Share

Sebatas Istri Kontrak Tuan Muda
Sebatas Istri Kontrak Tuan Muda
Penulis: Rosshie

Bab 1. Bimbang

"Ini kan ....?"

Mata Aisa membelalak kala membuka amplop coklat misterius yang tiba-tiba ada di kasur kostnya.

[Surat Perjanjian Pernikahan.]

Poin pertama: Pihak kedua harus mau menuruti semua perintah yang diberikan dan tidak diperbolehkan untuk menolak.

Poin kedua: Pihak kedua tidak boleh melarikan diri sebelum perjanjian berakhir. Kalau sampai melanggar, maka akan dikenakan denda sebesar dua ratus lima puluh juta.

Aisa hanya membaca kedua poin penting yang tertera di atas dan tidak melanjutkan poin lainnya. Dia menggelengkan kepalanya membaca satu persatu poin yang tertera. Dia lalu membaca keuntungan yang akan dia dapat jika menerima perjanjdian itu.

Poin pertama: Untuk semua kebutuhan hidup keluarga pihak kedua akan dijamin oleh pihak pertama.

Poin kedua: Pihak kedua bebas menikmati semua fasilitas yang ada di rumah pihak pertama.

Poin ketiga: Pihak kedua dapat meminta satu permintaan jika misi yang dilakukan pihak kedua telah berhasil.

Deg!

Aisa terkesiap. Ia jadi teringat kejadian beberapa hari lalu.

Kala itu, sudah seminggu Aisa di Ibu kota dan sudah banyak lamaran yang dikirim.  

Entah ke perusahaan, toko, ataupun restoran. Tapi, tak ada satu pun yang mau mempekerjakan Aisa dengan alasan tingkat pendidikan dan juga pengalaman kerja. Ijazah SMA seakan tak ada harganya.

Hanya saja, Aisa tak menyerah--teringat keluarga di kampung. Ia terus berjalan di bawah terik matahari yang kian meninggi. 

Peluh bahkan bercucuran mengalir di seluruh tubuh mungilnya. Namun, tubuhnya tak kuat dan justru pingsan.

Begitu terbangun, dia menemukan wanita paruh baya dengan balutan mewah, tersenyum padanya.

"Terima kasih," ucap Aisa dengan senyum sopan.

Cukup lama keduanya berbicara.

Entah mengapa, Aisa pun nyaman, sampai wanita tua itu tiba-tiba berkata sesuatu.

"Saya tau, kamu menginginkan pekerjaan. Tapi, saya menawarkan lebih dari pekerjaan. Saya membutuhkan bantuan kamu."

"Maksud, Nyonya? Bantuan seperti apa?" tanya Aisa penasaran.

Wanita tua bernama Merlin itu menghela nafas panjang, "Kamu gadis yang cantik, dan saya lihat kamu juga gadis baik-baik. Saya ingin kamu membantu anak saya untuk mengembalikan kepercayaan dirinya terhadap wanita."

Merlin pun mulai menceritakan tentang anak semata wayangnya. Dia hanya mempunyai seorang putra, dia bernama Alan Ferdinan Admaja. Lelaki yang berparas tampan yang kini sudah berusia 28 tahun.

Sewaktu masih remaja, lebih tepatnya saat dia masih duduk di bangku 10 menengah atas, dia jatuh cinta dengan seorang gadis cantik. Alan sangat mencintai gadis itu. Mereka menjalin hubungan sampai mereka sama-sama masuk perguruan tinggi.

Alan rela melakukan apa pun untuk gadis itu. Dia bahkan rela mewujudkan semua keinginan gadis itu. Kedua orangtua Alan pun sudah merestui hubungan mereka. Saat Alan benar-benar jatuh cinta semakin dalam dengan gadis itu, tiba-tiba gadis itu menghilang tanpa jejak. Gadis itu pergi meninggalkan Alan tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Hati Alan hancur, dia seakan mati, bertahun-tahun Alan mencari keberadaan gadis itu tapi tak pernah membuahkan hasil. Gadis itu bak di telan bumi. Alan seakan kehilangan semangat hidupnya.

Kedua orang tuanya sudah melakukan berbagai cara untuk mengembalikan semangat hidup Alan, tapi semua sia-sia. Alan seakan hidup dengan dunianya sendiri. Dengan berat hati kedua orang tua Alan harus membawanya ke spikiater.

