Share

Bab 4. Terpaksa Berbohong

Setelah mendapatkan uang dari Merlin, Aisa segera pulang ke kampung halamannya. Dia ingin segera memberikan uang itu kepada keluarganya.

Aisa tak bisa menundanya lagi, karena ibunya sangat membutuhkan uang itu secepatnya, kalau tidak nyawa ayahnya yang akan menjadi taruhannya.

Aisa diperbolehkan pulang ke kampung halamannya dengan dikawal oleh Rode dan anak buahnya. Merlin hanya tidak ingin sampai Aisa ingkar janji dan kabur bersama dengan uang yang diberikannya kepada Aisa.

Aisa tak punya pilihan lain selain menyetujui syarat yang diberikan oleh calon mertuanya, karena baginya yang terpenting dirinya segera sampai di rumah sakit tempat ayahnya dirawat saat ini.

Aisa kini tengah memikirkan jawaban apa yang harus dia katakan kepada keluarganya jika mereka menanyakan siapa orang-orang yang bersamanya.

Apa dia harus berbohong kepada ibu dan adiknya?

Aisa menghela nafas panjang sambil menatap keluar jendela mobil. Dia tidak menyadari jika ada sepasang mata yang mengamatinya lewat kaca spion depan.

‘Beruntungnya gadis ini. Dia memang cantik. Tapi, apa Tuan Muda mau menikah dengannya? Apa lagi dengan trauma yang Tuan Muda alami sampai sekarang?’ gumam Rode dalam hati.

Setelah menempuh perjalanan panjang mereka sampai di rumah sakit tempat ayah Aisa di rawat. Dia bergegas menuju ruang inap ayahnya. Dia dikawal oleh Rode dan satu anak buahnya.

Awalnya Aisa ingin menemui keluarganya sendirian, tapi Rode bersikukuh jika tugasnya adalah mengawalnya dan tidak akan meninggalkannya apa pun yang terjadi.

Aisa melihat ibu dan adiknya tengah duduk di kursi tunggu yang berada di luar ruangan ayahnya.

“Ibu!” teriak Aisa sambil berlari ke arah ibunya.

Ibu Aisa langsung menoleh ke arah sumber suara, suara yang sangat dirinya kenali, yaitu suara putrinya yang saat ini sedang merantau ke Jakarta.

“Aisa!” seru Mayang terkejut akan kedatangan anak gadisnya.

Mayang langsung beranjak dari duduknya, memeluk tubuh putrinya yang kini sudah berdiri di depannya.

“Aku pulang, Bu.”

Mayang memeluk erat tubuh putrinya. “Maafin Ibu, Sa. Maaf, karena Ibu sudah membuatmu cemas.”

Aisa lalu melepaskan pelukannya, lalu menggeleng. “Aku justru akan marah kalau Ibu menyembunyikan masalah ini.”

Adik Aisa menatap kedua pria bertubuh kekar yang tengah berdiri di belakang kakaknya.

Siapa pria-pria ini?

“Ibu, aku sudah membawa uangnya,” ucap Aisa lalu mengambil tas yang berisi uang dari tangan Rode.

“Dalam tas ini ada uang sejumlah enam puluh juta. Ibu bisa menggunakan uang ini untuk membayar biaya operasi Ayah, sisanya bisa Ibu gunakan untuk biaya hidup sehari-hari,” lanjutnya sambil menyerahkan tas itu kepada ibunya.

“Dari mana kamu mendapat uang sebanyak ini, Sa?” tanya Mayang penasaran, karena saat dirinya menghubungi Aisa, putrinya itu tidak bilang kalau mempunyai uang sebanyak itu.

“Itu aku pinjam dari majikan aku, Bu. Ibu tenang saja, sekarang yang terpenting adalah kesembuhan Ayah. Ayah harus segera dioperasi,” jawab Aisa sambil menampakkan senyuman di wajahnya. Dia tidak ingin menunjukkan kesedihannya di depan keluarganya.

Mayang mengangguk, percaya dengan apa yang putrinya katakan, karena bagaimanapun dirinya membutuhkan uang itu untuk biaya operasi suaminya.

