Brak!
Pintu ruangan Presdir GP Property dibuka dengan keras membuat sang pemilik ruangan spontan mengangkat kepala, kening yang berkerut menandakan ia marah dan tak terima dengan sikap lancang karyawannya. "Ada apa ini?" tanyanya dengan nada dingin, memandang tajam sang karyawan seakan siap memecatnya sekarang juga. Seolah tidak peduli dengan tatapan itu, karyawan yang berhasil menerobos masuk ke dalam ruangan Presdir meskipun sudah ditahan berakhir berdiri tepat di depan meja kebesaran bosnya. "Pak, apa maksud dari semua ini?" tanyanya seraya menyimpan secarik kertas di atas meja. "Apa bapak ingin mempermainkan saya di sini, dengan memotong setengah gaji saya untuk membayar utang orang tua saya?" Pak Presdir—Gama langsung mengalihkan pandangan ke sembarang arah. "Hm, tanyakan langsung pada pimpinan, saya tidak tahu apa-apa." "Pak!" Anjeli sudah menahan rasa kesalnya sejak tadi. "Bagaimana bisa saya percaya pada ucapan bapak? Sementara ini pimpinan sedang terbaring di rumah sakit karena koma!" Seketika Gama berdiri dari duduknya, mengebrak meja dan menatap Anjeli penuh peringatan. "Jaga ucapanmu," bisik Gama kemudian berjalan tenang ke arah pintu yang terbuka lebar dimana para karyawan lain tengah menyaksikan keributan ini. "Huh, apa anda sedang menyembunyikan keadaan pimpinan dari semua orang?" Anjeli mengernyit, tetapi kemudian menggeleng. "Saya tidak peduli, saya hanya ingin kejelasan tentang kontrak tersebut." Tunjuknya ke arah kertas itu lagi. "Uh! Dasar anak kecil! Seharusnya kau bersyukur karena dapat pekerjaan setelah lulus kuliah." Gama menatap Anjeli kesal. "Dapat pekerjaan di perusahaan ini saja sudah sebuah keuntungan untukmu. Alih-alih protes tentang gajimu, lebih baik berterima kasih karena telah mempekerjakan mu di perusahaan ini." Perusahaan dengan reputasi nomor satu di negeri ini. GP Property. Bekerja di perusahaan ini adalah sebuah keuntungan yang harus Anjeli syukuri. Jika bukan karena Gama mungkin sekarang Anjeli sedang mencari-cari pekerjaan itu. Mendapat pekerjaan di era ini tentu tidak mudah, apalagi untuk orang seperti Anjeli yang tidak punya apa-apa. Beruntung Anjeli bisa langsung bekerja setelah lulus kuliah, berkat Presdir, bos orang tuanya yang sudah bekerja di bawahnya selama puluhan tahun. Namun tetap saja, Anjeli merasa tidak adil dan dipermainkan jika kontrak kerjanya hanya disetujui oleh sebelah pihak. "Tapi ini tidak adil untuk saya!" "Jadi sekarang kau sedang membicarakan keadilan?" Gama berjalan ke arah kursinya lalu duduk kembali di sana. "Karena kau sudah besar, maka tugasmu sekarang adalah membalas budi orang tuamu." Mata Anjeli membulat, "Apa maksud anda?" Sebelum memberi jawabannya, Gama memanggil bawahannya untuk masuk ke dalam dan membawa Anjeli pergi dari sini. Namun, bukan bawahan Gama yang masuk ke dalam ruangan ini melainkan sosok pria jangkung dengan setelan jas berwarna biru tua dengan garis wajahnya yang tegas. Pria itu adalah pewaris tunggal GP Property, cucu satu-satunya yang akan mewarisi perusahaan nomor satu di negeri ini. Seseorang yang unggul, dengan kecerdasan dan kemampuan yang menonjol. Sosok pria yang didambakan oleh banyak wanita. Ghatan Prajanata. Dia berhenti tepat di ambang pintu begitu matanya menangkap keberadaan Anjeli. Sebelah tangannya terangkat, menahan bawahan Gama