REMBULAN Pukul dua dini hari pintu kamarku diketuk. Setelah pintu kubuka kulihat Romeo berdiri tegak di hadapanku dengan mengenakan jaket tebal. Aku menyesal karena lupa membawa jaket. Yang kubawa malah cardigan."Sudah siap?" tanya Romeo melihatku hanya berdiri mematung.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Sebentar ya."Romeo menjawab dengan senyumnya. Kubiarkan dia berdiri di sisi pintu sedangkan aku mengambil tas yang berisi kamera dan perlengkapan kecil lainnya."Dari sini ke Batur kira-kira dua jam perjalanan. Terus kalau mau naik kira-kira juga dua jam," jelas Romeo padaku setelah kami berada di jeep-nya.Aku nggak tahu apa nanti aku bisa ikut mendaki mengingat satu kali pun belum berpengalaman mendaki gunung."Kenapa? Ada yang kamu pikirin?" Romeo sepertinya bisa membaca kebimbanganku."Aku nggak tahu apa bisa ikut," ungkapku jujur."Ikut naik?""Yap. It my first.""Selalu ada yang pertama kan? Boleh aku tahu apa yang bikin kamu ragu? Takut gunungnya meletus waktu kita lagi d
REMBULAN "Nggak mau difoto?" Suara Romeo mengejutkanku, menyadarkan bahwa aku harus turun dari gendongannya."Iya, sebentar."Detik selanjutnya aku sudah menapak di tanah. Kukeluarkan kamera dari dalam tas lalu memotret matahari terbit yang semakin lama semakin tinggi. Semakin dilihat semakin membuatku tidak ingin memalingkan mata saking indahnya.Tanpa sengaja kameraku terarah pada Romeo. Dari baliknya aku melihat dia senyum-senyum sendiri. Apa yang lucu?Aku memutar arah, berdiri membelakangi Romeo. Kehangatan membuncah di dalam dada melihat pemandangan alam yang menakjubkan seperti saat ini.Aku jadi berharap memiliki kamera mirorrless. Pasti hasil fotonya jadi lebih bagus.Setelah puas memotret aku melihat-lihat hasil jepretan barusan."Boleh aku lihat?" Tiba-tiba Romeo sudah berdiri di sebelahku."Tapi fotonya nggak bagus," jawabku kurang percaya diri."Masa? Aku lihat ya?"Aku terpaksa memberikan kameraku pada Romeo agar dia bisa melihatnya secara langsung.Romeo menekurinya.
REMBULANSetelah turun dari gunung Batur kami mampir di black lava. Banyak rombongan Jeep tour yang kulihat di sana yang rata-rata berpasangan. Entah itu pasangan kekasih atau pun suami istri. Melihat mereka aku teringat diriku sendiri dan Romeo. Kenapa Romeo nggak mengajak pacarnya saja ya? Atau mungkin pacarnya berada di Jakarta?Ah iya, aku hampir lupa. Waktu dia mengajakku ke Venice tadi dari gaya bicaranya dia belum punya pasangan. Tapi mungkinkah? Lelaki seperti Romeo yang mengutip kata Windy, 'dia cuma nafas udah bikin dengkul lemas', rasa-rasanya nggak mungkin masih sendiri.Aku pikir kami akan kembali ke hotel. Nyatanya bukan. Aku baru menyadari Romeo membawaku ke rumahnya ketika melihat desain bangunan dan warna catnya yang khas."Kok ke sini?" Jelas aku protes."Bunda chat aku, disuruh makan siang di rumah," alasannya."Kenapa nggak bilang dulu?" Aku merasa ditipu. Semestinya tadi dia meminta persetujuanku dulu bukannya langsung menyeretku ke rumahnya."Sorry. Akibat terlal
REMBULANRomeo benar-benar membuatkan visa untukku meski aku ngotot mengatakan tidak akan ikut dengannya. Lalu ketika visa itu jadi bagaimana mungkin aku mengatakan tidak?Demi keamanan mulut-mulut kepo para teman-temanku aku sengaja merahasiakan posisiku saat ini. Saat mereka bertanya kukatakan masih berada di Bali. "Betah banget lo di sana, Pak Romeo udah di sini padahal," celoteh Mecca melalui sambungan telepon."Apa hubungannya sama gue?""Ya ada lah! Kalian kan liburan bareng di sana.""Nggak ya!" sanggahku membantah. "Gue dan bos lo itu cuma makan siang sekali doang. Itu pun karena nggak sengaja ketemu.""Yakin nih cuma sekali doang?" Mecca terkesan nggak percaya lalu terkikik di seberang sana."Ya udah sih, terserah lo mau percaya apa nggak." Aku pura-pura ngambek, tapi ternyata nggak mempan di Mecca."Gue sih lebih percaya kata hati daripada kata lo," ucapnya menjengkelkan.Itulah sebabnya kenapa aku juga menyembunyikan kepergianku ke Venice dengan Romeo. Aku bisa habis diled
