Jambak terus rambutnya ya..... :D
Lamunan Rania terhenti saat tiba-tiba mendengar ponselnya berdering. Secepat kilat wanita itu segera mengecek ponselnya. Senyuman di bibirnya seketika mengembang saat melihat gambar Rafka tengah meneleponnya. Rania langsung menyentuh gambar gagang telepon berwarna hijau. Tampaklah wajah tampan sang suami yang tersenyum manis kepadanya. “Mas Rafka, Rania kangeennn. Rania baru saja melamunkan Mas Rafka loh,” celetuk Rania tak mampu untuk berbohong. [Oh, ya? Mas di sini juga sangat merindukanmu. Semalam mas sampai nggak bisa tidur karena pengen dipeluk sama istriku yang super cantik.] Rania senyum-senyum mendengar ucapan dari Rafka. “Mas paling pinter kalau membuat Rania melayang.” [Em ...memangnya tadi Sayang lagi ngelamunin apa?] Rafka merasa sangat penasaran. Rania tampak berpikir. Apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. “Rahasia dong,” ungkapnya kemudian. [Masak sama suami sendiri main rahasia-rahasiaan, Sayang? Kamu bikin mas tambah kangen. Rasanya pengen pula
“Baiklah. Aku minta maaf. Aku pamit.” Meski hati sedikit merasa sakit, Dave berusaha untuk tidak terpengaruh dengan ucapan Rania. Ia hanya berusaha memegang janjinya kepada Rafka. Memangnya siapa dia berhak mengatur Rania? Rania terdiam seketika. Harusnya ia tidak menyakiti perasaan Dave. Dokter tampan itu hanya ingin menolongnya. Andai saja tidak ada dia, bagaimana nasib calon baby kembarnya nanti? Wanita itu segera menyusul kepergian Dave. “Dave, tunggu!” teriaknya kemudian. Dave menghentikan langkahnya. Ia masih berdiri dengan posisi membelakangi Rania. “Dave aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu. Aku tahu aku salah. Dan terima kasih telah menyelamatkan aku.” Rania tertunduk lesu. Ia pasrah jika akhirnya Dave akan membencinya. “Kamu tidak perlu meminta maaf, Rania.” Wanita itu mendongakkan kepalanya. “Terima kasih, Dave. Kemarin kamu menolak aku traktir. Aku harap sekarang kamu mau makan di sini.” “Ya, aku rasa itu ide yang bagus.” Dave tersenyum ke
Seharian Rania disibukkan dengan menata ruangan dan hiasan-hiasan yang unik bersama Dave. Dokter tampan itu benar-benar mengosongkan jadwal pertemuannya dengan para pasien ibu hamil khususnya. Rania melakukan semuanya dengan penuh semangat. Hingga ia melupakan ponselnya sedari pagi. “Kita istirahat dulu, Rania. Tinggal sedikit lagi semuanya sudah siap.” Rania mengangguk saja. Ia duduk di sebuah kursi sambil menikmati minuman botol. “Astaga, aku melupakan sesuatu.” Rania segera mengecek ponselnya yang ia letakkan di atas meja tanpa menyentuhnya sama sekali sejak tadi. “Kenapa bisa mati?” keluh Rania merasa heran. Pantas saja ia tidak mendengar ponselnya berbunyi meski sekali saja. Wanita itu pun mencoba menyalakan ponselnya. “Tidak mungkin. Padahal baterainya masih penuh.” Rania menoleh ke arah Dave. Lelaki itu sibuk dengan ponselnya sendiri. “Sepertinya aku tidak perlu menanyakan hal ini kepada Dave. Bukankah ia sedari tadi juga sibuk membantuku?” Rania melihat banyak sekali pe
“Ada apa Dave? Katakanlah,” ujar Rania penasaran. Dave terdiam. Ia berpikir cukup lama. Mungkin memang bukan saatnya ia menanyakan hal itu. “Have a nice dream.” Akhirnya hanya itu yang mampu diungkapkan oleh Dave. Rania pun terkejut. Tidak tahu harus menjawab apa. Bukankah itu hal yang sangat aneh? Mana mungkin Dave bisa berkata seperti itu. “Tidak, aku hanya bercanda, Rania. Maaf, aku pulang dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari Rania, Dave segera masuk ke dalam mobilnya. Ia sedikit merutuki kebodohannya baru saja. Hampir saja dokter tampan itu tidak bisa menahan diri. Rania terheran-heran. Ia tak mengerti apa maksud dari semua ucapan Dave. Wanita itu geleng-geleng. “Sebaiknya aku tidak terlalu memikirkannya.” Rania segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rumahnya. Wanita itu merebahkan tubuhnya dengan perlahan. Ia dapat meraskan baby kembar yang bergerak-gerak. Membuatnya perutnya merasa geli. Perlahan Rania mengusap perutnya dengan gerakan memutar. “Sebentar lagi kita
