David duduk di dalam mobilnya, membiarkan hujan yang turun deras mengguyur kaca depan. Matanya menerawang jauh, pikirannya tak pernah sekacau ini. Pernikahan yang dulu ia pikir sebagai kemenangan, kini terasa seperti jerat yang perlahan mencekiknya. Zoya. Wanita yang dulu membuatnya tergila-gila, yang begitu ia inginkan sampai rela mengkhianati Clara, ternyata bukanlah kebahagiaan yang ia cari. Sejak hari pertama mereka menikah, Zoya menunjukkan wajah aslinya—manja, egois, dan tak pernah puas dengan apa pun yang ia berikan. Rumah mereka bukan lagi tempat pulang yang nyaman, melainkan medan perang yang penuh teriakan dan sindiran tajam. Dan yang lebih menyakitkan, karena Zoya, ibunya sendiri terpaksa meninggalkan rumah. Wanita tua itu tak pernah menyukai Zoya sejak awal. “Dia bukan istri yang baik untukmu, David,” ucap ibunya waktu itu. Tapi David terlalu buta untuk mendengar. Ia mengira ibunya hanya tidak bisa menerima keputusannya. Namun, kenyataan berbicara lain. Beberapa ming
Pagi itu, matahari masih enggan naik terlalu tinggi, menyisakan embun di ujung dedaunan dan kesejukan yang menyelinap di antara celah pepohonan taman kota. Clara menggandeng lengan Erick dengan nyaman, sementara suaminya berjalan santai di sampingnya, menikmati udara segar. “Aku suka pagi seperti ini,” ujar Clara dengan senyum tipis. “Tenang dan segar.” Erick meliriknya penuh kasih. “Makanya aku ajak kamu jalan-jalan. Agar kamu tidak stres di rumah terus.” Clara tertawa kecil, lalu mengusap perutnya yang mulai terlihat membesar. “Kamu memang suami yang perhatian.” Mereka berhenti sejenak di depan seorang penjual rujak buah. Clara yang memang sedang ngidam langsung berseru, “Mau rujak!” Erick tertawa pelan, lalu memesan satu porsi rujak dengan sambal kacang yang tidak terlalu pedas. Mereka memilih duduk di bangku taman di bawah pohon rindang, menikmati makanan yang sederhana tapi penuh makna. Sesekali, Erick menyuapi Clara dengan lembut, membuat beberapa pasang mata yang lewa
Clara duduk di sofa ruang tamu, matanya menerawang ke luar jendela. Sore itu langit tampak mendung, seakan mencerminkan suasana hatinya yang kelabu. Sejak pagi, ia merasa tidak tenang, pikirannya terus melayang ke masa lalu—ke sosok yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya lagi. David. Nama itu masih terukir di hatinya, meski kini status mereka bukan lagi suami-istri. Bukan karena ia masih mencintai pria itu, tapi karena rasa bersalah dan iba yang terus menghantuinya. David mandul, anak Zoya ternyata bukan anak David.Clara ingat betapa David tampak lebih tirus dari sebelumnya. Wajahnya juga terlihat pucat, dan rambut cepaknya yang dulu selalu tertata rapi kini hanya tergerai kusut. Beban pikiran yang ia tanggung sejak lama perlahan-lahan menggerogoti tubuhnya. Sejak dokter memvonisnya mandul, Clara tau hidup David tidak akan sama lagi.Zoya hamil. Tapi bukan anak David. David yang selama ini menganggap Clara tidak bisa memiliki keturunan, ternyata dikhianati oleh wanita y
