"Ini kan ....?"
Mata Aisa membelalak kala membuka amplop coklat misterius yang tiba-tiba ada di kasur kostnya.
[Surat Perjanjian Pernikahan.]
Poin pertama: Pihak kedua harus mau menuruti semua perintah yang diberikan dan tidak diperbolehkan untuk menolak. Poin kedua: Pihak kedua tidak boleh melarikan diri sebelum perjanjian berakhir. Kalau sampai melanggar, maka akan dikenakan denda sebesar dua ratus lima puluh juta. Aisa hanya membaca kedua poin penting yang tertera di atas dan tidak melanjutkan poin lainnya. Dia menggelengkan kepalanya membaca satu persatu poin yang tertera. Dia lalu membaca keuntungan yang akan dia dapat jika menerima perjanjdian itu. Poin pertama: Untuk semua kebutuhan hidup keluarga pihak kedua akan dijamin oleh pihak pertama. Poin kedua: Pihak kedua bebas menikmati semua fasilitas yang ada di rumah pihak pertama. Poin ketiga: Pihak kedua dapat meminta satu permintaan jika misi yang dilakukan pihak kedua telah berhasil.Deg!
Aisa terkesiap. Ia jadi teringat kejadian beberapa hari lalu.
Kala itu, sudah seminggu Aisa di Ibu kota dan sudah banyak lamaran yang dikirim.
Entah ke perusahaan, toko, ataupun restoran. Tapi, tak ada satu pun yang mau mempekerjakan Aisa dengan alasan tingkat pendidikan dan juga pengalaman kerja. Ijazah SMA seakan tak ada harganya.
Hanya saja, Aisa tak menyerah--teringat keluarga di kampung. Ia terus berjalan di bawah terik matahari yang kian meninggi. Peluh bahkan bercucuran mengalir di seluruh tubuh mungilnya. Namun, tubuhnya tak kuat dan justru pingsan.
Begitu terbangun, dia menemukan wanita paruh baya dengan balutan mewah, tersenyum padanya.
"Terima kasih," ucap Aisa dengan senyum sopan.
Cukup lama keduanya berbicara.
Entah mengapa, Aisa pun nyaman, sampai wanita tua itu tiba-tiba berkata sesuatu. "Saya tau, kamu menginginkan pekerjaan. Tapi, saya menawarkan lebih dari pekerjaan. Saya membutuhkan bantuan kamu.""Maksud, Nyonya? Bantuan seperti apa?" tanya Aisa penasaran.
Wanita tua bernama Merlin itu menghela nafas panjang, "Kamu gadis yang cantik, dan saya lihat kamu juga gadis baik-baik. Saya ingin kamu membantu anak saya untuk mengembalikan kepercayaan dirinya terhadap wanita."
Merlin pun mulai menceritakan tentang anak semata wayangnya. Dia hanya mempunyai seorang putra, dia bernama Alan Ferdinan Admaja. Lelaki yang berparas tampan yang kini sudah berusia 28 tahun.
Sewaktu masih remaja, lebih tepatnya saat dia masih duduk di bangku 10 menengah atas, dia jatuh cinta dengan seorang gadis cantik. Alan sangat mencintai gadis itu. Mereka menjalin hubungan sampai mereka sama-sama masuk perguruan tinggi.
Alan rela melakukan apa pun untuk gadis itu. Dia bahkan rela mewujudkan semua keinginan gadis itu. Kedua orangtua Alan pun sudah merestui hubungan mereka. Saat Alan benar-benar jatuh cinta semakin dalam dengan gadis itu, tiba-tiba gadis itu menghilang tanpa jejak. Gadis itu pergi meninggalkan Alan tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Hati Alan hancur, dia seakan mati, bertahun-tahun Alan mencari keberadaan gadis itu tapi tak pernah membuahkan hasil. Gadis itu bak di telan bumi. Alan seakan kehilangan semangat hidupnya.
Kedua orang tuanya sudah melakukan berbagai cara untuk mengembalikan semangat hidup Alan, tapi semua sia-sia. Alan seakan hidup dengan dunianya sendiri. Dengan berat hati kedua orang tua Alan harus membawanya ke spikiater.
