Apa dia pria yang kasar atau berhati lembut?
Apa dia akan hidup dalam pernikahan yang seperti neraka, penuh tekanan dan siksaan? Seperti itulah yang tengah di pikirkan Aisa saat ini. Rode mengantar Aisa untuk mengambil barang-barangnya yang ada di kontrakannya. Sekarang Aisa harus mempersiapkan dirinya untuk memulai hidup barunya, mempersiapkan diri untuk menikah dengan pria yang sama sekali belum pernah ditemuinya. Aisa berharap pria yang akan dinikahi menolak pernikahan itu, dengan begitu dirinya tidak perlu menjalani pernikahan itu. ** Jantung Aisa berdetak dengan sangat kencang, dia juga terlihat sangat gugup. Saat ini dia akan bertemu dengan pria yang akan dinikahi. Keringat dingin kini membasahi kedua telapak tangannya. Aisa saat ini tengah duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Merlin dan Alan. Tubuh Aisa semakin gemetar saat dia mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Dia lalu menundukkan wajahnya, tidak berani menatap wajah pria yang akan menjadi suaminya. Merlin duduk di samping Aisa, lalu mendongakkan wajah gadis itu agar menatapnya. “Apa kamu begitu gugup, hingga membuat kedua tangan kamu begitu dingin dan penuh dengan keringat?” tanyanya sambil menggenggam tangan Aisa. Merlin bahkan bisa merasakan tangan Aisa yang gemetar. “Kamu tidak usah gugup. Anak saya bukan orang jahat, mungkin dia juga akan terkejut mendengar kabar pernikahannya,” lanjutnya. Aisa seketika langsung membulatkan kedua matanya. Dia menatap wajah wanita yang duduk di sampingnya. “Jadi Nyonya belum memberitahu tentang rencana pernikahan itu?” tanya Aisa dengan dahi mengernyit. Merlin menganggukkan. “Sebelum saya memberitahu Alan, saya harap kamu tidak memberitahunya tentang perjanjian, karena perjanjian itu hanya kita berdua yang tahu.” Aisa menganggukkan kepalanya. Permintaan Merlin bagaikan perintah untuknya. “Anak saya sedang keluar, sebentar lagi dia akan pulang. Sekarang lebih baik kamu membersihkan diri. Nanti saya akan memanggilmu jika Alan sudah tiba,” lanjutnya sambil menepuk bahu Aisa. Aisa menganggukkan kepalanya. Dia lalu pamit undur diri untuk membersihkan dirinya. Setelah mendapatkan anggukkan kepala dari Merlin, Aisa berjalan menuju kamar yang dulu pernah ditempati saat dia pertama kali ada di rumah itu. Kamar yang begitu luas dengan nuansa yang mewah, bahkan kamar itu sudah dilengkapi dengan gaun-gaun yang sangat indah. Setelah selesai membersihkan diri, Aisa lalu mengambil ponselnya untuk menghubungi adiknya. Dia ingin memberitahukan kepada keluarganya, jika dirinya sudah tiba dengan selamat di Jakarta. “Halo, Nik. Bagaimana keadaan Ayah sekarang?” tanya Aisa setelah panggilan itu mulai tersambung. “Ayah sudah sadar, Kak. Kenapa Kakak buru-buru kembali ke Jakarta? Ayah menanyakan tentang Kakak saat bangun tadi.” Aisa tak sanggup menahan laju air matanya setelah mendengar perkataan adiknya. Dia juga sangat merindukan ayahnya dan ingin mengobrol dengan ayahnya seperti dulu lagi. Tapi sekarang Aisa tak bisa berbuat sesuka hatinya, karena sekarang hidupnya sudah menjadi milik keluarga Admaja. “Kakak harus