Aisa membulatkan kedua matanya. Baru pertama kali ini dia pergi jalan-jalan dengan dikawal oleh 4 bodyguard yang berjalan di depan dan di belakang mereka. Sedangkan Rendy berjalan tepat di samping Alan.‘Gila. Jalan-jalan ke mall saja sudah bikin heboh pengunjung mall yang lain. Sudah kayak anak presiden saja,’ gumam Aisa dalam hati.Rendy adalah asisten sekaligus teman yang siaga. Dia tidak akan membiarkan wanita manapun mendekati Alan. Bahkan, dia rela mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan majikannya.“Aku akan mengizinkan kamu untuk membeli apapun yang kamu mau,” ucap Alan dengan nada datar.Aisa menggelengkan kepalanya. “Tidak. Terima kasih,” tolaknya dengan nada halus, karena dia tidak ingin menyinggung pria yang mengajaknya bicara.“Ini perintah, bukan tawaran!”Aisa hanya diam.Alan lalu meminta Rendy untuk mengosongkan butik yang ingin dia masuki bersama dengan Aisa.Aisa seketika membulatkan kedua matanya, bahkan dengan mulut yang menganga, saat melihat para pengunjung bu
Alan melihat Rendy dan Aisa yang saling menatap satu sama lain, membuatnya semakin curiga. Apalagi Aisa dan Rendy sama-sama diam, tak ada yang mau menjawab pertanyaannya.“Ada apa ini? kenapa kalian diam, hah!” sarkas Alan yang tak bisa terima diabaikan oleh mereka berdua.Rendy sedikit menundukkan wajahnya. “Ma—maf, Tuan. Nona Aisa mengatakan jika beliau merasa lapar. Beliau meminta untuk makan siang terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah.”Lapar?Alan seakan tak percaya dengan apa yang Rendy katakan. “Kamu yakin hanya karena masalah itu?”“Apa maksud, Tuan? Memangnya ada masalah apa lagi yang ….”“Tidak! Kita pulang sekarang juga!” potong Alan dengan nada tegas, lalu membalikkan tubuhnya dan melangkahkan kakinya.Rendy menyuruh kedua bodyguard yang berada di belakangnya mengikuti Alan.Ada apa dengannya? Apa dia berpikir aku dan Aisa ada apa-apa?Kedua bodyguard itu menganggukkan kepalanya dan melangkah mengikuti Alan dan kedua bodyguard yang sudah lebih dulu mengawal Alan.“Nona A
Saat ini Rendy tengah berada di ruang kerja Alan. Alan memang sengaja menyuruh Rendy untuk menunggunya di ruang kerjanya.“Alan pasti salah paham padaku. Apa yang harus aku katakan padanya nanti? Mana mungkin aku mengatakan jika Aisa meminta ku untuk menjadi temannya.”Rendy menghela nafas panjang. Sepertinya sikap lunaknya kepada Aisa akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.Terdengar suara pintu terbuka.Alan masuk ke dalam ruang kerjanya dengan penampilan yang lebih santai. Dia lalu melangkah menuju sofa dan mendudukkan tubuhnya di sofa itu.“Kemari dan duduklah,” ucap Alan sambil menatap Rendy yang tengah berdiri di depan meja kerjanya.Entah mengapa langkah Rendy kali ini terasa begitu berat. Dia seperti akan mendapatkan hukuman mati akan kesalahan yang sama sekali tidak dilakukannya.Alan menatap ke arah Rendy yang masih terus berdiri di depannya dan hanya terhalang meja yang berbentuk persegi panjang.“Apa kamu sudah berani membantah perintahku?”“Tidak, Tuan. Maafkan saya,
Aisa merasakan nyeri dibagian perutnya, dia juga merasa tubuhnya menjadi panas dingin.“Ah!” pekik Aisa sambil meremas bagian perutnya yang terasa sakit.Alan yang mendengar suara teriakan Aisa, seketika langsung membuka kedua matanya. Dia menatap ke arah sofa, tempat dimana Aisa tengah meringkuk menahan rasa sakit di perutnya.‘Ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat begitu kesakitan?’ tanyanya dalam hati.Alan beranjak dari duduknya, melangkah menghampiri Aisa. “Hai, kenapa kamu berteriak tadi? Apa kamu sengaja ingin mengganggu tidurku!”Aisa hanya diam, dia tidak peduli dengan kata-kata yang keluar dari mulut Alan.“Ah! Sakit!” pekiknya lagi.Alan mengernyitkan dahinya, dia lalu duduk berjongkok di depan Aisa. “Kamu kenapa?” tanyanya panik.“Perutku sakit!”“Memangnya semalam kamu makan apa, hah!” seru Alan dengan nada keras.Alan terkejut saat melihat air mata mengalir dari kedua sudut mata Aisa. ‘Kenapa dia malah menangis? Apa aku terlalu kasar padanya?’ tanyanya dalam hati.Aisa
