Apa tuh???
Keesokan harinya Rafka begitu bersemangat saat akan berangkat ke kantor. Rupanya semalam ia lupa memberitahukan tentang Nina kepada istrinya. Saking fokusnya berkelana dengan Rania menuju indahnya dunia yang mereka ciptakan sendiri. Rafka meminta sang istri membetulkan letak dasinya yang kurang rapi. “Mas Rafka masih ke rumah Nina lagi kah?” tanya Rania ingin tahu. Di dalam hatinya sedikit ragu apakah ia bisa pergi bekerja lagi atau tidak. Rafka pun refleks menepuk pelan keningnya. “Hari ini dan seterusnya Mas tidak akan menemui Nina lagi. Jadi kamu tidak perlu cemburu lagi, Sayang. Mas pasti akan pulang awal jika pekerjaan kantor telah selesai,” ungkap Rafka antusias. “Kok bisa, Mas? Mas Rafka serius?” tanya Rania lagi. “Dua rius malah. Maaf, kemarin mas lupa cerita. Jadi sebenarnya Nina telah membohongi semua orang. Dia hanya berpura-pura lupa ingatan agar bisa dekat denganku. Mas benar-benar kecewa dengan sikapnya.” Rania tampak terkejut mendengar penjelasan dari Rafka. Ia ti
“Mas Rafka?” ucap Rania lirih. Wanita itu merasa sangat bersalah. Tidak menyangka jika klien yang dimaksud Alvin adalah suaminya sendiri. Rafka terdiam terpaku di tempatnya. Rasanya seperti ada sesuatu yang menikah tubuhnya. Bibir itu terasa berat untuk memberikan sebuah pertanyaan dan protes kepada Rania. Seketika hal itu membuat Rania melirik ke arah Alvin. Ia benar-benar ingin marah kepada atasannya tersebut. Namunn apa yang terjadi? Lelaki itu terlihat sangat tenang di tempat duduknya. Seolah tidak merasa bersalah sama sekali. Dan setelahnya ia berucap dengan santai. “Perkenalkan Pak Rafka. Dia adalah sekretaris saya untuk beberapa bulan ke depan. Bisa juga beberapa tahun atau mungkin selamanya.” Alvin sangat percaya diri mengatakan kalimat itu. Membuat Rafka naik pitam. “Silahkan duduk Rania,” perintah Alvin kemudian. “Terima kasih, Pak.” Rania terpaksa harus bersikap profesional di dekat atasannya. Namun di saat Rania sudah duduk, Rafka justru berdiri dari tempatnya. Lelak
“Ulurkan tanganmu atau mau aku gendong?” ucap lelaki itu di samping Rania. Bukannya Rania mengulurkan tangannya, ia malah menangis kencang. Membuang lelaki didekatnya itu kebingungan. Takut jika orang-orang di sana salah paham. “Rania apa yang kamu lakukan? Nanti semua orang bisa-bisa semua orang ke sini dan memukuliku. Rania tak menghiraukan ucapan lelaki itu. Ia tetap menangis hingga banyak bapak-bapak yang menghampirinya. “Apa-apaan ini, apa yang Bapak lakukan? Pasti Bapak mau melecehkan Mbak-MBak ini ya?” tudah para bapak-bapak itu penuh rasa percaya diri. “Ti–tidak, Bapak-Bapak. Saya bisa jelaskan semuanya. Dia adalah istri saya. Dan saya suaminya,” ungkap Rafka gelagapan. “Capek-capek datang ke sini buat belain, Ibu. Masak cuma diprank? Yang bener aja! Rugi dong!” ujar bapak itu kecewa. “Huuuuu....!!!!” Semua orang pun ikut bersorak. “Maaf, Bapak-Bapak. Istri saya sedang ngambek. Lagi hamil banyak nyidamnya.” Rafka menyatukan kedua telapak tangannya untuk meminta maaf kep
Keesokan harinya Rania bersiap-siap untuk pergi ke kantor. Kali ini ia akan mandi setelah Rafka siap dengan pakaian kerjanya. Wanita itu terkejut saat tadi pagi melihat ponselnya dalam keadaan mati. Dan setelah berhasil menghidupkan handphone-nya kembali, banyak sekali pesan dari Alvin yang mengatakan bahwa dirinya sangat marah. “Sayang, kamu mau ke mana?” tanya Rafka yang menyadari Rania hendak mengenakan pakaian kerja. “Alvin merah besar. Mas. Karena setelah makan siang kemarin aku tidak menghubunginya lagi,” ungkap Rania jujur. Jemari Rafka memainkan rambut istrinya. “Kamu tidak perlu khawatir. Semuanya sudah aku selesaikan tadi malam di rumah Alvin. Maaf, Mas ke sana nggak bilang-bilang. Karena kamu terlihat sangat lelah dan terlalu lelap tidurmu.” “Maaf ya, Mas.” “Kenapa harus minta maaf? Mulai hari ini kamu tidak perlu bekerja lagi. Mas akan mencarikan pekerjaan yang cocok untuk bidadariku.” “Tetapi Rania tidak mau bekerja di kantor Mas Rafka. Rania tidak mau merebut tempat
