Gimana nih menurut kalian....
“Maafkan saya, Bu Rania ....” Nadia menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menatap langsung kepada Rania. “Jadi semuanya benar?” Rania memastikan. “Pak Rafka yang meminta saya untuk tidak mengatakannya Bu Rania.” Rania menggelengkan kepalanya. Dadanya kembali terasa sesak. Sungguh tega sekali Rafka melakukan hal itu kepadanya. Apa salahnya? Lelaki yang sangat ia cintai lebih memilih menikahi wanita lain tanpa sepengetahuannya. “Tapi kenapa Nadia? Kenapa Mas Rafka menyembunyikan semua ini?” Nadia segera mencoba menenangkan Rania. Ia mencoba menjelaskan semua yang telah terjadi. “Waktu itu hubungan saya dan Kak Fariz sempat membaik. Saat Pak Rafka dan Kak Fariz pulang dari luar negeri, saya pun di dekat mereka. Tetapi tiba-tiba ada seseorang yang mengirimkan gambar-gambar kemesraan Bu Rania dengan Dokter Dave. Pak Rafka sempat kecewa dan cemburu.” Nadia menghentikan sejenak ucapannya. Sementara Rania yakin jika Dave yang sengaja menyuruh seseorang itu. “Lalu?” Rania sudah tidak
Delvin mengusap pelan kepala milik Rania. Sejujurnya ia ikut sedih atas keadaaan yang terjadi. “Baiklah jika memang itu keputusanmu, Rania. Maafkan paman.” “Rania minta tolong Paman buat jagain Alsha dan Alma di rumah, ya? Rania mau menyusul Mas Rafka.” “Kamu yakin Rania? Mau ke sana sendirian? Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu nanti?” Delvin tampak khawatir. Rania mengangguk saja. Ia sangat yakin bisa menemukan Rafka dan berbicara langsung dengan suaminya tersebut. “Baiklah. Paman akan atur semuanya. Besok kamu tinggal berangkat. Dan paman juga mengirimkan dua orang untuk menjagamu dari kejauhan. Mereka tidak akan mengganggu waktumu.” “Terima kasih, Paman.” Rania tersenyum lega. “Kalau begitu biar paman antarkan pulang. Nanti motornya biar diambil orang suruhan paman.” Rania pun setuju. Ia berpamitan kepada Nadia untuk pulang. “Terima kasih ya, Nad. Atas informasinya.” “Bu Rania mau memaafkan saya ‘kan? Bu Rania tidak dendam kan’? Nadia berucap dengan resah. “Untuk apa a
Beberapa jam telah berlalu. Rania dan Rafka bagaikan pengantin baru yang sedang menikmati malam pertama mereka. Keduanya tergolek lemah namun tetap berpelukan. “Mas ... apa yang sebenarnya terjadi? Rania ingin mendengar semuanya dari Mas Rafka. Dan apa yang Mas lakukan di sini? Kenapa Mas ... kenapa Mas Rafka tidak pernah cerita tentang penyakit Mas Rafka. Kamu tega sekali, Mas. Bukankah seharusnya Mas berterus terang agar kita bisa selalu mendukung dan Rania bisa selalu berada di samping Mas Rafka?!” Rania ingin meluahkan segala keluh kesahnya kepada Rafka. Meski ia telah mendengar semuanya dari Nadia, tetapi ia juga ingin mendengarkan penjelasan langsung dari suaminya tersebut. “Maafkan aku, Rania. Aku memang salah. Dan aku tidak pernah menyangka jika Dave berani melakukan semua itu kepadaku.” “Dave harus mendapatkan balasan yang setimpal. Aku sangat membencinya, Mas.” “Bukankah dia selalu ada untukmu, Sayang?” Jemari Rafka membelai rambut istrinya. Rafka begitu merind
Tiba di depan rumah, Rania memilih untuk masuk terlebih dahulu. Sementara Rafka masih bersembunyi di luar. Nyatanya lelaki itu masih takut dan merasa bersalah. Apalagi di sana ada Delvin yang siap memukulinya jika Rafka tidak bisa meyakinkan kepada sang paman kenapa dirinya meninggalkan Rania dan calon bayi kembarnya. Satu langkah masuk ke dalam rumah, Rania langsung disambut hangat oleh Delvin. Alsha yang masih bermain dengan Resti seketika menoleh. Gadis kecil itu langsung berlari untuk memeluk sang mama sambil menunjukkan senyuman termanisnya.“Alsha kangen banget sama Mama,” ungkap Alsha manja. “Baru sehari saja ditinggal. Bagaimana kalau satu minggu? Bahkan satu bulan atau mungkin satu tahun?” Rania justru sengaja menggoda gadis kecilnya. “Jangan dong, Ma. Terus kejutannya mana? Katanya spesial,” peringat Alsha yang sudah tidak sabaran. “Tutup mata dulu, dong.” “Ih, Mama.” Alsha tampak cemberut. Namun ia tidak mau mengecewakan sang mama. “Baiklah.” Gadis kecil itu pun segera
