"Ayo kita menikah."
Lagi-lagi kata 'menikah' keluar dari mulut Ghatan setelah ia dengan halus mengusir Sena dan menyuruhnya pergi tanpa membawa map rincian utang keluarga Anjeli. Sekarang hanya ada Ghatan dan Anjeli di sini, di sebuah kafe tak jauh dari kantor. "Apa maksudnya?" tanya Anjeli tak mengerti, memandang wajah tenang Ghatan yang terdengar santai mengajaknya mengikat janji suci. "Anda bilang apa tadi?" Tidak banyak yang Anjeli ketahui tentang cucu pimpinan Prajanata yang nantinya akan mewarisi perusahaan GP Property. Yang Anjeli tahu pasti, 32 tahunnya dihabiskan untuk menjadi pemilik GP Property. Sebagai putra tunggal, beban yang ditanggungnya memanglah sangat berat. Hanya dia satu-satunya penerus GP Property. Karena itulah, mau tidak mau dia dididik dengan keras. Tak heran ia tumbuh menjadi orang yang tidak bisa membuka hati dan menunjukkan perasaannya kepada orang lain. Ada alasan kenapa Anjeli berpikir seperti itu, karena sudah keempat kalinya ia membatalkan perjodohan yang diatur untuknya. Karena itu pula Anjeli bertanya-tanya, mengapa seorang putra mahkota seperti Ghatan ingin mengajak putri seorang pelayan seperti dirinya menikah? Ghatan melirik map merah itu. "Jadi, ada apa? Apa yang anda mau?" "Menikahlah denganku." "Saya tidak mau!" tolak Anjeli mentah-mentah. "Kenapa anda ingin menikah dengan saya? Bisa-bisa pak Presdir marah besar jika mengetahui wanita yang ingin dinikahi anaknya itu adalah saya." Nada suara Anjeli menurun kala ia tak sengaja melihat lagi luka di kening Ghatan. "Ah, mungkin saja beliau akan melempar saya dengan papan nama di meja kerjanya." Menyadari itu, Ghatan memegang luka di keningnya. "Kau melihat luka ini?" Anjeli memalingkan wajahnya, ia tak sanggup menatap wajah tanpa ekspresi itu. "Terserah, saya tidak akan menikah dengan anda." Dan saat hendak berdiri untuk pamit, justru Anjeli dibuat diam lagi oleh kata-kata Ghatan yang tak berubah. "Hah, aku mengatakan ini untuk yang ketiga kali." Dia menarik napas, menyilangkan kaki dengan kedua tangan bersedekap di depan dada. "Ayo kita menikah." "Pak, apa anda sedang mempermainkan saya?" tanya Anjeli tak habis pikir. Dia bingung apa yang membuat Ghatan kukuh seperti ini, padahal Anjeli merasa tidak ada yang spesial dalam dirinya. Meski begitu, Anjeli hanya dapat menemukan keseriusan di dalam tatapan matanya. "Kau pikir aku orang yang punya banyak waktu luang?" Anjeli mendengus. "Kalau begitu, anda sudah gila ya?" "Aku tidak gila dan sangat serius," jawab Ghatan. Saat ini kewarasan Anjeli telah hilang. "Maaf Pak, tapi saya tidak bisa menikah dengan anda. Saya permisi." Setelah mengungkapkan penolakannya lagi, Anjeli bangkit dari duduknya. Namun, waktu seolah menahan Anjeli di tempat ini karena ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja berbunyi. Panggilan masuk dari sang ibu. Segera Anjeli angkat panggilan tersebut seraya melenggang pergi dari hadapan Ghatan. Namun, baru saja selangkah kakinya berhenti tepat di samping pria yang berhasil membuat kewarasannya