Dengan bantuan spikiater semangat hidup Alan pelan-pelan kembali pulih, tapi ada yang berubah di diri Alan. Pemuda itu tidak mau berhubungan dengan wanita, dia seakan jijik saat dekat-dekat dengan sosok yang disebut wanita. Terkecuali Merlin, Alan hanya mau berdekatan dengan mamanya.
Aisa prihatin.
Tapi, tentu saja, ia tak mau! Meski miskin, dia tak ingin mempermainkan pernikahan.
Aisa menghela napas. Ia kembali memasukan dokumen itu ke dalam amplop coklat.
Hanya saja, ponselnya tiba-tiba berdering.
Buru-buru, Aisa menjawab panggilan itu.
[Ibu]
Deg!Ada apa ini?
"Halo, Bu?" sahut Aisa saat panggilan itu mulai tersambung. "Aisa.” "Ada apa Ibu menelfon Aisa pagi-pagi begini? Semua baik-baik saja kan, Bu?" Aisa merasa sangat gelisah, dia takut terjadi apa-apa dengan keluarganya di kampung. "Bagaimana kabar kamu? semua baik-baik saja kan?" Aisa terdiam sejenak, dia tidak tau harus menjawab apa. Seandainya dia bisa jujur, maka dia akan menjawab dirinya tidak sedang baik-baik saja. Tapi dia tidak mau membuat keluarganya mengkhawatirkannya. Aisa tidak ingin membuat hidup keluarganya menjadi semakin menderita. Cukup dirinya saja yang menderita. "Aku baik-baik saja, Bu." Itu lah jawaban yang terlontar dari mulut manis Aisa. "Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan di Jakarta?" "Emm ... itu ... aku ...." "Maafkan Ibu, Sa. Tapi Ibu harus memberi tahu ini sama kamu." Ibu Aisa menghentikan ucapannya sejenak. Aisa tau ini pasti kabar buruk. Tapi kabar apa itu? "Ayah kamu, Sa. Ayah kamu mengalami kecelakaan. Ayah kamu harus segera di operasi, tapi kamu tahu kan, Ayah dan Ibu tidak mempunyai uang lagi. Semua sudah Ibu berikan kepada kamu untuk pergi merantau dan juga untuk membiayai sekolah adik kamu." Aisa bisa mendegar suara tangisan ibunya dari seberang sana. Dia tau jika saat ini ibunya tengah menangis. Tangisan ibunya membuat dadanya terasa sesak. Sudah cukup kedua orang tuanya menderita, tapi kenapa cobaan terus datang bertubi-tubi dalam keluarganya. "Sa, kamu masih mendengarkan Ibu kan?" "Berapa, Bu? berapa biaya operasi Ayah?" Aisa mencoba tetap tenang, dia mencoba sekuat tenaga agar tidak menangis. "Lima puluh juta. Ibu tidak tahu harus mencari kemana uang sebanyak itu. Hanya kamu satu-satunya harapan Ibu. Kamu sudah mendapatkan pekerjaan kan di Jakarta?" Aisa bingung, dia tidak tau harus menjawab apa. Dari mana juga Aisa bisa mendapatkan uang sebanyak itu, sedangkan sampai sekarang dia belum juga mendapatkan pekerjaan. Meskipun dirinya sudah mendapatkan pekerjaan, dirinya belum tentu bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Bahkan gajinya tidak sampai sebanyak itu. "Sa, maafkan Ibu jika Ibu sudah menyusahkan kamu." "Kenapa Ibu berbicara seperti itu? Sudah kewajiban aku untuk membantu Ayah dan Ibu. Kapan Ayah akan di operasi?" "Dalam jangka waktu tiga hari mulai dari sekarang, dan uang itu harus dibayar lunas baru Ayah kamu bisa di operasi." Aisa masih bisa mendengar suara tangisan ibunya. "Ibu tenang saja, aku akan berusaha mendapatkan uang itu. Ibu cukup menunggu Ayah, biar Aisa yang memikirkan bagaimana mendapatkan uang itu dan membayar lunas biaya rumah sakit agar Ayah bisa segera di operasi." Setelah menenangkan ibunya, Aisa lalu mengakhiri panggilan itu. Dia lalu menjabak rambutnya dengan kasar. Terlihat jelas saat ini Aisa tengah frustasi. Aisa menatap amplop coklat di sampingnya. "Apa aku harus menerima penawaran nyonya itu?" Aisa bimbang, antara mempertahankan harga dirinya, tapi ayahnya sedang berada