yang hendak menarik Anjeli keluar dari ruangan ini. "Jangan biarkan siapapun masuk ke dalam sini." Suaranya begitu dingin, siapa pun yang mendengarnya tidak akan berani membantah. "Tapi—baik, tuan muda." Pria itu menundukkan kepala, lantas menutup pintu setelah Ghatan melangkahkan kaki ke dalam. "Ternyata sedang ada masalah kecil di sini," ucap Ghatan seraya menoleh ke arah Anjeli yang masih setia berdiri di hadapan Pak Presdir. "Ayah, ada sesuatu yang ingin aku katakan tentang perjodohan dengan putri perusahaan TK." Tatapan Gama membuat Ghatan menarik sebelah sudut bibirnya. "Ah, apa aku mengatakannya di waktu yang tidak tepat?" Lalu ia tersenyum penuh makna ke arah Anjeli yang kini tidak bisa bergerak sedikit pun. "Tapi aku ingin mengatakannya sekarang." Tidak ada yang bisa menghentikan anak keras kepala sekalipun itu adalah ayahnya sendiri, dan itu yang Gama rasakan sekarang. "Cukup disitu Ghatan, jangan membuatku bertambah marah karena masalahmu." "Aku ingin membatalkan perjodohan itu." Ghatan tampak puas setelah mengatakan kalimat yang berhasil membuat urat-urat sang ayah menonjol. "Apa kau gila!?" Seperti sudah menebak apa yang akan ayahnya katakan, Ghatan hanya bersikap santai seperti tidak mendengar apa pun. "Jangan membuat ulah, aku sudah pusing dengan masalah lain," ujarnya seraya melirik Anjeli. "Jika tidak ada yang ingin kaukatakan lagi cepat pergi." Gama mengurut kepalanya dan memejamkan mata menahan emosi. Namun tidak sampai di situ, Ghatan kembali membuat pembuluh darah Gama naik. "Aku tidak ingin melakukan pernikahan bisnis." Kali ini wajahnya tampak lebih serius. "Dan satu lagi, aku akan menikah dengan wanita lain." Dan saat itu juga Anjeli bersitatap dengan Ghatan, hanya sedetik. Karena Anjeli langsung memalingkan wajahnya dari senyuman mengerikan itu. Senyuman yang seolah-olah akan membawa masalah jika Anjeli terus menatapnya. 'Mengapa dia terus menatapku seperti itu?' "GHATAN!" teriak Gama murka. Menatap Ghatan mematikan. Tepat saat Gama berteriak, para pengawal Ghatan yang sengaja disiapkan di luar ruangan masuk bersamaan. Melindungi Ghatan sebelum Gama melayangkan benda tajam ke arah anaknya sendiri. "ARGH! SIALAN!" teriak Gama sambil terus berontak. "LEPASKAN AKU! JANGAN IKUT CAMPUR KALIAN PARA TIKUS!" Anjeli syok. "A-apa-apaan ini?" Dia ternganga di tempatnya tak mampu untuk bergerak jika seseorang tidak menyadarkannya. "An, ayo keluar dari sini." Dengan pikiran yang melayang entah kemana, Anjeli pasrah saat tangannya ditarik oleh sekretaris pelaksana yang bertugas untuk Gama. Hal terakhir yang Anjeli lihat sebelum pintu itu kembali tertutup adalah punggung lebar milik putra mahkota Prajanata. Saat tiba di luar ruangan, Anjeli menatap sekretaris itu dengan penuh pertanyaan. "Apa yang terjadi antara pak Gama dengan putranya?" Namun bukannya menjawab pertanyaan Anjeli, sekretaris—Sena—membawa Anjeli keluar dari kantor dengan ekspresi wajah gusar. "Ada yang harus aku sampaikan padamu." *** "Ini rincian utang orang tuamu yang harus kaubayar selama masa kontrakmu di perusahaan habis." Anjeli menatap map berwarna merah itu dengan pikiran kosong, dia tidak habis pikir dengan pria tua bernama Gama yang adalah bos orang tuanya selama puluhan tahun. Anjeli tertawa miris menyadari betapa lucunya takdir mempermainkannya