kembali bekerja, Nik. Kakak titip Ayah sama Ibu, ya? kamu juga harus belajar yang rajin, jangan kecewakan Ayah dan Ibu.” “Iya, Kak. Aku akan jaga Ayah dan Ibu. Kapan Kakak akan pulang lagi?” “Kakak belum tahu. Kakak juga belum lama masuk kerja, tidak enak kalau harus izin terus menerus,” ucap Aisa lalu mengakhiri panggilan itu. Aisa dan Niko cukup lama mengobrol, dia lalu mengakhiri panggilan itu, menyeka kedua sudut matanya yang basah. “Maafin aku, Bu. Maafin aku yang mungkin sudah membuat Ibu dan Ayah kecewa.” Aisa menghela nafas lega setelah mendengar kabar tentang ayahnya. Kini ayahnya sudah kembali pulih, walau ayahnya harus duduk di kursi roda untuk sementara waktu. Bahkan dengan sisa uang yang dia berikan, keluarganya bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Terdengar suara pintu diketuk. Aisa beranjak dari duduknya, melangkah menuju pintu lalu membukanya. “Ada apa, Bi?” tanyanya saat melihat asisten rumah tangga Merlin tengah berdiri di depan pintu kamarnya. “Nyonya Merlin meminta Nona Aisa untuk turun ke bawah,” sahut wanita paruh baya itu. “Baik, Bi.” Dengan perasaan gelisah, Aisa menapaki anak tangga satu persatu. Matanya terus tertuju ke arah sosok yang tengah berdiri di samping Merlin dengan memunggunginya. “Kamu terlihat sangat cantik, Sayang,” puji Merlin sambil berjalan mendekati Aisa. Aisa hanya mampu menundukkan wajahnya. Pria itu membalikkan tubuhnya menatap gadis yang kini berdiri di samping mamanya. “Sayang, ini gadis yang Mama ceritakan tadi, namanya Aisa. Mama ingin kamu dan Aisa menikah,” ucap Merlin sambil menatap Aisa yang masih menundukkan wajahnya. “Ma! aku gak mau menikah!” seru Alan lantang. “Sayang, sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Mama hanya ingin kamu bahagia. Aisa gadis yang baik, dia gadis yang tepat untuk kamu.” Merlin lalu berjalan mendekati putranya. “Apa dia tau apa kelemahan aku? Mama tau kan, bagaimana hidup aku dulu sempat hancur hanya gara-gara wanita jahat itu! bahkan sampai sekarang aku masih sangat trauma untuk berhubungan dengan wanita. Apalagi berdekatan dengan mereka!” seru Alan sambil menatap tajam ke arah Aisa yang masih menundukkan kepalanya. “Maka dari itu, Sayang. Mama ingin kamu menikah dengan Aisa. Dia akan membantumu untuk lepas dari trauma yang kamu alami.” “Aku tetap tidak mau, Ma!” tolak Alan lagi. Aisa menghela nafas panjang, entah sampai kapan dia akan mendengarkan perdebatan antara ibu dan anak. Mereka tidak tau betapa gugupnya dirinya saat ini. Tapi setelah mendengar perdebatan mereka, Aisa merasakan sedikit kelegaan, karena pria itu menolak untuk menikah dengannya. Aisa memberanikan diri untuk mendongakkan wajahnya. Dia ingin melihat wajah pria yang telah menolak menikah dengannya dan memberikannya sedikit kelegaan. Tapi, kedua mata Aisa langsung membulat dengan sempurna, saat melihat wajah pria itu. Kini mata mereka saling bertemu pandang.Aisa yakin dirinya saat ini tidak salah melihat. Pria dilihatnya memang pria sombong yang pernah dirinya temui.
“Kamu!” seru Aisa keras sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Alan.