Maria menyesap jus buahnya perlahan, duduk di sudut restoran yang cukup tersembunyi. Matanya tajam mengamati dua sosok yang tengah berbincang di meja dekat jendela. Zoya, menantunya, terlihat begitu akrab dengan seorang pria yang tak dikenalnya. Mereka berbincang sambil tersenyum, sesekali tertawa kecil. Maria mengangkat ponselnya, mengatur sudut agar bisa menangkap momen kebersamaan mereka tanpa menarik perhatian. Klik! Satu foto diambil. Dia memperbesar gambarnya, memastikan wajah Zoya dan pria itu terlihat jelas. Klik! Beberapa gambar lain menyusul. Tanpa menunda, Maria membuka aplikasi pesan dan mengirimkan foto itu kepada David, anaknya. _"Lihat ini. Apa yang sebenarnya sedang dilakukan istrimu? Ini diambil barusan di restoran dekat rumah. Kamu pikir mereka hanya teman biasa?"_ Maria tersenyum puas setelah mengirimkan pesan itu. Dia tidak pernah benar-benar percaya pada Zoya sejak awal. Wanita itu selalu tampak menyimpan sesuatu, dan sekarang Maria merasa punya bukti yang
Tomi menyesap kopinya perlahan, menikmati setiap tetes yang menghangatkan tenggorokannya. Hari ini, pagi terasa lebih cerah dari biasanya. Bukan karena cuaca, melainkan karena berita yang baru saja didengarnya. David dan Zoya bercerai. Pria itu tersenyum puas. Akhirnya, pria sombong itu merasakan bagaimana rasanya jatuh ke dasar jurang keterpurukan. Seumur hidup, David selalu berada di atas, menikmati kesuksesan yang seakan disajikan di atas nampan emas. Sementara Tomi harus berjuang mati-matian untuk mendapatkan setitik kebahagiaan. Sejak SMA, Tomi sudah menaruh benci pada David. Bukan hanya karena pria itu selalu menjadi pusat perhatian, tetapi juga karena sifat congkaknya. David suka merendahkan orang lain, dan Tomi menjadi salah satu korban favoritnya. Berkali-kali dia dihina di depan teman-temannya, dianggap pecundang, seseorang yang tidak akan pernah berhasil dalam hidup. Kata-kata David terus terngiang di benaknya. *"Orang seperti kamu, Tom, cuma bisa jadi bayang-bayang
Waktu berlalu, dan kebahagiaan itu akhirnya tiba. Setelah sembilan bulan penuh perjuangan, Clara berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Tangisannya yang nyaring memenuhi ruang bersalin, seolah menjadi nyanyian kebahagiaan bagi Erick yang setia menunggu di luar ruangan. Saat dokter akhirnya keluar dan memberi kabar bahwa Clara dan bayinya baik-baik saja, Erick merasa lega. Ia segera masuk dan melihat istrinya yang terbaring lelah, namun wajahnya bersinar penuh kebahagiaan. "Terima kasih, Sayang. Kamu sudah berjuang," bisik Erick sambil menggenggam tangan Clara dengan erat. Matanya menatap penuh cinta pada bayi mungil yang berada dalam pelukan istrinya. Clara tersenyum lemah, lalu menggeser sedikit kain yang menyelimuti bayinya. "Lihat, Erick. Dia sangat mirip denganmu," katanya pelan. Erick menatap wajah kecil itu—hidung mungil, bibir tipis, dan pipi yang masih kemerahan. Hatinya meleleh seketika. Ia menyentuh lembut dahi anaknya, seolah tak percaya bahwa kini ia
Clara memejamkan mata erat-erat, menahan rasa mual yang kembali menyerang. Tangannya menggenggam erat selimut, tubuhnya terasa lemas, sementara keringat dingin membasahi pelipisnya. Sudah tiga bulan usia kehamilannya, dan bukannya membaik, justru semakin berat. Mual datang tanpa aba-aba, kepala terasa berat seperti dihimpit beban, dan nafsu makannya turun drastis. "Sayang, kamu masih mual?" Erick duduk di sisi ranjang, menatapnya dengan wajah cemas. Tangannya terulur, mengusap lembut punggung Clara, berusaha memberikan kenyamanan. Clara membuka mata perlahan, bibirnya pucat. "Iya… kayaknya makin parah." Erick menarik napas, lalu dengan sigap mengambil segelas air putih dari nakas. "Coba minum sedikit, biar tidak dehidrasi." Clara meneguknya pelan, tapi baru beberapa detik kemudian, perutnya bergejolak lagi. Ia buru-buru menyingkap selimut dan berlari menuju kamar mandi. Erick sigap mengikuti, membantunya menahan rambut saat Clara kembali muntah. "Ya Tuhan, aku capek sekali,
