Bagaimana nih?????
Sementara Rafka mulai masuk ke dalam kamar putrinya. Lelaki itu melihat Alma yang sedang tengkurap di atas ranjang sambil menulis sesuatu pada sebuah buku. Sepertinya sebuah buku diary. Di saat mendengar pintu kamar dibuka dari luar, seketika gadis kecil itu menutup bukunya dengan cepat. Mungkin ia pikir yang datang adalah Rania. Rafka bisa melihat raut wajah penuh rasa terkejut pada Alma. Tetapi putrinya tersebut seolah menyembumyikannya. “Alma Sayang, sedang apa? Papa pulang ....” Rafka memperlihatkan senyuman terbaiknya. Namun apa yang ia dapatkan. Sama sekali Alma tidak menampakkan kebahagiaannya. Gadis kecil itu lalu duduk di tepi ranjang di saat sang papa mendekatinya. “Kenapa Papa meninggalkan kami?” tanya Alma langsung pada intinya. Rafka terkesiap mendengar pertanyaan dari putrinya. Bagaimana mungkin Alma bisa menanyakan hal seperti itu? Mengapa gadis itu tidak mengungkapkan rasa rindunya kepada seorang ayah? Seperti Alsha misalnya. Yang langsung memeluknya. Jemari Rafka
Di malam pergantian tahun baru, Rafka mengajak keluarga kecilnya pergi ke pantai. Mereka merayakan malam itu dengan menikmati pesta kembang api bersama. Semua tampak gembira. Tak terkecuali dengan Alsha dan Alma. Sebentar lagi mereka akan memiliki seorang adik laki-laki. Perut Rania sudah sangat besar. Usia kehamilannya sudah memasuki minggu ke-38. Itu artinya ia akan segera melahirkan. Dari hasil USG memperlihatkan bahwa jenis kelamin calon bayinya laki-laki. Sesuai dengan keinginan Rafka dan Rania juga. Malam itu Alsha dan Alma lebih banyak bermain dengan Julio dan Rosita. Sementara Delvin dan Resti pun juga ikut. Kecuali Aluna dan keluarganya tidak menampakkan diri. Sepertinya mereka lebih memilih untuk menikmati malam tahun baru dengan pulang kampung. Menjenguk Romi dan buah hati mereka. “Om Jio kapan menikah? Sudah punya pacar belum nih?” celetuk Alma kepada pamannya yang masih lajang tersebut. “Memangnya kenapa? Paman masih muda kok,” balas Jio tenang. Ia menyugar rambutnya
Bertahun-tahun telah berlalu. Tanpa terasa Alsha dan Alma sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik. Mereka sama-sama berhasil lulus kuliah. “Akhirnya kita lulus dalam waktu yang sama Kak,” ungkap Alsha bergembira.Seperti biasanya, Alma hanya menanggapi dengan ekspresi biasa saja. Sepertinya gadis itu masih merasa kesal dengan kembarannya.Alsha memang lebih unggul dari Alma, namun hal itu tidak membuat Alsha merasa sombong. Sebenarnya banyak perusahaan yang menawarkan pekerjaan kepada mereka. Namun Alsha masih memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri dengan beasiswa yang ia dapatkan.Sementara Alma memilih untuk bekerja sebagai foto model. Tubuhnya yang tinggi dan ramping. Kulitnya yang putih mempesona, membuatnya mudah untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.“Aku mau merayakan kelulusan bersama Marco. Jangan sampai kamu ngadu sama papa, ya? Pasti nanti mereka ngelarang Alma buat ikut balap liar. Padahal cuma iseng-iseng biar nggak gabut.”“Kak ... k
“Kak Alma yakin dengan semua rencana ini? Kakak nggak akan nyesel?” Alsha mencoba meracuni pikiran kakaknya agar membatalkan rencananya. “Nggak mungkin lah aku nyesel. Dan kamu Alsha, aku udah bilang. Nggak perlu panggil kakak. Kita itu hanya selisih beberapa menit saja lahirnya.” “Tapi kata Papa—” “Udah deh. Sekarang kamu harus siap-siap. Pakai gaun ini.” Alsha melihat gaun pemberian Alsha. Terlalu minim dan terbuka. Ia tidak terbiasa memakai pakaian seperti itu. “Alsha nggak mau pakai gaun ini. Biarkan aku pakai baju aku sendiri ya, Kak?” ungkap Alsha jujur. “Terserah deh! Yang penting kamu beneran datang ke tempat yang udah dijanjiin. Ingat, ya! Jangan gagalkan rencana ini!” peringat Alma kemudian. Alsha mengangguk saja. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya. “Nggak usah lama-lama!” teriak Alma mengingatkan. Alsha hanya diam dan melanjutkan aktivitasnya di dalam kamar mandi. Sejujurnya ia tidak sanggup jika harus bermain-main dengan perasaan. Me
Sejak malam itu, Alsha tak lagi bertemu dengan Dito. Alma yang menggantikan posisinya seperti sebagaimana yang seharusnya. Meski Dito merasakan perubahan pada diri Alma, ia sudah terlanjur berjanji untuk melamar gadis itu. Alsha hanya bisa menatap dari balik jendela kamarnya saat Dito dan Alma jalan bersama setiap malam. “Kak Dito, apakah kamu tidak merindukan aku? Apakah kamu tidak bisa melihat jika Kak Alma bukanlah aku?” Tanpa terasa air mata mulai mengalir kembali membasahi wajah Alsha. Gadis itu menumpahkan segala perasaannya ke dalam sebuah buku diary. “Mungkin cinta memang tak harus memiliki. Harusnya sejak awal aku tidak mengikuti kekhilafan hati ini.” Mungkin Alsha memang menyesali perbuatannya, tetapi tidak dengan cinta yang sudah terlanjur bersemayam di hatinya. Meski begitu, Alsha sudah yakin akan keputusannya untuk bisa melupakan cinta pertamanya itu. Alsha meraih ponselnya. Ia menghapus semua foto-foto kenangannya bersama Dito. “Aku harus bisa melupakan Kak Dito.
