"Ini kan ....?"
Mata Aisa membelalak kala membuka amplop coklat misterius yang tiba-tiba ada di kasur kostnya.
[Surat Perjanjian Pernikahan.]
Poin pertama: Pihak kedua harus mau menuruti semua perintah yang diberikan dan tidak diperbolehkan untuk menolak. Poin kedua: Pihak kedua tidak boleh melarikan diri sebelum perjanjian berakhir. Kalau sampai melanggar, maka akan dikenakan denda sebesar dua ratus lima puluh juta. Aisa hanya membaca kedua poin penting yang tertera di atas dan tidak melanjutkan poin lainnya. Dia menggelengkan kepalanya membaca satu persatu poin yang tertera. Dia lalu membaca keuntungan yang akan dia dapat jika menerima perjanjdian itu. Poin pertama: Untuk semua kebutuhan hidup keluarga pihak kedua akan dijamin oleh pihak pertama. Poin kedua: Pihak kedua bebas menikmati semua fasilitas yang ada di rumah pihak pertama. Poin ketiga: Pihak kedua dapat meminta satu permintaan jika misi yang dilakukan pihak kedua telah berhasil.Deg!
Aisa terkesiap. Ia jadi teringat kejadian beberapa hari lalu.
Kala itu, sudah seminggu Aisa di Ibu kota dan sudah banyak lamaran yang dikirim.
Entah ke perusahaan, toko, ataupun restoran. Tapi, tak ada satu pun yang mau mempekerjakan Aisa dengan alasan tingkat pendidikan dan juga pengalaman kerja. Ijazah SMA seakan tak ada harganya.
Hanya saja, Aisa tak menyerah--teringat keluarga di kampung. Ia terus berjalan di bawah terik matahari yang kian meninggi. Peluh bahkan bercucuran mengalir di seluruh tubuh mungilnya. Namun, tubuhnya tak kuat dan justru pingsan.
Begitu terbangun, dia menemukan wanita paruh baya dengan balutan mewah, tersenyum padanya.
"Terima kasih," ucap Aisa dengan senyum sopan.
Cukup lama keduanya berbicara.
Entah mengapa, Aisa pun nyaman, sampai wanita tua itu tiba-tiba berkata sesuatu. "Saya tau, kamu menginginkan pekerjaan. Tapi, saya menawarkan lebih dari pekerjaan. Saya membutuhkan bantuan kamu.""Maksud, Nyonya? Bantuan seperti apa?" tanya Aisa penasaran.
Wanita tua bernama Merlin itu menghela nafas panjang, "Kamu gadis yang cantik, dan saya lihat kamu juga gadis baik-baik. Saya ingin kamu membantu anak saya untuk mengembalikan kepercayaan dirinya terhadap wanita."
Merlin pun mulai menceritakan tentang anak semata wayangnya. Dia hanya mempunyai seorang putra, dia bernama Alan Ferdinan Admaja. Lelaki yang berparas tampan yang kini sudah berusia 28 tahun.
Sewaktu masih remaja, lebih tepatnya saat dia masih duduk di bangku 10 menengah atas, dia jatuh cinta dengan seorang gadis cantik. Alan sangat mencintai gadis itu. Mereka menjalin hubungan sampai mereka sama-sama masuk perguruan tinggi.
Alan rela melakukan apa pun untuk gadis itu. Dia bahkan rela mewujudkan semua keinginan gadis itu. Kedua orangtua Alan pun sudah merestui hubungan mereka. Saat Alan benar-benar jatuh cinta semakin dalam dengan gadis itu, tiba-tiba gadis itu menghilang tanpa jejak. Gadis itu pergi meninggalkan Alan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Hati Alan hancur, dia seakan mati, bertahun-tahun Alan mencari keberadaan gadis itu tapi tak pernah membuahkan hasil. Gadis itu bak di telan bumi. Alan seakan kehilangan semangat hidupnya.
Kedua orang tuanya sudah melakukan berbagai cara untuk mengembalikan semangat hidup Alan, tapi semua sia-sia. Alan seakan hidup dengan dunianya sendiri. Dengan berat hati kedua orang tua Alan harus membawanya ke spikiater.
Dengan bantuan spikiater semangat hidup Alan pelan-pelan kembali pulih, tapi ada yang berubah di diri Alan. Pemuda itu tidak mau berhubungan dengan wanita, dia seakan jijik saat dekat-dekat dengan sosok yang disebut wanita. Terkecuali Merlin, Alan hanya mau berdekatan dengan mamanya.
