Waduh... cobaan apalagi ini...
Rafka sedikit menundukkan kepalanya. Lelaki tampan itu mengenakan seragam cleaning service. Membuat semua orang di sana tampak tidak percaya. Tak terkecuali dengan Fariz dan Nadia. “Apa yang dikatakan Pak Alvin benar. Sekarang Beliau yang akan menggantikan posisi saya sebagai seorang CEO dan pemilik perusahaan ini selamanya.” “Pak Rafka apa yang terjadi?” tanya seorang karyawan yang bertahun-tahun setia mengabdi di perusahaan itu. Ia sudah merasa nyaman karena Rafka adalah pemimpin yang terbaik selama ini. Rafka hanya diam di tempatnya. Tak mampu lagi untuk menjelaskan semuanya. “Kalian tidak perlu menanyakan hal itu. Sekarang dia hanya seorang pekerja rendahan di perusahaan ini. Saya tidak yakin jika dia bisa melakukan tugasnya dengan baik.” Alvin berbicara sambil tertawa mengejek. Ia sangat puas bisa mempermalukan Rafka di depan semua orang. Rafka merasa sangat sakit hati. Ternyata Alvin sangatlah kejam. Lelaki itu mencengkeram kuat tangannya sendiri. “Kamu tidak perlu cemas, R
Rafka masuk ke dalam mobil dengan tergesa-gesa. Rio yang mengetahui hal itu pun segera menyusul kepergian majikannya. Ia tidak mengerti dengan apa yang telah terjadi. “Pak Rafka, ada apa?” tanya Rio penasaran. “Rania diculik Rio. Saya melihat dengan mata kepala sendiri dia dibawa masuk ke dalam mobil dan berteriak minta tolong. Aku harus segera menyusulnya. Kamu di sini saja Rio. Jaga rumah.” “Tidak, Pak Rafka. Saya khawatir dengan Bapak.” “Kalau begitu saya berangkat dulu.” Lelaki tampan itu segera tancap gas. Perasaan Rafka begitu gelisah, panik, campur aduk. Takut jika sang istri kenapa-napa. Apalagi Rania sedang mengandung calon buah hati mereka. “Rania, kamu harus bertahan. Aku akan segera menyelamatkan kamu dan calon buah hati kita.” Rafka berusaha tetap fokus melihat kondisi jalanan sekaligus mengamati mobil hitam itu agar tidak kehilangan jejak mereka. Jalanan terpantau masih sangar ramai di sore hari. Membuat Rafka tidak boleh lengah meski keadaan hatinya kini tidak ba
Tiba-tiba suara musik menggema. Suara teriakan dan orang-orang yang tertawa keras memenuhi pendengaran milik Rafka. Dari kejauhan tampaklah Rania berjalan berdampingan dengan Alvin mengenakan sebuah pakaian pengantin. Wanita itu sangat cantik dengan sebuah senyuman yang terlihat jelas di bibirnya. “Rania?” ucap Rafka. Mulutnya ternganga. Ia hampir tidak percaya dengan semua yang dilihatnya. Rania berjalan melangkah mendekati Rafka yang masih diam terpatung di tempatnya. “Maafkan aku, Mas Rafka. Sekarang kamu sudah miskin. Aku tidak sudi lagi menjadi istrimu. Hahaha.” Rania tertawa cukup keras. Dan diikuti dengan Alvin yang ikut menertawakannya. “Tidak. Tidak mungkin. Kamu tidak mungkin meniggalkan aku, Rania.” Lelaki tampan itu menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Tidaaaakkkkkk....!!!” Rafka berteriak kencang. Dahinya mengeluarkan banyak keringat. Nafasnya memburu. Lelaki itu memejamkan mata sejenak. “Mas Rafka ... kenapa berteriak seperti itu?” tanya Rania khawatir. Wanita
Rania melihat nama atasannya tersebut di layar depan ponselnya. “Jangan-jangan dia mau marahin aku soal kemarin lagi. Bagaimana ini?” ungkap Rania tidak tenang. Ponsel itu berdering terus-menerus. Hingga akhirnya Rania mau tidak mau harus menjawabnya. “Iya, Pak. Ini Rania.” “Kenapa lama sekali. Kamu berangkat ke kantor tidak pagi ini?” tanya Alvin bernada tegas. “Berangkat kok, Pak. Memangnya ada apa?” jawab Rania balik bertanya. “Saya tidak bisa datang. Papa masuk rumah sakit karena penyakitnya kambuh. Lebih baik kamu batalkan semua pertemuan hari ini.” “Ba–baik, Pak. Memangnya Pak Altair sakit apa?” Rania merasa penasaran. Walau bagaimanapun lelaki paruh baya itu adalah saudara dari mama mertuanya. “Bukan urusan kamu. Ya sudah, terima kasih.” Sambungan telepon terputus. Rania memasukkan ponsel ke dalam tas sambil berbicara seorang diri. “Ternyata Pak Alvin juga bisa bilang terima kasih.” Rania pikir Alvin makhluk yang sangat angkuh. Ia tidak tahu jika lelaki itu hanya kura