seperti ini. "Memangnya orang tuaku melakukan apa sampai memiliki utang sebanyak itu?" Dia bertanya pada dirinya sendiri, tetapi sepertinya Sena menganggap pertanyaan itu ditanyakan kepadanya. "Yuan, ayahmu itu adalah penjudi. Karena selalu kalah dalam permainan dia meminjam uang ke rentenir untung membayar utang-utangnya. Selain itu, biaya sekolahmu dan kakakmu ditanggung oleh Prajanata. Belum lagi biaya hidup keluargamu." Jawaban Sena yang tak Anjeli inginkan keluar dengan lancar seperti dijelaskan oleh sebuah robot, dan itu berhasil membuat Anjeli kembali mematung. Apa mungkin hidup Anjeli akan hancur begitu saja? Dia pikir setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan hidupnya akan berjalan normal, tidak menyusahkan orang tuanya dan bisa membantu keluarganya. Namun apa yang baru saja Anjeli hadapi? Ia harus membayar utang-utang orang tuanya kepada perusahaan Prajanata. Dipikirkan sekeras apa pun, Anjeli merasa ini tidak benar. "Apa mereka sedang mempermainkanku?" Rasanya seperti ada yang tidak beres. "Apa semua itu bisa disebut utang? Biaya sekolah? Biaya hidup? Hahaha, lucu sekali." Dijatuhi masalah bertubi-tubi, Anjeli tidak dapat berpikir dengan baik. "Ha-ha-ha, jangan-jangan selama aku menginjak lantai kediaman Prajanata juga dihitung sebagai utang." Dia sudah putus asa. Untuk apa Anjeli bekerja di bawah pimpinan Prajanata? Dada Anjeli naik turun, rasanya sesak sampai ingin mati. Gama. Bos orang tuanya yang sangat licik, kejam, dan tidak punya rasa kemanusiaan. Dia rela melakukan apa pun demi kekuasaan. Hal yang paling disenanginya adalah ketika ia bisa mengendalikan hidup orang sepenuhnya, membuat hidup orang sengsara bak tinggal di neraka dunia. Anjeli tahu betul bagaimana tabiat busuk pria tua itu. Bagaimana dia melihat Gama akan melempar guci ke arah Ghatan saja sudah ditebak jika dia memang pria gila. "An..." Sena menatap Anjeli iba. "Bersabarlah, mungkin ini memang jalan yang terbaik untukmu." Anjeli menatap Sena dengan sorot berkaca-kaca. "Selama bertahun-tahun orang tuaku bekerja di bawah Prajanata, apa itu masih kurang untuk membayar utang-utangnya?" Selama ini hidup Anjeli dan keluarganya baik-baik saja, bahkan mereka memberi kesejahteraan bagi para pekerjanya. Ibu yang adalah seorang pelayan di rumah utama Prajanata tampak tidak memiliki beban apa pun. Dan ayah yang adalah sopir pribadi Gama selalu tersenyum seolah hidupnya berjalan lancar. "Kak Sena, aku harus apa?" tanya Anjeli bingung. "Apa aku harus tetap bekerja sebagai mesin pembayar utang di bawah kekuasaan Prajanata?" Apa senyuman kedua orang tuanya selama ini palsu? "Apa kau ingin lepas dari jerat ayahku?" Suara berat seseorang berhasil membuat Anjeli dan Sena menoleh ke sumber suara. Pria yang Anjeli lihat beberapa waktu lalu di ruangan pak Presdir, terlihat sedikit berbeda dengan luka gores di keningnya. "Pa-pak Ghatan?" "Menikahlah denganku.""Ayo kita menikah." Lagi-lagi kata 'menikah' keluar dari mulut Ghatan setelah ia dengan halus mengusir Sena dan menyuruhnya pergi tanpa membawa map rincian utang keluarga Anjeli. Sekarang hanya ada Ghatan dan Anjeli di sini, di sebuah kafe tak jauh dari kantor. "Apa maksudnya?" tanya Anjeli tak mengerti, memandang wajah tenang Ghatan yang terdengar santai mengajaknya mengikat janji suci. "Anda bilang apa