Aisa prihatin.
Tapi, tentu saja, ia tak mau! Meski miskin, dia tak ingin mempermainkan pernikahan.
Aisa menghela napas. Ia kembali memasukan dokumen itu ke dalam amplop coklat.
Hanya saja, ponselnya tiba-tiba berdering.
Buru-buru, Aisa menjawab panggilan itu.
[Ibu]
Deg!Ada apa ini?
"Halo, Bu?" sahut Aisa saat panggilan itu mulai tersambung. "Aisa.” "Ada apa Ibu menelfon Aisa pagi-pagi begini? Semua baik-baik saja kan, Bu?" Aisa merasa sangat gelisah, dia takut terjadi apa-apa dengan keluarganya di kampung. "Bagaimana kabar kamu? semua baik-baik saja kan?" Aisa terdiam sejenak, dia tidak tau harus menjawab apa. Seandainya dia bisa jujur, maka dia akan menjawab dirinya tidak sedang baik-baik saja. Tapi dia tidak mau membuat keluarganya mengkhawatirkannya. Aisa tidak ingin membuat hidup keluarganya menjadi semakin menderita. Cukup dirinya saja yang menderita. "Aku baik-baik saja, Bu." Itu lah jawaban yang terlontar dari mulut manis Aisa. "Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan di Jakarta?" "Emm ... itu ... aku ...." "Maafkan Ibu, Sa. Tapi Ibu harus memberi tahu ini sama kamu." Ibu Aisa menghentikan ucapannya sejenak. Aisa tau ini pasti kabar buruk. Tapi kabar apa itu? "Ayah kamu, Sa. Ayah kamu mengalami kecelakaan. Ayah kamu harus segera di operasi, tapi kamu tahu kan, Ayah dan Ibu tidak mempunyai uang lagi. Semua sudah Ibu berikan kepada kamu untuk pergi merantau dan juga untuk membiayai sekolah adik kamu." Aisa bisa mendegar suara tangisan ibunya dari seberang sana. Dia tau jika saat ini ibunya tengah menangis. Tangisan ibunya membuat dadanya terasa sesak. Sudah cukup kedua orang tuanya menderita, tapi kenapa cobaan terus datang bertubi-tubi dalam keluarganya. "Sa, kamu masih mendengarkan Ibu kan?" "Berapa, Bu? berapa biaya operasi Ayah?" Aisa mencoba tetap tenang, dia mencoba sekuat tenaga agar tidak menangis. "Lima puluh juta. Ibu tidak tahu harus mencari kemana uang sebanyak itu. Hanya kamu satu-satunya harapan Ibu. Kamu sudah mendapatkan pekerjaan kan di Jakarta?" Aisa bingung, dia tidak tau harus menjawab apa. Dari mana juga Aisa bisa mendapatkan uang sebanyak itu, sedangkan sampai sekarang dia belum juga mendapatkan pekerjaan. Meskipun dirinya sudah mendapatkan pekerjaan, dirinya belum tentu bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Bahkan gajinya tidak sampai sebanyak itu. "Sa, maafkan Ibu jika Ibu sudah menyusahkan kamu." "Kenapa Ibu berbicara seperti itu? Sudah kewajiban aku untuk membantu Ayah dan Ibu. Kapan Ayah akan di operasi?" "Dalam jangka waktu tiga hari mulai dari sekarang, dan uang itu harus dibayar lunas baru Ayah kamu bisa di operasi." Aisa masih bisa mendengar suara tangisan ibunya. "Ibu tenang saja, aku akan berusaha mendapatkan uang itu. Ibu cukup menunggu Ayah, biar Aisa yang memikirkan bagaimana mendapatkan uang itu dan membayar lunas biaya rumah sakit agar Ayah bisa segera di operasi." Setelah menenangkan ibunya, Aisa lalu mengakhiri panggilan itu. Dia lalu menjabak rambutnya dengan kasar. Terlihat jelas saat ini Aisa tengah frustasi. Aisa menatap amplop coklat di sampingnya. "Apa aku harus menerima penawaran nyonya itu?" Aisa bimbang, antara mempertahankan harga dirinya, tapi ayahnya sedang berada diambang hidup dan mati...."Maaf kan aku, Bu. Aku terpaksa harus melakukan semua ini. Aku tau Ibu pasti akan terluka jika Ibu tau aku menjual harga diri aku hanya demi uang. Tapi aku terpaksa, Bu. Maafin anakmu ini." Aisa bergegas membersihkan diri dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah mewah dan megah itu. Dia sudah tidak sanggup lagi jika harus terus memikirkan hal buruk yang akan terjadi pada ayahnya jika dalam jangka waktu tiga hari tidak segera mendapatkan uang itu. Aisa dengan terpaksa harus menerima penawaran yang ditawarkan oleh nyonya besar keluarga Admaja. Dengan sangat tergesa-gesa, Aisa berlari ke jalan untuk mencari angkutan umum untuk pergi menuju rumah keluarga Admaja. Aisa terus berlari tiada henti, bahkan dia tidak memperdulikan lalu lalang kendaraan. "Awas!" teriak seseorang dari dalam mobil, membuat sang supir langsung menginjak rem secara mendadak setelah mendengar teriakan dari pria yang duduk di sampingnya. Tubuh Aisa tersungkur di depan sebuah mobil mewah. "Ada apa? Kenapa berh