“Papa ini sudah tua, Alvin. Mungkin umur papa tidak akan lama lagi. Kapan kamu mau menikah? Papa ingin menimang cucu sebelum ajal menjemput.” Alvin terdiam seketika. Luka di masa lalu tidak pernah bisa membuatnya mampu membuka hati untuk cinta yang baru. “Jangan bicara seperti itu, Pa. Alvin yakin Papa akan segera sembuh. Umur Papa masih panjang.” Uhuk-uhuk! Tiba-tiba Altair terbatuk-batuk cukup lama. Dadanya menjadi sesak. Lelaki paruh baya itu kesulitan lagi untuk berbicara. Alvin yang panik segera memanggil dokter agar kembali memeriksa papanya.*** Di kantor, Rafka tampak termenung di kursi kebesarannya. Ia masih terbayang-bayang dengan mimpi buruk yang terlihat seperti nyata. Hingga tiba-tiba ia tersentak kaget saat merasakan seseorang menepuk pundaknya. Siapa lagi kalau bukan Fariz yang masuk ruangan sang CEO tanpa permisi? “Fariz, kamu mengagetkanku saja!” Hampir saja emosi Rafka meledak. “Kamu kenapa Rafka? Tidak biasanya pemilik perusahaan ini malah sibuk melamun.” “A
Rania yang mencari Rafka sejak tadi merasa terkejut saat mendengar suara suaminya berteriak kencang. Wanita itu segera berlari untuk menemui Rafka. “Mas Rafka ada apa? Kenapa berteriak-teriak seperti itu?” tanya Rania khawatir. “Aku melihat Papa, Ran. Dia juga sedang di restoran yang sama dengan kita,” jawab Rafka menjelaskan. “Papa?” Rania tidak mengerti. “Iya, Ran. Papa Ferdi. Mungkinkah selama ini dia ada di kota yang sama dengan kita?” “Mas Rafka yakin?” “Aku sangat yakin, Rania.” Rafka pun terdiam untuk sesaat. Padahal tadi ia sempat memanggil nama papanya. Tetapi mengapa lelaki paruh baya itu tidak menghentikan mobilnya? Rafka yakin jika sang papa mendengar teriakkannya. “Ya sudah, tidak apa-apa. Lebih kita pulang, mandi, terus ke rumah Mama,” ajak Rafka kemudian. Rania mengusap lembut lengan suaminya beberapa kali. “Sabar ya, Mas.” “Terima kasih, Sayang.” Setelah tiba di rumah Rania dan Rafk segera mandi. Mereka mandi bersama agar tidak menghabiskan waktu. Juga agar l
Hari yang dinanti-nanti telah tiba. Rafka mengantarkan Rania pergi ke rumah Delvin untuk mengunjungi tantenya sekaligus membicarakan tentang pernikahan Aluna. Adik Rania itu pun juga ikut. Bahkan mereka juga mengajak Bayu. Karena masalah waktu dan acara pernikahan termasuk mendadak, akhirnya mereka sepakat untuk menyewa jasa wedding organizer yang sudah terpercaya. Tentunya Resti sudah memiliki kenalan yang bisa merekomendasikan vendor yang tepat. “Lega rasanya,” ungkap Aluna sambil memamerkan senyumnya kepada Bayu meski lelaki itu justru terlihat tegang. “Rania, Aluna, sebaiknya kalian menginap di sini ya malam ini? Tante masih kangen sama kalian. Pengen ngobrol-ngobrol tentang banyak hal.” Rania tidak langsung menjawab. Ia melirik ke arah Rafka. “Kalau Aluna sih mau-mau aja, Tante. Nggak tau kalau Mbak Rania. Kan ada suaminya. Hehehe.” Aluna justru menyindir kakak iparnya. Rafka yang menyadarinya langsung angkat bicara. “Tentu saja boleh, dong. Siapa yang melarang?” sahut Rafk
Tanpa terasa kehamilan Rania sudah menginjak usia empat bulan lebih. Setelah disibukkan dengan acara pernikahan Aluna satu bulan yang lalu, kini ia merasa lega karena tinggal berdua bersama Rafka kembali. Setidaknya tidak ada lagi yang dikhawatirkan olehnya. Tiga hari sesudah sah menjadi istri Bayu, Aluna tinggal bersama Bayu di sebuah rumah kontrakkan yang cukup besar. Awalnya Aluna memang tidak terima sebab rumahnya tidak sebesar milik Rafka. Tetapi lama-lama ia kasihan juga terhadap perjuangan suaminya dan luluh dengan perlakuan Bayu terhadapnya. Pagi itu Rania dan Rafka berduaan di dalam kamar setelah selesai mandi. “Sayang, bagaimana kalau hari ini kita periksa ke dokter?” tanya Rafka seraya mendekati sang istri yang sedang menyisir rambut panjangnya. “Memangnya Mas tidak berangkat ke kantor, ya?” jawab Rania balik bertanya. Sebenarnya Rania sangat senang. Namun ia takut menganggu waktu kerja suaminya dan tidak mau pekerjaan Rafka jadi terbengkalai. “Mas memiliki teman seor