Dengan bantuan spikiater semangat hidup Alan pelan-pelan kembali pulih, tapi ada yang berubah di diri Alan. Pemuda itu tidak mau berhubungan dengan wanita, dia seakan jijik saat dekat-dekat dengan sosok yang disebut wanita. Terkecuali Merlin, Alan hanya mau berdekatan dengan mamanya.

Aisa prihatin.

Tapi, tentu saja, ia tak mau! Meski miskin, dia tak ingin mempermainkan pernikahan.

Aisa menghela napas. Ia kembali memasukan dokumen itu ke dalam amplop coklat. 

Hanya saja, ponselnya tiba-tiba berdering.

Buru-buru, Aisa menjawab panggilan itu.

[Ibu]

Deg!

Ada apa ini?

"Halo, Bu?" sahut Aisa saat panggilan itu mulai tersambung.

"Aisa.”

"Ada apa Ibu menelfon Aisa pagi-pagi begini? Semua baik-baik saja kan, Bu?" Aisa merasa sangat gelisah, dia takut terjadi apa-apa dengan keluarganya di kampung.

"Bagaimana kabar kamu? semua baik-baik saja kan?"

Aisa terdiam sejenak, dia tidak tau harus menjawab apa. Seandainya dia bisa jujur, maka dia akan menjawab dirinya tidak sedang baik-baik saja. Tapi dia tidak mau membuat keluarganya mengkhawatirkannya.

Aisa tidak ingin membuat hidup keluarganya menjadi semakin menderita. Cukup dirinya saja yang menderita.

"Aku baik-baik saja, Bu." Itu lah jawaban yang terlontar dari mulut manis Aisa.

"Apa kamu sudah mendapatkan pekerjaan di Jakarta?"

"Emm ... itu ... aku ...."

"Maafkan Ibu, Sa. Tapi Ibu harus memberi tahu  ini sama kamu." Ibu Aisa menghentikan ucapannya sejenak.

Aisa tau ini pasti kabar buruk. Tapi kabar apa itu?

"Ayah kamu, Sa. Ayah kamu mengalami kecelakaan. Ayah kamu harus segera di operasi, tapi kamu tahu kan, Ayah dan Ibu tidak mempunyai uang lagi. Semua sudah Ibu berikan kepada kamu untuk pergi merantau dan juga untuk membiayai sekolah adik kamu."

Aisa bisa mendegar suara tangisan ibunya dari seberang sana. Dia tau jika saat ini ibunya tengah menangis. Tangisan ibunya membuat dadanya terasa sesak. Sudah cukup kedua orang tuanya menderita, tapi kenapa cobaan terus datang bertubi-tubi dalam keluarganya.

"Sa, kamu masih mendengarkan Ibu kan?"

"Berapa, Bu? berapa biaya operasi Ayah?" Aisa mencoba tetap tenang, dia mencoba sekuat tenaga agar tidak menangis.

"Lima puluh juta. Ibu tidak tahu harus mencari kemana uang sebanyak itu. Hanya kamu satu-satunya harapan Ibu. Kamu sudah mendapatkan pekerjaan kan di Jakarta?"

Aisa bingung, dia tidak tau harus menjawab apa. Dari mana juga Aisa bisa mendapatkan uang sebanyak itu, sedangkan sampai sekarang dia belum juga mendapatkan pekerjaan. Meskipun dirinya sudah mendapatkan pekerjaan, dirinya belum tentu bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Bahkan gajinya tidak sampai sebanyak itu.

"Sa, maafkan Ibu jika Ibu sudah menyusahkan kamu."

"Kenapa Ibu berbicara seperti itu? Sudah kewajiban aku untuk membantu Ayah dan Ibu. Kapan Ayah akan di operasi?"

"Dalam jangka waktu tiga hari mulai dari sekarang, dan uang itu harus dibayar lunas baru Ayah kamu bisa di operasi."

Aisa masih bisa mendengar suara tangisan ibunya.

"Ibu tenang saja, aku akan berusaha mendapatkan uang itu. Ibu cukup menunggu Ayah, biar Aisa yang memikirkan bagaimana mendapatkan uang itu dan membayar lunas biaya rumah sakit agar Ayah bisa segera di operasi."

Setelah menenangkan ibunya, Aisa lalu mengakhiri panggilan itu. Dia lalu menjabak rambutnya dengan kasar. Terlihat jelas saat ini Aisa tengah frustasi. Aisa menatap amplop coklat di sampingnya.

"Apa aku harus menerima penawaran nyonya itu?"

Aisa bimbang, antara mempertahankan harga dirinya, tapi ayahnya sedang berada diambang hidup dan mati....

 

 

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status