diambang hidup dan mati...."Maaf kan aku, Bu. Aku terpaksa harus melakukan semua ini. Aku tau Ibu pasti akan terluka jika Ibu tau aku menjual harga diri aku hanya demi uang. Tapi aku terpaksa, Bu. Maafin anakmu ini." Aisa bergegas membersihkan diri dan bersiap-siap untuk pergi ke rumah mewah dan megah itu. Dia sudah tidak sanggup lagi jika harus terus memikirkan hal buruk yang akan terjadi pada ayahnya jika dalam jangka waktu tiga hari tidak segera mendapatkan uang itu. Aisa dengan terpaksa harus menerima penawaran yang ditawarkan oleh nyonya besar keluarga Admaja. Dengan sangat tergesa-gesa, Aisa berlari ke jalan untuk mencari angkutan umum untuk pergi menuju rumah keluarga Admaja. Aisa terus berlari tiada henti, bahkan dia tidak memperdulikan lalu lalang kendaraan. "Awas!" teriak seseorang dari dalam mobil, membuat sang supir langsung menginjak rem secara mendadak setelah mendengar teriakan dari pria yang duduk di sampingnya. Tubuh Aisa tersungkur di depan sebuah mobil mewah. "Ada apa? Kenapa berh
Aisa kini sedang berdiri di depan pintu gerbang rumah mewah yang tak lain adalah rumah Keluarga Admaja. Dia lalu memencet tombol bel yang berada di dekat pintu gerbang. Pria bertubuh kekar yang tak lain adalah penjaga keamanan di rumah itu membuka pintu gerbang. Dahi pria itu mengernyit saat melihat Aisa yang berdiri di depannya. "Maaf, anda mencari siapa ya?" tanya pria itu yang memang baru pertama kali melihat Aisa, karena waktu Aisa berada di rumah itu, pria itu sedang tidak bertugas. "Saya mencari Nyonya Merlin, Pak. Apa saya bisa bertemu dengan Nyonya Merlin?" tanya Aisa dengan perasaan was-was, takut pria bertubuh kekar yang berdiri di depannya melarangnya untuk masuk. "Apa anda sudah membuat janji dengan Nyonya Merlin sebelumnya?" tanya pria itu, karena dia tak bisa sembarangan membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah majikannya. Aisa menggelengkan kepalanya, karena dirinya memang belum membuat janji temu dengan Merlin. Dirinya tidak sempat menghubungi pemilik rumah itu
Setelah mendapatkan uang dari Merlin, Aisa segera pulang ke kampung halamannya. Dia ingin segera memberikan uang itu kepada keluarganya. Aisa tak bisa menundanya lagi, karena ibunya sangat membutuhkan uang itu secepatnya, kalau tidak nyawa ayahnya yang akan menjadi taruhannya. Aisa diperbolehkan pulang ke kampung halamannya dengan dikawal oleh Rode dan anak buahnya. Merlin hanya tidak ingin sampai Aisa ingkar janji dan kabur bersama dengan uang yang diberikannya kepada Aisa. Aisa tak punya pilihan lain selain menyetujui syarat yang diberikan oleh calon mertuanya, karena baginya yang terpenting dirinya segera sampai di rumah sakit tempat ayahnya dirawat saat ini. Aisa kini tengah memikirkan jawaban apa yang harus dia katakan kepada keluarganya jika mereka menanyakan siapa orang-orang yang bersamanya. Apa dia harus berbohong kepada ibu dan adiknya? Aisa menghela nafas panjang sambil menatap keluar jendela mobil. Dia tidak menyadari jika ada sepasang mata yang mengamatinya l