Sementara Rafka mulai masuk ke dalam kamar putrinya. Lelaki itu melihat Alma yang sedang tengkurap di atas ranjang sambil menulis sesuatu pada sebuah buku. Sepertinya sebuah buku diary. Di saat mendengar pintu kamar dibuka dari luar, seketika gadis kecil itu menutup bukunya dengan cepat. Mungkin ia pikir yang datang adalah Rania. Rafka bisa melihat raut wajah penuh rasa terkejut pada Alma. Tetapi putrinya tersebut seolah menyembumyikannya. “Alma Sayang, sedang apa? Papa pulang ....” Rafka memperlihatkan senyuman terbaiknya. Namun apa yang ia dapatkan. Sama sekali Alma tidak menampakkan kebahagiaannya. Gadis kecil itu lalu duduk di tepi ranjang di saat sang papa mendekatinya. “Kenapa Papa meninggalkan kami?” tanya Alma langsung pada intinya. Rafka terkesiap mendengar pertanyaan dari putrinya. Bagaimana mungkin Alma bisa menanyakan hal seperti itu? Mengapa gadis itu tidak mengungkapkan rasa rindunya kepada seorang ayah? Seperti Alsha misalnya. Yang langsung memeluknya. Jemari Rafka
Di malam pergantian tahun baru, Rafka mengajak keluarga kecilnya pergi ke pantai. Mereka merayakan malam itu dengan menikmati pesta kembang api bersama. Semua tampak gembira. Tak terkecuali dengan Alsha dan Alma. Sebentar lagi mereka akan memiliki seorang adik laki-laki. Perut Rania sudah sangat besar. Usia kehamilannya sudah memasuki minggu ke-38. Itu artinya ia akan segera melahirkan. Dari hasil USG memperlihatkan bahwa jenis kelamin calon bayinya laki-laki. Sesuai dengan keinginan Rafka dan Rania juga. Malam itu Alsha dan Alma lebih banyak bermain dengan Julio dan Rosita. Sementara Delvin dan Resti pun juga ikut. Kecuali Aluna dan keluarganya tidak menampakkan diri. Sepertinya mereka lebih memilih untuk menikmati malam tahun baru dengan pulang kampung. Menjenguk Romi dan buah hati mereka. “Om Jio kapan menikah? Sudah punya pacar belum nih?” celetuk Alma kepada pamannya yang masih lajang tersebut. “Memangnya kenapa? Paman masih muda kok,” balas Jio tenang. Ia menyugar rambutnya
Bertahun-tahun telah berlalu. Tanpa terasa Alsha dan Alma sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik. Mereka sama-sama berhasil lulus kuliah. “Akhirnya kita lulus dalam waktu yang sama Kak,” ungkap Alsha bergembira.Seperti biasanya, Alma hanya menanggapi dengan ekspresi biasa saja. Sepertinya gadis itu masih merasa kesal dengan kembarannya.Alsha memang lebih unggul dari Alma, namun hal itu tidak membuat Alsha merasa sombong. Sebenarnya banyak perusahaan yang menawarkan pekerjaan kepada mereka. Namun Alsha masih memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri dengan beasiswa yang ia dapatkan.Sementara Alma memilih untuk bekerja sebagai foto model. Tubuhnya yang tinggi dan ramping. Kulitnya yang putih mempesona, membuatnya mudah untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.“Aku mau merayakan kelulusan bersama Marco. Jangan sampai kamu ngadu sama papa, ya? Pasti nanti mereka ngelarang Alma buat ikut balap liar. Padahal cuma iseng-iseng biar nggak gabut.”“Kak ... k
“Kak Alma yakin dengan semua rencana ini? Kakak nggak akan nyesel?” Alsha mencoba meracuni pikiran kakaknya agar membatalkan rencananya. “Nggak mungkin lah aku nyesel. Dan kamu Alsha, aku udah bilang. Nggak perlu panggil kakak. Kita itu hanya selisih beberapa menit saja lahirnya.” “Tapi kata Papa—” “Udah deh. Sekarang kamu harus siap-siap. Pakai gaun ini.” Alsha melihat gaun pemberian Alsha. Terlalu minim dan terbuka. Ia tidak terbiasa memakai pakaian seperti itu. “Alsha nggak mau pakai gaun ini. Biarkan aku pakai baju aku sendiri ya, Kak?” ungkap Alsha jujur. “Terserah deh! Yang penting kamu beneran datang ke tempat yang udah dijanjiin. Ingat, ya! Jangan gagalkan rencana ini!” peringat Alma kemudian. Alsha mengangguk saja. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya. “Nggak usah lama-lama!” teriak Alma mengingatkan. Alsha hanya diam dan melanjutkan aktivitasnya di dalam kamar mandi. Sejujurnya ia tidak sanggup jika harus bermain-main dengan perasaan. Me