Alan memberitahu mamanya soal pembatalannya untuk pergi berbulan madu. Dia menghela nafas lega, saat mamanya percaya dengan alasan yang diberikannya, tentu Alan mengatakan jika Aisa sedang tidak enak badan dan tidak memungkinkan untuk pergi berbulan madu.Aisa mendengar suara pintu kamarnya yang diketuk dari luar. “Masuk,” sahutnya.Merlin membuka pintu kamar Aisa dengan perlahan.“Mama!” seru Aisa terkejut.Merlin melangkah masuk ke dalam ruangan yang sangat luas itu. “Bagaimana keadaan kamu, Sayang? Kata Alan kamu sedang sakit, makanya rencana bulan madu kalian ditunda.”Merlin lalu mendudukkan tubuhnya di samping Aisa. “Apa perlu Mama panggilan dokter?”Aisa menggelengkan kepalanya. “Aisa baik-baik saja kok, Ma. Hanya sedikit tidak enak badan saja. Ma, apa Aisa boleh bertanya sesuatu?”Merlin menganggukkan kepalanya. “Apa yang ingin kamu tanyakan?” tanyanya sambil mengusap lengan Aisa.“Ma, soal pernikahan Aisa dan Mas Alan. Aisa...”Aisa menggantungkan ucapannya, hingga membuat Me
Satu bulan telah berlalu. Alan baru bisa menyempatkan diri untuk menuruti kemauan mamanya yang memintanya untuk pergi ke psikolog. Selain itu, Alan baru mendapatkan kabar yang sangat mencengangkan dari Rendy—asisten sekaligus sahabatnya itu.“Ren, kamu yakin dengan apa yang baru saja kamu katakan?”Rendy menganggukkan kepalanya. “Saya yakin, Tuan. Saya mendengarnya secara langsung saat Nona Aisa dan Nyonya Merlin sedang mengobrol di ruang tengah.”“Jadi ini alasan kenapa Mama menyuruhku untuk menikah dengan Aisa. Aisa menikah denganku karena dia sudah menandatangani perjanjian dengan Mama. Setelah Aisa berhasil menghilangkan trauma masa laluku, maka pernikahanku dengan Aisa akan berakhir?”Rendy menganggukkan kepalanya. “Iya, Tuan. Itu yang Nona Aisa bicarakan dengan Nyonya Merlin.”“Apa kamu tau dimana dokumen perjanjian itu?”“Kemungkinan besar ada di kamar Nyonya Merlin, Tuan.”Alan tidak menyangka, jika semua ini adalah rencana mamanya. Rencana menjebak Aisa dengan uang agar Aisa
Alan mengambil kembali surat perjanjian itu dari tangan Aisa, lalu merobeknya tepat di depan kedua matanya Aisa.Kedua mata Aisa membulat dengan sempurna. “Apa yang Tuan lakukan? Kenapa Tuan merobek surat perjanjian itu?” tanyanya terkejut.“Seperti yang tadi aku katakan. Aku sudah tidak membutuhkan surat perjanjian itu lagi.”Alan lalu mencengkram dagu Aisa. “Mulai sekarang, kamu bukan lagi pelayanku, tapi ... mulai malam ini dan seterusnya, kamu adalah istri Alan Ferdinan Admaja,” ucapnya penuh penekanan.Aisa membulatkan kedua matanya. “A—apa maksud kamu? i—istri?”“Ya, mulai sekarang, aku akan menganggap kamu sebagai istriku sepenuhnya. Tugas kamu hanyalah menjalankan kewajiban kamu sebagai seorang istri, bukan pelayan. Mulai malam ini, kamu akan tidur di ranjang bersama denganku.”Aisa menelan ludah, tubuhnya mulai menegang, saat jemari tangan Alan mulai membelai pipinya dengan lembut.“A—apa yang kamu lakukan?”Alan tersenyum. “Kenapa? kenapa kamu setakut itu? bukankah ini bukan
Aisa memejamkan kedua matanya saat Alan mulai menyatukan alat ucapnya. Cairan bening bahkan masih terus mengalir dari kedua sudut matanya.Aisa hanya bisa pasrah, jika malam ini adalah malam dimana dirinya harus menyerahkan semuanya kepada Alan, maka dia akan menerimanya. Bagaimanapun Alan berhak atas tubuhnya.Aisa menghirup udara sebanyak-banyaknya saat Alan melepas pagutannya, tapi kedua matanya langsung terbuka saat dia merasakan sesuatu menyentuh kulit lehernya. Ternyata kecupan Alan beralih ke leher jenjang Aisa.Sepertinya Alan akan memanfaatkan kesempatan ini untuk membuktikan kalau dirinya memang bisa melakukan apapun kepada Aisa tanpa takut akan gejala-gejala yang akan dialaminya saat kulit tubuhnya bersentuhan dengan kulit wanita lainnya.Aisa langsung mendorong tubuh Alan, membuat Alan yang tak siap langsung bergerak mundur. “Apa kamu benar-benar akan melakukannya?” tanyanya dengan suara serak karena menahan tangisannya.“Kenapa? apa kamu pikir aku hanya main-main? Kamu ga