hilang. Sementara itu, Ghatan hanya duduk tenang dengan seulas senyum culas terukir di wajahnya. "Ibu ... kenapa menangis?" tanya Anjeli heran, dia mulai memikirkan hal yang tidak-tidak. Ekspresi wajahnya berubah drastis saat mendengar suara tangisan ibu yang kencang serta suara bentakan ayah yang terdengar murka. "Ayah...." Disela-sela keresahan Anjeli yang kian mencuat dalam dirinya, Ghatan membuka suara tanpa peduli terhadap perasaan wanita 25 tahun itu. "Sudah kubilang, ayo menikah." Dia menolehkan kepala, menyorot Anjeli seolah tak ingin lagi mendapat penolakan. "Jika kau setuju, maka utang keluargamu akan kulunasi. Jangan hiraukan apa kata ayahku, anggap saja pernikahan ini sebagai bayaran untuk menyelamatkan keluargamu." "Kau...." Wajahnya memerah, tanda darah naik sampai ke ubun-ubun. "Kau mempermainkanku mentang-mentang memiliki uang!?" Suara Anjeli pecah, ia berteriak mengundang banyak pasang mata ke arahnya. "Jangan terbawa perasaan. Bersikap realistis saja, ayahku tidak akan tinggal diam jika sudah marah seperti ini." Ghatan tetap tenang meskipun keadaan semakin memanas, bahkan dia tidak memedulikan tanda bahaya yang sudah Anjeli tunjukkan dari raut wajahnya. "Buktinya, keluargamu harus pergi dari rumah sekarang juga." "Jangan mencari aku lagi. Bagaimanapun caranya aku akan melunasi utang-utang itu." "Bagaimana kau membayarnya?" tanya Ghatan tak yakin Anjeli dapat melunasinya. "Bahkan gaji mu saja tidak cukup, kau yakin tidak akan menerima tawaranku?" Anjeli menatap Ghatan tajam, kesabarannya telah habis. "Satu hal lagi ... malam ini, kau dan keluargamu akan tidur di mana?" Ghatan memang sedang menguji kesabarannya. Tak peduli siapa pria ini, Anjeli hanya ingin menyelamatkan harga dirinya, dia tidak bisa diinjak-injak oleh sembarang orang sekalipun itu adalah Ghatan Prajanata. "Apa pun yang kau katakan, aku tidak akan melakukannya!" Sambil mengacungkan jari tengahnya, Anjeli berkata seraya melenggang pergi dari hadapan Ghatan. "Menikah saja sana sendiri, pria tua!" *** Anjeli turun dari taksi dengan tergesa-gesa, mengerahkan sisa tenaganya untuk berlari ke dalam rumah. Namun, kala kakinya baru saja menginjak pekarangan rumah, ia sudah disuguhi pemandangan yang tidak enak menimpa kedua orang tuanya. "Tidak! Apa salah kami sampai harus meninggalkan rumah ini?" "Jangan berani-berani menyentuh barang milik kami!" "Ini rumah kami! Kalian semua tidak punya hak untuk mengusir kami dari sini!" Rasanya kaki Anjeli tak mampu untuk menopang tubuhnya lagi. Ia kesulitan berjalan saat matanya dengan jelas menangkap barang-barang keluarganya dilempar dengan kasar ke luar rumah. Dan yang paling menyakitkan adalah ketika Ibu mulai menangis dan Ayah dengan keras menghalangi orang-orang berjas hitam agar tidak mengeluarkan barang-barang dari dalam rumah. Namun usaha seolah mengkhianati hasil, dengan kasar pria berjas hitam itu mendorong Ayah sampai terjatuh ke tanah. "Ayah!" Sontak Anjeli menjerit, berlari ke arah kedua orang tuanya dengan linang air mata. "Jangan bersikap kasar