Jika berkenan mampir ke novel terbaruku dengan judul "Sekretaris Kesayangan CEO" tapi masih proses pengajuan kontrak, sih. Hehehe. Atau lanjut Alsha dan Alma dulu nih???? ;D
Beberapa jam telah berlalu. Rania dan Rafka bagaikan pengantin baru yang sedang menikmati malam pertama mereka. Keduanya tergolek lemah namun tetap berpelukan. “Mas ... apa yang sebenarnya terjadi? Rania ingin mendengar semuanya dari Mas Rafka. Dan apa yang Mas lakukan di sini? Kenapa Mas ... kenapa Mas Rafka tidak pernah cerita tentang penyakit Mas Rafka. Kamu tega sekali, Mas. Bukankah seharusnya Mas berterus terang agar kita bisa selalu mendukung dan Rania bisa selalu berada di samping Mas Rafka?!” Rania ingin meluahkan segala keluh kesahnya kepada Rafka. Meski ia telah mendengar semuanya dari Nadia, tetapi ia juga ingin mendengarkan penjelasan langsung dari suaminya tersebut. “Maafkan aku, Rania. Aku memang salah. Dan aku tidak pernah menyangka jika Dave berani melakukan semua itu kepadaku.” “Dave harus mendapatkan balasan yang setimpal. Aku sangat membencinya, Mas.” “Bukankah dia selalu ada untukmu, Sayang?” Jemari Rafka membelai rambut istrinya. Rafka begitu merind
Tiba di depan rumah, Rania memilih untuk masuk terlebih dahulu. Sementara Rafka masih bersembunyi di luar. Nyatanya lelaki itu masih takut dan merasa bersalah. Apalagi di sana ada Delvin yang siap memukulinya jika Rafka tidak bisa meyakinkan kepada sang paman kenapa dirinya meninggalkan Rania dan calon bayi kembarnya. Satu langkah masuk ke dalam rumah, Rania langsung disambut hangat oleh Delvin. Alsha yang masih bermain dengan Resti seketika menoleh. Gadis kecil itu langsung berlari untuk memeluk sang mama sambil menunjukkan senyuman termanisnya.“Alsha kangen banget sama Mama,” ungkap Alsha manja. “Baru sehari saja ditinggal. Bagaimana kalau satu minggu? Bahkan satu bulan atau mungkin satu tahun?” Rania justru sengaja menggoda gadis kecilnya. “Jangan dong, Ma. Terus kejutannya mana? Katanya spesial,” peringat Alsha yang sudah tidak sabaran. “Tutup mata dulu, dong.” “Ih, Mama.” Alsha tampak cemberut. Namun ia tidak mau mengecewakan sang mama. “Baiklah.” Gadis kecil itu pun segera
Sementara Rafka mulai masuk ke dalam kamar putrinya. Lelaki itu melihat Alma yang sedang tengkurap di atas ranjang sambil menulis sesuatu pada sebuah buku. Sepertinya sebuah buku diary. Di saat mendengar pintu kamar dibuka dari luar, seketika gadis kecil itu menutup bukunya dengan cepat. Mungkin ia pikir yang datang adalah Rania. Rafka bisa melihat raut wajah penuh rasa terkejut pada Alma. Tetapi putrinya tersebut seolah menyembumyikannya. “Alma Sayang, sedang apa? Papa pulang ....” Rafka memperlihatkan senyuman terbaiknya. Namun apa yang ia dapatkan. Sama sekali Alma tidak menampakkan kebahagiaannya. Gadis kecil itu lalu duduk di tepi ranjang di saat sang papa mendekatinya. “Kenapa Papa meninggalkan kami?” tanya Alma langsung pada intinya. Rafka terkesiap mendengar pertanyaan dari putrinya. Bagaimana mungkin Alma bisa menanyakan hal seperti itu? Mengapa gadis itu tidak mengungkapkan rasa rindunya kepada seorang ayah? Seperti Alsha misalnya. Yang langsung memeluknya. Jemari Rafka
Di malam pergantian tahun baru, Rafka mengajak keluarga kecilnya pergi ke pantai. Mereka merayakan malam itu dengan menikmati pesta kembang api bersama. Semua tampak gembira. Tak terkecuali dengan Alsha dan Alma. Sebentar lagi mereka akan memiliki seorang adik laki-laki. Perut Rania sudah sangat besar. Usia kehamilannya sudah memasuki minggu ke-38. Itu artinya ia akan segera melahirkan. Dari hasil USG memperlihatkan bahwa jenis kelamin calon bayinya laki-laki. Sesuai dengan keinginan Rafka dan Rania juga. Malam itu Alsha dan Alma lebih banyak bermain dengan Julio dan Rosita. Sementara Delvin dan Resti pun juga ikut. Kecuali Aluna dan keluarganya tidak menampakkan diri. Sepertinya mereka lebih memilih untuk menikmati malam tahun baru dengan pulang kampung. Menjenguk Romi dan buah hati mereka. “Om Jio kapan menikah? Sudah punya pacar belum nih?” celetuk Alma kepada pamannya yang masih lajang tersebut. “Memangnya kenapa? Paman masih muda kok,” balas Jio tenang. Ia menyugar rambutnya
