam ruangan yang sangat luas itu. “Bagaimana keadaan kamu, Sayang? Kata Alan kamu sedang sakit, makanya rencana bulan madu kalian ditunda.”Merlin lalu mendudukkan tubuhnya di samping Aisa. “Apa perlu Mama panggilan dokter?”Aisa menggelengkan kepalanya. “Aisa baik-baik saja kok, Ma. Hanya sedikit tidak enak badan saja. Ma, apa Aisa boleh bertanya sesuatu?”Merlin menganggukkan kepalanya. “Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanyanya sambil mengusap lengan Aisa.“Ma, soal pernikahan Aisa dan Mas Alan. Aisa...”Aisa menggantungkan ucapannya, hingga membuat Me
Satu bulan telah berlalu. Alan baru bisa menyempatkan diri untuk menuruti kemauan mamanya yang memintanya untuk pergi ke psikolog. Selain itu, Alan baru mendapatkan kabar yang sangat mencengangkan dari Rendy—asisten sekaligus sahabatnya itu.“Ren, kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu katakan?”Rendy menganggukkan kepalanya. “Saya yakin, Tuan. Saya mendengarnya secara langsung saat Nona Aisa dan Nyonya Merlin sedang mengobrol di ruang tengah.”“Jadi ini alasan kenapa Mama menyuruhku untuk menikah dengan Aisa. Aisa menikah denganku karena dia sudah menandatangani perjanjian dengan Mama. Setelah Aisa berhasil menghilangkan trauma masa laluku, maka pernikahanku dengan Aisa akan berakhir?”Rendy menganggukkan kepalanya. “Iya, Tuan. Itu yang Nona Aisa bicarakan dengan Nyonya Merlin.”“Apa kamu tau dimana dokumen perjanjian itu?”“Kemungkinan besar ada di kamar Nyonya Merlin, Tuan.”Alan tidak menyangka, jika semua ini adalah rencana mamanya. Rencana menjebak Aisa dengan uang agar Aisa