**Karan membereskan berkas-berkas yang bertebaran di atas meja ruang meeting. Senyumnya tersungging kala mengingat meeting yang ia pimpin beberapa saat yang lalu mendapat respon bagus dari para staff yang lain. Karena kinerja ya ia tunjukkan, dan bukan semata-mata karena dirinya adalah putra pemilik perusahaan kecil ini. Ya, Karan pikir itu bagus mengingat bagaimana kondisinya saat ini, yang masih harus terus mempelajari ulang banyak hal baru. “Sebentar, aku nelepon Kiran dulu. Kira-kira dia lagi apa ya, di rumah? Udah makan apa belum? Ini udah masuk jam makan siang.”Sementara bergegas keluar, ia menempelkan ponsel di telinga. Beberapa kali dengungan nada sambung, namun sama sekali tidak diangkat. Kening Karan berkerut karenanya.“Kiran kemana– aakh!”Berkas-berkas yang telah Karan rapikan jatuh bertebaran di atas lantai setelah tergelincir dari pegangannya. Ia menunduk dengan jemari menekan kening sebab rasa sakit menyengat yang mendadak saja menyerang kepalanya.“Ini ketiga kalin
**PRAAANG!“Mas Karan?”Kiran melompat bangun dari atas sofa, tanpa sadar melemparkan ponsel di tangannya ke segala arah demi mendengar suara benda pecah barusan.“Mas, ada apa? Astaga Mas, kamu kenapa?” Kedua netra perempuan itu membola saat melihat sang suami sudah duduk berjongkok di depan kaca wastafel kamar mandi sembari mencengkeram kepala. Bekas pecahan mug masih berserakan di sekitar sana.“Ki-Kiran ….”“Mas, kenapa?” Kiran berseru kaget, perempuan itu buru-buru membantu sang suami untuk berdiri dan kemudian membawanya ke kursi counter dapur yang berada tak jauh dari sana.“Kepalaku sakit,” desis Karan, masih memegangi kening dengan telapak tangan. Wajahnya pucat pasi bersimbah keringat. Ini buruk, Kiran tahu itu.“Sebentar, aku bikin minuman hangat buat kamu biar bisa kurangin rasa sakitnya, ya.” Segera, setelah memastikan sang suami duduk dengan baik, Kiran melesat untuk membuatkan secangkir chamomile tea beraroma lembut. Ia serahkan minuman hangat itu kepada suaminya denga
**Seharusnya, Kiran meminta kepada sang suami untuk mampir ke rumah orang tuanya malam ini adalah untuk bicara hati ke hati dengan Soraya terkait apa-apa yang telah dokter sampaikan di rumah sakit tadi. Namun, apalah daya, ia harus rela menahan malu sebab ketika baru datang, prianya itu malah menyeretnya ke dalam kamar.Maka, di sanalah Kiran sekarang. Terengah-engah di bawah kungkungan lengan suaminya dengan peluh bercucuran serta desah yang sekuat tenaga berusaha ia tahan. Meski mungkin baik Soraya maupun Herman sangat amat maklum jika sampai mendengar berbagai nada-nada aneh dari dalam kamar sang putra, tetap saja Kiran bisa mati saking malunya jika itu sampai terjadi.“M-Mas– akh–”Sial sekali, bahkan sepatah kata pun gagal Kiran ucapkan sebab sang suami terus menggempurnya tanpa henti sebab euforia yang hampir ia dapatkan. Tidak, mereka dapatkan. Sebab nyatanya perempuan itu pun hampir sampai pada tujuan yang keduanya tengah kejar hingga berantakan seperti itu.“Sebentar lagi,”
**Lingerie.Perlahan, Karan menarik keluar benda itu dari gantungan. Kebetulan sekali, hanya itu satu-satunya yang tergantung di dalam lemari, jadi tak ada yang lain yang bisa menarik perhatiannya.“Ini milik Kiran?” bisiknya seraya melirik ke arah ranjang di mana sang istri sedang bergulung di dalam selimut dengan mata terpejam. Sudah tidur rupanya.“Kenapa rasanya ini familiar? Padahal aku belum pernah lihat dia pakai ini?”Karan membolak -balik baju berbahan satin dan tile berwarna ivory yang tipis menerawang itu. Pita putih yang berjuntai-juntai di banyak bagian terasa seperti melilit ingatannya.Tidak, bukan bayangan sang istri yang tengah mengenakan benda itu yang ada dalam benak Kiran, namun ada bayangan lain.Saya terima nikahnya …“Ouch!” Kemudian, mendadak sekali sengatan rasa sakit yang hebat menusuk satu sisi kepala Karan tanpa ampun. Lingerie dalam pegangannya mendadak jatuh ke lantai tanpa suara, bersamaan dengan tubuhnya yang ia harus sandarkan dengan sangat hati-hati
**“Ini apa?”Kedua mata Karan terpancang lekat kepada kotak kecil berwarna merah yang ia temukan berada di dalam lemarinya. Alisnya berkerut sementara membolak-balik kotak beludru itu.