Rafka sedikit menundukkan kepalanya. Lelaki tampan itu mengenakan seragam cleaning service. Membuat semua orang di sana tampak tidak percaya. Tak terkecuali dengan Fariz dan Nadia. “Apa yang dikatakan Pak Alvin benar. Sekarang Beliau yang akan menggantikan posisi saya sebagai seorang CEO dan pemilik perusahaan ini selamanya.” “Pak Rafka apa yang terjadi?” tanya seorang karyawan yang bertahun-tahun setia mengabdi di perusahaan itu. Ia sudah merasa nyaman karena Rafka adalah pemimpin yang terbaik selama ini. Rafka hanya diam di tempatnya. Tak mampu lagi untuk menjelaskan semuanya. “Kalian tidak perlu menanyakan hal itu. Sekarang dia hanya seorang pekerja rendahan di perusahaan ini. Saya tidak yakin jika dia bisa melakukan tugasnya dengan baik.” Alvin berbicara sambil tertawa mengejek. Ia sangat puas bisa mempermalukan Rafka di depan semua orang. Rafka merasa sangat sakit hati. Ternyata Alvin sangatlah kejam. Lelaki itu mencengkeram kuat tangannya sendiri. “Kamu tidak perlu cemas, R
Rafka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa. Rio yang mengetahui hal itu pun segera menyusul kepergian majikannya. Ia tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi. “Pak Rafka, ada apa?” tanya Rio penasaran. “Rania diculik Rio. Saya melihat dengan mata kepala sendiri dia dibawa masuk ke dalam mobil dan berteriak minta tolong. Aku harus segera menyusulnya. Kamu di sini saja Rio. Jaga rumah.” “Tidak, Pak Rafka. Saya khawatir dengan Bapak.” “Kalau begitu saya berangkat dulu.” Lelaki tampan itu segera tancap gas. Perasaan Rafka begitu gelisah, panik, campur aduk. Takut jika sang istri kenapa-napa. Apalagi Rania sedang mengandung calon buah hati mereka. “Rania, kamu harus bertahan. Aku akan segera menyelamatkan kamu dan calon buah hati kita.” Rafka berusaha tetap fokus melihat kondisi jalanan sekaligus mengamati mobil hitam itu agar tidak kehilangan jejak mereka. Jalanan terpantau masih sangar ramai di sore hari. Membuat Rafka tidak boleh lengah meski keadaan hatinya kini tidak ba
Tiba-tiba suara musik menggema. Suara teriakan dan orang-orang yang tertawa keras memenuhi pendengaran milik Rafka. Dari kejauhan tampaklah Rania berjalan berdampingan dengan Alvin mengenakan sebuah pakaian pengantin. Wanita itu sangat cantik dengan sebuah senyuman yang terlihat jelas di bibirnya. “Rania?” ucap Rafka. Mulutnya ternganga. Ia hampir tidak percaya dengan semua yang dilihatnya. Rania berjalan melangkah mendekati Rafka yang masih diam terpatung di tempatnya. “Maafkan aku, Mas Rafka. Sekarang kamu sudah miskin. Aku tidak sudi lagi menjadi istrimu. Hahaha.” Rania tertawa cukup keras. Dan diikuti dengan Alvin yang ikut menertawakannya. “Tidak. Tidak mungkin. Kamu tidak mungkin meniggalkan aku, Rania.” Lelaki tampan itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Tidaaaakkkkkk....!!!” Rafka berteriak kencang. Dahinya mengeluarkan banyak keringat. Nafasnya memburu. Lelaki itu memejamkan mata sejenak. “Mas Rafka ... kenapa berteriak seperti itu?” tanya Rania khawatir. Wanita
Rania melihat nama atasannya tersebut di layar depan ponselnya. “Jangan-jangan dia mau marahin aku soal kemarin lagi. Bagaimana ini?” ungkap Rania tidak tenang. Ponsel itu berdering terus-menerus. Hingga akhirnya Rania mau tidak mau harus menjawabnya. “Iya, Pak. Ini Rania.” “Kenapa lama sekali. Kamu berangkat ke kantor tidak pagi ini?” tanya Alvin bernada tegas. “Berangkat kok, Pak. Memangnya ada apa?” jawab Rania balik bertanya. “Saya tidak bisa datang. Papa masuk rumah sakit karena penyakitnya kambuh. Lebih baik kamu batalkan semua pertemuan hari ini.” “Ba–baik, Pak. Memangnya Pak Altair sakit apa?” Rania merasa penasaran. Walau bagaimanapun lelaki paruh baya itu adalah saudara dari mama mertuanya. “Bukan urusan kamu. Ya sudah, terima kasih.” Sambungan telepon terputus. Rania memasukkan ponsel ke dalam tas sambil berbicara seorang diri. “Ternyata Pak Alvin juga bisa bilang terima kasih.” Rania pikir Alvin makhluk yang sangat angkuh. Ia tidak tahu jika lelaki itu hanya kura
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i