Ada apa ya??? Mungkinkah sebuah kejutan???
Tiba-tiba suara musik menggema. Suara teriakan dan orang-orang yang tertawa keras memenuhi pendengaran milik Rafka. Dari kejauhan tampaklah Rania berjalan berdampingan dengan Alvin mengenakan sebuah pakaian pengantin. Wanita itu sangat cantik dengan sebuah senyuman yang terlihat jelas di bibirnya. “Rania?” ucap Rafka. Mulutnya ternganga. Ia hampir tidak percaya dengan semua yang dilihatnya. Rania berjalan melangkah mendekati Rafka yang masih diam terpatung di tempatnya. “Maafkan aku, Mas Rafka. Sekarang kamu sudah miskin. Aku tidak sudi lagi menjadi istrimu. Hahaha.” Rania tertawa cukup keras. Dan diikuti dengan Alvin yang ikut menertawakannya. “Tidak. Tidak mungkin. Kamu tidak mungkin meniggalkan aku, Rania.” Lelaki tampan itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Tidaaaakkkkkk....!!!” Rafka berteriak kencang. Dahinya mengeluarkan banyak keringat. Nafasnya memburu. Lelaki itu memejamkan mata sejenak. “Mas Rafka ... kenapa berteriak seperti itu?” tanya Rania khawatir. Wanita
Rania melihat nama atasannya tersebut di layar depan ponselnya. “Jangan-jangan dia mau marahin aku soal kemarin lagi. Bagaimana ini?” ungkap Rania tidak tenang. Ponsel itu berdering terus-menerus. Hingga akhirnya Rania mau tidak mau harus menjawabnya. “Iya, Pak. Ini Rania.” “Kenapa lama sekali. Kamu berangkat ke kantor tidak pagi ini?” tanya Alvin bernada tegas. “Berangkat kok, Pak. Memangnya ada apa?” jawab Rania balik bertanya. “Saya tidak bisa datang. Papa masuk rumah sakit karena penyakitnya kambuh. Lebih baik kamu batalkan semua pertemuan hari ini.” “Ba–baik, Pak. Memangnya Pak Altair sakit apa?” Rania merasa penasaran. Walau bagaimanapun lelaki paruh baya itu adalah saudara dari mama mertuanya. “Bukan urusan kamu. Ya sudah, terima kasih.” Sambungan telepon terputus. Rania memasukkan ponsel ke dalam tas sambil berbicara seorang diri. “Ternyata Pak Alvin juga bisa bilang terima kasih.” Rania pikir Alvin makhluk yang sangat angkuh. Ia tidak tahu jika lelaki itu hanya kura
“Papa ini sudah tua, Alvin. Mungkin umur papa tidak akan lama lagi. Kapan kamu mau menikah? Papa ingin menimang cucu sebelum ajal menjemput.” Alvin terdiam seketika. Luka di masa lalu tidak pernah bisa membuatnya mampu membuka hati untuk cinta yang baru. “Jangan bicara seperti itu, Pa. Alvin yakin Papa akan segera sembuh. Umur Papa masih panjang.” Uhuk-uhuk! Tiba-tiba Altair terbatuk-batuk cukup lama. Dadanya menjadi sesak. Lelaki paruh baya itu kesulitan lagi untuk berbicara. Alvin yang panik segera memanggil dokter agar kembali memeriksa papanya.*** Di kantor, Rafka tampak termenung di kursi kebesarannya. Ia masih terbayang-bayang dengan mimpi buruk yang terlihat seperti nyata. Hingga tiba-tiba ia tersentak kaget saat merasakan seseorang menepuk pundaknya. Siapa lagi kalau bukan Fariz yang masuk ruangan sang CEO tanpa permisi? “Fariz, kamu mengagetkanku saja!” Hampir saja emosi Rafka meledak. “Kamu kenapa Rafka? Tidak biasanya pemilik perusahaan ini malah sibuk melamun.” “A
Rania yang mencari Rafka sejak tadi merasa terkejut saat mendengar suara suaminya berteriak kencang. Wanita itu segera berlari untuk menemui Rafka. “Mas Rafka ada apa? Kenapa berteriak-teriak seperti itu?” tanya Rania khawatir. “Aku melihat Papa, Ran. Dia juga sedang di restoran yang sama dengan kita,” jawab Rafka menjelaskan. “Papa?” Rania tidak mengerti. “Iya, Ran. Papa Ferdi. Mungkinkah selama ini dia ada di kota yang sama dengan kita?” “Mas Rafka yakin?” “Aku sangat yakin, Rania.” Rafka pun terdiam untuk sesaat. Padahal tadi ia sempat memanggil nama papanya. Tetapi mengapa lelaki paruh baya itu tidak menghentikan mobilnya? Rafka yakin jika sang papa mendengar teriakkannya. “Ya sudah, tidak apa-apa. Lebih kita pulang, mandi, terus ke rumah Mama,” ajak Rafka kemudian. Rania mengusap lembut lengan suaminya beberapa kali. “Sabar ya, Mas.” “Terima kasih, Sayang.” Setelah tiba di rumah Rania dan Rafk segera mandi. Mereka mandi bersama agar tidak menghabiskan waktu. Juga agar l