tadi?" Tidak banyak yang Anjeli ketahui tentang cucu pimpinan Prajanata yang nantinya akan mewarisi perusahaan GP Property. Yang Anjeli tahu pasti, 32 tahunnya dihabiskan untuk menjadi pemilik GP Property. Sebagai putra tunggal, beban yang ditanggungnya memanglah sangat berat. Hanya dia satu-satunya penerus GP Property. Karena itulah, mau tidak mau dia dididik dengan keras. Tak heran ia tumbuh menjadi orang yang tidak bisa membuka hati dan menunjukkan perasaannya kepada orang lain. Ada alasan kenapa Anjeli berpikir seperti itu, karena sudah keempat kalinya ia membatalkan perjod
"Tu-tuan muda! Ini tidak seperti yang anda lihat." Ibu—Eva segera mengatupkan kedua tangannya setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ghatan. "Ayah, cepat minta maaf kepada tuan muda!" seru Eva panik kepada suaminya, ia memaksa sang suami untuk ikut mengatupkan kedua tangannya. "Maafkan kami tuan muda, kami tidak bermaksud seperti ini. Karena dia kami harus kehilangan rumah. Tolong kami tuan muda." Eva terus memohon kepada Ghatan yang hanya diam saja. Melihat kedua orang tuanya memohon seperti itu kepada Ghatan, hati Anjeli hancur. Gejolak panas muncul di dadanya kala Eva dan Yuan mulai menunduk di hadapan Ghatan. "Ibu! Ayah! Jangan melakukan itu!" Anjeli berusaha untuk menarik mereka agar berdiri. "Ibu dan Ayah boleh memukuliku, asal kalian berdua bangun! Huhuhu, aku mohon...." Eva menepis tangan Anjeli kasar, bahkan dengan tega ia mendorong anaknya. Sebelum hal buruk kembali terjadi pada Anjeli, Ghatan memerintah pengawalnya untuk menahan Eva yang hendak mendekati Anjeli
Anjeli terus menatap Ghatan menunggu jawabannya. Begitupun Ghatan, pria itu terus menatap Anjeli seolah akan memberikan jawaban yang jelas. Namun ditunggu seberapa lama pun, Anjeli tak kunjung mendengar suara itu. Anjeli mendecak, ia orang pertama yang memutus kontak mata. Wajah frustrasinya tak dapat disembunyikan seiring air matanya kembali menetes, teringat pada ucapan orang tuanya yang tak pernah terbesit sekalipun dalam pikiran Anjeli. "Hah ... kenapa ibu dan ayah begitu tega?" Tangannya dengan keras mengusap air mata yang terus mengalir. "Rasanya seperti jutaan belati menusuk jantungku, lebih baik aku mati daripada harus menikah denganmu." "Huh? Kau tidak tahu kalau orang tuamu menandatangani kontrak denganku demi utang-utang mereka lunas," ujar Ghatan memberitahu yang sebenarnya kepada Anjeli. "Dan lagi mereka menyetujui syarat yang tertulis dalam kontrak tersebut." "Apa kau bilang?" Anjeli tak habis pikir, dia tidak memercayai ucapan pria ini sepenuhnya. "Apa syarat kontrak
"Syarat?" beo Anjeli dengan dahi berkerut dalam, ia menatap Ghatan penuh pertanyaan. Ghatan mengangguk. "Ya, syarat yang harus kau patuhi," ucapnya seraya menatap Anjeli. Namun beberapa saat kemudian Ghatan membelakangi Anjeli. "Ah, apa mungkin lebih tepat jika disebut aturan?" Merasa jika Ghatan sedang bertele-tele, Anjeli mendecak kesal. "Cepat katakan." "Setelah menikah kita tidak boleh tidur bersama—" "Apa!?" seru Anjeli menginterupsi kalimat yang hendak Ghatan katakan, bahkan pria itu termenung beberapa saat karena Anjeli yang begitu terkejut. Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa respon mu seperti itu? Jangan-jangan kau ingin tidur—" "Argh!" Lagi-lagi Anjeli memotong ucapan Ghatan, wanita itu mendorong Ghatan agar keluar dari kamarnya. "Kenapa kita tidak bicara setelah aku pakai baju?" tanya Anjeli dan berhasil mengeluarkan Ghatan dari kamarnya, tetapi ketika Anjeli sudah menutup pintu ia membukanya kembali. "Dan satu lagi, aku tidak akan mematuhi aturan jika tidak disetuj
