Bikin kezel ya si papa...
Rania yang menyaksikan pertengkaran Rafka dengan Ferdi sungguh merasa bersalah. “Sudah, Mas. Cukup. Lebih baik Rania pergi saja.” Rania segera berlalu pergi. Tanpa terasa air matanya mengalir deras seiring langkahnya yang semakin cepat. Wanita itu merasakan sakit pada kepalanya. Seakan dunia berputar-putar memenuhi pandangannya. Hingga detik berikutnya wanita itu sudah tak sadarkan diri. Rafka segera berjalan cepat membopong tubuh Rania untuk dibawa ke rumah sakit. Tadi Dave mengatakan jika kondisi Rania baik-baik saja. Tetapi kenapa harus pingsan? Membuat Rafka mendadak gelisah dibuatnya. Tanpa diduga Ferdi juga ikut pergi ke rumah sakit. Ia mengikuti mobil Rafka dari belakang. Sepertinya lelaki paruh baya itu tidak merasa bersalah sama sekali. “Bagaimana keadaan Rania, Raf?” tanya Ferdi ingin tahu. “Dia masih diperiksa di dalam oleh dokter.” “Aku minta maaf. Apakah istrimu sedang hamil?” Ferdi bertanya lagi. “Iya, Pa. Rania sedang hamil anakku. Asal Papa tahu saja. Mas Amar y
“Biar mas saja yang bukakan pintunya.” Tanpa menjawab pertanyaan dari Rania, Rafka segera pergi ke depan untuk membukakan pintu. “Kenapa tidak ada laporan dari Rio?” Rafka melupakan sesuatu. Rania pun segera menyusul kepergian Rafka. Padahal lelaki itu sudah melarangnya agar tidak banyak bergerak dulu setelah pingsan tadi siang. “Nadia, Fariz?” Rania tidak menyangka jika mereka berdua yang datang. Ia pikir mama mertuanya. “Bu Rania, sudah sehat?” sapa Nadia ramah. Rania tersenyum dan mengangguk. “Kami ke sini untuk mengantarkan pesanan Pak Rafka,” jelas Nadia.Rania langsung melihat ke arah Rafka. Lelaki tampan itu menepuk keningnya. “Maaf, Rania. Tadi aku minta tolong kepada Nadia untuk memilihkan pakaian yang sesuai dengan tubuh kamu. Kamu tidak apa-apa ‘kan?” Sebenarnya Rafka takut jika Rania marah. Tetapi dia tidak punya pilihan lain. Hanya Nadia dan Fariz yang bisa diandalkan untuk saat ini. “Sebetulnya Rania tidak masalah, Mas. Tetapi takut merepotkan Nadia dan Fariz. Ran
Keesokan harinya Rania bangun lebih pagi. Wanita itu menata kembali beberapa hiasan kamar agar tidak terlihat membosankan. Ia sengaja menyusun dengan tampilan yang berbeda. Setelah selesai beres-beres kamar dan semua tampak rapi, Rania mengganti pakaiannya dengan baju renang. Ia bersiap menuju kolam renang seorang diri. Pelan-pelan Rafka membuka kedua matanya. Ia meraba samping kanannya dan tidak mendapati sang istri ada di dekatnya. “Sayang?” Rafka mengedarkan pandangannya dan sedikit terkejut melihat suasana kamarnya yang terasa lain. “Rania ke mana?” Rafka menyibak selimut yang masih melekat di tubuhnya. Dengan perlahan ia turun dari ranjang dan berjalan menuju jendela. Netranya melirik ke arah kolam renang dan mendapati sang istri sedang berbaring menikmati sinar mentari. “Istriku terlihat sangat cantik dengan pakaian seperti itu. Sebaiknya aku segera menyusulnya.” Rafka bersemangat turun ke bawah. Ia langsung menghampiri Rania dan memberikan sebuah kecupan di keningnya. Mem
Empat bulan kemudian. Rania bercermin di depan kaca besar yang berada di dalam kamar. Ia senyum-senyum memperhatikan tubuhnya yang semakin gemuk karena mengandung beban yang begitu berat. “Mas, sepertinya sebentar lagi calon buah hati kita akan terlahir ke dunia. Rania sudah tidak sabar menantikannya.” Rafka mengeratkan tubuhnya dari belakang. Jemarinya mengelus lembut perut sang istri yang sudah terlihat sangat besar. “Mas juga sudah tidak sabar untuk menjadi seorang papa, Sayang.” Bibir Rafka mengecupi tengkuh leher Rania. Membuat wanita itu merasa kegelian. Namun sesaat kemudian terdengar bunyi ponsel milik Rafka. Terpaksa ia menghentikan aktivitasnya dan mengecek beberapa pesan yang masuk. Raut wajah Rafka berubah seketika. Terlihat gurat wajah penuh kesedihan di sana. Rafka hampir saja melupakan hal yang penting dalam hidupya. Ia belum memberitahukan hal itu kepada Rania. Sang istri yang menyaksikan dari tadi, seketika menghampiri Rafka dan ikut duduk di tepi ranjang kebesar
