Sabar Rania....
“Sayang ... kenapa? Kok malah ngelamun?” tanya Rafka khawatir. Rania sedikit tersentak ketika dikejutkan oleh pertanyaan dari suaminya. Lalu wanita itu hanya mampu menggelengkan kepalanya. Tidak berani berkata jujur kepada Rafka. “Kamu tidak sedang sakit ‘kan? Mas tidak jadi berangkat kalau memang kamu sedang tidak enak badan,” jelas Rafka yang lebih memilih mengutamakan istrinya. Meski beresiko kehilangan sebuah kesempatan emas. “Tidak, Mas. Rania sehat kok.” Rania memaksakan diri untuk tetap tersenyum. “Ini sudah selesai, Mas. Mau ditaruh di mana?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. “Biar disitu saja, Sayang. Nanti mas yang bawa.” Setelah mengatakan kalimat itu, Rafka menarik tangan Rania. Kemudian ia sandarkan di dinding. Tanpa banyak bicara ia langsung menekan tengkuk sang istri dan melumat bibirnya dengan lembut. Dan semakin lama lelaki tampan itu semakin memperdalam ciumannya. Rania mencoba mengimbangi pergerakan sang suami. Ia pun tak mau kalah. Perasaannya semakin wa
“Aku juga sangat-sangat mencintaimu, Mas Rafka. I love you so much.” Rania memperlihatkan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk kata saranghaeyo. Kemudian menciumnya dan seolah menerbangkan ciuman itu kepada Rafka. Otomatis Rafka menangkapnya dan ia tempelkan ke bibirnya. “Terima kasih, Sayang.” Rafka melambaikan tangan dan benar-benar pergi meninggalkan Rania bersama Dokter Dave. “Mau langsung pulang?” tanya Dave lembut dan sopan. “Memangnya mau ke mana?” jawab Rania balik bertanya. “Mungkin ingin menikmati sesuatu terlebih dahulu. Di sekitar bandara biasanya banyak makanan oleh-oleh. Kamu bisa membelikan untuk Bi Murni dan Bi Yati di rumah,” terang Dave menjawab dengan santai. Rania merasa tertohok. Bagaimana mungkin Dave lebih perhatian dan peduli kepada asisten rumah tangga di rumahnya? Sementara Rania sendiri tidak kepikiran untuk sekedar membeli makanan ringan. “Kamu benar, Dave. Kenapa kamu bisa tahu tentang mereka?” tanya Rania merasa malu. “Ya, karena Rafka sudah m
Saat terbangun di pagi hari, Rania merasakan ponselnya berdering dan bergetar. “Siapa?” Kedua mata Rania mengerjap pelan. “Mas Rafka?” Meski panggilan dari nomor baru, Rania yakin jika itu panggilan dari suaminya. Tetapi belum sempat Rania menyentuh simbol warna hijau, panggilan itu sudah berhenti. Rania segera mengecek ponselnya. Banyak sekali panggilan tak terjawab dari Rafka. Wanita itu menghembuskan nafas berat. Menyesal karena bangun kesiangan. Badannya terasa pegal-pegal. Mungkin karena ketiduran di mobil kemarin saat di perjalanan. “Sebaiknya aku telepon balik saja Mas Rafka.” Jemari Rania bergerak cepat. Dengan sabar ia menanti panggilannya diterima. Ternyata nihil. Nomor Rafka sudah tidak aktif. “Kenapa sudah tidak bisa ya?” ucap Rania risau Wanita itu memilih untuk meletakkan ponselnya. Lalu beranjak dan masuk ke dalam kamar mandi. Pagi itu Rania mengabari Dimas di restoran bahwa dirinya tidak bisa datang. Setelah selesai dengan pakaian barunya, Rania turun ke bawah.