seperti ini pada orang tuaku!" bentak Anjeli pada pria berjas hitam itu, menatap mereka nyalang. "Ayah, apa Ayah tidak apa-apa? Ibu ... ada apa ini sebenarnya?" "Dasar anak tidak tahu diuntung!" Kalimat yang keluar dari mulut Ibu berhasil membuat dada Anjeli nyeri. Ia menatap tidak percaya ke arah sang Ibu, lantas menatap Ayah yang tampak menahan segala emosinya. "Sudah aku besarkan kau dengan kasih sayang, tapi balasannya seperti ini? Dasar anak kurang ajar!" Plak! Terpaku, terdiam beberapa saat setelah sebuah tamparan dari tangan yang selalu mengusap lembut surainya menyalurkan ketenangan kala Anjeli merasa gundah gulana. Kini, tangan penghantar ketenangan itu justru meninggalkan bekas merah di pipinya. Panas, rasanya sangat menyakitkan. Air mata Anjeli mengalir menelusuri pipi. Perlahan ia menoleh ke arah sang Ibu dengan sorot mata tak percaya. "Bicara apa kau kepada pak Presdir sampai-sampai kita diusir dari rumah ini? Mau tinggal di mana kita sekarang, hah!" Bentakannya kian lantang, menusuk gendang telinga selebihnya menyayat hati. "Ibu ... ke-kenapa bicara seperti itu?" Bibirnya bergetar, tatapannya menatap meminta pertolongan kepada sang Ayah. "Anjeli! Cepat katakan dengan jujur apa yang kau katakan kepada pak Presdir!?" Sang Ayah yang diharapkan akan membantunya dari pukulan Ibu, justru ikut membentaknya, memelototinya seolah Anjeli baru saja melakukan kesalahan besar. "Huhuhu!" Ibu terjatuh ke tanah, tangisannya teramat pilu didengar oleh Anjeli. "Apa yang kaukatakan pada pak Presdir sampai beliau mengusir kita dari rumah? An ... Ibu mohon, berlututlah di hadapannya sekarang juga." Anjeli terkejut mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Ibu, jelas sekali ia tidak bisa mengabulkan permintaan Ibu yang satu ini. "Bagaimana bisa aku berlutut pada orang yang telah mengacaukan hidupku, Bu?" "Kau bilang apa Anjeli? Mulutmu itu seolah tidak pernah disekolahkan olehku, padahal mati-matian aku mencari uang untuk menyekolahkanmu!" Dengan ringan Ayah menarik rambut Anjeli hingga terangkat ke atas. "Sekarang juga kau meminta ampun pada pak Presdir agar kita tidak diusir dari sini!" "A-ayah ... hiks ... s-sakit...." Tanpa ampun Ayah terus menyeret Anjeli dengan menarik rambutnya, membiarkan Anjeli tertatih-tatih mengejar langkahnya yang besar. Tak menghiraukan tangisan Anjeli, Ayah terus menarik Anjeli dengan pandangan lurus ke depan. "Aku minta maaf hiks ... aku hanya meminta keadilan." Sambil terus terisak Anjeli mencoba menjelaskan. "A-aku tidak bisa bekerja jika pak Presdir berlaku tidak adil terhadapku ... Ayah, aku mohon tolong lepaskan ini sakit." Tangan kecil Anjeli memegangi tangan Ayah, berharap tangan kekar itu lepas dari rambutnya. "Bukan pak Presdir yang telah mengacaukan hidupmu, tapi dirimu sendiri!" Ayah berhenti melangkah, menatap Anjeli semakin tajam. "Jika bukan karena kami mungkin kau sudah mati!" "Argh!" Hampir saja Anjeli mendapat tamparan untuk yang kedua kalinya jika seseorang tidak segera menahan tangan Ayah. "Apa aku harus melapor