Entah apa yang Ghatan pikirkan hingga dengan mudah ia menyerang Anjeli seperti ini. Mencumbu setiap inci wajah Anjeli, mengendus nafsu aroma tubuh Anjeli yang memabukkan. Hingga akhirnya ia berhenti melakukan aksi diluar kendalinya kala merasakan cakaran pada lehernya. "Hei!" Napas Anjeli terengah-engah, dalam sekejap bajunya berantakan akibat ulah Ghatan. "Apa kau gila!?" bentaknya, tak dapat dipungkiri jika sikap Ghatan membuatnya marah. "Apa kau memang selalu mempermainkan wanita seperti ini?" Ghatan terdiam, tak membalas ucapan Anjeli. Ia termenung beberapa saat hingga akhirnya pandangannya teralihkan ke sembarang arah. "Kenapa tidak menjawabku?" Anjeli melempar satu pertanyaan lagi, sontak Ghatan mengalihkan pandangannya ke arah Anjeli. Pria itu mengusap bibirnya dengan ibu jari, tatapan tajamnya seolah tak ingin mengakui kesalahannya. "Hah, apa kau sedang mengancam ku sekarang?" Dia mendengus. "Apa kau tidak peduli jika keluargamu dalam bahaya?" tanya Ghatan, tetapi terde
Lagi-lagi tidak ada suara ibu yang membangunkannya pagi ini, rasanya masih sama seperti pagi kemarin. Begitu membuka mata, Anjeli hanya bisa menghela napas. "Ah, hari ini aku harus mulai bekerja." Anjeli mengusap rambutnya ke belakang. Ia baru ingat jika hari ini adalah hari Senin dan hari pertamanya bekerja di perusahaan Ghatan, anak perusahaan GP Property. "Hari ini dia pasti bekerja juga, apa sudah berangkat ya?" Namun kala Anjeli keluar dari kamarnya, ia mendengar sesuatu dari arah dapur. Begitu sampai di dapur, hal pertama yang ia lihat adalah punggung Ghatan. Anjeli mengernyit, jari-jemarinya spontan merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Pak?" ucap Anjeli. Tepat saat itu juga Ghatan menolehkan kepala dan berjalan ke arah meja seraya membawa sepiring roti panggang dan segelas susu putih. "Sudah bangun?" tanya Ghatan tanpa menatap Anjeli, ia masih sibuk sendiri. "Ya..." jawab Anjeli seadanya. Dia cukup bingung sekarang, bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya se
"Alasan apa yang harus aku gunakan untuk tidak datang makan siang?" Anjeli tidak bisa berpikir dengan baik setelah Ghatan menghampirinya di ruangan. Meski Ghatan mengatakan bahwa itu hanya sebuah sapaan bos pada karyawan barunya, tetap saja Ghatan membuat Anjeli kesulitan. Ia membasuh wajahnya, memandangi dirinya di cermin sambil terus memikirkan alasan apa yang harus ia katakan pada rekan kerjanya?"Sebenarnya mengapa pak Ghatan tiba-tiba ingin makan siang bersama?" Pertanyaan itu mengisi ruang kosong kepala Anjeli. "Ah! Apa dia tipe bos yang royal? Namun aku rasa itu sangat tidak mungkin." "Tidak! Tidak! Tidak!" Anjeli menggelengkan kepalanya, ia memejamkan mata serta menepuk-nepuk pipinya pelan. "Ayo pikirkan bagaimana cara agar tidak pergi ke sana. Haruskah aku pura-pura sakit dan izin pergi ke klinik?" Anjeli terus menggeleng dengan segala ide anehnya. Tok. Tok. Tok. Anjeli terkejut mendengar suara ketukan pintu itu. "Apa ada seseorang di dalam?" "I-iya! Ada saya, Anjeli!"