Clara menatap suaminya dengan saksama, mencoba membaca ekspresi di wajahnya yang tenang. Sejak mereka bertemu dengan wanita itu di butik sore tadi, pikirannya terusik. Erick hanya memberi jawaban singkat ketika Clara bertanya siapa dia, tetapi perasaan tidak enak masih menyelimuti hatinya. Saat ini, mereka sudah berada di kamar, bersiap untuk tidur. Namun, rasa penasaran Clara belum juga reda. Ia duduk di tepi ranjang, memainkan ujung selimut dengan gelisah sebelum akhirnya bertanya, "Erick, siapa sebenarnya Kamelia?" Pria itu, yang tengah melepas jam tangannya, terdiam sejenak. Ia menatap Clara, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Kamu benar-benar ingin tahu?" tanyanya lembut. Clara mengangguk mantap. "Ya. Dia bukan sekadar teman sekolah atau teman kerja, kan?" Erick menarik napas dalam. "Tidak. Dia lebih dari itu," akhirnya ia mengakui. "Kamelia adalah wanita yang dulu pernah dijodohkan denganku oleh mendiang Ibu." Clara merasakan sesuatu mencelos di dadanya. Matanya membu
David baru saja menutup pintu rumah ketika suara deru mesin mobil mendekat dengan cepat. Matanya sempat menangkap cahaya lampu Jeep hitam yang berhenti mendadak di depan pekarangan. Sebelum sempat bereaksi, dua pria bertubuh kekar keluar dari mobil dan langsung menerjangnya. "Heh! Apa-apaan ini?!" David berusaha meronta, tapi cengkeraman mereka terlalu kuat. Salah satu pria mendorongnya dengan kasar ke dalam mobil. "Diam kalau masih mau hidup!" suara dinginnya menusuk. Pintu Jeep dibanting tertutup, dan kendaraan melaju kencang menembus kegelapan malam. Jantung David berdegup kencang. Tangannya berusaha mencari ponselnya, tapi pria di sebelahnya lebih cepat merampasnya dan melemparkannya ke depan. Perjalanan terasa panjang, meskipun mungkin hanya beberapa menit. Ketika Jeep berhenti, David ditarik keluar dengan kasar. Sekelilingnya gelap, hanya ada siluet sebuah gudang tua yang terlihat mengancam. Pintu gudang berderit ketika dibuka. Udara di dalamnya lembap dan pengap, deng
Clara berdiri di ambang pintu, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi tak terbaca. Sore itu, angin bertiup lembut, mengibarkan beberapa helai rambutnya yang tergerai. David, pria yang pernah mengisi hatinya bertahun-tahun lalu, kini berdiri di teras rumahnya dengan sorot mata penuh penyesalan. “Aku hanya ingin bicara sebentar,” ujar David, suaranya rendah namun jelas membawa nada permohonan. Clara tetap berdiri tegak, tidak berniat mempersilakan David masuk. Ia tahu Erick, suaminya, akan pulang beberapa jam lagi, dan ia tidak ingin meninggalkan celah sekecil apa pun untuk kesalahpahaman. “Bicaralah di sini,” jawab Clara akhirnya. David menarik napas panjang sebelum berbicara. “Clara… aku menyesal. Aku menyesal telah meninggalkanmu dulu. Aku bodoh karena melepaskan mu, dan lebih bodoh lagi karena tidak menyadari betapa berharganya dirimu sampai semuanya terlambat.” Clara mengepalkan jemarinya yang terasa dingin meski sore itu cukup hangat. Hatinya sempat bergetar mendenga
