ROMEOAku tahu begitu banyak kebetulan yang bisa saja terjadi di dunia ini. tapi kebetulan yang satu ini sama sekali nggak pernah ada di dalam prediksiku.Aku dan Bulan bertemu di pesawat dalam penerbangan ke Bali.Ingatanku terseret mundur pada waktu beberapa hari yang lalu. Saat itu aku sedang berbincang dengan Mecca."Gimana, Ca, teman kamu mau kerja di sini?" tanyaku pada Mecca.Mecca menyingkirkan kertas-kertas yang tadi menyita perhatiannya lalu memberikan atensi padaku."Saya udah kasih tahu sih, Pak, tapi katanya dia butuh waktu untuk berpikir."Baru kali ini aku tahu ada orang yang baru saja kehilangan pekerjaan dan ketika ditawari pekerjaan baru dia bukannya menerima dengan cepat tapi malah mengulur waktu. Atau mungkin itu hanya bahasa halusnya saja bahwa dia sebenarnya menolak penawaran kerja dariku?Aku tersentak saat mendengar suara anak kecil yang menangis, berasal dari penumpang yang duduk di belakangku. Ternyata aku nggak lagi sedang berbicara dengan Mecca, tapi dengan
ROMEOBeberapa detik setelah pesanku terkirim barulah aku menyesalinya. Untuk apa aku menanyakannya? Terlebih pada anak buahku pula. Memangnya apa yang akan aku lakukan setelah tahu di mana Bulan menginap?Ingin menarik pesan itu kembali tapi Mecca sudah membacanya. Lalu kulihat tulisan dia sedang mengetik.Selang beberapa detik setelahnya balasan pesan dari Mecca masuk ke handphoneku."Bulan ya maksud Bapak? Maaf, Pak, saya nggak tahu dia stay di mana. Tapi nanti coba saya tanya sama teman saya yang lain. Dia yang ngurus penginapan Bulan selama di Bali.""Oh nggak usah repot-repot. Tadi saya nanya hanya karena satu flight dengan dia.""Baik, Pak."Nggak ada lagi pesan masuk dari Mecca setelahnya.Kusimpan ponselku ke dalam saku. Bersamaan dengan itu taksi yang kutumpangi berhenti di depan rumah.Rumah terlihat sepi tapi aku sudah hafal di mana letak kunci berada. Di bawah pot bunga yang terletak di tengah-tengah di antara pot-pot lainnya.Betul dugaanku. Kunci rumah ada di sana. Mung
REMBULAN "Yang di depan sana rumah Tante." Tante Viola memberitahuku beberapa meter sebelumnya. Aku mengurangi tekanan pada pedal gas kemudian menepi dan memasuki halaman sebuah rumah berwarna broken white dengan gradasi coklat tanah. Rumah Tante Viola. Aku membantunya keluar dari mobil lalu membimbingnya berjalan. Tante Viola terpincang-pincang. Tadi menurut ceritanya dia jadi begini karena tempo hari jatuh di kamar mandi. "Bulan, tolong ambilin kunci di bawah pot bunga yang itu." Tante Viola menunjuk pot yang berada di tengah-tengah. Aku melakukannya. Ketika tanganku menelusup ke bawah pot bunga tersebut aku nggak menemukan apa-apa. "Tante, kuncinya nggak ada." "Nggak ada?" ulang Tante Viola heran. Kuanggukkan kepala sambil mengangkat pot dari lantai hingga Tante Viola bisa melihat sendiri kenyataannya. "Berarti ada orang di dalam. Tapi kenapa nggak ada mobil?" Tante Viola bergumam sendiri. "Seharusnya kalau suami atau anak Tante pulang pasti ada mobil parkir di d
ROMEO "Bulan, kalau ada waktu main ke rumah ya," kata Bunda setelah Bulan duduk di sebelahku di dalam mobil.Bulan mengangguk canggung.Hufft ... dasar Bunda. Saking ramahnya ia memperlakukan semua orang dengan baik. Padahal baru juga kenal dengan Bulan beberapa jam yang lalu."Sorry, kalau tadi Bunda ngerepotin kamu." Aku yakin kalau tadi Bulan punya acara sendiri tapi tertunda gara-gara membantu Bunda."Ah enggak kok. Nggak ada yang ngerepotin," sangkalnya membantah. "Beneran?" tanyaku kurang yakin. Apalagi seingatku tadi dia mengatakan pada Bunda ada janji bertemu dengan seseorang. Siapa tahu orang itu seseorang yang sangat berarti baginya. Mungkin saja kedatangan Bulan ke Bali adalah untuk kencan dengan seseorang. "Beneran.""Jadi sekarang aku harus antar kamu ke mana?""Ke hotel.""Ketemuannya di hotel?""Dengan siapa?"Aku terdiam sesaat. Kenapa dia malah balik nanya? Bukankah tadi Bulan mengatakan harus bertemu orang? Apa dia lupa?"Tadi kamu bilang ke Bunda akan bertemu ses
