“Kak Alma yakin dengan semua rencana ini? Kakak nggak akan nyesel?” Alsha mencoba meracuni pikiran kakaknya agar membatalkan rencananya. “Nggak mungkin lah aku nyesel. Dan kamu Alsha, aku udah bilang. Nggak perlu panggil kakak. Kita itu hanya selisih beberapa menit saja lahirnya.” “Tapi kata Papa—” “Udah deh. Sekarang kamu harus siap-siap. Pakai gaun ini.” Alsha melihat gaun pemberian Alsha. Terlalu minim dan terbuka. Ia tidak terbiasa memakai pakaian seperti itu. “Alsha nggak mau pakai gaun ini. Biarkan aku pakai baju aku sendiri ya, Kak?” ungkap Alsha jujur. “Terserah deh! Yang penting kamu beneran datang ke tempat yang udah dijanjiin. Ingat, ya! Jangan gagalkan rencana ini!” peringat Alma kemudian. Alsha mengangguk saja. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya. “Nggak usah lama-lama!” teriak Alma mengingatkan. Alsha hanya diam dan melanjutkan aktivitasnya di dalam kamar mandi. Sejujurnya ia tidak sanggup jika harus bermain-main dengan perasaan. Me
Sejak malam itu, Alsha tak lagi bertemu dengan Dito. Alma yang menggantikan posisinya seperti sebagaimana yang seharusnya. Meski Dito merasakan perubahan pada diri Alma, ia sudah terlanjur berjanji untuk melamar gadis itu. Alsha hanya bisa menatap dari balik jendela kamarnya saat Dito dan Alma jalan bersama setiap malam. “Kak Dito, apakah kamu tidak merindukan aku? Apakah kamu tidak bisa melihat jika Kak Alma bukanlah aku?” Tanpa terasa air mata mulai mengalir kembali membasahi wajah Alsha. Gadis itu menumpahkan segala perasaannya ke dalam sebuah buku diary. “Mungkin cinta memang tak harus memiliki. Harusnya sejak awal aku tidak mengikuti kekhilafan hati ini.” Mungkin Alsha memang menyesali perbuatannya, tetapi tidak dengan cinta yang sudah terlanjur bersemayam di hatinya. Meski begitu, Alsha sudah yakin akan keputusannya untuk bisa melupakan cinta pertamanya itu. Alsha meraih ponselnya. Ia menghapus semua foto-foto kenangannya bersama Dito. “Aku harus bisa melupakan Kak Dito.
Satu setengah tahun kemudian. “Hai calon adik ipar. Tumben ngajakin ketemuan,” ucap Alma kepada Marco—kekasih Alsha sekaligus mantan pacarnya tersebut. Tiba-tiba saja Marco meminta Alma menemuinya di sebuah kafe. Kafe itu letaknya berada di dekat dengan apartemen milik Alma yang dibelikan oleh Dito. “Kamu apa kabar, mantan?” Bukannya menjawab pertanyaan Alma, Marco justru menggodanya dengan sebuah pertanyaan. Lelaki itu sepertinya masih memiliki rasa kepada Alma. Hanya saja memilih untuk mengalah karena tidak ingin mengecewakannya. “Seperti yang kamu lihat. Aku sedang bad mood. Aku merasa jika Dito sengaja menjauhiku. Dia lebih betah kerja di luar kota tanpa menghubungiku sama sekali. Dan di saat aku memintanya untuk segera menikahiku, dia selalu memiliki sebuah alasan.” Marco tergelak. Ia menertawakan mantan pacarnya yang terlihat sangat lemah. Padahal dulu Alma tidak pernah merasa segalau itu. Lelaki itu kemudian meraih tangan Alma dan ia letakkan di atas punggung tangannya agar
Sepasang lengan kekar memeluk Alsha dari belakang begitu erat. Gadis itu bisa merasakan deru napas seorang lelaki pada tengkuk lehernya. Dan sesaat kemudian mengecupnya beberapa kali. “Sayang ... aku kangen,” lirih dengan suara berat penuh hasrat. Alsha bisa mencium aroma alkohol yang sangat tajam. Alsha sangat mengenali suara itu. Suara yang begitu ia rindukan beberapa tahun terakhir ini. Gadis itu segera memutar tubuhnya. Tubuhnya menegang seketika. Tatapan mata penuh kabut gairah tengah memperhatikannya. “Kamu sangat cantik memakai pakaian ini, Alma.” Dengan cepat tangan lelaki itu mendorong tubuh Alsha. Lalu mulai mendekatkan bibirnya dan saling bertukar saliva. ‘Kak Dito, dia menyebut nama Kak Alma? Pasti dia mengira jika aku ini adalah Kak Alma,’ batin Alsha menjerit. ‘Bodoh! Tentu saja Kak Dito memanggil nama kekasihnya!’ Alsha merasa kesal sendiri. Bisa-bisanya ia berharap Dito akan mengenalinya. Alsha ingin memberontak. Tetapi tubuhnya berkata lain. Entah mengapa gadis