“Kamu!” seru Aisa keras sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Alan. Kedua mata Aisa melotot tajam, terlihat jelas raut wajah kebencian saat menatap Alan. Merlin mengernyitkan dahi, dia bingung dengan situasi saat ini. Gadis yang ingin dikenalkan dengan anaknya ternyata sudah mengenal anaknya. Bagaimana mereka bisa saling mengenal? Kenapa aku gak tau kalau Alan dekat dengan seorang wanita? Alan berjalan mendekati Aisa. Dia juga sama terkejutnya seperti Aisa, karena bisa bertemu dengan gadis yang sangat dibencinya di rumahnya sendiri. Alan menatap wajah Aisa dengan sangat tajam, kedua tangannya mengepal erat. Dia teringat dengan kejadian saat Aisa menghinanya bahkan berani menggigit tangannya. “Mau apa kamu ke rumahku? Apa kamu ingin meminta kompensasi atas kejadian waktu itu?” tuduh Alan dengan nada mengejek. “Tutup mulut kamu!” seru Aisa dengan nada keras. Dia tak terima dengan tuduhan Alan terhadapnya. Merlin semakin mengernyitkan dahinya. Kenapa semua menjadi s
Sementara itu, Merlin sedang berbicara dengan suaminya lewat telepon. "Papa bisa pulang kan? Mama sudah menemukan gadis yang cocok menjadi istri Alan." "Apa gadis itu tau tentang kelainan yang Alan miliki?" "Mama sudah menceritakan semuanya kepada gadis itu, dan dia mau menerima dan membantu Alan untuk sembuh. Papa juga akan terkejut jika melihatnya langsung, karena dengan gadis itu, Alan tidak menjauh, tapi malah mendekatinya, bahkan bersentuhan dengannya langsung." Ferdi tercengang mendengar penjelasan istrinya. Dia semakin penasaran dengan gadis pilihan istrinya. "Baiklah, besok Papa akan pulang. Papa akan melihat, seperti apa gadis itu sampai mau membantu Alan untuk sembuh." “Mama tunggu, Pa. Alan pasti senang saat Papa pulang nanti.” Merlin lalu mengakhiri panggilan itu. *** Saat ini Merlin sedang disibukkan dengan rencana pernikahan Alan dan Aisa. Pernikahan mereka akan digelar tiga hari lagi. Dia terlihat begitu bahagia, akhirnya anak semata wayangnya akan segera menik
Aisa berjalan menuju kamar Alan. Sebenarnya dia sangat malas bertemu dengan pria dingin dan sombong itu, tapi dirinya tak bisa menolak permintaan Merlin. Aisa mengetuk pintu kamar Alan. Setelah mendengar sahutan dari dalam, dia lalu membuka pintu secara perlahan. Aisa masuk ke dalam kamar Alan. Kamar Alan tidak jauh berbeda dengan kamar yang dirinya tempati saat ini, sama-sama besar, bersih, dan rapi. Begitu banyak bingkai foto yang tergantung rapi di dinding kamar itu. Aisa menatap satu persatu bingkai foto yang menggantung di dinding kamar Alan. Alan terlihat sangat tampan di foto-foto itu. Rendy terus mengamati Aisa yang tengah mengexplore kamar Alan. Tapi Aisa tidak menyadari jika ada sepasang mata yang terus menatapnya. "Em ... saya kemari karena disuruh Nyonya Merlin untuk ...." Aisa menghentikan ucapannya, dia bukannya takut menatap wajah Rendy, tapi dia takut dengan tatapan sorot mata tajam yang kini sedang menatapnya, seperti hewan buas yang siap untuk menerkam mangsanya.
Aisa saat ini merasa sangat gugup, karena saat ini di depannya berdiri seorang pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Alan. Ini pertama kalinya Aisa bertemu langsung dengan papanya Alan yang terkenal sangat tegas dan berwibawa. Sorot mata tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya, kini tengah menatap Aisa, membuat gadis itu bahkan tidak berani mendongakkan wajahnya untuk sekedar menatap ke depan. Belum lagi suara detak jantung Aira yang terdengar begitu kencang, karena jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Aisa berharap papanya Alan tak akan mendengar suara detak jantungnya saat ini. “Apa alasan kamu mau menikah dengan Alan? Bukankah kalian tidak saling mengenal satu sama lain?” tanya Ferdi sambil menatap ke arah Aisa. Sesampainya di rumah, Ferdi langsung menemui Aisa, dirinya benar-benar penasaran dengan sosok yang dibicarakan oleh istrinya lewat telepon. Merlin membulatkan kedua matanya saat suaminya mulai menginterogasi Aisa. Dirinya takut Aisa akan mengata