polisi atas kasus kekerasan?""Tu-tuan muda! Ini tidak seperti yang anda lihat." Ibu—Eva segera mengatupkan kedua tangannya setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ghatan. "Ayah, cepat minta maaf kepada tuan muda!" seru Eva panik kepada suaminya, ia memaksa sang suami untuk ikut mengatupkan kedua tangannya. "Maafkan kami tuan muda, kami tidak bermaksud seperti ini. Karena dia kami harus kehilangan rumah. Tolong kami tuan muda." Eva terus memohon kepada Ghatan yang hanya diam saja. Melihat kedua orang tuanya memohon seperti itu kepada Ghatan, hati Anjeli hancur. Gejolak panas muncul di dadanya kala Eva dan Yuan mulai menunduk di hadapan Ghatan. "Ibu! Ayah! Jangan melakukan itu!" Anjeli berusaha untuk menarik mereka agar berdiri. "Ibu dan Ayah boleh memukuliku, asal kalian berdua bangun! Huhuhu, aku mohon...." Eva menepis tangan Anjeli kasar, bahkan dengan tega ia mendorong anaknya. Sebelum hal buruk kembali terjadi pada Anjeli, Ghatan memerintah pengawalnya untuk menahan Eva yang hendak mendekati Anjeli
Anjeli terus menatap Ghatan menunggu jawabannya. Begitupun Ghatan, pria itu terus menatap Anjeli seolah akan memberikan jawaban yang jelas. Namun ditunggu seberapa lama pun, Anjeli tak kunjung mendengar suara itu. Anjeli mendecak, ia orang pertama yang memutus kontak mata. Wajah frustrasinya tak dapat disembunyikan seiring air matanya kembali menetes, teringat pada ucapan orang tuanya yang tak pernah terbesit sekalipun dalam pikiran Anjeli. "Hah ... kenapa ibu dan ayah begitu tega?" Tangannya dengan keras mengusap air mata yang terus mengalir. "Rasanya seperti jutaan belati menusuk jantungku, lebih baik aku mati daripada harus menikah denganmu." "Huh? Kau tidak tahu kalau orang tuamu menandatangani kontrak denganku demi utang-utang mereka lunas," ujar Ghatan memberitahu yang sebenarnya kepada Anjeli. "Dan lagi mereka menyetujui syarat yang tertulis dalam kontrak tersebut." "Apa kau bilang?" Anjeli tak habis pikir, dia tidak memercayai ucapan pria ini sepenuhnya. "Apa syarat kontrak
"Syarat?" beo Anjeli dengan dahi berkerut dalam, ia menatap Ghatan penuh pertanyaan. Ghatan mengangguk. "Ya, syarat yang harus kau patuhi," ucapnya seraya menatap Anjeli. Namun beberapa saat kemudian Ghatan membelakangi Anjeli. "Ah, apa mungkin lebih tepat jika disebut aturan?" Merasa jika Ghatan sedang bertele-tele, Anjeli mendecak kesal. "Cepat katakan." "Setelah menikah kita tidak boleh tidur bersama—" "Apa!?" seru Anjeli menginterupsi kalimat yang hendak Ghatan katakan, bahkan pria itu termenung beberapa saat karena Anjeli yang begitu terkejut. Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa respon mu seperti itu? Jangan-jangan kau ingin tidur—" "Argh!" Lagi-lagi Anjeli memotong ucapan Ghatan, wanita itu mendorong Ghatan agar keluar dari kamarnya. "Kenapa kita tidak bicara setelah aku pakai baju?" tanya Anjeli dan berhasil mengeluarkan Ghatan dari kamarnya, tetapi ketika Anjeli sudah menutup pintu ia membukanya kembali. "Dan satu lagi, aku tidak akan mematuhi aturan jika tidak disetuj