Satu setengah tahun kemudian. “Hai calon adik ipar. Tumben ngajakin ketemuan,” ucap Alma kepada Marco—kekasih Alsha sekaligus mantan pacarnya tersebut. Tiba-tiba saja Marco meminta Alma menemuinya di sebuah kafe. Kafe itu letaknya berada di dekat dengan apartemen milik Alma yang dibelikan oleh Dito. “Kamu apa kabar, mantan?” Bukannya menjawab pertanyaan Alma, Marco justru menggodanya dengan sebuah pertanyaan. Lelaki itu sepertinya masih memiliki rasa kepada Alma. Hanya saja memilih untuk mengalah karena tidak ingin mengecewakannya. “Seperti yang kamu lihat. Aku sedang bad mood. Aku merasa jika Dito sengaja menjauhiku. Dia lebih betah kerja di luar kota tanpa menghubungiku sama sekali. Dan di saat aku memintanya untuk segera menikahiku, dia selalu memiliki sebuah alasan.” Marco tergelak. Ia menertawakan mantan pacarnya yang terlihat sangat lemah. Padahal dulu Alma tidak pernah merasa segalau itu. Lelaki itu kemudian meraih tangan Alma dan ia letakkan di atas punggung tangannya agar
Sepasang lengan kekar memeluk Alsha dari belakang begitu erat. Gadis itu bisa merasakan deru napas seorang lelaki pada tengkuk lehernya. Dan sesaat kemudian mengecupnya beberapa kali. “Sayang ... aku kangen,” lirih dengan suara berat penuh hasrat. Alsha bisa mencium aroma alkohol yang sangat tajam. Alsha sangat mengenali suara itu. Suara yang begitu ia rindukan beberapa tahun terakhir ini. Gadis itu segera memutar tubuhnya. Tubuhnya menegang seketika. Tatapan mata penuh kabut gairah tengah memperhatikannya. “Kamu sangat cantik memakai pakaian ini, Alma.” Dengan cepat tangan lelaki itu mendorong tubuh Alsha. Lalu mulai mendekatkan bibirnya dan saling bertukar saliva. ‘Kak Dito, dia menyebut nama Kak Alma? Pasti dia mengira jika aku ini adalah Kak Alma,’ batin Alsha menjerit. ‘Bodoh! Tentu saja Kak Dito memanggil nama kekasihnya!’ Alsha merasa kesal sendiri. Bisa-bisanya ia berharap Dito akan mengenalinya. Alsha ingin memberontak. Tetapi tubuhnya berkata lain. Entah mengapa gadis
Alma terdiam sejenak. Otaknya memproses informasi yang baru saja didengarnya. Ia menenangkan dirinya lalu bertanya dengan nada yang lebih tenang. “Apa yang terjadi dengan mamamu, Marco?” tanya Alma histeris. “Serangan jantung. Syukurlah dia sudah membaik sekarang. Tapi aku masih harus di sini sampai kondisinya stabil,” jawab Marco dengan suara yang terdengar letih. “Semoga Tante Mona segera sehat kembali.” “Terima kasih Alma.” Sambungan telepon terputus. Alma menghela napas panjang. Ia kesal karena semua rencananya menjadi kacau. Gadis itu berjalan mondar-mandir merasakan hal lain telah terjadi. Tetapi ia tidak tahu apa yang telah terjadi dengan kembarannya. “Mungkinkah Alsha benar-benar sedang haid? Atau ada lelaki lain yang datang ke sini?” Alma tidak bisa berpikir dengan jernih. “Kak Alma, kamu kenapa?” tanya Alsha yang tiba-tiba masuk ke kamar Alma tanpa mengetuk. Wajahnya tampak khawatir melihat ekspresi tegang kakaknya. Alma tersentak dan langsung menutupi kegelisahannya