Apa dia pria yang kasar atau berhati lembut? Apa dia akan hidup dalam pernikahan yang seperti neraka, penuh tekanan dan siksaan? Seperti itulah yang tengah di pikirkan Aisa saat ini. Rode mengantar Aisa untuk mengambil barang-barangnya yang ada di kontrakannya. Sekarang Aisa harus mempersiapkan dirinya untuk memulai hidup barunya, mempersiapkan diri untuk menikah dengan pria yang sama sekali belum pernah ditemuinya. Aisa berharap pria yang akan dinikahi menolak pernikahan itu, dengan begitu dirinya tidak perlu menjalani pernikahan itu. ** Jantung Aisa berdetak dengan sangat kencang, dia juga terlihat sangat gugup. Saat ini dia akan bertemu dengan pria yang akan dinikahi. Keringat dingin kini membasahi kedua telapak tangannya. Aisa saat ini tengah duduk di ruang tamu menunggu kedatangan Merlin dan Alan. Tubuh Aisa semakin gemetar saat dia mendengar langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Dia lalu menundukkan wajahnya, tidak berani menatap wajah pria yang akan m
“Kamu!” seru Aisa keras sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah Alan. Kedua mata Aisa melotot tajam, terlihat jelas raut wajah kebencian saat menatap Alan. Merlin mengernyitkan dahi, dia bingung dengan situasi saat ini. Gadis yang ingin dikenalkan dengan anaknya ternyata sudah mengenal anaknya. Bagaimana mereka bisa saling mengenal? Kenapa aku gak tau kalau Alan dekat dengan seorang wanita? Alan berjalan mendekati Aisa. Dia juga sama terkejutnya seperti Aisa, karena bisa bertemu dengan gadis yang sangat dibencinya di rumahnya sendiri. Alan menatap wajah Aisa dengan sangat tajam, kedua tangannya mengepal erat. Dia teringat dengan kejadian saat Aisa menghinanya bahkan berani menggigit tangannya. “Mau apa kamu ke rumahku? Apa kamu ingin meminta kompensasi atas kejadian waktu itu?” tuduh Alan dengan nada mengejek. “Tutup mulut kamu!” seru Aisa dengan nada keras. Dia tak terima dengan tuduhan Alan terhadapnya. Merlin semakin mengernyitkan dahinya. Kenapa semua menjadi s
Sementara itu, Merlin sedang berbicara dengan suaminya lewat telepon. "Papa bisa pulang kan? Mama sudah menemukan gadis yang cocok menjadi istri Alan." "Apa gadis itu tau tentang kelainan yang Alan miliki?" "Mama sudah menceritakan semuanya kepada gadis itu, dan dia mau menerima dan membantu Alan untuk sembuh. Papa juga akan terkejut jika melihatnya langsung, karena dengan gadis itu, Alan tidak menjauh, tapi malah mendekatinya, bahkan bersentuhan dengannya langsung." Ferdi tercengang mendengar penjelasan istrinya. Dia semakin penasaran dengan gadis pilihan istrinya. "Baiklah, besok Papa akan pulang. Papa akan melihat, seperti apa gadis itu sampai mau membantu Alan untuk sembuh." “Mama tunggu, Pa. Alan pasti senang saat Papa pulang nanti.” Merlin lalu mengakhiri panggilan itu. *** Saat ini Merlin sedang disibukkan dengan rencana pernikahan Alan dan Aisa. Pernikahan mereka akan digelar tiga hari lagi. Dia terlihat begitu bahagia, akhirnya anak semata wayangnya akan segera menik
Aisa berjalan menuju kamar Alan. Sebenarnya dia sangat malas bertemu dengan pria dingin dan sombong itu, tapi dirinya tak bisa menolak permintaan Merlin. Aisa mengetuk pintu kamar Alan. Setelah mendengar sahutan dari dalam, dia lalu membuka pintu secara perlahan. Aisa masuk ke dalam kamar Alan. Kamar Alan tidak jauh berbeda dengan kamar yang dirinya tempati saat ini, sama-sama besar, bersih, dan rapi. Begitu banyak bingkai foto yang tergantung rapi di dinding kamar itu. Aisa menatap satu persatu bingkai foto yang menggantung di dinding kamar Alan. Alan terlihat sangat tampan di foto-foto itu. Rendy terus mengamati Aisa yang tengah mengexplore kamar Alan. Tapi Aisa tidak menyadari jika ada sepasang mata yang terus menatapnya. "Em ... saya kemari karena disuruh Nyonya Merlin untuk ...." Aisa menghentikan ucapannya, dia bukannya takut menatap wajah Rendy, tapi dia takut dengan tatapan sorot mata tajam yang kini sedang menatapnya, seperti hewan buas yang siap untuk menerkam mangsanya.