Entah apa yang Ghatan pikirkan hingga dengan mudah ia menyerang Anjeli seperti ini. Mencumbu setiap inci wajah Anjeli, mengendus nafsu aroma tubuh Anjeli yang memabukkan. Hingga akhirnya ia berhenti melakukan aksi diluar kendalinya kala merasakan cakaran pada lehernya. "Hei!" Napas Anjeli terengah-engah, dalam sekejap bajunya berantakan akibat ulah Ghatan. "Apa kau gila!?" bentaknya, tak dapat dipungkiri jika sikap Ghatan membuatnya marah. "Apa kau memang selalu mempermainkan wanita seperti ini?" Ghatan terdiam, tak membalas ucapan Anjeli. Ia termenung beberapa saat hingga akhirnya pandangannya teralihkan ke sembarang arah. "Kenapa tidak menjawabku?" Anjeli melempar satu pertanyaan lagi, sontak Ghatan mengalihkan pandangannya ke arah Anjeli. Pria itu mengusap bibirnya dengan ibu jari, tatapan tajamnya seolah tak ingin mengakui kesalahannya. "Hah, apa kau sedang mengancam ku sekarang?" Dia mendengus. "Apa kau tidak peduli jika keluargamu dalam bahaya?" tanya Ghatan, tetapi terde
Lagi-lagi tidak ada suara ibu yang membangunkannya pagi ini, rasanya masih sama seperti pagi kemarin. Begitu membuka mata, Anjeli hanya bisa menghela napas. "Ah, hari ini aku harus mulai bekerja." Anjeli mengusap rambutnya ke belakang. Ia baru ingat jika hari ini adalah hari Senin dan hari pertamanya bekerja di perusahaan Ghatan, anak perusahaan GP Property. "Hari ini dia pasti bekerja juga, apa sudah berangkat ya?" Namun kala Anjeli keluar dari kamarnya, ia mendengar sesuatu dari arah dapur. Begitu sampai di dapur, hal pertama yang ia lihat adalah punggung Ghatan. Anjeli mengernyit, jari-jemarinya spontan merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Pak?" ucap Anjeli. Tepat saat itu juga Ghatan menolehkan kepala dan berjalan ke arah meja seraya membawa sepiring roti panggang dan segelas susu putih. "Sudah bangun?" tanya Ghatan tanpa menatap Anjeli, ia masih sibuk sendiri. "Ya..." jawab Anjeli seadanya. Dia cukup bingung sekarang, bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya se
"Alasan apa yang harus aku gunakan untuk tidak datang makan siang?" Anjeli tidak bisa berpikir dengan baik setelah Ghatan menghampirinya di ruangan. Meski Ghatan mengatakan bahwa itu hanya sebuah sapaan bos pada karyawan barunya, tetap saja Ghatan membuat Anjeli kesulitan. Ia membasuh wajahnya, memandangi dirinya di cermin sambil terus memikirkan alasan apa yang harus ia katakan pada rekan kerjanya?"Sebenarnya mengapa pak Ghatan tiba-tiba ingin makan siang bersama?" Pertanyaan itu mengisi ruang kosong kepala Anjeli. "Ah! Apa dia tipe bos yang royal? Namun aku rasa itu sangat tidak mungkin." "Tidak! Tidak! Tidak!" Anjeli menggelengkan kepalanya, ia memejamkan mata serta menepuk-nepuk pipinya pelan. "Ayo pikirkan bagaimana cara agar tidak pergi ke sana. Haruskah aku pura-pura sakit dan izin pergi ke klinik?" Anjeli terus menggeleng dengan segala ide anehnya. Tok. Tok. Tok. Anjeli terkejut mendengar suara ketukan pintu itu. "Apa ada seseorang di dalam?" "I-iya! Ada saya, Anjeli!"