Di siang hari, Rania menanti sang suami memberikan kabar. Tetapi ternyata Rafka mengatakan jika tidak bisa mengajaknya makan bersama. [Maaf ya, Sayang. Kamu tidak apa-apa ‘kan?] Bunyi pesan kekhawatiran dari Rafka. “Tidak apa-apa, Mas. Rania baik-baik saja. Yang penting Mas Rafka jangan lupa makan siangnya ya? Pokoknya nggak boleh telat makan dan nggak boleh sakit.” Rania berkata panjang lebar pesannya kepada Rafka. Ia tidak mau sang suami kenapa-napa karena gara-gara terlalu fokus menyelesaikan garapannya. [Pasti, Sayang. Emuach. Miss you so much.] Pesan terakhir dari Rafka membuat Rania tersenyum lucu. Rasanya ia ingin mendapatkan ungkapan rindu setiap waktu meskipun jika tidak berhubungan jarak jauh. Rania pun beranjak dari posisinya. Ia berjalan ke depan toko. Dilihatnya ada kurir pengantar makanan yang celingukan mencari pemesan makanan. “Cari siapa, Mas?” tanya Rania ramah. Sebagai pemilik restoran ia harus tetap menjalin hubungan baik kepada siapapun itu. “Saya mencari I
Rania menggeleng lemah sambil tersenyum. “Aku tadi sudah makan, Sa. Dapat kiriman dari Mas Rafka.” Rania kembali tersenyum senang. “Kalian memang sangat serasi. Pasti Rafka cinta berat sama kamu. Apalagi usia kandunganmu sudah matang.” Tisa berbicara sambil memasukka makanan ke dalam mulutnya. “Tapi sebentar lagi dia mau pergi, Sa. Jujur aku takut.” “Pergi? Maksudnya?” Tisa terlihat bingung. “Mas Rafka ada pertemuan dengan klien penting di luar negeri. Kurang lebih selama tiga hari. Pasti bakalan rindu berat.” “Astaga! Pergi untuk urusan kantor? Harusnya kamu justru bangga sama suami kamu, Ran. Pasti ia ingin membuktikan bahwa perusahaannya adalah yang terbaik.” Rania hanya manggut-manggut. Apapun alasannya ia sangat takut jika Rafka tidak kembali. Takut kecantol wanta bule yang lebih cantik darinya. Tisa melihat jam di tangannya.”Maaf ya, Ran. Aku nggak bisa lama-lama di sini. Masih ada urusan.” Tisa berdiri dari duduknya. “Terima kasih sudah mau ke sini, Sa. Sering-seringlah
“Sayang ... kenapa? Kok malah ngelamun?” tanya Rafka khawatir. Rania sedikit tersentak ketika dikejutkan oleh pertanyaan dari suaminya. Lalu wanita itu hanya mampu menggelengkan kepalanya. Tidak berani berkata jujur kepada Rafka. “Kamu tidak sedang sakit ‘kan? Mas tidak jadi berangkat kalau memang kamu sedang tidak enak badan,” jelas Rafka yang lebih memilih mengutamakan istrinya. Meski beresiko kehilangan sebuah kesempatan emas. “Tidak, Mas. Rania sehat kok.” Rania memaksakan diri untuk tetap tersenyum. “Ini sudah selesai, Mas. Mau ditaruh di mana?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan. “Biar disitu saja, Sayang. Nanti mas yang bawa.” Setelah mengatakan kalimat itu, Rafka menarik tangan Rania. Kemudian ia sandarkan di dinding. Tanpa banyak bicara ia langsung menekan tengkuk sang istri dan melumat bibirnya dengan lembut. Dan semakin lama lelaki tampan itu semakin memperdalam ciumannya. Rania mencoba mengimbangi pergerakan sang suami. Ia pun tak mau kalah. Perasaannya semakin wa
“Aku juga sangat-sangat mencintaimu, Mas Rafka. I love you so much.” Rania memperlihatkan jari telunjuk dan ibu jarinya membentuk kata saranghaeyo. Kemudian menciumnya dan seolah menerbangkan ciuman itu kepada Rafka. Otomatis Rafka menangkapnya dan ia tempelkan ke bibirnya. “Terima kasih, Sayang.” Rafka melambaikan tangan dan benar-benar pergi meninggalkan Rania bersama Dokter Dave. “Mau langsung pulang?” tanya Dave lembut dan sopan. “Memangnya mau ke mana?” jawab Rania balik bertanya. “Mungkin ingin menikmati sesuatu terlebih dahulu. Di sekitar bandara biasanya banyak makanan oleh-oleh. Kamu bisa membelikan untuk Bi Murni dan Bi Yati di rumah,” terang Dave menjawab dengan santai. Rania merasa tertohok. Bagaimana mungkin Dave lebih perhatian dan peduli kepada asisten rumah tangga di rumahnya? Sementara Rania sendiri tidak kepikiran untuk sekedar membeli makanan ringan. “Kamu benar, Dave. Kenapa kamu bisa tahu tentang mereka?” tanya Rania merasa malu. “Ya, karena Rafka sudah m