David berdiri di sudut jalan yang sedikit tersembunyi di balik pohon besar. Matanya tak lepas dari sosok Clara yang tengah duduk di teras rumahnya, tertawa bahagia bersama suaminya, Erick. Perut Clara yang mulai membuncit menjadi bukti nyata bahwa kebahagiaannya telah bertambah. David mengepalkan tangan, merasakan sesuatu yang tajam menusuk dadanya. Dulu, itu seharusnya menjadi hidupnya. Seharusnya dia yang duduk di sana, menggenggam tangan Clara, tertawa bersamanya, dan menantikan kelahiran anak mereka. Tapi kesalahannya sendiri telah membuat semua itu mustahil. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana Clara menangis di hadapannya saat mengetahui perselingkuhannya dengan Zoya. Betapa wajahnya penuh luka dan kekecewaan ketika menyerahkan surat cerai di tangannya. Saat itu, David mengira dia akan baik-baik saja, bahwa dia bisa melanjutkan hidupnya dengan Zoya. Tapi nyatanya, pernikahannya dengan Zoya berantakan. Wanita itu tidak seperti Clara. Tidak setulus, penyabar, dan sehangat Cl
“Siapa wanita tadi?” Danis bertanya saat mereka baru saja masuk ke dalam apartemen. Zoya meletakkan tas di meja, kemudian duduk di sofa. Tatapannya tajam, menunggu jawaban. “Clara,” jawabnya singkat. “Mantan istri pertama David.” Danis mengangkat alisnya. “Mantan istri pertama? Berarti dia sudah menikah lagi setelah bercerai dari David?” Aku mengangguk pelan. “Ya. Tapi pernikahan keduanya sangat beruntung. Dia menikah dengan Erick, bujang kaya nomor lima di kota ini.” Denia terdiam sejenak, seolah mencerna informasi itu. “Kenapa dia melihatmu seperti itu?” Aku tersenyum tipis, menatap tanganku sendiri. “Mungkin dia terkejut melihatku seperti ini. Dulu aku bukan ibu rumah tangga biasa, Danis. Aku hidup dalam kemewahan, selalu tampil sempurna. Sekarang? Aku hanya seorang wanita biasa, dengan pakaian sederhana dan tanpa perhiasan mencolok.” Danis menghela napas, lalu bersandar di sofa. “Itu memang lebih baik,” gumamnya. Aku menoleh, menatapnya dalam. “Maksudmu?”
Zoya baru saja keluar dari minimarket, satu tangan menenteng kantong plastik berisi susu formula, sementara tangan lainnya menopang tubuh kecil putrinya yang terlelap di gendongan. Wajahnya tampak lelah, tapi ada kelembutan dalam setiap gerakannya. Langit senja mulai meredup, dan angin sore yang berembus membawa aroma hujan yang tertahan di awan. Dia berjalan menuju halte bus, berniat segera pulang sebelum langit benar-benar runtuh menumpahkan gerimis. Namun, langkahnya terhenti ketika suara seseorang memanggil namanya. “Zoya?” Zoya menoleh dan melihat seorang wanita berdiri tak jauh darinya. Clara. Mantan sahabatnya yang dulu selalu bersamanya di masa-masa awal pernikahannya dengan David. Namun, setelah perceraian, semua orang seperti perlahan menghilang dari hidupnya, termasuk Clara. Clara mendekat, matanya menelusuri sosok Zoya dengan ekspresi sulit ditebak. Dia tampak terkejut sekaligus iba. Zoya masih seperti dulu—sederhana, tapi kali ini lebih bersahaja. Ia mengenakan ga
Kemala melangkah masuk ke dalam kafe dengan wajah muram. Matanya menyapu ruangan hingga menemukan sosok kakaknya, Thomas, yang sudah duduk di pojok dekat jendela. Dengan langkah gontai, ia berjalan ke arahnya dan duduk di kursi seberang. Thomas melirik adiknya sekilas lalu mendesah. "Kenapa mukamu kusut begitu?" tanyanya sambil mengaduk kopi hitamnya. Kemala tidak langsung menjawab. Ia hanya menopang dagu dan menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Setelah beberapa detik hening, ia akhirnya membuka suara. "Aku baru saja bertemu mantanku," katanya lemah. Thomas mengangkat alisnya. "Dan?" Kemala menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku mencoba bicara dengannya, ingin memperbaiki hubungan kami. Tapi dia malah mengomeli ku, berkata bahwa aku mengganggu hidupnya, menyuruhku berhenti mendekatinya." Thomas meletakkan sendok kopinya dan menatap Kemala dengan ekspresi tidak percaya. "Serius, Kemala? Kamu masih saja mengejar dia? Bukankah sudah jelas dia tidak mengingink