Setelah makan siang bersama rekan-rekannya, kini Anjeli sudah kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya ia kembali dengan yang lain, tetapi entah bagaimana mereka berpencar akhirnya menyisakan Anjeli seorang diri. "Kenapa aku memikirkan hubungan wanita itu dengan pak Ghatan ya?" Anjeli bermonolog, benaknya merasa terganggu setelah pertemuan tak sengaja dengan Anindya di restoran. "Sepertinya aku harus bertemu dengan kak Sena untuk mendapatkan lebih banyak informasi." Anjeli berjalan memasuki kantor dengan perasaan yang tak karuan. Banyak perasaan aneh yang datang setelah Anjeli menikah dengan Ghatan, apa lagi sekarang ia bekerja di perusahaan pria itu. Entah apa yang akan terjadi selama ia bekerja di sini. Saat di lobi, di pertengahan jalan Anjeli menahan langkahnya kala seseorang berhenti tepat di depannya. Orang itu adalah Gama Prajanata. Begitu Anjeli menatap mata Presdir, ia langsung mengeluarkan suaranya. "Setelah bekerja dari kantorku, rupanya kau beker
Saat suara Ghatan terdengar tentu saja ia sangat terkejut, bahkan tanpa Anjeli sadari tubuhnya bereaksi cukup berlebihan. Apa lagi ketika Ghatan menarik tangannya cukup kencang, ia hanya bisa pasrah mengikuti setiap pergerakan pria ini. Wajah Anjeli benar-benar pucat, selama di perjalanan pulang ke apartemen mereka hanya diam. Dan entah kenapa kali ini Anjeli tak berani untuk membela diri, aura Ghatan benar-benar menyerap sisa energi yang ada di tubuh Anjeli. Sampainya di apartemen Ghatan masih terlihat marah, keningnya terus mengerut dengan tatapan tajamnya menyorot mata ketakutan Anjeli. "Kau bertemu dengan siapa di kafe itu?" tanya Ghatan dengan suara berat. Anjeli menelan ludahnya, dia sedikit mengalihkan pandangan agar tak terlalu merasa ketakutan. "A-aku hanya mampir sebentar untuk makan dan minum kopi," jawab Anjeli berbohong. "Sejak kapan bapak peduli kepada saya?" tanyanya sedikit menaikkan suaranya supaya tidak terdengar sedang berbohong. Tatapan Ghatan berangsur-angsur
"Hm?" Anjeli mengernyitkan keningnya begitu menyadari sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu di wajahku," katanya seraya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Anjeli mengangkat ponselnya dan menatap wajahnya di sana, berlagak seakan tengah menyingkirkan sesuatu dari wajahnya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia pastikan, semenjak keluar dari kantor akan menemui Bas, Anjeli merasa ada yang mengikutinya. "Ternyata ada sesuatu di mataku, pantas saja seperti ada yang menghalangi pandanganku." Anjeli sengaja menabrak orang yang baru saja keluar dari toko pakaian. "Maaf-maaf ... aku akan lebih berhati-hati." Anjeli menoleh ke belakang dan sesuai dugaannya, orang yang mengikutinya tampak bersembunyi dan ini kesempatan Anjeli untuk menghilangkan jejak. Ia memutuskan untuk masuk ke toko pakaian, mengambil baju dan topi lantas mengganti pakaiannya. Setelah Anjeli mengganti pakaian, orang itu tampak kebingungan dan tak lagi mengikutinya. "Siapa orang itu?" ujar Anjeli bertanya-tanya.
"Apa-apaan penampilanmu ini?" Suara kencang sang ayah membuat wanita yang kini tengah duduk di sofa itu memejamkan matanya. Ekspresinya seolah tak peduli pada respon sang ayah mengenai dirinya. "Jangan coba-coba untuk berontak, Karina." Karina memutar bola matanya malas. Dengan penampilan yang berubah 180 derajat, tentu saja membuat Tama terkejut dan tak terima. Putri yang selalu ia banggakan kini berani membangkangnya, melawan setiap ucapannya, dan bersikap tidak sopan. Jaket kulit berwarna hitam yang Karina pakai seakan membuat mata Tama sakit. Ditambah celana jeans ketat menambah kesan tomboy pada karakter Karina yang awalnya anggun bak putri kerajaan. "Kemana pakaian pink-pink mu itu, Karina?" tanya Tama dengan kedua tangan disimpan di sisi pinggangnya. "Apa kau ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang di kantor ini?" Karina menghela napas, lantas mengeluarkan sesuatu dan berhasil meningkatkan emosi Tama saat ini juga. "KARINA! DARI MANA ROKOK ELEKTRIK ITU!?" Kar