Setelah makan siang bersama rekan-rekannya, kini Anjeli sudah kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya ia kembali dengan yang lain, tetapi entah bagaimana mereka berpencar akhirnya menyisakan Anjeli seorang diri. "Kenapa aku memikirkan hubungan wanita itu dengan pak Ghatan ya?" Anjeli bermonolog, benaknya merasa terganggu setelah pertemuan tak sengaja dengan Anindya di restoran. "Sepertinya aku harus bertemu dengan kak Sena untuk mendapatkan lebih banyak informasi." Anjeli berjalan memasuki kantor dengan perasaan yang tak karuan. Banyak perasaan aneh yang datang setelah Anjeli menikah dengan Ghatan, apa lagi sekarang ia bekerja di perusahaan pria itu. Entah apa yang akan terjadi selama ia bekerja di sini. Saat di lobi, di pertengahan jalan Anjeli menahan langkahnya kala seseorang berhenti tepat di depannya. Orang itu adalah Gama Prajanata. Begitu Anjeli menatap mata Presdir, ia langsung mengeluarkan suaranya. "Setelah bekerja dari kantorku, rupanya kau beker
"Hm?" Anjeli mengernyitkan keningnya begitu menyadari sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu di wajahku," katanya seraya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Anjeli mengangkat ponselnya dan menatap wajahnya di sana, berlagak seakan tengah menyingkirkan sesuatu dari wajahnya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia pastikan, semenjak keluar dari kantor akan menemui Bas, Anjeli merasa ada yang mengikutinya. "Ternyata ada sesuatu di mataku, pantas saja seperti ada yang menghalangi pandanganku." Anjeli sengaja menabrak orang yang baru saja keluar dari toko pakaian. "Maaf-maaf ... aku akan lebih berhati-hati." Anjeli menoleh ke belakang dan sesuai dugaannya, orang yang mengikutinya tampak bersembunyi dan ini kesempatan Anjeli untuk menghilangkan jejak. Ia memutuskan untuk masuk ke toko pakaian, mengambil baju dan topi lantas mengganti pakaiannya. Setelah Anjeli mengganti pakaian, orang itu tampak kebingungan dan tak lagi mengikutinya. "Siapa orang itu?" ujar Anjeli bertanya-tanya.
"Apa-apaan penampilanmu ini?" Suara kencang sang ayah membuat wanita yang kini tengah duduk di sofa itu memejamkan matanya. Ekspresinya seolah tak peduli pada respon sang ayah mengenai dirinya. "Jangan coba-coba untuk berontak, Karina." Karina memutar bola matanya malas. Dengan penampilan yang berubah 180 derajat, tentu saja membuat Tama terkejut dan tak terima. Putri yang selalu ia banggakan kini berani membangkangnya, melawan setiap ucapannya, dan bersikap tidak sopan. Jaket kulit berwarna hitam yang Karina pakai seakan membuat mata Tama sakit. Ditambah celana jeans ketat menambah kesan tomboy pada karakter Karina yang awalnya anggun bak putri kerajaan. "Kemana pakaian pink-pink mu itu, Karina?" tanya Tama dengan kedua tangan disimpan di sisi pinggangnya. "Apa kau ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang di kantor ini?" Karina menghela napas, lantas mengeluarkan sesuatu dan berhasil meningkatkan emosi Tama saat ini juga. "KARINA! DARI MANA ROKOK ELEKTRIK ITU!?" Kar