Hari yang dinanti-nanti telah tiba. Rafka mengantarkan Rania pergi ke rumah Delvin untuk mengunjungi tantenya sekaligus membicarakan tentang pernikahan Aluna. Adik Rania itu pun juga ikut. Bahkan mereka juga mengajak Bayu. Karena masalah waktu dan acara pernikahan termasuk mendadak, akhirnya mereka sepakat untuk menyewa jasa wedding organizer yang sudah terpercaya. Tentunya Resti sudah memiliki kenalan yang bisa merekomendasikan vendor yang tepat. “Lega rasanya,” ungkap Aluna sambil memamerkan senyumnya kepada Bayu meski lelaki itu justru terlihat tegang. “Rania, Aluna, sebaiknya kalian menginap di sini ya malam ini? Tante masih kangen sama kalian. Pengen ngobrol-ngobrol tentang banyak hal.” Rania tidak langsung menjawab. Ia melirik ke arah Rafka. “Kalau Aluna sih mau-mau aja, Tante. Nggak tau kalau Mbak Rania. Kan ada suaminya. Hehehe.” Aluna justru menyindir kakak iparnya. Rafka yang menyadarinya langsung angkat bicara. “Tentu saja boleh, dong. Siapa yang melarang?” sahut Rafk
Tanpa terasa kehamilan Rania sudah menginjak usia empat bulan lebih. Setelah disibukkan dengan acara pernikahan Aluna satu bulan yang lalu, kini ia merasa lega karena tinggal berdua bersama Rafka kembali. Setidaknya tidak ada lagi yang dikhawatirkan olehnya. Tiga hari sesudah sah menjadi istri Bayu, Aluna tinggal bersama Bayu di sebuah rumah kontrakkan yang cukup besar. Awalnya Aluna memang tidak terima sebab rumahnya tidak sebesar milik Rafka. Tetapi lama-lama ia kasihan juga terhadap perjuangan suaminya dan luluh dengan perlakuan Bayu terhadapnya. Pagi itu Rania dan Rafka berduaan di dalam kamar setelah selesai mandi. “Sayang, bagaimana kalau hari ini kita periksa ke dokter?” tanya Rafka seraya mendekati sang istri yang sedang menyisir rambut panjangnya. “Memangnya Mas tidak berangkat ke kantor, ya?” jawab Rania balik bertanya. Sebenarnya Rania sangat senang. Namun ia takut menganggu waktu kerja suaminya dan tidak mau pekerjaan Rafka jadi terbengkalai. “Mas memiliki teman seor
Rania melakukan pemeriksaan USG. Meski rasanya sungkan dengan Dave, tetapi ada Rafka yang setia menemani di sampingnya. “Bagaimana Dave?” tanya Rafka penasaran. “Selamat, Rafka. Rania mengandung bayi kembar. Kemungkinan besar jenis kelaminnya perempuan. Dan kondisinya baik.” Rafka tersenyum bahagia mendengar hal itu. Meski sesungguhnya menginginkan anak laki-laki. “Jangan lupa untuk tetap meminum secara rutin vitaminnya.” Dave menjelaskan kepada Rania. “Terima kasih, Dokter Dave.” Rania ikut tersenyum bahagia. Seraya menyandarkan kepalanya pada tubuh Rafka. Lelaki tampan itu mengusap lembut kepalanya sambil menanti resep dari dokter. “Setelah ini mau ke mana?” tanya Dave seraya memberikan resep obat dan vitamin kepada Rafka. “Sebenarnya ingin menemani istriku berbelanja di mall,” jawab Rafka jujur. “Tidak apa-apa. Mungkin lain kali kita bertemu lagi. Ibu-ibu hamil yang mengantri di luar juga masih banyak,” ungkap sang dokter. “Siap, Dokter Dave. Kami pamit dulu.” Rafka dan
Rania yang menyaksikan pertengkaran Rafka dengan Ferdi sungguh merasa bersalah. “Sudah, Mas. Cukup. Lebih baik Rania pergi saja.” Rania segera berlalu pergi. Tanpa terasa air matanya mengalir deras seiring langkahnya yang semakin cepat. Wanita itu merasakan sakit pada kepalanya. Seakan dunia berputar-putar memenuhi pandangannya. Hingga detik berikutnya wanita itu sudah tak sadarkan diri. Rafka segera berjalan cepat membopong tubuh Rania untuk dibawa ke rumah sakit. Tadi Dave mengatakan jika kondisi Rania baik-baik saja. Tetapi kenapa harus pingsan? Membuat Rafka mendadak gelisah dibuatnya. Tanpa diduga Ferdi juga ikut pergi ke rumah sakit. Ia mengikuti mobil Rafka dari belakang. Sepertinya lelaki paruh baya itu tidak merasa bersalah sama sekali. “Bagaimana keadaan Rania, Raf?” tanya Ferdi ingin tahu. “Dia masih diperiksa di dalam oleh dokter.” “Aku minta maaf. Apakah istrimu sedang hamil?” Ferdi bertanya lagi. “Iya, Pa. Rania sedang hamil anakku. Asal Papa tahu saja. Mas Amar y