Anjeli terus menatap Ghatan menunggu jawabannya. Begitupun Ghatan, pria itu terus menatap Anjeli seolah akan memberikan jawaban yang jelas. Namun ditunggu seberapa lama pun, Anjeli tak kunjung mendengar suara itu.
Anjeli mendecak, ia orang pertama yang memutus kontak mata. Wajah frustrasinya tak dapat disembunyikan seiring air matanya kembali menetes, teringat pada ucapan orang tuanya yang tak pernah terbesit sekalipun dalam pikiran Anjeli. "Hah ... kenapa ibu dan ayah begitu tega?" Tangannya dengan keras mengusap air mata yang terus mengalir. "Rasanya seperti jutaan belati menusuk jantungku, lebih baik aku mati daripada harus menikah denganmu." "Huh? Kau tidak tahu kalau orang tuamu menandatangani kontrak denganku demi utang-utang mereka lunas," ujar Ghatan memberitahu yang sebenarnya kepada Anjeli. "Dan lagi mereka menyetujui syarat yang tertulis dalam kontrak tersebut." "Apa kau bilang?" Anjeli tak habis pikir, dia tidak memercayai ucapan pria ini sepenuhnya. "Apa syarat kontrak tersebut?" tanya Anjeli, menatap Ghatan serius. Ghatan hanya tersenyum kecut, tak menanggapi pertanyaan Anjeli dan memilih untuk memejamkan matanya. Ia menganggap, Anjeli ini terlalu naif. Bahkan, dia tidak tahu jika orang tuanya sendiri merelakan anaknya dibawa pergi. Pertanyaan Anjeli adalah suara terakhir sebelum akhirnya kembali hening. Pertanyaan yang tak digubris membuat Anjeli dongkol, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa. Akhirnya Anjeli hanya diam sambil memandang jalanan, hatinya masih terasa sesak sampai sekarang. Rintik hujan mulai turun, keheningan membuat kantuk datang. Entah akan dibawa kemana dirinya oleh pria yang memaksanya menikah, ia hanya diam menunggu mobil yang dikendarai oleh manajer menepi di sebuah tempat. Sampai tidak terasa perjalanan mereka sudah sampai di sebuah gedung apartemen mewah. Begitu mobil terparkir di basement, Pak Hans selaku manajer sekaligus sopir pribadi Ghatan membalikkan badannya. "Pak, kita sudah sampai." Ghatan melihat wajah Anjeli yang tenang tanpa ada niat untuk membangunkannya, lantas menatap Pak Hans. "Bawa barang-barang di bagasi ke atas, aku akan menyusul bersamanya." "Baik," jawab Pak Hans kemudian keluar dari mobil. Setelah Pak Hans keluar Ghatan hanya diam sambil memandangi wajah Anjeli. Sudut bibirnya perlahan terangkat samar, senyuman yang sangat samar itu tercetak terus dengan mata yang tak henti menatap wajah jelita milik Anjeli. Namun saat melihat pergerakan Anjeli, Ghatan mengubah tatapannya. "Cepatlah, ikuti aku jika tak ingin tersesat." Anjeli melihat sekeliling, 'Sepertinya sudah sampai,' batinnya sambil melangkah keluar mobil. Pria itu benar-benar tidak punya hati, padahal Anjeli baru saja bangun tetapi tak memberinya waktu untuk mengumpulkan nyawa. Ghatan yang memimpin jalannya, pria itu benar-benar tidak peduli dengan keadaan Anjeli sekarang. Rasanya pening sekali harus langsung berjalan setelah bangun tidur. Ketika Ghatan sudah masuk ke dalam lift, Anjeli sengaja tidak mengikutinya dan diam sebentar sambil menatap wajah tanpa ekspresi itu. "Kenapa diam saja?" tanya Ghatan. Anjeli tak menjawab, tetapi kemudian Anjeli melangkah maju dengan enggan. Dia berdiri tepat di samping Ghatan, suasananya benar-benar kaku membuat Anjeli ingin berlari pergi dari pria ini. 'Uh, ini sangat tidak nyaman.' Meski begitu Anjeli harus menahannya. "Kita akan pergi ke mana?" "Ke apartemenku." Anjeli diam, dia mencoba mencerna perkataan Ghatan. "Hm ... maksudmu?" Pintu lift terbuka ketika telah sampai di lantai 17, Ghatan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Pria itu menatap Anjeli intens, "Mulai sekarang kau akan tinggal bersamaku." *** Sekarang Anjeli sudah berada di dalam apartemen Ghatan dengan perasaan yang tak jelas. Rasanya aneh, udara yang terasa mencekam membuatnya ingin melarikan diri dari tempat ini. Apa lagi kala Ghatan hanya diam, membuat suasana di antara mereka semakin tidak nyaman dan canggung. Apa alasan Ghatan ingin menikah dengannya? Padahal Anjeli sudah tak lagi berontak dan mengikuti kemauannya, tetapi pria itu malah mengabaikannya dan asik memainkan ponsel. "Uh, apa yang harus kulakukan?" tanya Anjeli pada dirinya sendiri, lantas mengedarkan pandangan mengamati sekeliling. "Tempat ini sangat rapi dan di tata dengan baik, tapi percuma saja jika suasananya membuatku tidak