Aisa perlahan menoleh kebelakang dengan jantung yang berdebar kencang. Dia bukannya takut kepada Alan, hanya saja sejak tadi dirinya terus mengumpat tentang calon suminya itu."Randy!" seru Aisa kesal saat ternyata Rendy membohonginya."Maaf, Nona. Maafkan saya." Randy lalu bergegas pergi dari ruangan itu sebelum Aisa semakin marah padanya."Sial! majikan dan bawahannya sama-sama bikin kesel!" umpat Saira sambil mengepalkan kedua telapak tangannya.**Sebuah pernikahan tanpa cinta adalah mimpi buruk untuk setiap orang, termasuk Aisa. Karena hari ini dia akan menikah dengan Alan, pria yang baru saja dikenalnya, bahkan tidak dia cintai.Aisa pernah mempunyai impian, dia ingin menikah dengan pria yang sangat dicintainya. Sepertinya semuanya itu kini hanya tinggal angan, karena kini dia sudah memakai gaun pengantin yang begitu indah dan mewah.Aisa terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin pilihan Alan. Bahkan wanita yang bertugas merias Aisa terkagum-kagum melihat kecantikan Aisa. Pad
"Apa ini! Pelayan kamu!" seru Aisa tidak percaya setelah membaca isi dari selembar surat yang diberikan Alan padanya."Kenapa kamu terkejut seperti itu? Apa kamu berharap akan menjadi istri aku yang sesungguhnya? Jangan bermimpi!" seru Alan dengan tersenyum sinis.Aisa sebenarnya senang dengan keputusan Alan, yang menganggapnya sebagai pelayannya. Tapi yang membuat Aisa ragu adalah isi surat itu tertulis jika dirinya hanya akan menjadi pelayannya selama satu tahun, setelah semua berakhir maka pernikahannya juga akan berakhir.Sedangkan surat perjanjian yang Aisa tanda tangani waktu itu bersama dengan mama mertuanya adalah sebelum dia benar-benar bisa menghilangkan trauma yang Alan alami, maka dia tidak bisa mengakhiri pernikahannya, kalau ia sampai melanggar maka ia akan membayar ganti rugi sebesar dua ratus lima puluh juta rupiah."Kenapa? Apa kamu ragu? Atau kamu benar-benar berpikir ingin menjadi istriku selamanya?" tanya Alan mengernyitkan dahi.‘Apa ini! Lagi! surat perjanjian la
Aisa terbangun dari tidurnya, membuka kedua matanya secara perlahan. Kedua matanya mulai mengerjap berkali-kali sambil mengingat kejadian tadi malam. Sepertinya Aisa menyesali apa yang sudah dirinya lakukan tadi malam.Aisa menepuk keningnya sendiri. "Bodoh! Sekarang aku terjebak dengan dua perjanjian yang sudah aku tanda tangani. Apa yang harus aku lakukan sekarang?"Aisa lalu menatap ke arah ranjang, melihat Alan yang masih tertidur nyenyak di atas ranjangnya. Pria yang tak punya hati itu bahkan bisa-bisa masih terlelap dalam tidurnya setelah mengerjai Aisa.“Lebih baik sekarang aku mandi sebelum dia bangun yang meminta yang aneh-aneh padaku.”Aisa lalu bergegas melangkah menuju kamar mandi untuk melakukan ritual mandinya.Setelah melakukan ritual mandinya dan berpakaian dengan pakaian yang sudah tersedia di dalam lemari pakaiannya yang berada di samping lemari Alan, Aisa akan memulai pekerjaannya dengan membersihkan kamar itu. Tapi sepertinya tidak ada yang bisa dia lakukan, karena
Sepulang dari bandara mengantarnya papanya, Alan langsung diajak duduk di ruang tengah oleh mamanya. Ada Aisa juga di ruangan itu. Entah apa yang ingin mamanya bicarakan dengannya.“Alan, kamu kan baru saja menikah. Apa tidak sebaiknya kamu ambil cuti dulu? ajak Aisa jalan-jalan,” pinta Merlin sambil menggenggam tangan Aisa.“Alan tidak bisa meninggalkan pekerjaan Alan, Ma. Alan bisa mengajak Aisa jalan-jalan jika Alan libur nanti. Iya kan, Sayang?” tanya Alan sambil menatap Aisa dengan senyuman palsunya.“Iya, Ma. Kami bisa pergi jalan-jalan nanti. Sekarang....” Aisa menghentikan ucapannya karena ia bingung harus memanggil apa saat berbicara dengan suaminya di depan mama mertuanya.“Sekarang Mas Alan sedang banyak pekerjaan. Aisa juga tidak mungkin meminta Mas Alan untuk mengabaikan pekerjaannya,” lanjut Aisa lagi.Alan begitu terkejut saat Aisa memanggilnya dengan sebutan ‘mas’, dia merasa ada yang aneh dengan dirinya saat Aisa memanggilnya seperti itu, tapi Alan mencoba untuk menga