Clara menatap suaminya dengan saksama, mencoba membaca ekspresi di wajahnya yang tenang. Sejak mereka bertemu dengan wanita itu di butik sore tadi, pikirannya terusik. Erick hanya memberi jawaban singkat ketika Clara bertanya siapa dia, tetapi perasaan tidak enak masih menyelimuti hatinya. Saat ini, mereka sudah berada di kamar, bersiap untuk tidur. Namun, rasa penasaran Clara belum juga reda. Ia duduk di tepi ranjang, memainkan ujung selimut dengan gelisah sebelum akhirnya bertanya, "Erick, siapa sebenarnya Kamelia?" Pria itu, yang tengah melepas jam tangannya, terdiam sejenak. Ia menatap Clara, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Kamu benar-benar ingin tahu?" tanyanya lembut. Clara mengangguk mantap. "Ya. Dia bukan sekadar teman sekolah atau teman kerja, kan?" Erick menarik napas dalam. "Tidak. Dia lebih dari itu," akhirnya ia mengakui. "Kamelia adalah wanita yang dulu pernah dijodohkan denganku oleh mendiang Ibu." Clara merasakan sesuatu mencelos di dadanya. Matanya membu
Clara memejamkan mata erat-erat, menahan rasa mual yang kembali menyerang. Tangannya menggenggam erat selimut, tubuhnya terasa lemas, sementara keringat dingin membasahi pelipisnya. Sudah tiga bulan usia kehamilannya, dan bukannya membaik, justru semakin berat. Mual datang tanpa aba-aba, kepala terasa berat seperti dihimpit beban, dan nafsu makannya turun drastis. "Sayang, kamu masih mual?" Erick duduk di sisi ranjang, menatapnya dengan wajah cemas. Tangannya terulur, mengusap lembut punggung Clara, berusaha memberikan kenyamanan. Clara membuka mata perlahan, bibirnya pucat. "Iya… kayaknya makin parah." Erick menarik napas, lalu dengan sigap mengambil segelas air putih dari nakas. "Coba minum sedikit, biar tidak dehidrasi." Clara meneguknya pelan, tapi baru beberapa detik kemudian, perutnya bergejolak lagi. Ia buru-buru menyingkap selimut dan berlari menuju kamar mandi. Erick sigap mengikuti, membantunya menahan rambut saat Clara kembali muntah. "Ya Tuhan, aku capek sekali,
Waktu berlalu, dan kebahagiaan itu akhirnya tiba. Setelah sembilan bulan penuh perjuangan, Clara berhasil melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat. Tangisannya yang nyaring memenuhi ruang bersalin, seolah menjadi nyanyian kebahagiaan bagi Erick yang setia menunggu di luar ruangan. Saat dokter akhirnya keluar dan memberi kabar bahwa Clara dan bayinya baik-baik saja, Erick merasa lega. Ia segera masuk dan melihat istrinya yang terbaring lelah, namun wajahnya bersinar penuh kebahagiaan. "Terima kasih, Sayang. Kamu sudah berjuang," bisik Erick sambil menggenggam tangan Clara dengan erat. Matanya menatap penuh cinta pada bayi mungil yang berada dalam pelukan istrinya. Clara tersenyum lemah, lalu menggeser sedikit kain yang menyelimuti bayinya. "Lihat, Erick. Dia sangat mirip denganmu," katanya pelan. Erick menatap wajah kecil itu—hidung mungil, bibir tipis, dan pipi yang masih kemerahan. Hatinya meleleh seketika. Ia menyentuh lembut dahi anaknya, seolah tak percaya bahwa kini ia