REMBULAN "Yang di depan sana rumah Tante." Tante Viola memberitahuku beberapa meter sebelumnya. Aku mengurangi tekanan pada pedal gas kemudian menepi dan memasuki halaman sebuah rumah berwarna broken white dengan gradasi coklat tanah. Rumah Tante Viola. Aku membantunya keluar dari mobil lalu membimbingnya berjalan. Tante Viola terpincang-pincang. Tadi menurut ceritanya dia jadi begini karena tempo hari jatuh di kamar mandi. "Bulan, tolong ambilin kunci di bawah pot bunga yang itu." Tante Viola menunjuk pot yang berada di tengah-tengah. Aku melakukannya. Ketika tanganku menelusup ke bawah pot bunga tersebut aku nggak menemukan apa-apa. "Tante, kuncinya nggak ada." "Nggak ada?" ulang Tante Viola heran. Kuanggukkan kepala sambil mengangkat pot dari lantai hingga Tante Viola bisa melihat sendiri kenyataannya. "Berarti ada orang di dalam. Tapi kenapa nggak ada mobil?" Tante Viola bergumam sendiri. "Seharusnya kalau suami atau anak Tante pulang pasti ada mobil parkir di d
ROMEO "Bulan, kalau ada waktu main ke rumah ya," kata Bunda setelah Bulan duduk di sebelahku di dalam mobil.Bulan mengangguk canggung.Hufft ... dasar Bunda. Saking ramahnya ia memperlakukan semua orang dengan baik. Padahal baru juga kenal dengan Bulan beberapa jam yang lalu."Sorry, kalau tadi Bunda ngerepotin kamu." Aku yakin kalau tadi Bulan punya acara sendiri tapi tertunda gara-gara membantu Bunda."Ah enggak kok. Nggak ada yang ngerepotin," sangkalnya membantah. "Beneran?" tanyaku kurang yakin. Apalagi seingatku tadi dia mengatakan pada Bunda ada janji bertemu dengan seseorang. Siapa tahu orang itu seseorang yang sangat berarti baginya. Mungkin saja kedatangan Bulan ke Bali adalah untuk kencan dengan seseorang. "Beneran.""Jadi sekarang aku harus antar kamu ke mana?""Ke hotel.""Ketemuannya di hotel?""Dengan siapa?"Aku terdiam sesaat. Kenapa dia malah balik nanya? Bukankah tadi Bulan mengatakan harus bertemu orang? Apa dia lupa?"Tadi kamu bilang ke Bunda akan bertemu ses
REMBULAN Selepas makan bersama Romeo mengantarku kembali ke hotel. Dan tebak apa yang teman-temanku lakukan? Di grup yang isinya hanya kami berempat Mecca, Windy dan Tiara pada heboh. Apalagi kalau bukan karena aku yang jalan bersama bosnya Mecca.Aku membaca chat di grup satu per satu sambil menahan senyum.Mecca: Woiii, udah pada tahu belum di Bali Bulan jalan sama siapa?Windy: Sama siapa emang?Tiara: Tour guide pasti. Doi kan nggak tahu apa-apa tentang Bali.Aku akui yang dibilang Tiara nggak salah. Meski begitu hobiku adalah traveling, entah ke luar atau dalam negeri, menjelajah tempat-tempat baru.Mecca: Hahaha. Bukan heh!Windy: Ya terus?Mecca: Bos gue dong!Windy: Maksud lo bos lo yang Pak Romeo itu? Yang dia nggak ngapa-ngapain tapi bikin dengkul kita pada lemas?Senyumku melebar membaca cara Windy mendeskripsikan sosok Romeo. Lebay nih anak.Mecca: Hahaha ... iya.Windy: Huaaaa ... kok bisa?Mecca: Kita tanya orangnya langsung yuk!Lalu Mecca me-mention namaku. Karena ak
REMBULAN Pukul dua dini hari pintu kamarku diketuk. Setelah pintu kubuka kulihat Romeo berdiri tegak di hadapanku dengan mengenakan jaket tebal. Aku menyesal karena lupa membawa jaket. Yang kubawa malah cardigan."Sudah siap?" tanya Romeo melihatku hanya berdiri mematung.Kuanggukkan kepala sebagai jawaban."Sebentar ya."Romeo menjawab dengan senyumnya. Kubiarkan dia berdiri di sisi pintu sedangkan aku mengambil tas yang berisi kamera dan perlengkapan kecil lainnya."Dari sini ke Batur kira-kira dua jam perjalanan. Terus kalau mau naik kira-kira juga dua jam," jelas Romeo padaku setelah kami berada di jeep-nya.Aku nggak tahu apa nanti aku bisa ikut mendaki mengingat satu kali pun belum berpengalaman mendaki gunung."Kenapa? Ada yang kamu pikirin?" Romeo sepertinya bisa membaca kebimbanganku."Aku nggak tahu apa bisa ikut," ungkapku jujur."Ikut naik?""Yap. It my first.""Selalu ada yang pertama kan? Boleh aku tahu apa yang bikin kamu ragu? Takut gunungnya meletus waktu kita lagi d
REMBULAN "Nggak mau difoto?" Suara Romeo mengejutkanku, menyadarkan bahwa aku harus turun dari gendongannya."Iya, sebentar."Detik selanjutnya aku sudah menapak di tanah. Kukeluarkan kamera dari dalam tas lalu memotret matahari terbit yang semakin lama semakin tinggi. Semakin dilihat semakin membuatku tidak ingin memalingkan mata saking indahnya.Tanpa sengaja kameraku terarah pada Romeo. Dari baliknya aku melihat dia senyum-senyum sendiri. Apa yang lucu?Aku memutar arah, berdiri membelakangi Romeo. Kehangatan membuncah di dalam dada melihat pemandangan alam yang menakjubkan seperti saat ini.Aku jadi berharap memiliki kamera mirorrless. Pasti hasil fotonya jadi lebih bagus.Setelah puas memotret aku melihat-lihat hasil jepretan barusan."Boleh aku lihat?" Tiba-tiba Romeo sudah berdiri di sebelahku."Tapi fotonya nggak bagus," jawabku kurang percaya diri."Masa? Aku lihat ya?"Aku terpaksa memberikan kameraku pada Romeo agar dia bisa melihatnya secara langsung.Romeo menekurinya.
