Katakan sesuatu....
Empat bulan kemudian. Rania bercermin di depan kaca besar yang berada di dalam kamar. Ia senyum-senyum memperhatikan tubuhnya yang semakin gemuk karena mengandung beban yang begitu berat. “Mas, sepertinya sebentar lagi calon buah hati kita akan terlahir ke dunia. Rania sudah tidak sabar menantikannya.” Rafka mengeratkan tubuhnya dari belakang. Jemarinya mengelus lembut perut sang istri yang sudah terlihat sangat besar. “Mas juga sudah tidak sabar untuk menjadi seorang papa, Sayang.” Bibir Rafka mengecupi tengkuh leher Rania. Membuat wanita itu merasa kegelian. Namun sesaat kemudian terdengar bunyi ponsel milik Rafka. Terpaksa ia menghentikan aktivitasnya dan mengecek beberapa pesan yang masuk. Raut wajah Rafka berubah seketika. Terlihat gurat wajah penuh kesedihan di sana. Rafka hampir saja melupakan hal yang penting dalam hidupya. Ia belum memberitahukan hal itu kepada Rania. Sang istri yang menyaksikan dari tadi, seketika menghampiri Rafka dan ikut duduk di tepi ranjang kebesar
Di siang hari, Rania menanti sang suami memberikan kabar. Tetapi ternyata Rafka mengatakan jika tidak bisa mengajaknya makan bersama. [Maaf ya, Sayang. Kamu tidak apa-apa ‘kan?] Bunyi pesan kekhawatiran dari Rafka. “Tidak apa-apa, Mas. Rania baik-baik saja. Yang penting Mas Rafka jangan lupa makan siangnya ya? Pokoknya nggak boleh telat makan dan nggak boleh sakit.” Rania berkata panjang lebar pesannya kepada Rafka. Ia tidak mau sang suami kenapa-napa karena gara-gara terlalu fokus menyelesaikan garapannya. [Pasti, Sayang. Emuach. Miss you so much.] Pesan terakhir dari Rafka membuat Rania tersenyum lucu. Rasanya ia ingin mendapatkan ungkapan rindu setiap waktu meskipun jika tidak berhubungan jarak jauh. Rania pun beranjak dari posisinya. Ia berjalan ke depan toko. Dilihatnya ada kurir pengantar makanan yang celingukan mencari pemesan makanan. “Cari siapa, Mas?” tanya Rania ramah. Sebagai pemilik restoran ia harus tetap menjalin hubungan baik kepada siapapun itu. “Saya mencari I
Rania menggeleng lemah sambil tersenyum. “Aku tadi sudah makan, Sa. Dapat kiriman dari Mas Rafka.” Rania kembali tersenyum senang. “Kalian memang sangat serasi. Pasti Rafka cinta berat sama kamu. Apalagi usia kandunganmu sudah matang.” Tisa berbicara sambil memasukka makanan ke dalam mulutnya. “Tapi sebentar lagi dia mau pergi, Sa. Jujur aku takut.” “Pergi? Maksudnya?” Tisa terlihat bingung. “Mas Rafka ada pertemuan dengan klien penting di luar negeri. Kurang lebih selama tiga hari. Pasti bakalan rindu berat.” “Astaga! Pergi untuk urusan kantor? Harusnya kamu justru bangga sama suami kamu, Ran. Pasti ia ingin membuktikan bahwa perusahaannya adalah yang terbaik.” Rania hanya manggut-manggut. Apapun alasannya ia sangat takut jika Rafka tidak kembali. Takut kecantol wanta bule yang lebih cantik darinya. Tisa melihat jam di tangannya.”Maaf ya, Ran. Aku nggak bisa lama-lama di sini. Masih ada urusan.” Tisa berdiri dari duduknya. “Terima kasih sudah mau ke sini, Sa. Sering-seringlah
“Sayang ... kenapa? Kok malah ngelamun?” tanya Rafka khawatir. Rania sedikit tersentak ketika dikejutkan oleh pertanyaan dari suaminya. Lalu wanita itu hanya mampu menggelengkan kepalanya. Tidak berani berkata jujur kepada Rafka. “Kamu tidak sedang sakit ‘kan? Mas tidak jadi berangkat kalau memang kamu sedang tidak enak badan,” jelas Rafka yang lebih memilih mengutamakan istrinya. Meski beresiko kehilangan sebuah kesempatan emas. “Tidak, Mas. Rania sehat kok.” Rania memaksakan diri untuk tetap tersenyum. “Ini sudah selesai, Mas. Mau ditaruh di mana?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. “Biar disitu saja, Sayang. Nanti mas yang bawa.” Setelah mengatakan kalimat itu, Rafka menarik tangan Rania. Kemudian ia sandarkan di dinding. Tanpa banyak bicara ia langsung menekan tengkuk sang istri dan melumat bibirnya dengan lembut. Dan semakin lama lelaki tampan itu semakin memperdalam ciumannya. Rania mencoba mengimbangi pergerakan sang suami. Ia pun tak mau kalah. Perasaannya semakin wa