Mayang lalu menatap dua pria yang berdiri di belakang anak gadisnya.

“Sa, siapa pria yang berdiri di belakang kamu?” tanyanya kemudian.

Aisa bingung harus menjawab apa. Dia menatap Rode dan juga pria yang berada di sebelahnya.

Rode melihat Aisa yang begitu gelisah, akhirnya pria itu membuka suara.

“Kenalkan, saya adalah pengawal Nona Aisa,” ucap Rode sambil membungkukkan tubuhnya.

Adik serta ibu Aisa mengernyitkan dahi. Mereka masih belum bisa memahami ucapan Rode.

“Sa, apa maksudnya ini?” tanya Mayang dengan wajah kebingungan.

“Bu, nanti aku ceritakan, sekarang yang terpenting adalah Ayah. Lebih baik sekarang kita urus administrasi untuk operasi Ayah,” ucap Aisa mencoba mengalihkan pembicaraan yang begitu sulit untuk dijelaskan kepada ibunya.

Mayang menganggukkan kepalanya. Dia bersama dengan Aisa berjalan menuju ruang administrasi. Sedangkan Niko, adik Aisa terus menatap Rode dengan tatapan tajam.

“Apa hubungan anda dengan kakak saya?” tanya Niko memberanikan diri.

“Tadi saya sudah menjelaskannya, saya pengawal Nona Aisa.”

“Apa sebenarnya pekerjaan kakak saya, hingga anda memanggil kakak saya dengan sebutan nona?” tanya Niko begitu penasaran.

Niko juga penasaran, bagaimana majikan kakaknya dengan begitu mudahnya memberikan uang sebanyak itu.

Sebelum Rode menjawab, Aisa dan ibunya sudah berada di belakangnya.

Niko pun kembali bungkam dengan begitu banyak pertanyaan di dalam pikirannya.

Datanglah dua orang perawat dan masuk ke dalam ruangan ayah Aisa di rawat. Kedua perawat itu berniat membawa ayah Aisa ke ruang operasi.

Aisa dan ibunya saling memeluk satu sama lain. Mereka berharap operasinya akan berjalan lancar.

Kini Aisa dan keluarganya tengah menunggu di depan ruang operasi. Terlihat kegelisahan di wajah Aisa dan juga keluarganya. Aisa mencoba untuk tetap tenang, dia mencoba menghibur ibunya agar tetap berpikir positif.

“Kita berdoa untuk Ayah, semoga operasinya berjalan lancar. Semoga Ayah bisa kembali seperti dulu lagi.” Aisa menggenggam tangan ibunya yang terasa begitu dingin. Keringat membasahi kedua telapak tangan ibunya itu.

“Aku juga yakin, Ayah akan baik-baik saja, Bu,” ucap Niko lalu memeluk ibunya.

Mayang lalu memeluk kedua anaknya.

Rode begitu terharu melihat keakraban Aisa dengan ibu dan adiknya.

Setelah menunggu selama hampir empat jam, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter keluar dari ruang operasi.

Aisa dan ibunya bergegas menghampiri dokter itu.

“Bagaimana keadaan suami saya, Dok?” tanya Mayang dengan raut wajah cemas.

“Alhamdulillah, operasinya berjalan lancar. Tapi, pasien belum sadarkan diri. Sekarang kami akan memindahkan pasien ke ruang rawat inap,” ucap Dokter itu.

Aisa dan ibunya mengucap syukur dan juga terima kasih kepada dokter itu. Aisa dan adiknya memeluk ibunya dengan sangat erat.

‘Terima kasih Ya Allah, Engkau telah melancarkan operasi ayah hamba dan menyelamatkannya. Serta ampunilah hamba yang sudah berbohong pada keluarga hamba,’ gumam Aisa dalam hati.

Hanya saja, Aisa mendadak teringat satu hal. 

Mulai hari ini, hidup Aisa bukanlah miliknya lagi. Aisa kini terikat dengan perjanjian yang telah ditandatanganinya. Tapi ada yang mengganjal di pikiran Aisa saat ini.

Alan, pria seperti apa yang akan dia nikahi itu?


 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status