Aisa saat ini merasa sangat gugup, karena saat ini di depannya berdiri seorang pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Alan. Ini pertama kalinya Aisa bertemu langsung dengan papanya Alan yang terkenal sangat tegas dan berwibawa. Sorot mata tajam seperti elang yang siap menerkam mangsanya, kini tengah menatap Aisa, membuat gadis itu bahkan tidak berani mendongakkan wajahnya untuk sekedar menatap ke depan. Belum lagi suara detak jantung Aira yang terdengar begitu kencang, karena jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Aisa berharap papanya Alan tak akan mendengar suara detak jantungnya saat ini. “Apa alasan kamu mau menikah dengan Alan? Bukankah kalian tidak saling mengenal satu sama lain?” tanya Ferdi sambil menatap ke arah Aisa. Sesampainya di rumah, Ferdi langsung menemui Aisa, dirinya benar-benar penasaran dengan sosok yang dibicarakan oleh istrinya lewat telepon. Merlin membulatkan kedua matanya saat suaminya mulai menginterogasi Aisa. Dirinya takut Aisa akan mengata
Terdengar suara tangis bayi dari dalam ruang operasi. Alan dan seluruh keluarganya mengucap syukur, karena anak pertamanya kini sudah lahir di dunia.“Bu, Yah. Anak Alan sudah lahir. Akhirnya Alan menjadi seorang ayah,” ucap Alan bahagia.Merlin memeluk putra tunggalnya. “Selamat ya, Sayang. Terima kasih, kamu sudah memberi Ibu dan Ayah seorang cucu.”Ferdi pun memeluk Alan, dan mengucapkan selamat, karena sekarang anaknya sudah menjadi seorang ayah. Anak yang dulu terlihat begitu manja, kini sudah dewasa dan sudah memiliki keluarga kecilnya.“Lan, Ayah bangga sama kamu. Setelah apa yang kamu lalui selama ini, akhirnya kamu menemukan kembali kebahagiaan kamu. Ayah hanya berharap, semua kamu bisa segera lepas dari trauma masa lalu dan kembali menjadi Alan yang dulu lagi,” ucap Ferdi setelah melepaskan pelukannya.Alan mengangguk. Sejak hidup bersama dengan Aisa, dirinya sudah mulai bisa sedikit demi sedikit membuka diri dan mulai berinteraksi dengan lawan jenis. Bahkan dirinya juga sud
Aisa dan Alan kini sudah berada di rumah Aisa. Kedua orang tua Alan sudah kembali ke Jakarta lebih dulu. Tapi Alan dan Aisa memutuskan untuk tetap berada di kampung halaman Aisa selama beberapa hari.Aisa ingin membujuk ayahnya untuk mau melakukan terapi agar ayahnya bisa berjalan kembali seperti dulu lagi.“Yah, Aisa mohon. Ayah mau melakukan terapi ya? Aisa ingin melihat Ayah bisa kembali berjalan seperti dulu,” pinta Aisa sambil menggenggam tangan ayahnya.Arya menepuk pelan punggung tangan Aisa. “Sa, Ayah tidak mau merepotkan kamu dan Alan. Ayah sudah menerima takdir Ayah. Kalau Ayah memang harus selamanya duduk di kursi roda ini, Ayah tidak apa-apa.”Alan memang orang kaya, bahkan dia bisa dengan mudah membiayai pengobatannya. Tapi Arya tidak mau dianggap sebagai mertua yang hanya ingin memanfaatkan kekayaan menantunya untuk kepentingannya sendiri.Arya sudah cukup bahagia dengan melihat Aisa hidup bahagia dengan pria yang mencintainya. Dia sudah tidak ada beban lagi, karena seka