Alma terdiam sejenak. Otaknya memproses informasi yang baru saja didengarnya. Ia menenangkan dirinya lalu bertanya dengan nada yang lebih tenang. “Apa yang terjadi dengan mamamu, Marco?” tanya Alma histeris. “Serangan jantung. Syukurlah dia sudah membaik sekarang. Tapi aku masih harus di sini sampai kondisinya stabil,” jawab Marco dengan suara yang terdengar letih. “Semoga Tante Mona segera sehat kembali.” “Terima kasih Alma.” Sambungan telepon terputus. Alma menghela napas panjang. Ia kesal karena semua rencananya menjadi kacau. Gadis itu berjalan mondar-mandir merasakan hal lain telah terjadi. Tetapi ia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan kembarannya. “Mungkinkah Alsha benar-benar sedang haid? Atau ada lelaki lain yang datang ke sini?” Alma tidak bisa berpikir dengan jernih. “Kak Alma, kamu kenapa?” tanya Alsha yang tiba-tiba masuk ke kamar Alma tanpa mengetuk. Wajahnya tampak khawatir melihat ekspresi tegang kakaknya. Alma tersentak dan langsung menutupi kegelisahannya
Alsha keluar dari kamar. Ia pamit kepada Alma dan Dito mau ke rumah sakit menjenguk Tante Mona. “Hati-hati Alsha,” ucap Alma kepada kembarannya itu. Setelah Alsha pergi, Alma bergelayut manja di lengan Dito. “Sayang, kita ke luar jalan-jalan yuk? Aku kangen banget jalan berdua denganmu.” “Ya, tentu saja. Sebaiknya kamu segera ganti baju. Jangan lama-lama.” Alma dengan berani mengecup pipi Dito sebelum pergi ke kamarnya. Gadis itu lalu berlari karena merasa malu. “Maafkan aku, Alma. Hati tidak dibohongi. Cintaku hanya untuk Alsha. Aku sangat kecewa karena kalian telah bersekongkol untuk membohongiku selama ini. Tapi aku—” Dito kesulitan untuk melanjutkan kalimatnya sendiri. Rasa-rasanya air matanya seakan ingin ke luar dengan deras. “Aku yakin jika malam itu memang Alsha. Tapi kenapa dia enggan untuk berkata jujur? Ia justru memilih untuk menikahi Marco.” Tak lama kemudian Alma telah siap dengan pakaian barunya. Ia segera mengajak Dito untuk pergi dari apartemennya. Seme
“Em, tidak apa-apa Marco. Apakah kamu lapar? Aku bisa membuatkan makanan untukmu.” “Tidak perlu, Alsha. Aku harus segera kembali ke rumah sakit. Nanti kalau Mama sudah boleh pulang, secepatnya aku kabari agar kita bisa segera menemui Mama dan Papa kamu.” Alsha mengangguk sambil tersenyum tipis. “Terima kasih, Marco.” *** Beberapa hari kemudian. Pagi itu, Alsha, Alma, Marco, dan Dito berkumpul di apartemen Alma. Mereka sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah orang tua Alsha dan Alma untuk membicarakan rencana pernikahan mereka yang akan diadakan secara bersamaan. "Apakah semuanya sudah siap?" tanya Alma sambil memastikan tasnya sudah terisi semua yang diperlukan. "Sudah, Kak. Aku juga sudah mempersiapkan beberapa dokumen yang mungkin diperlukan," jawab Alsha dengan semangat. Marco dan Dito mengangguk. Menunjukkan bahwa mereka juga siap. Mereka berempat kemudian keluar dari apartemen dan menuju mobil yang sudah diparkir di depan. Dalam perjalanan, suasana di dalam mob
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i