Aisa kini sedang berdiri di depan pintu gerbang rumah mewah yang tak lain adalah rumah Keluarga Admaja. Dia lalu memencet tombol bel yang berada di dekat pintu gerbang. Pria bertubuh kekar yang tak lain adalah penjaga keamanan di rumah itu membuka pintu gerbang. Dahi pria itu mengernyit saat melihat Aisa yang berdiri di depannya. "Maaf, anda mencari siapa ya?" tanya pria itu yang memang baru pertama kali melihat Aisa, karena waktu Aisa berada di rumah itu, pria itu sedang tidak bertugas. "Saya mencari Nyonya Merlin, Pak. Apa saya bisa bertemu dengan Nyonya Merlin?" tanya Aisa dengan perasaan was-was, takut pria bertubuh kekar yang berdiri di depannya melarangnya untuk masuk. "Apa anda sudah membuat janji dengan Nyonya Merlin sebelumnya?" tanya pria itu, karena dia tak bisa sembarangan membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah majikannya. Aisa menggelengkan kepalanya, karena dirinya memang belum membuat janji temu dengan Merlin. Dirinya tidak sempat menghubungi pemilik rumah itu
Setelah mendapatkan uang dari Merlin, Aisa segera pulang ke kampung halamannya. Dia ingin segera memberikan uang itu kepada keluarganya. Aisa tak bisa menundanya lagi, karena ibunya sangat membutuhkan uang itu secepatnya, kalau tidak nyawa ayahnya yang akan menjadi taruhannya. Aisa diperbolehkan pulang ke kampung halamannya dengan dikawal oleh Rode dan anak buahnya. Merlin hanya tidak ingin sampai Aisa ingkar janji dan kabur bersama dengan uang yang diberikannya kepada Aisa. Aisa tak punya pilihan lain selain menyetujui syarat yang diberikan oleh calon mertuanya, karena baginya yang terpenting dirinya segera sampai di rumah sakit tempat ayahnya dirawat saat ini. Aisa kini tengah memikirkan jawaban apa yang harus dia katakan kepada keluarganya jika mereka menanyakan siapa orang-orang yang bersamanya. Apa dia harus berbohong kepada ibu dan adiknya? Aisa menghela nafas panjang sambil menatap keluar jendela mobil. Dia tidak menyadari jika ada sepasang mata yang mengamatinya l
Apa dia pria yang kasar atau berhati lembut? Apa dia akan hidup dalam pernikahan yang seperti neraka, penuh tekanan dan siksaan? Seperti itulah yang tengah di pikirkan Aisa saat ini. Rode mengantar Aisa untuk mengambil barang-barangnya yang ada di kontrakannya. Sekarang Aisa harus mempersiapkan dirinya untuk memulai hidup barunya, mempersiapkan diri untuk menikah dengan pria yang sama sekali belum pernah ditemuinya. Aisa berharap pria yang akan dinikahi menolak pernikahan itu, dengan begitu dirinya tidak perlu menjalani pernikahan itu. ** Jantung Aisa berdetak dengan sangat kencang, dia juga terlihat sangat gugup. Saat ini dia akan bertemu dengan pria yang akan dinikahi. Keringat dingin kini membasahi kedua telapak tangannya. Aisa saat ini tengah duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Merlin dan Alan. Tubuh Aisa semakin gemetar saat dia mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Dia lalu menundukkan wajahnya, tidak berani menatap wajah pria yang akan m