Aisa menatap kamar pengantin dengan Alan. Kamar yang sangat luas dan indah. Bahkan di atas ranjang terdapat kelopak bunga mawar yang dibentuk dengan bentuk love di tengah-tengah kasur.Setelah acara pernikahan selesai, Alan membawa Aisa ke hotel yang sudah disediakan oleh kedua orang tuanya untuk mereka melewati malam pertama mereka, meskipun itu sudah tidak bisa disebut sebagai malam pertama lagi.Kamar hotel bintang lima dengan segala fasilitas mewah sengaja Merlin siapkan untuk Alan dan Aisa, karena dia ingin baik Alan dan Aisa bisa menikmati malam pertama mereka dengan indah dan nyaman tanpa gangguan dari siapapun.Alan melihat Aisa yang sedang menelisip kamar yang akan mereka pakai untuk menginap malam ini. Dia berjalan mendekati istrinya, memeluknya dari belakang, menopangkan dagunya di bahu Aisa.“Mandi dulu, Sayang, biar fresh. Kamu pasti capek setelah acara tadi,” ucap Alan dengan lembut.Aisa memutar tubuhnya, menghadap suaminya, lalu mendongakkan wajahnya. “Kamu duluan saja
Setelah kepulangan Alan dari rumah sakit. Alan tinggal di rumah yang sengaja disewa oleh Merlin untuk tempat tinggal mereka selama berada di Semarang. Merlin tidak mungkin membiarkan Alan tinggal di rumah Aisa, karena Alan masih dalam masa pemulihan.Rumah yang Merlin sewa terdiri dari dua lantai. Ada empat kamar di rumah itu. Alan sebenarnya ingin Aisa ikut tinggal bersamanya, tapi kedua orang tua Aisa melarang Aisa untuk tinggal bersamanya.Tapi Aisa tetap menemani Alan sampai di rumah. Dia akan kembali ke rumah malam harinya.“Lan, Sa, Ibu tinggal dulu ya? Ibu sama Ayah harus mengurus sesuatu,” ucap Merlin.“Baik, Bu,” ucap Aisa.“Kalau begitu Ibu titip Alan, karena Rendy akan ikut Ayah sama Ibu,” ucap Merlin dan mendapat anggukkan kepala dari Aisa.Merlin lalu keluar dari kamar yang ditempati oleh putranya itu.“Lan, kamu mau makan apa? biar aku masakin.” Perut Aisa juga sudah lapar sejak tadi.“Terserah kamu saja. Apapun yang kamu masak, aku akan memakannya,” ucap Alan dengan men
Hari ini Alan sudah diperbolehkan pulang, karena kondisinya sudah pulih sepenuhnya.Kedua orang tua Aisa kembali menjenguk Alan ke rumah sakit, karena ada sesuatu hal yang ingin ayah Aisa sampaikan kepada Alan. Dirinya sudah tidak bisa menundanya lagi, karena bagaimanapun Alan harus mendengar keputusan yang sudah diambilnya.“Sa, apa Ayah boleh bicara sebentar dengan Alan?” tanya Arya sambil melihat Aisa yang sedang menyuapi Alan buah apel yang sudah dirinya potong menjadi kecil-kecil dan menaruhnya di atas piring kecil.“Boleh, Yah. Memangnya apa yang ingin Ayah bicarakan dengan Alan?” tanya Aisa penasaran.“Ayah hanya ingin bicara berdua dengan Alan,” ucap Arya sambil menatap ke arah Alan yang duduk di tepi ranjang sambil menghadap Aisa yang duduk di depannya.Alan menganggukkan kepalanya, dirinya juga ingin mengatakan sesuatu kepada ayah mertuanya itu.“Sayang, kamu tinggalkan aku sama Ayah. Kami tidak akan lama, kamu tidak usah cemas,” ucap Alan sambil menggenggam tangan Aisa.Ais
Sudah satu minggu lebih Alan dirawat di rumah sakit setelah dia sadarkan diri. Selama itu pula, keluarga Aisa datang untuk menjenguk Alan.Alan memang belum bisa berjabat tangan dengan ibunya Aisa. Ibunya Aisa pun mengerti akan hal itu. Mayang juga berharap semoga Alan bisa segera lepas dari trauma masa lalunya.Terlihat semua keluarga berkumpul di ruang rawat inap Alan. Mereka saling bercengkrama satu sama lain.Aisa dan Alan sangat bahagia, akhirnya kedua orang tua mereka bisa seakrab ini meskipun belum lama bertemu.Alan juga sudah mendengar dari Rendy, kalau Rizal sudah mendekam di penjara. Kasusnya akan diperkarakan, pihaknya juga menuntut agar Rizal dan anak buahnya dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya.Saat mereka semua sedang mengobrol, terdengar suara ketukan pintu, membuat semua orang menoleh ke arah pintu.“Nik, coba kamu cek, siapa yang datang,” pinta Mayang.Niko beranjak dari duduknya, lalu berjalan menuju pintu, membukanya dengan perlahan. “Om Brata!” serunya te