Bertahun-tahun telah berlalu. Tanpa terasa Alsha dan Alma sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik. Mereka sama-sama berhasil lulus kuliah. “Akhirnya kita lulus dalam waktu yang sama Kak,” ungkap Alsha bergembira.Seperti biasanya, Alma hanya menanggapi dengan ekspresi biasa saja. Sepertinya gadis itu masih merasa kesal dengan kembarannya.Alsha memang lebih unggul dari Alma, namun hal itu tidak membuat Alsha merasa sombong. Sebenarnya banyak perusahaan yang menawarkan pekerjaan kepada mereka. Namun Alsha masih memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri dengan beasiswa yang ia dapatkan.Sementara Alma memilih untuk bekerja sebagai foto model. Tubuhnya yang tinggi dan ramping. Kulitnya yang putih mempesona, membuatnya mudah untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.“Aku mau merayakan kelulusan bersama Marco. Jangan sampai kamu ngadu sama papa, ya? Pasti nanti mereka ngelarang Alma buat ikut balap liar. Padahal cuma iseng-iseng biar nggak gabut.”“Kak ... k
“Kak Alma yakin dengan semua rencana ini? Kakak nggak akan nyesel?” Alsha mencoba meracuni pikiran kakaknya agar membatalkan rencananya. “Nggak mungkin lah aku nyesel. Dan kamu Alsha, aku udah bilang. Nggak perlu panggil kakak. Kita itu hanya selisih beberapa menit saja lahirnya.” “Tapi kata Papa—” “Udah deh. Sekarang kamu harus siap-siap. Pakai gaun ini.” Alsha melihat gaun pemberian Alsha. Terlalu minim dan terbuka. Ia tidak terbiasa memakai pakaian seperti itu. “Alsha nggak mau pakai gaun ini. Biarkan aku pakai baju aku sendiri ya, Kak?” ungkap Alsha jujur. “Terserah deh! Yang penting kamu beneran datang ke tempat yang udah dijanjiin. Ingat, ya! Jangan gagalkan rencana ini!” peringat Alma kemudian. Alsha mengangguk saja. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya. “Nggak usah lama-lama!” teriak Alma mengingatkan. Alsha hanya diam dan melanjutkan aktivitasnya di dalam kamar mandi. Sejujurnya ia tidak sanggup jika harus bermain-main dengan perasaan. Me
Sejak malam itu, Alsha tak lagi bertemu dengan Dito. Alma yang menggantikan posisinya seperti sebagaimana yang seharusnya. Meski Dito merasakan perubahan pada diri Alma, ia sudah terlanjur berjanji untuk melamar gadis itu. Alsha hanya bisa menatap dari balik jendela kamarnya saat Dito dan Alma jalan bersama setiap malam. “Kak Dito, apakah kamu tidak merindukan aku? Apakah kamu tidak bisa melihat jika Kak Alma bukanlah aku?” Tanpa terasa air mata mulai mengalir kembali membasahi wajah Alsha. Gadis itu menumpahkan segala perasaannya ke dalam sebuah buku diary. “Mungkin cinta memang tak harus memiliki. Harusnya sejak awal aku tidak mengikuti kekhilafan hati ini.” Mungkin Alsha memang menyesali perbuatannya, tetapi tidak dengan cinta yang sudah terlanjur bersemayam di hatinya. Meski begitu, Alsha sudah yakin akan keputusannya untuk bisa melupakan cinta pertamanya itu. Alsha meraih ponselnya. Ia menghapus semua foto-foto kenangannya bersama Dito. “Aku harus bisa melupakan Kak Dito.
Satu setengah tahun kemudian. “Hai calon adik ipar. Tumben ngajakin ketemuan,” ucap Alma kepada Marco—kekasih Alsha sekaligus mantan pacarnya tersebut. Tiba-tiba saja Marco meminta Alma menemuinya di sebuah kafe. Kafe itu letaknya berada di dekat dengan apartemen milik Alma yang dibelikan oleh Dito. “Kamu apa kabar, mantan?” Bukannya menjawab pertanyaan Alma, Marco justru menggodanya dengan sebuah pertanyaan. Lelaki itu sepertinya masih memiliki rasa kepada Alma. Hanya saja memilih untuk mengalah karena tidak ingin mengecewakannya. “Seperti yang kamu lihat. Aku sedang bad mood. Aku merasa jika Dito sengaja menjauhiku. Dia lebih betah kerja di luar kota tanpa menghubungiku sama sekali. Dan di saat aku memintanya untuk segera menikahiku, dia selalu memiliki sebuah alasan.” Marco tergelak. Ia menertawakan mantan pacarnya yang terlihat sangat lemah. Padahal dulu Alma tidak pernah merasa segalau itu. Lelaki itu kemudian meraih tangan Alma dan ia letakkan di atas punggung tangannya agar