“Kamu!” seru Aisa keras sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Alan. Kedua mata Aisa melotot tajam, terlihat jelas raut wajah kebencian saat menatap Alan. Merlin mengernyitkan dahi, dia bingung dengan situasi saat ini. Gadis yang ingin dikenalkan dengan anaknya ternyata sudah mengenal anaknya. Bagaimana mereka bisa saling mengenal? Kenapa aku gak tau kalau Alan dekat dengan seorang wanita? Alan berjalan mendekati Aisa. Dia juga sama terkejutnya seperti Aisa, karena bisa bertemu dengan gadis yang sangat dibencinya di rumahnya sendiri. Alan menatap wajah Aisa dengan sangat tajam, kedua tangannya mengepal erat. Dia teringat dengan kejadian saat Aisa menghinanya bahkan berani menggigit tangannya. “Mau apa kamu ke rumahku? Apa kamu ingin meminta kompensasi atas kejadian waktu itu?” tuduh Alan dengan nada mengejek. “Tutup mulut kamu!” seru Aisa dengan nada keras. Dia tak terima dengan tuduhan Alan terhadapnya. Merlin semakin mengernyitkan dahinya. Kenapa semua menjadi s
Sementara itu, Merlin sedang berbicara dengan suaminya lewat telepon. "Papa bisa pulang kan? Mama sudah menemukan gadis yang cocok menjadi istri Alan." "Apa gadis itu tau tentang kelainan yang Alan miliki?" "Mama sudah menceritakan semuanya kepada gadis itu, dan dia mau menerima dan membantu Alan untuk sembuh. Papa juga akan terkejut jika melihatnya langsung, karena dengan gadis itu, Alan tidak menjauh, tapi malah mendekatinya, bahkan bersentuhan dengannya langsung." Ferdi tercengang mendengar penjelasan istrinya. Dia semakin penasaran dengan gadis pilihan istrinya. "Baiklah, besok Papa akan pulang. Papa akan melihat, seperti apa gadis itu sampai mau membantu Alan untuk sembuh." “Mama tunggu, Pa. Alan pasti senang saat Papa pulang nanti.” Merlin lalu mengakhiri panggilan itu. *** Saat ini Merlin sedang disibukkan dengan rencana pernikahan Alan dan Aisa. Pernikahan mereka akan digelar tiga hari lagi. Dia terlihat begitu bahagia, akhirnya anak semata wayangnya akan segera menik
Aisa berjalan menuju kamar Alan. Sebenarnya dia sangat malas bertemu dengan pria dingin dan sombong itu, tapi dirinya tak bisa menolak permintaan Merlin. Aisa mengetuk pintu kamar Alan. Setelah mendengar sahutan dari dalam, dia lalu membuka pintu secara perlahan. Aisa masuk ke dalam kamar Alan. Kamar Alan tidak jauh berbeda dengan kamar yang dirinya tempati saat ini, sama-sama besar, bersih, dan rapi. Begitu banyak bingkai foto yang tergantung rapi di dinding kamar itu. Aisa menatap satu persatu bingkai foto yang menggantung di dinding kamar Alan. Alan terlihat sangat tampan di foto-foto itu. Rendy terus mengamati Aisa yang tengah mengexplore kamar Alan. Tapi Aisa tidak menyadari jika ada sepasang mata yang terus menatapnya. "Em ... saya kemari karena disuruh Nyonya Merlin untuk ...." Aisa menghentikan ucapannya, dia bukannya takut menatap wajah Rendy, tapi dia takut dengan tatapan sorot mata tajam yang kini sedang menatapnya, seperti hewan buas yang siap untuk menerkam mangsanya.
Aisa saat ini merasa sangat gugup, karena saat ini di depannya berdiri seorang pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Alan. Ini pertama kalinya Aisa bertemu langsung dengan papanya Alan yang terkenal sangat tegas dan berwibawa. Sorot mata tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya, kini tengah menatap Aisa, membuat gadis itu bahkan tidak berani mendongakkan wajahnya untuk sekedar menatap ke depan. Belum lagi suara detak jantung Aira yang terdengar begitu kencang, karena jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Aisa berharap papanya Alan tak akan mendengar suara detak jantungnya saat ini. “Apa alasan kamu mau menikah dengan Alan? Bukankah kalian tidak saling mengenal satu sama lain?” tanya Ferdi sambil menatap ke arah Aisa. Sesampainya di rumah, Ferdi langsung menemui Aisa, dirinya benar-benar penasaran dengan sosok yang dibicarakan oleh istrinya lewat telepon. Merlin membulatkan kedua matanya saat suaminya mulai menginterogasi Aisa. Dirinya takut Aisa akan mengata