REMBULAN Selepas makan bersama Romeo mengantarku kembali ke hotel. Dan tebak apa yang teman-temanku lakukan? Di grup yang isinya hanya kami berempat Mecca, Windy dan Tiara pada heboh. Apalagi kalau bukan karena aku yang jalan bersama bosnya Mecca.Aku membaca chat di grup satu per satu sambil menahan senyum.Mecca: Woiii, udah pada tahu belum di Bali Bulan jalan sama siapa?Windy: Sama siapa emang?Tiara: Tour guide pasti. Doi kan nggak tahu apa-apa tentang Bali.Aku akui yang dibilang Tiara nggak salah. Meski begitu hobiku adalah traveling, entah ke luar atau dalam negeri, menjelajah tempat-tempat baru.Mecca: Hahaha. Bukan heh!Windy: Ya terus?Mecca: Bos gue dong!Windy: Maksud lo bos lo yang Pak Romeo itu? Yang dia nggak ngapa-ngapain tapi bikin dengkul kita pada lemas?Senyumku melebar membaca cara Windy mendeskripsikan sosok Romeo. Lebay nih anak.Mecca: Hahaha ... iya.Windy: Huaaaa ... kok bisa?Mecca: Kita tanya orangnya langsung yuk!Lalu Mecca me-mention namaku. Karena ak
REMBULAN Pukul dua dini hari pintu kamarku diketuk. Setelah pintu kubuka kulihat Romeo berdiri tegak di hadapanku dengan mengenakan jaket tebal. Aku menyesal karena lupa membawa jaket. Yang kubawa malah cardigan."Sudah siap?" tanya Romeo melihatku hanya berdiri mematung.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Sebentar ya."Romeo menjawab dengan senyumnya. Kubiarkan dia berdiri di sisi pintu sedangkan aku mengambil tas yang berisi kamera dan perlengkapan kecil lainnya."Dari sini ke Batur kira-kira dua jam perjalanan. Terus kalau mau naik kira-kira juga dua jam," jelas Romeo padaku setelah kami berada di jeep-nya.Aku nggak tahu apa nanti aku bisa ikut mendaki mengingat satu kali pun belum berpengalaman mendaki gunung."Kenapa? Ada yang kamu pikirin?" Romeo sepertinya bisa membaca kebimbanganku."Aku nggak tahu apa bisa ikut," ungkapku jujur."Ikut naik?""Yap. It my first.""Selalu ada yang pertama kan? Boleh aku tahu apa yang bikin kamu ragu? Takut gunungnya meletus waktu kita lagi d
REMBULAN "Nggak mau difoto?" Suara Romeo mengejutkanku, menyadarkan bahwa aku harus turun dari gendongannya."Iya, sebentar."Detik selanjutnya aku sudah menapak di tanah. Kukeluarkan kamera dari dalam tas lalu memotret matahari terbit yang semakin lama semakin tinggi. Semakin dilihat semakin membuatku tidak ingin memalingkan mata saking indahnya.Tanpa sengaja kameraku terarah pada Romeo. Dari baliknya aku melihat dia senyum-senyum sendiri. Apa yang lucu?Aku memutar arah, berdiri membelakangi Romeo. Kehangatan membuncah di dalam dada melihat pemandangan alam yang menakjubkan seperti saat ini.Aku jadi berharap memiliki kamera mirorrless. Pasti hasil fotonya jadi lebih bagus.Setelah puas memotret aku melihat-lihat hasil jepretan barusan."Boleh aku lihat?" Tiba-tiba Romeo sudah berdiri di sebelahku."Tapi fotonya nggak bagus," jawabku kurang percaya diri."Masa? Aku lihat ya?"Aku terpaksa memberikan kameraku pada Romeo agar dia bisa melihatnya secara langsung.Romeo menekurinya.