Anjeli sudah kembali ke kantor dan sekarang ia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruangannya. Dari jauh Anjeli dapat melihat banyak orang menunggu di depan lift membuatnya sedikit menghela napas. "Apa aku harus berdesakan di dalam lift?" keluh Anjeli. "Kenapa disaat seperti ini banyak orang yang ingin naik lift, sih?" Begitu tiba saatnya Anjeli masuk ke dalam, seseorang membuat kakinya berhenti melangkah. Tatapan pria itu membuat Anjeli diam layaknya patung, hingga pria yang tak lain adalah bosnya itu tersenyum lebih dulu kepadanya. "Apa kau tidak akan masuk?" tanyanya. "Eh?" Anjeli linglung beberapa saat. "Selamat siang, Pak." Anjeli sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum kecil. "Silakan anda masuk lebih dulu." "An—" Ghatan seakan ingin menarik tangan Anjeli dan mengajaknya berbicara, tetapi tiba-tiba banyak pegawai datang dan masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dalam sekejap para pegawai itu memenuhi ruang lift. Jarak jauh diantara dirinya dengan Anjeli membua
Anjeli menatap datar ponselnya, lantas ia memasukannya ke dalam saku celana. Setelah Pak Hans datang membawakan makanan untuknya, Anjeli mendapat pesan dari Ghatan tetapi ia tak berniat membalasnya. Semua orang tampak bingung mengapa bosnya itu hanya memberi makanan kepada satu karyawannya saja, dan itu adalah karyawan baru dibandingkan dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja di perusahaan ini. Sophia menatap paper bag yang Anjeli pegang, lalu ia menatap Pak Hans dengan sedikit kerutan di dahinya. "Sebenarnya aku penasaran tentang pertunangan pak Ghatan dengan putri CEO Perusahaan TK itu," kata Sophia terus mendekati Pak Hans. "Kapan mereka akan melakukan pesta pertunangannya?" Pak Hans diam tak langsung menjawab. Namun ketika mulutnya sudah terbuka akan menjawab pertanyaan itu, Leon yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sedikit berseru membuat semua pasang mata beralih ke arahnya. "Wah, bagaimana bisa semua artikel tentang pertunangan itu hilang semuanya?" Leon mendec
Ghatan menggendong Anjeli yang tak sadarkan diri untuk dipindahkan ke tempat tidur. Baru saja beberapa langkah Anjeli membuatnya sedikit resah, dalam keadaan mabuk Anjeli meraba dadanya dan terus melenguh. "Ngh, k-kau..." Ghatan berhasil membaringkan Anjeli di kasur dan menyelimuti istrinya itu, tetapi usahanya sia-sia karena Anjeli menyibaknya dengan kasar. "Ugh ... panas!" Anjeli menggumam, keningnya dipenuhi oleh keringat. "Kenapa kau minum banyak sekali, sih?" Ghatan sedikit kesal mengingat isi botol alkohol tersisa setengahnya lagi. "Jika kau sudah tahu tentang pertunangan itu kenapa tidak marah padaku?" tanya Ghatan frustrasi. "Lebih baik kau marah padaku daripada bersikap seperti ini, An." Ghatan duduk di pinggir kasur, memandangi wajah penuh keringat itu. Tangannya menjulur lalu mengusap keringat di pelipis Anjeli, perlahan ia usap lembut surai legam itu. Ghatan terus memerhatikan wajah Anjeli, tanpa merasa bosan ia usap surai itu dengan penuh perasaan. Namun kala
Ghatan pulang ke apartemen dengan panik, begitu masuk ke dalam hal pertama yang dicari adalah keberadaan Anjeli dan sedikit tenang saat melihat Anjeli sedang menonton tv. Dia bernapas lega, memandang lurus punggung itu. Perlahan Ghatan mendekati Anjeli. Duduk di samping Anjeli, meraih tangan Anjeli lalu menggenggamnya. Anjeli tidak merespon, bahkan kedua matanya lurus ke depan tak menoleh ke arah Ghatan. Dia pasrah setiap Ghatan melakukan apa pun kepadanya. Saat Anjeli merasa wajah Ghatan mendekati wajahnya, ia langsung menoleh dan bertanya, "Sudah pulang?" Sambil tersenyum seakan tidak ada berita yang terdengar ke telinganya. Ghatan menjauhkan wajahnya dan menatap Anjeli heran. "Aku ingin menghubungi mu tapi aku lupa menyimpan ponsel, jadi aku menunggumu di sini." Setelah mendengar laporan itu Ghatan merasa tenang. Rupanya Anjeli tidak melihat ponselnya, berarti berita pertunangannya dengan Karina belum Anjeli ketahui. Ghatan tahu Gama menyebar berita pertunangan itu. Men