“Aku juga sangat-sangat mencintaimu, Mas Rafka. I love you so much.” Rania memperlihatkan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk kata saranghaeyo. Kemudian menciumnya dan seolah menerbangkan ciuman itu kepada Rafka. Otomatis Rafka menangkapnya dan ia tempelkan ke bibirnya. “Terima kasih, Sayang.” Rafka melambaikan tangan dan benar-benar pergi meninggalkan Rania bersama Dokter Dave. “Mau langsung pulang?” tanya Dave lembut dan sopan. “Memangnya mau ke mana?” jawab Rania balik bertanya. “Mungkin ingin menikmati sesuatu terlebih dahulu. Di sekitar bandara biasanya banyak makanan oleh-oleh. Kamu bisa membelikan untuk Bi Murni dan Bi Yati di rumah,” terang Dave menjawab dengan santai. Rania merasa tertohok. Bagaimana mungkin Dave lebih perhatian dan peduli kepada asisten rumah tangga di rumahnya? Sementara Rania sendiri tidak kepikiran untuk sekedar membeli makanan ringan. “Kamu benar, Dave. Kenapa kamu bisa tahu tentang mereka?” tanya Rania merasa malu. “Ya, karena Rafka sudah m
Saat terbangun di pagi hari, Rania merasakan ponselnya berdering dan bergetar. “Siapa?” Kedua mata Rania mengerjap pelan. “Mas Rafka?” Meski panggilan dari nomor baru, Rania yakin jika itu panggilan dari suaminya. Tetapi belum sempat Rania menyentuh simbol warna hijau, panggilan itu sudah berhenti. Rania segera mengecek ponselnya. Banyak sekali panggilan tak terjawab dari Rafka. Wanita itu menghembuskan nafas berat. Menyesal karena bangun kesiangan. Badannya terasa pegal-pegal. Mungkin karena ketiduran di mobil kemarin saat di perjalanan. “Sebaiknya aku telepon balik saja Mas Rafka.” Jemari Rania bergerak cepat. Dengan sabar ia menanti panggilannya diterima. Ternyata nihil. Nomor Rafka sudah tidak aktif. “Kenapa sudah tidak bisa ya?” ucap Rania risau Wanita itu memilih untuk meletakkan ponselnya. Lalu beranjak dan masuk ke dalam kamar mandi. Pagi itu Rania mengabari Dimas di restoran bahwa dirinya tidak bisa datang. Setelah selesai dengan pakaian barunya, Rania turun ke bawah.
Lamunan Rania terhenti saat tiba-tiba mendengar ponselnya berdering. Secepat kilat wanita itu segera mengecek ponselnya. Senyuman di bibirnya seketika mengembang saat melihat gambar Rafka tengah meneleponnya. Rania langsung menyentuh gambar gagang telepon berwarna hijau. Tampaklah wajah tampan sang suami yang tersenyum manis kepadanya. “Mas Rafka, Rania kangeennn. Rania baru saja melamunkan Mas Rafka loh,” celetuk Rania tak mampu untuk berbohong. [Oh, ya? Mas di sini juga sangat merindukanmu. Semalam mas sampai nggak bisa tidur karena pengen dipeluk sama istriku yang super cantik.] Rania senyum-senyum mendengar ucapan dari Rafka. “Mas paling pinter kalau membuat Rania melayang.” [Em ...memangnya tadi Sayang lagi ngelamunin apa?] Rafka merasa sangat penasaran. Rania tampak berpikir. Apakah ia harus mengatakan yang sebenarnya atau tidak. “Rahasia dong,” ungkapnya kemudian. [Masak sama suami sendiri main rahasia-rahasiaan, Sayang? Kamu bikin mas tambah kangen. Rasanya pengen pula
“Baiklah. Aku minta maaf. Aku pamit.” Meski hati sedikit merasa sakit, Dave berusaha untuk tidak terpengaruh dengan ucapan Rania. Ia hanya berusaha memegang janjinya kepada Rafka. Memangnya siapa dia berhak mengatur Rania? Rania terdiam seketika. Harusnya ia tidak menyakiti perasaan Dave. Dokter tampan itu hanya ingin menolongnya. Andai saja tidak ada dia, bagaimana nasib calon baby kembarnya nanti? Wanita itu segera menyusul kepergian Dave. “Dave, tunggu!” teriaknya kemudian. Dave menghentikan langkahnya. Ia masih berdiri dengan posisi membelakangi Rania. “Dave aku minta maaf. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti perasaanmu. Aku tahu aku salah. Dan terima kasih telah menyelamatkan aku.” Rania tertunduk lesu. Ia pasrah jika akhirnya Dave akan membencinya. “Kamu tidak perlu meminta maaf, Rania.” Wanita itu mendongakkan kepalanya. “Terima kasih, Dave. Kemarin kamu menolak aku traktir. Aku harap sekarang kamu mau makan di sini.” “Ya, aku rasa itu ide yang bagus.” Dave tersenyum ke