Lamunan Rania terhenti saat tiba-tiba mendengar ponselnya berdering. Secepat kilat wanita itu segera mengecek ponselnya. Senyuman di bibirnya seketika mengembang saat melihat gambar Rafka tengah meneleponnya. Rania langsung menyentuh gambar gagang telepon berwarna hijau. Tampaklah wajah tampan sang suami yang tersenyum manis kepadanya. “Mas Rafka, Rania kangeennn. Rania baru saja melamunkan Mas Rafka loh,” celetuk Rania tak mampu untuk berbohong. [Oh, ya? Mas di sini juga sangat merindukanmu. Semalam mas sampai nggak bisa tidur karena pengen dipeluk sama istriku yang super cantik.] Rania senyum-senyum mendengar ucapan dari Rafka. “Mas paling pinter kalau membuat Rania melayang.” [Em ...memangnya tadi Sayang lagi ngelamunin apa?] Rafka merasa sangat penasaran. Rania tampak berpikir. Apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. “Rahasia dong,” ungkapnya kemudian. [Masak sama suami sendiri main rahasia-rahasiaan, Sayang? Kamu bikin mas tambah kangen. Rasanya pengen pula
“Baiklah. Aku minta maaf. Aku pamit.” Meski hati sedikit merasa sakit, Dave berusaha untuk tidak terpengaruh dengan ucapan Rania. Ia hanya berusaha memegang janjinya kepada Rafka. Memangnya siapa dia berhak mengatur Rania? Rania terdiam seketika. Harusnya ia tidak menyakiti perasaan Dave. Dokter tampan itu hanya ingin menolongnya. Andai saja tidak ada dia, bagaimana nasib calon baby kembarnya nanti? Wanita itu segera menyusul kepergian Dave. “Dave, tunggu!” teriaknya kemudian. Dave menghentikan langkahnya. Ia masih berdiri dengan posisi membelakangi Rania. “Dave aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu. Aku tahu aku salah. Dan terima kasih telah menyelamatkan aku.” Rania tertunduk lesu. Ia pasrah jika akhirnya Dave akan membencinya. “Kamu tidak perlu meminta maaf, Rania.” Wanita itu mendongakkan kepalanya. “Terima kasih, Dave. Kemarin kamu menolak aku traktir. Aku harap sekarang kamu mau makan di sini.” “Ya, aku rasa itu ide yang bagus.” Dave tersenyum ke
Seharian Rania disibukkan dengan menata ruangan dan hiasan-hiasan yang unik bersama Dave. Dokter tampan itu benar-benar mengosongkan jadwal pertemuannya dengan para pasien ibu hamil khususnya. Rania melakukan semuanya dengan penuh semangat. Hingga ia melupakan ponselnya sedari pagi. “Kita istirahat dulu, Rania. Tinggal sedikit lagi semuanya sudah siap.” Rania mengangguk saja. Ia duduk di sebuah kursi sambil menikmati minuman botol. “Astaga, aku melupakan sesuatu.” Rania segera mengecek ponselnya yang ia letakkan di atas meja tanpa menyentuhnya sama sekali sejak tadi. “Kenapa bisa mati?” keluh Rania merasa heran. Pantas saja ia tidak mendengar ponselnya berbunyi meski sekali saja. Wanita itu pun mencoba menyalakan ponselnya. “Tidak mungkin. Padahal baterainya masih penuh.” Rania menoleh ke arah Dave. Lelaki itu sibuk dengan ponselnya sendiri. “Sepertinya aku tidak perlu menanyakan hal ini kepada Dave. Bukankah ia sedari tadi juga sibuk membantuku?” Rania melihat banyak sekali pe
“Ada apa Dave? Katakanlah,” ujar Rania penasaran. Dave terdiam. Ia berpikir cukup lama. Mungkin memang bukan saatnya ia menanyakan hal itu. “Have a nice dream.” Akhirnya hanya itu yang mampu diungkapkan oleh Dave. Rania pun terkejut. Tidak tahu harus menjawab apa. Bukankah itu hal yang sangat aneh? Mana mungkin Dave bisa berkata seperti itu. “Tidak, aku hanya bercanda, Rania. Maaf, aku pulang dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari Rania, Dave segera masuk ke dalam mobilnya. Ia sedikit merutuki kebodohannya baru saja. Hampir saja dokter tampan itu tidak bisa menahan diri. Rania terheran-heran. Ia tak mengerti apa maksud dari semua ucapan Dave. Wanita itu geleng-geleng. “Sebaiknya aku tidak terlalu memikirkannya.” Rania segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rumahnya. Wanita itu merebahkan tubuhnya dengan perlahan. Ia dapat meraskan baby kembar yang bergerak-gerak. Membuatnya perutnya merasa geli. Perlahan Rania mengusap perutnya dengan gerakan memutar. “Sebentar lagi kita
Rania tidak mau ambil pusing. Ia pun berkata, “Ya sudah, Bi. Rania makan dulu ya? Nanti malah lupa lagi kalau ngobrol terus.” “Hehehe. Maafkan kami ya, Bu Rania. Selamat makan. Kami mau balik ke belakang.” Bi Yati segera undur diri. Ia mengajak Bi Murni agar tidak mengganggu Rania lagi. Rania pun hanya tersenyum. Ia makan dengan pelan-pelan. Dan setelah itu menyeruput segelas susu khusus ibu hamil yang selalu disiapkan oleh Bi Murni. “Bi, Rania berangkat dulu ya?” pamit Rania kepada Bi Yati dan Bi Murni setelah menyelesaikan sarapan paginya. “Hati-hati Bu Rania.” Bi Yati melihat kepergian Rania dari pintu utama. Pagi ini Rania diantarkan oleh Rio kembali. “Rio, nanti sore kamu nggak usah jemput, ya? Aku ada urusan dengan Dokter Dave.” Rio menganggukkan kepalanya. “Bu Rania makin dekat saja sama pak dokter. Apa nanti Pak Rafka tidak cemburu ya?” celetuk Rio memberanikan diri. “Semua ini ‘kan memang atas ide Mas Rafka, Rio. Aku juga tak habis pikir. Harusnya Mas Rafka itu menyedia