"Aku mencintaimu, An." Bayang-bayang wajah Ghatan dan suaranya terngiang di kepala Anjeli. Ungkapan cintanya beberapa waktu lalu pupus begitu saja, seolah hanya sebuah kalimat penenang bagi Anjeli di saat itu. Setelah mendapat kabar bahwa Ghatan akan bertunangan dengan putri pemilik perusahaan TK, semua harapan Anjeli terhadap Ghatan pupus sudah. Anjeli menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tatapan kosongnya lurus ke depan, perasaannya tak dimengerti sampai-sampai Anjeli tak tahu harus berekspresi seperti apa. "Hah...." Anjeli menaruh ponselnya begitu saja di sofa dan beranjak dari sofa pergi menuju kamar. "Sepertinya aku harus mencari udara segar," gumamnya setelah memakai mantel lantas pergi keluar apartemen. Langkahnya terlihat gontai, tatapannya kosong layaknya orang tak memiliki tujuan hidup. Anjeli terus menunduk selama perjalanan keluar dari apartemen. "Hah, sial...." Entah sudah berapa kali Anjeli menghela napasnya. Saat pintu lift terbuka kepalanya tera
Pergi ke toilet adalah alasan Karina agar ia bisa mengejar Ghatan. Rupanya Ghatan pun bukan pergi ke toilet, pria itu berbelok ke arah tangga menunju rooftop. Karina tak memanggilnya, ia mengikuti Ghatan dari belakang dan melihat pria itu berhenti di pagar pembatas. Perlahan Karina mendekati Ghatan. "Kenapa anda mengikuti saya?" Suara dingin Ghatan terdengar sebelum Karina sampai di sampingnya. Pria itu mengatakan hal tersebut tanpa membalikan tubuh seakan tahu jika Karina sudah mengikutinya sejak tadi. "Saya menolak pertunangan itu." Karina tersenyum. Sekarang dia sudah berdiri di samping Ghatan sembari menikmati pemandangan kota di malam hari. Angin yang cukup kencang mengombang-ambing rambutnya. Tak menghiraukan perkataan Ghatan perihal pertunangan, justru Karina lebih tertarik memerhatikan ekspresi wajah itu. Raut wajah yang tak bisa menyembunyikan sebanyak apa masalah yang sedang dipikirkan, Ghatan terlalu ketara menunjukkannya. "Bagaimana kalau kau menyetujuinya untuk
Cekrek! Ghatan menoleh dengan cepat ke arah suara kamera yang didengarnya. Menyadari itu Anjeli menatap Ghatan bingung, ia mengernyitkan kening dan ikut mengarahkan pandangan kemana arah mata Ghatan. "Ada apa?" tanya Anjeli setelah memastikan bahwa tidak ada hal aneh di sana. "Apa ada sesuatu? Atau kau ingin kembali ke ruangan tuan Prajanata?" Ghatan diam sejenak, mata datarnya menatap Anjeli beberapa detik sampai Anjeli merasa suhu disekitarnya sedikit panas. Kala Anjeli mulai salah tingkah ia baru membuka mulutnya. "Tidak ada, sekarang kau pulanglah tanpaku." "Baiklah," jawabnya tanpa bertanya mengapa Ghatan tak pergi bersamanya. Ketika Anjeli akan melangkah, kakinya kembali terhenti karena melihat Ghatan hanya diam sembari memperhatikannya. "Kenapa kau diam?" "Aku akan menyusul mu nanti," jawab Ghatan. "Jangan pergi kemanapun, kau harus tetap di rumah." Mendengar itu Anjeli sedikit kesal. "Baiklah," sahutnya setengah hati. Lantas ia pergi tanpa berpamitan pada Ghatan. R