Anjeli sudah kembali ke kantor dan sekarang ia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruangannya. Dari jauh Anjeli dapat melihat banyak orang menunggu di depan lift membuatnya sedikit menghela napas. "Apa aku harus berdesakan di dalam lift?" keluh Anjeli. "Kenapa disaat seperti ini banyak orang yang ingin naik lift, sih?" Begitu tiba saatnya Anjeli masuk ke dalam, seseorang membuat kakinya berhenti melangkah. Tatapan pria itu membuat Anjeli diam layaknya patung, hingga pria yang tak lain adalah bosnya itu tersenyum lebih dulu kepadanya. "Apa kau tidak akan masuk?" tanyanya. "Eh?" Anjeli linglung beberapa saat. "Selamat siang, Pak." Anjeli sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum kecil. "Silakan anda masuk lebih dulu." "An—" Ghatan seakan ingin menarik tangan Anjeli dan mengajaknya berbicara, tetapi tiba-tiba banyak pegawai datang dan masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dalam sekejap para pegawai itu memenuhi ruang lift. Jarak jauh diantara dirinya dengan Anjeli membua
Anjeli menatap datar ponselnya, lantas ia memasukannya ke dalam saku celana. Setelah Pak Hans datang membawakan makanan untuknya, Anjeli mendapat pesan dari Ghatan tetapi ia tak berniat membalasnya. Semua orang tampak bingung mengapa bosnya itu hanya memberi makanan kepada satu karyawannya saja, dan itu adalah karyawan baru dibandingkan dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja di perusahaan ini. Sophia menatap paper bag yang Anjeli pegang, lalu ia menatap Pak Hans dengan sedikit kerutan di dahinya. "Sebenarnya aku penasaran tentang pertunangan pak Ghatan dengan putri CEO Perusahaan TK itu," kata Sophia terus mendekati Pak Hans. "Kapan mereka akan melakukan pesta pertunangannya?" Pak Hans diam tak langsung menjawab. Namun ketika mulutnya sudah terbuka akan menjawab pertanyaan itu, Leon yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sedikit berseru membuat semua pasang mata beralih ke arahnya. "Wah, bagaimana bisa semua artikel tentang pertunangan itu hilang semuanya?" Leon mendec
Ghatan menggendong Anjeli yang tak sadarkan diri untuk dipindahkan ke tempat tidur. Baru saja beberapa langkah Anjeli membuatnya sedikit resah, dalam keadaan mabuk Anjeli meraba dadanya dan terus melenguh. "Ngh, k-kau..." Ghatan berhasil membaringkan Anjeli di kasur dan menyelimuti istrinya itu, tetapi usahanya sia-sia karena Anjeli menyibaknya dengan kasar. "Ugh ... panas!" Anjeli menggumam, keningnya dipenuhi oleh keringat. "Kenapa kau minum banyak sekali, sih?" Ghatan sedikit kesal mengingat isi botol alkohol tersisa setengahnya lagi. "Jika kau sudah tahu tentang pertunangan itu kenapa tidak marah padaku?" tanya Ghatan frustrasi. "Lebih baik kau marah padaku daripada bersikap seperti ini, An." Ghatan duduk di pinggir kasur, memandangi wajah penuh keringat itu. Tangannya menjulur lalu mengusap keringat di pelipis Anjeli, perlahan ia usap lembut surai legam itu. Ghatan terus memerhatikan wajah Anjeli, tanpa merasa bosan ia usap surai itu dengan penuh perasaan. Namun kala