REMBULANSetelah turun dari gunung Batur kami mampir di black lava. Banyak rombongan Jeep tour yang kulihat di sana yang rata-rata berpasangan. Entah itu pasangan kekasih atau pun suami istri. Melihat mereka aku teringat diriku sendiri dan Romeo. Kenapa Romeo nggak mengajak pacarnya saja ya? Atau mungkin pacarnya berada di Jakarta?Ah iya, aku hampir lupa. Waktu dia mengajakku ke Venice tadi dari gaya bicaranya dia belum punya pasangan. Tapi mungkinkah? Lelaki seperti Romeo yang mengutip kata Windy, 'dia cuma nafas udah bikin dengkul lemas', rasa-rasanya nggak mungkin masih sendiri.Aku pikir kami akan kembali ke hotel. Nyatanya bukan. Aku baru menyadari Romeo membawaku ke rumahnya ketika melihat desain bangunan dan warna catnya yang khas."Kok ke sini?" Jelas aku protes."Bunda chat aku, disuruh makan siang di rumah," alasannya."Kenapa nggak bilang dulu?" Aku merasa ditipu. Semestinya tadi dia meminta persetujuanku dulu bukannya langsung menyeretku ke rumahnya."Sorry. Akibat terlal
REMBULANSudah empat hari Romeo pulang ke Bali. Dia bilang ada urusan menangani klien di sana sekalian mengantar Tante Viola.Sudah empat hari juga Romeo nggak menghubungiku sekadar untuk menanyakan kabar. Padahal biasanya dia paling bawel mengingatkanku agar jangan lupa makan dan minum obat.Rasanya hidupku ada yang kurang tanpa adanya kabar dari Romeo.Apa itu artinya aku mulai ketergantungan dengannya? Sejak pembicaraanku dengan Tante Viola malam itu aku berhasil mencerna. Kemungkinan besar akulah orang yang dimaksud, ditambah lagi ucapan Romeo yang meminta menikah dengannya sebelum menemui klien, semakin memperkuat dugaanku ke arah tersebut.Aku berjalan mondar-mandir di dalam apartemen dengan ponsel berada di dalam genggaman. Jujur saja hidupku kurang tanpa Romeo. Aku merindukannya.Eh, apa tadi?Rindu?Benarkah aku merindukan Romeo? Tapi bagaimana bisa? Aku terus bersikap denial melawan perasaan itu. Yang kualami bukanlah perasaan rindu. Hanya perasaan kesepian karena biasanya
REMBULAN Di dalam mobil aku masih dihantui keraguan. Akan menginap di mana malam ini?Setelah lama berpikir kuputuskan untuk menginap di hotel, sisanya akan kupikirkan lagi nanti. Yang penting sekarang aku harus pulang dulu ke apartemen Romeo untuk mengambil pakaian. Semoga Romeo belum pulang. Nanti akan kutelepon dia dan mengatakan menginap di rumah Windy. Karena Mecca nggak bisa lagi kugunakan sebagai alasan. Dia pasti akan mengadu.Harapanku gagal jadi kenyataan. Sesampainya di apartemen aku melihat Romeo sudah pulang. Dan dia nggak sendiri. Ada Tante Viola juga. "Selamat malam, Tante," sapaku canggung."Malam, Bulan. baru pulang?" ujar Tante Viola ramah."Iya, Tante. Tante udah lama?""Paling baru lima belas menit.""Tante, saya permisi mau ke kamar sebentar.""Silakan, Lan."Aku langsung masuk ke kamar. Kehadiran Tante Viola di sini sudah cukup menjadi alasan yang kuat agar aku segera pergi. Setelah memasukkan pakaian ke dalam ransel aku keluar dari kamar. Kutemukan Tante Viola
