Mau naik pesawat pun penuh drama..... wkwkwkwk
“Aku juga sangat-sangat mencintaimu, Mas Rafka. I love you so much.” Rania memperlihatkan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk kata saranghaeyo. Kemudian menciumnya dan seolah menerbangkan ciuman itu kepada Rafka. Otomatis Rafka menangkapnya dan ia tempelkan ke bibirnya. “Terima kasih, Sayang.” Rafka melambaikan tangan dan benar-benar pergi meninggalkan Rania bersama Dokter Dave. “Mau langsung pulang?” tanya Dave lembut dan sopan. “Memangnya mau ke mana?” jawab Rania balik bertanya. “Mungkin ingin menikmati sesuatu terlebih dahulu. Di sekitar bandara biasanya banyak makanan oleh-oleh. Kamu bisa membelikan untuk Bi Murni dan Bi Yati di rumah,” terang Dave menjawab dengan santai. Rania merasa tertohok. Bagaimana mungkin Dave lebih perhatian dan peduli kepada asisten rumah tangga di rumahnya? Sementara Rania sendiri tidak kepikiran untuk sekedar membeli makanan ringan. “Kamu benar, Dave. Kenapa kamu bisa tahu tentang mereka?” tanya Rania merasa malu. “Ya, karena Rafka sudah m
Saat terbangun di pagi hari, Rania merasakan ponselnya berdering dan bergetar. “Siapa?” Kedua mata Rania mengerjap pelan. “Mas Rafka?” Meski panggilan dari nomor baru, Rania yakin jika itu panggilan dari suaminya. Tetapi belum sempat Rania menyentuh simbol warna hijau, panggilan itu sudah berhenti. Rania segera mengecek ponselnya. Banyak sekali panggilan tak terjawab dari Rafka. Wanita itu menghembuskan nafas berat. Menyesal karena bangun kesiangan. Badannya terasa pegal-pegal. Mungkin karena ketiduran di mobil kemarin saat di perjalanan. “Sebaiknya aku telepon balik saja Mas Rafka.” Jemari Rania bergerak cepat. Dengan sabar ia menanti panggilannya diterima. Ternyata nihil. Nomor Rafka sudah tidak aktif. “Kenapa sudah tidak bisa ya?” ucap Rania risau Wanita itu memilih untuk meletakkan ponselnya. Lalu beranjak dan masuk ke dalam kamar mandi. Pagi itu Rania mengabari Dimas di restoran bahwa dirinya tidak bisa datang. Setelah selesai dengan pakaian barunya, Rania turun ke bawah.
Lamunan Rania terhenti saat tiba-tiba mendengar ponselnya berdering. Secepat kilat wanita itu segera mengecek ponselnya. Senyuman di bibirnya seketika mengembang saat melihat gambar Rafka tengah meneleponnya. Rania langsung menyentuh gambar gagang telepon berwarna hijau. Tampaklah wajah tampan sang suami yang tersenyum manis kepadanya. “Mas Rafka, Rania kangeennn. Rania baru saja melamunkan Mas Rafka loh,” celetuk Rania tak mampu untuk berbohong. [Oh, ya? Mas di sini juga sangat merindukanmu. Semalam mas sampai nggak bisa tidur karena pengen dipeluk sama istriku yang super cantik.] Rania senyum-senyum mendengar ucapan dari Rafka. “Mas paling pinter kalau membuat Rania melayang.” [Em ...memangnya tadi Sayang lagi ngelamunin apa?] Rafka merasa sangat penasaran. Rania tampak berpikir. Apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. “Rahasia dong,” ungkapnya kemudian. [Masak sama suami sendiri main rahasia-rahasiaan, Sayang? Kamu bikin mas tambah kangen. Rasanya pengen pula
“Baiklah. Aku minta maaf. Aku pamit.” Meski hati sedikit merasa sakit, Dave berusaha untuk tidak terpengaruh dengan ucapan Rania. Ia hanya berusaha memegang janjinya kepada Rafka. Memangnya siapa dia berhak mengatur Rania? Rania terdiam seketika. Harusnya ia tidak menyakiti perasaan Dave. Dokter tampan itu hanya ingin menolongnya. Andai saja tidak ada dia, bagaimana nasib calon baby kembarnya nanti? Wanita itu segera menyusul kepergian Dave. “Dave, tunggu!” teriaknya kemudian. Dave menghentikan langkahnya. Ia masih berdiri dengan posisi membelakangi Rania. “Dave aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu. Aku tahu aku salah. Dan terima kasih telah menyelamatkan aku.” Rania tertunduk lesu. Ia pasrah jika akhirnya Dave akan membencinya. “Kamu tidak perlu meminta maaf, Rania.” Wanita itu mendongakkan kepalanya. “Terima kasih, Dave. Kemarin kamu menolak aku traktir. Aku harap sekarang kamu mau makan di sini.” “Ya, aku rasa itu ide yang bagus.” Dave tersenyum ke