“Ini punya Kiran, kah? Kok ada di sini, ya?”Sudah sangat jelas bahwa itu adalah kotak perhiasan. Maka dari itulah ia heran. Keheranan yang semakin bertambah setelah ia membuka kotaknya dan menemukan sepasang cincin emas dengan berlian kecil di dalam sana.“Kenapa Kiran sembunyiin kotak cincinnya di dalam lemari begini?” Karan masih memandang dengan kening berkerut kepada sepasang cincin itu. Dan seperti yang sudah-sudah, suara-suara berisik mulai mendengung, memenuhi kepalanya setelah itu.“Apa ini bukan punya Kiran? Apa ini punya orang lain?”Karan meraih kepada laci kecil di dalam lemari itu. Menemukan benda lain yang menyentuh jemarinya. Namun, sebelum ia sempat mengambil dan melihat benda apa itu, suara pintu kamar yang terbuka membuat perhatiannya teralihkan.“Mas Karan?”Sang istri berdiri di s
**Brak!"Tuhan!"Karan terlempar ke depan. Keningnya membentur setir dengan cukup keras. Selama beberapa saat, pria itu hanya bisa mendesis dan terdiam sebab rasa nyeri yang berdenyut menerpa kepalanya jauh lebih buruk daripada yang terlihat."Sial!" Ia mendesis sementara menahan kening dengan telapak tangan. "Sial! Ini sakit banget!"Karan tidak mengerti, mengapa hanya karena benturan sedikit saja, kepalanya terasa seperti terbelah dua. Pandangannya memburam sehingga ia terpaksa menepikan mobilnya ke batas trotoar."Permisi, apa anda nggak apa-apa?" Suara ketukan yang terdengar dari luar mobil, membuat Karan terpaksa mengangkat kepalanya. Seseorang berdiri di sana, dan ia mau tak mau harus menarik turun kaca jendela."Anda baik-baik saja, Pak?" Seorang pria muda menyapa dengan wajah panik. "Pak, saya minta maaf sudah motong jalur sembarangan. Anda nggak apa-apa, kan?"Oh, ini rupanya yang menyebabkan Karan harus menginjak pedal rem terlalu mendadak hingga mobilnya berdecit terhenti
**“Mas, kamu baik-baik aja? Ada yang sakit, kah?”Kiran ingin mendekat, ingin merengkuh tubuh yang masih terbaring di atas brankar itu ke dalam pelukannya. Namun, pandangan yang ia dapatkan dari sang suami membuat tubuhnya mematung di tempat, tak bisa ia gerakkan.“M-Mas?”“Kamu–”“Iya, ini aku, Mas. Kamu nggak apa-apa?” Kiran sungguh ingin mendekat, namun pandangan menuduh itu sungguh membuat kakinya bagai terpaku di atas lantai.Kening Karan berkerut dengan desis kesakitan yang membuat sang istri melupakan keraguannya seketika. Perempuan itu melompat mendekat, memegangi lengan suaminya dan berujar kembali dengan penuh rasa khawatir.“Mas, apa masih sakit? Biar aku panggil dokter sebentar, ya. Tunggu sebentar ya, Mas.”“Mi-minum ….”“Minum? Kamu mau minum?”Mengangguk lemah, Karan kembali memejamkan mata sementara menekan keningnya dengan telapak tangan. Kiran menyambar air dalam gelas di atas nakas dan memberikannya pelan-pelan kepada pria di sampingnya itu. Raut cemas luar biasa
**“Apapun asal jangan yang ini ….”Semalam suntuk, Kiran tidak bisa memejamkan mata. Rasa gelisah itu bagaikan racun yang merambati pembuluh darahnya. Membuatnya diselimuti ketakutan jika pagi datang. Sepenuhnya ia berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi. Mimpi yang jangan pernah menjadi kenyataan.Jika nanti Karan sudah bangun dan keluar dari kamarnya, apa yang harus Kiran katakan? Apa yang harus Kiran lakukan?“Kenapa barang-barang di kamarku nggak ada semua?”Dan ternyata itu yang Karan tanyakan setelah ia keluar dari kamarnya pada pagi harinya.Kiran ingin menjawab, namun tenggorokannya seperti tercekat, tak berfungsi sebagaimana mestinya.“Kamu masuk-masuk kamarku?” tuntut pria itu lagi, membuat air mata sang istri mau tak mau kembali berderai setelah semalam sudah nyaris habis terkuras.“M-mas ….”“Sejak kapan kamu bisa keluar masuk seenaknya ke kamar aku? Bukannya kita udah punya kamar masing-masing? Dan aku kan cuma bertanya. Kenapa kamu menangis sampai seperti itu?”Tidak bi