ROMEOAda kekagetan yang nggak tersembunyikan dari wajahku setelah mendengar pertanyaan Bunda. Dari cara Bunda menatapku aku yakin dia berpikiran yang begitu jauh mengenai hubunganku dengan Bulan."Kok nggak dijawab sih, Rom? Jujur aja sih. Kita nggak bakal marah," ujar Kak Kei sambil tersenyum menggodaku."Nggak ada hubungan apa-apa, Kak, Nda. Aku dan Bulan cuma berteman.""Berteman?" ulang Bunda dengan alis bertaut."Iya, Nda.""Kalau memang berteman kenapa dia bisa tinggal di apartemen kamu?"Mampus aku. Kalau sudah begini satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah jujur pada Bunda dan juga Kak Kei."Nda, Kak ..."Keduanya tampak serius memperhatikanku. Pandangan lekat mereka yang jatuh di wajahku seakan bisa mendeteksi kebohongan atau kejujuran yang akan terungkap dari mulutku."Jujur sampai saat ini kami memang masih berteman. Tapi aku menyukai Bulan. Dia udah bikin aku jatuh cinta.""Terus?" ujar Bunda agar aku melanjutkan cerita."Bulan itu hidup sebatang kara. Dia tinggal se
REMBULANHari ini aku tinggal sendirian di apartemen lantaran kurang enak badan. Tadi Romeo menawarkan untuk mengantarku ke dokter. Tapi kutolak. Akhirnya dia membelikanku obat pereda panas.Setengah jam yang lalu Romeo meneleponku menanyakan keadaanku. Dia baru tenang setelah kukatakan panasku sudah turun.Aku akan ke kamar mandi ketika mendengar suara bel menggema.Siapa itu?Romeo punya akses sendiri. Dia nggak perlu membunyikan bel untuk masuk.Kuurungkan niat ke kamar mandi lalu kulangkahkan kakiku ke depan untuk membuka pintu.Setelah daun pintu terbuka tubuhku membeku menyaksikan dua wanita berbeda usia di hadapanku. Pun dengan keduanya.Tante Viola dan Lakeizia!"Lan, lo di sini?" ujar Lakeizia dengan keheranan yang begitu kentara.Ya Tuhan, apa yang harus kukatakan?Aku nggak mungkin bilang sedang bertamu dengan memakai piyama di tubuhku kan? Lagi pula nggak ada Romeo di sini."Iy-iya, silakan masuk, Kei, Tante," kataku menyilakan dengan gugup.Keduanya melangkahkan kaki mas
REMBULANJari-jemariku saling bertaut seolah ingin mencari kekuatan. Apa yang baru saja kudengar dari Romeo membuatku ingin pingsan detik ini juga.Seharusnya tadi aku nggak meminta dia meng-ACC lembar kontrolku. Dia pasti tahu penyakitku dari sana.Aku dan Lakeizia memang didiagnosa anxiety disorder dan PTSD. Hanya saja detail peristiwa yang membuatnya trauma aku nggak tahu. Pun sebaliknya. Dia nggak tahu apa yang terjadi di masa laluku. Kami sangat menghargai privasi masing-masing. Cukup kami tahu bahwa kami berdua mengidap penyakit yang sama."Please, Lan, bagi bebanmu itu denganku. Aku tahu semua itu berat dan kamu nggak bisa menanggungnya sendiri."Aku masih mematung ketika mendengar suara Romeo untuk ke sekian kalinya.Apa yang harus kulakukan? Selama ini aku menyimpan rapat-rapat rahasia terbesarku. Jangankan Romeo, bahkan sahabat dekatku juga nggak tahu apa-apa."Aku bisa dipercaya kalau itu yang kamu khawatirin," ucap Romeo lagi."Nanti ya, di apartemen." Akhirnya kalimat itu
REMBULAN "See? Orang-orang akan nganggap kamu nggak waras kalau kamu ada di sini. Reputasi kamu bakalan rusak, Rom," tawaku getir setelah Saskia pergi."Biarin. Kita nggak bisa ngendaliin pikiran orang lain, Lan. Yang bisa kita kendaliin ya pikiran kita sendiri," ucapnya bijak.Aku terdiam, nggak sanggup lagi membalasnya. Wajar dia jadi pengacara. Kemampuannya bersilat lidah nggak diragukan lagi. "Ibu Zivana Rembulan!" Seorang perawat membuka pintu ruangan psikiater, memanggil namaku agar masuk."Perlu ditemenin?" ujar Romeo."Nggak usah," tolakku. Aku bisa sendiri. Justru dengan ditemani Romeo masuk ke dalam akan membuat rahasiaku lain bisa terbongkar.Seperti biasa psikiater menanyakan keadaanku dan perkembangan sampai sejauh ini. Psikiaterku seorang perempuan. Dia begitu lembut dan sabar menghadapi pasiennya. Termasuk padaku."Gimana, Lan, masih sering mimpi buruk?" Psikiaterku mengawali dengan pertanyaan setelah aku duduk tepat di hadapannya.Aku masih ingat. Dulu di depan orang