Sudah seminggu Alan tak sadarkan diri. Setiap hari baik Aisa dan Merlin terus menangis, berharap Alan akan segera bangun dan kembali bersama dengan mereka lagi.Semenjak perbincangannya dengan Aisa waktu itu, Merlin mengizinkan Aisa untuk menunggu Alan, bergantian dengan dirinya, suaminya dan juga Rendy. Kini dirinya sudah merasa lega, akhirnya Alan dan Aisa bisa kembali bersatu seperti dulu lagi.Tapi kali ini mereka bersatu bukan karena surat perjanjian, melainkan karena cinta. Merlin akhirnya bisa melihat Alan kembali bahagia seperti dulu lagi.“Masuklah.” Merlin membiarkan Aisa masuk ke dalam ruang ICU untuk menggantikan dirinya, karena sejak tadi dirinya yang menunggu Alan disaat Aisa pulang untuk mandi dan berganti pakaian.Aisa memang kalau pagi hari pulang ke rumah untuk mandi dan menyiapkan bekal makanan untuk kedua mertuanya, Rendy, dan Dedi. Dia tahu kalau keluarga suaminya sangat kaya, tapi dia tetap ingin membawakan makanan hasil masakannya sendiri untuk Merlin dan yang l
Setelah mendapat telepon dari Rendy, Merlin langsung meminta Dedi untuk mengantarnya ke kampung halaman Aisa. Mereka sampai di Semarang malam hari dan langsung menuju rumah sakit tempat Alan dirawat.Rendy menjemput Merlin dan Dedi di depan rumah sakit, lalu mengajaknya ke ruang ICU tempat Alan dirawat.“Bagaimana keadaan Alan, Ren? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa kamu tidak menjaga Alan?” Merlin terus bertanya sambil berjalan menuju ruang ICU.“Maafkan kelalaian saya, Nyonya. Saya siap untuk menerima hukuman,” ucap Rendy yang berjalan di sebelah Merlin.Merlin menghela nafas panjang, dia sudah tidak sabar ingin melihat kondisi putranya.Sesampainya di ruang ICU, Merlin melihat dua orang paruh baya dan seorang pria muda yang diyakini adalah keluarga Aisa, karena dirinya memang belum pernah bertemu dengan keluarga Aisa sampai detik ini.“Mereka keluarga Nona Aisa, Nyonya,” ucap Rendy saat melihat Merlin yang sedang menatap ke arah Niko dan kedua orang tuanya.Merlin berjalan menghampi
Sasa menemani Aisa ke toilet untuk membersihkan kedua telapak tangannya yang terkena noda darah Alan. Dia juga mencuci telapak tangannya.“Sa, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti kalian tadi. Maaf, karena aku tidak bisa berbuat apa-apa saat Rizal dan anak buahnya menyakiti Alan,” ucap Sasa sambil menatap Aisa dari cermin besar yang ada di depannya.Aisa hanya diam sambil menggosok telapak tangannya dengan sabun.“Aku janji, aku akan bersaksi di depan polisi dan mengatakan yang sebenarnya terjadi tadi,” lanjut Sasa lagi.“Kenapa? kenapa kamu jadi baik sama aku? bukankah kamu sangat membenciku karena Rizal memutuskan hubungan pertunangan kalian?” Aisa bahkan tidak menatap ke arah Sasa.“Aku salah, tolong maafkan aku. Aku terlalu dibutakan oleh cinta, sampai aku tidak bisa melihat kalau Rizal tidak pernah mencintaiku selama ini. Tapi sekarang aku sadar, kalau Rizal bukan pria yang pantas untuk aku pertahankan.”Aisa menoleh kesamping, menatap Sasa yang juga sedang menatap