Ghatan pulang ke apartemen dengan panik, begitu masuk ke dalam hal pertama yang dicari adalah keberadaan Anjeli dan sedikit tenang saat melihat Anjeli sedang menonton tv. Dia bernapas lega, memandang lurus punggung itu. Perlahan Ghatan mendekati Anjeli. Duduk di samping Anjeli, meraih tangan Anjeli lalu menggenggamnya. Anjeli tidak merespon, bahkan kedua matanya lurus ke depan tak menoleh ke arah Ghatan. Dia pasrah setiap Ghatan melakukan apa pun kepadanya. Saat Anjeli merasa wajah Ghatan mendekati wajahnya, ia langsung menoleh dan bertanya, "Sudah pulang?" Sambil tersenyum seakan tidak ada berita yang terdengar ke telinganya. Ghatan menjauhkan wajahnya dan menatap Anjeli heran. "Aku ingin menghubungi mu tapi aku lupa menyimpan ponsel, jadi aku menunggumu di sini." Setelah mendengar laporan itu Ghatan merasa tenang. Rupanya Anjeli tidak melihat ponselnya, berarti berita pertunangannya dengan Karina belum Anjeli ketahui. Ghatan tahu Gama menyebar berita pertunangan itu. Men
"Aku mencintaimu, An." Bayang-bayang wajah Ghatan dan suaranya terngiang di kepala Anjeli. Ungkapan cintanya beberapa waktu lalu pupus begitu saja, seolah hanya sebuah kalimat penenang bagi Anjeli di saat itu. Setelah mendapat kabar bahwa Ghatan akan bertunangan dengan putri pemilik perusahaan TK, semua harapan Anjeli terhadap Ghatan pupus sudah. Anjeli menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tatapan kosongnya lurus ke depan, perasaannya tak dimengerti sampai-sampai Anjeli tak tahu harus berekspresi seperti apa. "Hah...." Anjeli menaruh ponselnya begitu saja di sofa dan beranjak dari sofa pergi menuju kamar. "Sepertinya aku harus mencari udara segar," gumamnya setelah memakai mantel lantas pergi keluar apartemen. Langkahnya terlihat gontai, tatapannya kosong layaknya orang tak memiliki tujuan hidup. Anjeli terus menunduk selama perjalanan keluar dari apartemen. "Hah, sial...." Entah sudah berapa kali Anjeli menghela napasnya. Saat pintu lift terbuka kepalanya tera
Pergi ke toilet adalah alasan Karina agar ia bisa mengejar Ghatan. Rupanya Ghatan pun bukan pergi ke toilet, pria itu berbelok ke arah tangga menunju rooftop. Karina tak memanggilnya, ia mengikuti Ghatan dari belakang dan melihat pria itu berhenti di pagar pembatas. Perlahan Karina mendekati Ghatan. "Kenapa anda mengikuti saya?" Suara dingin Ghatan terdengar sebelum Karina sampai di sampingnya. Pria itu mengatakan hal tersebut tanpa membalikan tubuh seakan tahu jika Karina sudah mengikutinya sejak tadi. "Saya menolak pertunangan itu." Karina tersenyum. Sekarang dia sudah berdiri di samping Ghatan sembari menikmati pemandangan kota di malam hari. Angin yang cukup kencang mengombang-ambing rambutnya. Tak menghiraukan perkataan Ghatan perihal pertunangan, justru Karina lebih tertarik memerhatikan ekspresi wajah itu. Raut wajah yang tak bisa menyembunyikan sebanyak apa masalah yang sedang dipikirkan, Ghatan terlalu ketara menunjukkannya. "Bagaimana kalau kau menyetujuinya untuk
Cekrek! Ghatan menoleh dengan cepat ke arah suara kamera yang didengarnya. Menyadari itu Anjeli menatap Ghatan bingung, ia mengernyitkan kening dan ikut mengarahkan pandangan kemana arah mata Ghatan. "Ada apa?" tanya Anjeli setelah memastikan bahwa tidak ada hal aneh di sana. "Apa ada sesuatu? Atau kau ingin kembali ke ruangan tuan Prajanata?" Ghatan diam sejenak, mata datarnya menatap Anjeli beberapa detik sampai Anjeli merasa suhu disekitarnya sedikit panas. Kala Anjeli mulai salah tingkah ia baru membuka mulutnya. "Tidak ada, sekarang kau pulanglah tanpaku." "Baiklah," jawabnya tanpa bertanya mengapa Ghatan tak pergi bersamanya. Ketika Anjeli akan melangkah, kakinya kembali terhenti karena melihat Ghatan hanya diam sembari memperhatikannya. "Kenapa kau diam?" "Aku akan menyusul mu nanti," jawab Ghatan. "Jangan pergi kemanapun, kau harus tetap di rumah." Mendengar itu Anjeli sedikit kesal. "Baiklah," sahutnya setengah hati. Lantas ia pergi tanpa berpamitan pada Ghatan. R