Rania tidak mau ambil pusing. Ia pun berkata, “Ya sudah, Bi. Rania makan dulu ya? Nanti malah lupa lagi kalau ngobrol terus.” “Hehehe. Maafkan kami ya, Bu Rania. Selamat makan. Kami mau balik ke belakang.” Bi Yati segera undur diri. Ia mengajak Bi Murni agar tidak mengganggu Rania lagi. Rania pun hanya tersenyum. Ia makan dengan pelan-pelan. Dan setelah itu menyeruput segelas susu khusus ibu hamil yang selalu disiapkan oleh Bi Murni. “Bi, Rania berangkat dulu ya?” pamit Rania kepada Bi Yati dan Bi Murni setelah menyelesaikan sarapan paginya. “Hati-hati Bu Rania.” Bi Yati melihat kepergian Rania dari pintu utama. Pagi ini Rania diantarkan oleh Rio kembali. “Rio, nanti sore kamu nggak usah jemput, ya? Aku ada urusan dengan Dokter Dave.” Rio menganggukkan kepalanya. “Bu Rania makin dekat saja sama pak dokter. Apa nanti Pak Rafka tidak cemburu ya?” celetuk Rio memberanikan diri. “Semua ini ‘kan memang atas ide Mas Rafka, Rio. Aku juga tak habis pikir. Harusnya Mas Rafka itu menyedia
Rania terlihat sangat bahagia. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Rafka. Setelah tiba di tempat yang dituju, ibu hamil itu menunggu di tempat itu seorang diri. Sementara Dave menjemput Rafka dengan mobilnya. Rania mengecek ponselnya. Tidak ada pesan apapun dari Rafka. Apakah suaminya tersebut lupa tidak mengabarinya? Atau sengaja membuat Rania penasaran? “Semoga Mas Rafka baik-baik saja.” Tiga puluh menit telah berlalu. Rania mulai merasa bosan. Ia berjalan menuju ke arah depan. Terdengar mobil Dave berhenti di tempat parkir. Dengan semangat Rania menunggu kehadiran suaminya. Ia mulai merapikan penampilan. Beberapa saat kemudian terlihat Dave hanya datang sendirian. Wajahnya tampak pucat. Rambutnya berantakan. Entah apa yang telah terjadi. “Dave ... Mas Rafka mana?” tanya Rania ingin tahu. Dokter itu melangkah maju menghampiri Rania. Namun sepertinya ia tampak lemah dan tak bersemangat sama sekali. “Maaf Rania. Aku harus katakan ini kepadamu.” Lelaki itu menghirup kuat-ku
“Mama ....” Alsha berlari dan langsung memeluk sang mama saat tiba di rumah. Anak kecil itu terlihat sangat bahagia. Disusul oleh Alma—kembaran Alsha yang selalu dipanggil kakak oleh gadis kecil menggemaskan itu. Karena Alma terlahir ke dunia lebih dulu meski hanya selisih beberapa menit saja. Alma langsung menyalami tangan Rania. Namn gadis kecil itu tampak tak bersemangat. Berbeda jauh dengan Alsha yang selalu ceria. Alsha masih bergelayut manja mendekap pinggang sang mama. Sementara Alma duduk di sofa. “Bagaimana sekolahnya?” tanya Rania penuh perhatian. “Lancar, Ma.” Setelah mengatakan kalimat itu, tiba-tiba wajah Alsha berubah menjadi sedih. “Kenapa, Sayang?” Rania jadi khawatir. “Papa kapan pulang, Ma? Alsha kangen banget sama Papa,” lirih Alsha dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca. Rania terdiam sejenak. Tidak menyangka jika putrinya akan menanyakan hal itu kepadanya. Kemudian ia segera mengusap pelan kepala Alsha untuk menenangkannya. “Sebentar lagi, Sayang. Pasti
"Eh, maaf Bu Rania. Tiba-tiba perut saya terasa sakit. Saya mau ke toilet dulu." Dimas langsung berlari ke belakang. Padahal Rania sangat membutuhkan jawaban darinya. Wanita itu merasa sangat penasaran. Ia memutuskan untuk keluar dari restorannya. “Sepertinya aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri. Biar aku tidak penasaran lagi. Memangnya bos baru itu mirip dengan siapa? Sampai-sampai karyawannya histeris seperti itu.” Rania berjalan dengan cepat. Tiga langkah keluar dari area restoran, wanita itu dikejutkan dengan sosok lelaki yang berdiri tidak jauh darinya. Tepatnya lelaki itu sudah berada di jalan yang sama dengan Rania.'Mas Rafka? Benarkah itu kamu?' batin Rania tak percaya. Ia dapat merasakan hatinya menjerit memanggil nama Rafka. Apakah ini maksud dari mimpinya semalam dan beberapa hari yang telah berlalu itu? Lutut Rania terasa lemas. Kepalanya mendadak pusing. Namun wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk tidak oleng di tempat. Beberapa detik lamanya Rania masih d