“Kenzio Mahanta …”Nama itu meluncur lancar dari bibirku ketika menyaksikan sosok laki-laki itu dari jauh. Mendadak tubuhku terseret ke masa lalu. Tepatnya ke waktu beberapa tahun yang lalu. Tujuh atau delapan tahun yang silam. Ah, aku lupa persisnya. Sosok di hadapanku kini begitu nyata dalam versi yang telah disempurnakan berkali-kali lipat. Tidak mustahil juga jika aku akan bertemu dengan lelaki itu. Toh, ini adalah acara reuni terbuka yang bisa dihadiri oleh siapa saja. Tidak terkecuali dia.Dan Kenzio masih saja gagah seperti dulu.Ah, sial. Aku masih saja memujinya.Aku akui aku memang tidak kebal oleh pesonanya sejak dulu. Tapi yang tidak kusangka adalah mesti hitungan tahun berlalu tapi perasaanku padanya tidak berubah.Aku mencintainya.Tapi aku tidak berani berharap lebih. Memangnya siapa aku?Aku ibarat upik abu sedangkan dia adalah pangeran berkuda putih yang sudah jelas tidak akan mau melirik padaku.Sekarang aku bingung harus menghilang atau pura-pura tidak melihat. Aku
Saat pesanku terkirim di saat itulah aku menyadari mungkin aku terlalu to the point. Semestinya tadi aku berbasa-basi dulu. Setidaknya aku bertanya kabar Kenzio atau sekadar say hello. Bukannya langsung menodong minta bantuan.Semenit dua menit hingga sepuluh menit aku menunggu, namun pesanku masih belum dibaca. Mungkin Kenzio sudah tidur. Mungkin ponselnya mati. Atau mungkin dia sudah melihatnya tapi sengaja tidak membalas karena kalimat ‘Kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan hubungi aku ya’ hanya sekadar basa-basi.Lagi pula Kenzio belum tentu masih mengingatku. Selain aku hanya sampah, ada ribuan atau jutaan nama Viola di dunia ini. Apalagi akunku privat dan foto profilku bukan fotoku melainkan sebuah quote sok bijak.Aku mengesah lelah sambil mengucek mata. Angin dingin yang menyerang tubuh basahku membuatku semakin menggigil. Selain mata yang mulai berat, perutku ikut-ikutan lapar. Tadi karena sibuk berkutat dengan laptop aku melewatkan makan malam.Aku membawa tubuh yang semak
Kenzio menyetir kencang di sebelahku tanpa berkata apa-apa. Dia tidak bertanya apa yang terjadi padaku. Kenapa aku sampai begini dan segala macam. Sementara aku juga duduk membeku di sebelahnya. Sesekali aku mencuri pandang padanya. Tapi sepertinya Kenzio tidak menyadari aku memerhatikannya karena terlalu fokus menyetir. Aroma parfum mahal menguar dari dada telanjangnya. Sudah larut malam begini dia masih saja wangi. Sampai kemudian kami tiba di sebuah apartemen mewah di kawasan Jakarta Selatan. Dia mengajakku turun lalu naik ke unit yang ditempatinya. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami terheran-heran melihat Kenzio bertelanjang dada. Namun keheranan mereka melihat Kenzio pasti tidak ada apa-apanya saat melihat gadis kumal berjalan di sebelahnya. Dengan penampilanku saat ini—menggunakan celana tidur kumal, baju kaos kegedean, rambut lepek dan basah serta tidak mengenakan alas kaki, orang-orang pasti mengiraku gembel yang tersesat. Atau gadis dari pelosok kampung yang akan be
Kenzio sudah rapi saat aku bangun pagi ini. Aku menemukannya sedang duduk di kitchen stool sambil menyesap kopi. Sementara matanya terarah pada televisi yang menempel di dinding.Dia mengenakan kemeja biru langit, celana hitam serta pantofel hitam. Pertanda sudah siap untuk berangkat kerja. Kenzio bukanlah cowok-cowok sedingin es atau tipe-tipe mafia. Tapi dia adalah seorang pria muda yang humble dan menjadi mimpi banyak para wanita namun begitu sulit untuk digapai.Dari tempatku berdiri—tepat di belakangnya, aroma parfum Kenzio terhirup begitu jelas oleh hidungku. Aromanya lembut namun begitu maskulin. Sepertinya dia masih belum menyadari kehadiranku karena terlalu fokus pada layar televisi.Aku sengaja berdeham agar Kenzio mengetahui keberadaanku. Upayaku berhasil. Dia menoleh melalui bahu lalu memberi sapaan padaku."Aku nggak tahu kalau kamu sudah bangun."Aku tersenyum kaku. Semalam kami tiba di apartemen pukul setengah dua. Aku baru masuk ke kamar pukul dua lewat dan baru bisa t