REMBULANTanpa terasa sudah satu bulan aku tinggal di apartemen Romeo. Dalam rentang itu pula nggak ada satu pun dari para sahabatku yang tahu. Selain sibuk dengan dunia masing-masing paling hanya Mecca yang selalu berinteraksi denganku. Itu pun dia selalu menemuiku ke toko karena dari pagi sampai malam aku selalu menghabiskan waktu di sana. Otomatis pertemuanku dengan Romeo juga nggak terlalu sering. Kami hanya bertemu pada pagi hari ataupun malam di saat sudah pulang kerja. Sampai sejauh ini Romeo memegang kata-katanya. Dia murni hanya melindungiku. Nggak pernah ada kejadian aneh atau yang terulang pada kami berdua."Lan, besok jadwal kamu kontrol kan?" ujar Romeo malam itu. Kami baru sama-sama pulang kerja lalu duduk mengobrol sambil menikmati roti bakar yang dibeli Romeo.Aku sedikit kaget karena dia mengetahui jadwal kontrolku ke psikiater."Iya kan?" tanyanya meminta kepastian.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Aku temenin ya?"Aku yang sedari tadi fokus menikmati roti bakar
REMBULAN Mungkin ini adalah hal paling gila yang pernah kulakukan. Bagaimana mungkin aku tinggal bersama dengan lelaki yang masih asing bagiku? Dan lelaki itu sama sekali nggak ada hubungannya denganku. Tapi entah mengapa satu sisi hatiku nggak mampu untuk menolak. Karena sejujurnya peristiwa tadi menambah trauma baru dalam hidupku.Hari itu juga aku pindah ke apartemen Romeo. Aku membawa seluruh pakaian dan barang-barang penting. Sisanya seperti furniture aku biarkan tetap ada di sana. Romeo mengusulkan padaku untuk menyewakan apartemen tersebut atau menjualnya. Dan aku setuju. Aku ingin menjualnya saja. Aku ingin mengenyahkan tempat yang sudah menimbulkan trauma."Welcome home, Rembulan. Semoga betah tinggal di sini," kata Romeo setelah kami tiba di apartemennya.Apartemen Romeo didominasi oleh warna putih sehingga memberi kesan luas. Ada dua kamar di sana. Satu kamar utama dan satu kamar tamu. Tapi ukurannya kurasa nggak jauh berbeda."Kamu bisa tempati kamar ini, Lan. Anggap aja
REMBULANPutra terkejut melihat apa yang terjadi. Pria itu berniat kabur. Namun tentu saja Romeo nggak akan melepaskannya dengan begitu saja."Sebentar, Lan, aku selesaikan dulu urusan sama bajingan itu," bisik Romeo padaku.Aku melepaskan diri dari dekapan Romeo dan membiarkan lelaki itu membuat perhitungan dengan Putra.Berdiri berhadapan dengan bajingan tengik itu, Romeo langsung mencekal krah kemejanya."Berani-beraninya lo ngeganggu cewek gue. Sekarang katakan hukuman apa yang pantas buat lo? Lo pengen mulai dari mana dulu? Di sini?" Romeo menekan perut Putra kuat-kuat dengan tangannya yang bebas. "Atau di sini?" sambungnya mengepalkan tinju ke wajah lelaki itu.Kilat mata Romeo yang terlihat begitu mengerikan tak pelak membuat Putra ketakutan."Ampun, Mas. Lepasin saya," cicitnya seperti tikus."Apa tadi waktu Bulan minta lepasin, lo langsung lepasin dia?"Putra nggak berani menjawab. Sedangkan Romeo semakin berkilat marah. Jujur, aku sangat takut melihat wajahnya."Ini hanya sa