REMBULANSetelah turun dari gunung Batur kami mampir di black lava. Banyak rombongan Jeep tour yang kulihat di sana yang rata-rata berpasangan. Entah itu pasangan kekasih atau pun suami istri. Melihat mereka aku teringat diriku sendiri dan Romeo. Kenapa Romeo nggak mengajak pacarnya saja ya? Atau mungkin pacarnya berada di Jakarta?Ah iya, aku hampir lupa. Waktu dia mengajakku ke Venice tadi dari gaya bicaranya dia belum punya pasangan. Tapi mungkinkah? Lelaki seperti Romeo yang mengutip kata Windy, 'dia cuma nafas udah bikin dengkul lemas', rasa-rasanya nggak mungkin masih sendiri.Aku pikir kami akan kembali ke hotel. Nyatanya bukan. Aku baru menyadari Romeo membawaku ke rumahnya ketika melihat desain bangunan dan warna catnya yang khas."Kok ke sini?" Jelas aku protes."Bunda chat aku, disuruh makan siang di rumah," alasannya."Kenapa nggak bilang dulu?" Aku merasa ditipu. Semestinya tadi dia meminta persetujuanku dulu bukannya langsung menyeretku ke rumahnya."Sorry. Akibat terlal
REMBULANRomeo benar-benar membuatkan visa untukku meski aku ngotot mengatakan tidak akan ikut dengannya. Lalu ketika visa itu jadi bagaimana mungkin aku mengatakan tidak?Demi keamanan mulut-mulut kepo para teman-temanku aku sengaja merahasiakan posisiku saat ini. Saat mereka bertanya kukatakan masih berada di Bali. "Betah banget lo di sana, Pak Romeo udah di sini padahal," celoteh Mecca melalui sambungan telepon."Apa hubungannya sama gue?""Ya ada lah! Kalian kan liburan bareng di sana.""Nggak ya!" sanggahku membantah. "Gue dan bos lo itu cuma makan siang sekali doang. Itu pun karena nggak sengaja ketemu.""Yakin nih cuma sekali doang?" Mecca terkesan nggak percaya lalu terkikik di seberang sana."Ya udah sih, terserah lo mau percaya apa nggak." Aku pura-pura ngambek, tapi ternyata nggak mempan di Mecca."Gue sih lebih percaya kata hati daripada kata lo," ucapnya menjengkelkan.Itulah sebabnya kenapa aku juga menyembunyikan kepergianku ke Venice dengan Romeo. Aku bisa habis diled
“Kenzio Mahanta …”Nama itu meluncur lancar dari bibirku ketika menyaksikan sosok laki-laki itu dari jauh. Mendadak tubuhku terseret ke masa lalu. Tepatnya ke waktu beberapa tahun yang lalu. Tujuh atau delapan tahun yang silam. Ah, aku lupa persisnya. Sosok di hadapanku kini begitu nyata dalam versi yang telah disempurnakan berkali-kali lipat. Tidak mustahil juga jika aku akan bertemu dengan lelaki itu. Toh, ini adalah acara reuni terbuka yang bisa dihadiri oleh siapa saja. Tidak terkecuali dia.Dan Kenzio masih saja gagah seperti dulu.Ah, sial. Aku masih saja memujinya.Aku akui aku memang tidak kebal oleh pesonanya sejak dulu. Tapi yang tidak kusangka adalah mesti hitungan tahun berlalu tapi perasaanku padanya tidak berubah.Aku mencintainya.Tapi aku tidak berani berharap lebih. Memangnya siapa aku?Aku ibarat upik abu sedangkan dia adalah pangeran berkuda putih yang sudah jelas tidak akan mau melirik padaku.Sekarang aku bingung harus menghilang atau pura-pura tidak melihat. Aku