Seharian Rania disibukkan dengan menata ruangan dan hiasan-hiasan yang unik bersama Dave. Dokter tampan itu benar-benar mengosongkan jadwal pertemuannya dengan para pasien ibu hamil khususnya. Rania melakukan semuanya dengan penuh semangat. Hingga ia melupakan ponselnya sedari pagi. “Kita istirahat dulu, Rania. Tinggal sedikit lagi semuanya sudah siap.” Rania mengangguk saja. Ia duduk di sebuah kursi sambil menikmati minuman botol. “Astaga, aku melupakan sesuatu.” Rania segera mengecek ponselnya yang ia letakkan di atas meja tanpa menyentuhnya sama sekali sejak tadi. “Kenapa bisa mati?” keluh Rania merasa heran. Pantas saja ia tidak mendengar ponselnya berbunyi meski sekali saja. Wanita itu pun mencoba menyalakan ponselnya. “Tidak mungkin. Padahal baterainya masih penuh.” Rania menoleh ke arah Dave. Lelaki itu sibuk dengan ponselnya sendiri. “Sepertinya aku tidak perlu menanyakan hal ini kepada Dave. Bukankah ia sedari tadi juga sibuk membantuku?” Rania melihat banyak sekali pe
“Ada apa Dave? Katakanlah,” ujar Rania penasaran. Dave terdiam. Ia berpikir cukup lama. Mungkin memang bukan saatnya ia menanyakan hal itu. “Have a nice dream.” Akhirnya hanya itu yang mampu diungkapkan oleh Dave. Rania pun terkejut. Tidak tahu harus menjawab apa. Bukankah itu hal yang sangat aneh? Mana mungkin Dave bisa berkata seperti itu. “Tidak, aku hanya bercanda, Rania. Maaf, aku pulang dulu.” Tanpa menunggu jawaban dari Rania, Dave segera masuk ke dalam mobilnya. Ia sedikit merutuki kebodohannya baru saja. Hampir saja dokter tampan itu tidak bisa menahan diri. Rania terheran-heran. Ia tak mengerti apa maksud dari semua ucapan Dave. Wanita itu geleng-geleng. “Sebaiknya aku tidak terlalu memikirkannya.” Rania segera masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rumahnya. Wanita itu merebahkan tubuhnya dengan perlahan. Ia dapat meraskan baby kembar yang bergerak-gerak. Membuatnya perutnya merasa geli. Perlahan Rania mengusap perutnya dengan gerakan memutar. “Sebentar lagi kita
Rania tidak mau ambil pusing. Ia pun berkata, “Ya sudah, Bi. Rania makan dulu ya? Nanti malah lupa lagi kalau ngobrol terus.” “Hehehe. Maafkan kami ya, Bu Rania. Selamat makan. Kami mau balik ke belakang.” Bi Yati segera undur diri. Ia mengajak Bi Murni agar tidak mengganggu Rania lagi. Rania pun hanya tersenyum. Ia makan dengan pelan-pelan. Dan setelah itu menyeruput segelas susu khusus ibu hamil yang selalu disiapkan oleh Bi Murni. “Bi, Rania berangkat dulu ya?” pamit Rania kepada Bi Yati dan Bi Murni setelah menyelesaikan sarapan paginya. “Hati-hati Bu Rania.” Bi Yati melihat kepergian Rania dari pintu utama. Pagi ini Rania diantarkan oleh Rio kembali. “Rio, nanti sore kamu nggak usah jemput, ya? Aku ada urusan dengan Dokter Dave.” Rio menganggukkan kepalanya. “Bu Rania makin dekat saja sama pak dokter. Apa nanti Pak Rafka tidak cemburu ya?” celetuk Rio memberanikan diri. “Semua ini ‘kan memang atas ide Mas Rafka, Rio. Aku juga tak habis pikir. Harusnya Mas Rafka itu menyedia
Rania terlihat sangat bahagia. Ia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Rafka. Setelah tiba di tempat yang dituju, ibu hamil itu menunggu di tempat itu seorang diri. Sementara Dave menjemput Rafka dengan mobilnya. Rania mengecek ponselnya. Tidak ada pesan apapun dari Rafka. Apakah suaminya tersebut lupa tidak mengabarinya? Atau sengaja membuat Rania penasaran? “Semoga Mas Rafka baik-baik saja.” Tiga puluh menit telah berlalu. Rania mulai merasa bosan. Ia berjalan menuju ke arah depan. Terdengar mobil Dave berhenti di tempat parkir. Dengan semangat Rania menunggu kehadiran suaminya. Ia mulai merapikan penampilan. Beberapa saat kemudian terlihat Dave hanya datang sendirian. Wajahnya tampak pucat. Rambutnya berantakan. Entah apa yang telah terjadi. “Dave ... Mas Rafka mana?” tanya Rania ingin tahu. Dokter itu melangkah maju menghampiri Rania. Namun sepertinya ia tampak lemah dan tak bersemangat sama sekali. “Maaf Rania. Aku harus katakan ini kepadamu.” Lelaki itu menghirup kuat-ku
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i