nyaman." Anjeli menatap Ghatan, aura pria itu benar-benar mendominasi seperti suara dan dinginnya hujan di luar sana. "Ehem!" Anjeli mencoba menyadarkannya bahwa di tempat ini bukan hanya ada dirinya seorang. Tepat saat itu juga Ghatan meletakkan ponselnya dan berjalan mendekati Anjeli. Tanpa mengatakan apa pun Ghatan menarik koper Anjeli dan diseret ke suatu tempat. Anjeli sendiri mengikuti Ghatan dari belakang meskipun tak ada perintah. "Ini kamarmu," kata Ghatan setelah mereka masuk ke dalam sebuah kamar. "Kau bebas melakukan apa pun." Dan setelah itu Ghatan membalikan tubuhnya akan pergi. "Anda belum memberitahu alasan kenapa memilih saya," ucap Anjeli tegas membuat Ghatan menghentikan langkahnya. "Saya sudah berpikir berulang kali, tetapi tidak ada jawaban yang masuk akal. Alih-alih menjadikan saya istri, mengapa tidak membuat saya bekerja di bawah pimpinan anda?" Sebelum kembali membalikan tubuhnya dan menjawab pertanyaan Anjeli, Ghatan menyeringai. "Apa untungnya menikah dengan saya?" Ghatan menolehkan kepalanya. "Kau cukup turuti setiap perintahku jika ingin keluargamu selamat." Jawaban Ghatan membuat dada Anjeli kembali nyeri, harga dirinya merasa diinjak-injak. "Menuruti perintahnya katanya?" Saat pintu telah ditutup rapat, tubuh Anjeli ambruk ke lantai mulai memikirkan banyak hal yang menimpa dirinya hari ini. Hati Anjeli begitu berkecamuk, dia sangat ingin melarikan diri ke rumah dan menanyakan segalanya. "Bagaimana bisa mereka baru mengatakannya sekarang?" Anjeli masih tidak percaya jika dia bukan anak kandung Yuan dan Eva. Namun mengingat mereka membiarkan Anjeli pergi begitu saja, perlahan harapan bahwa mereka berbohong semakin terkikis. "Apa karena dulu aku masih kecil? Tapi seharusnya mereka mengatakan lebih dulu, kenapa harus dikatakan di situasi seperti ini ... huhuhu." Tubuhnya dijatuhi oleh air yang mengalir dari shower, merasakan setiap sentuhan air yang membuatnya sedikit lebih tenang. Tidak akan ada yang tahu jika Anjeli sedang menangis, air mata itu bersatu dengan air yang terus membasahi tubuhnya. Sambil meratapi nasibnya sekaligus mengingat kasih sayang orang tuanya. Entah apa yang akan terjadi ke depannya, cepat atau lambat ia akan menikah dengan pria yang menukarnya dengan sebuah tawaran. Pria tidak punya hati, pria yang tak dicintainya. Anjeli keluar dari kamar mandi dengan mata sembab. Begitu meluruskan pandangan, seseorang tengah menunggunya di atas ranjang. Pria itu duduk di kasur dengan tatapan tajam, aura dominan terasa begitu Ghatan mulai berjalan mendekatinya. Ternyata tidak sampai disitu, tangan kekarnya terangkat meraih helaian rambut Anjeli yang basah kemudian mengusapnya dengan ibu jari. "Sepertinya ini adalah hari terburuk sepanjang sejarah hidupmu, An." Anjeli sontak mundur selangkah, semakin mengeratkan handuk yang hanya membalut tubuhnya. "Apa maumu!?" tanya Anjeli waspada. "Minggu depan kita akan menikah." Ghatan bingung ketika Anjeli justru menunduk tampak pasrah. "Tapi sebelum hari pernikahan itu, ada syarat yang harus kau ketahui.""Syarat?" beo Anjeli dengan dahi berkerut dalam, ia menatap Ghatan penuh pertanyaan. Ghatan mengangguk. "Ya, syarat yang harus kau patuhi," ucapnya seraya menatap Anjeli. Namun beberapa saat kemudian Ghatan membelakangi Anjeli. "Ah, apa mungkin lebih tepat jika disebut aturan?" Merasa jika Ghatan sedang bertele-tele, Anjeli mendecak kesal. "Cepat katakan." "Setelah menikah kita tidak boleh tidur bersama—" "Apa!?" seru Anjeli menginterupsi kalimat yang hendak Ghatan katakan, bahkan pria itu termenung beberapa saat karena Anjeli yang begitu terkejut. Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa respon mu seperti itu? Jangan-jangan kau ingin tidur—" "Argh!" Lagi-lagi Anjeli memotong ucapan Ghatan, wanita itu mendorong Ghatan agar keluar dari kamarnya. "Kenapa kita tidak bicara setelah aku pakai baju?" tanya Anjeli dan berhasil mengeluarkan Ghatan dari kamarnya, tetapi ketika Anjeli sudah menutup pintu ia membukanya kembali. "Dan satu lagi, aku tidak akan mematuhi aturan jika tidak disetuj
Entah apa yang Ghatan pikirkan hingga dengan mudah ia menyerang Anjeli seperti ini. Mencumbu setiap inci wajah Anjeli, mengendus nafsu aroma tubuh Anjeli yang memabukkan. Hingga akhirnya ia berhenti melakukan aksi diluar kendalinya kala merasakan cakaran pada lehernya. "Hei!" Napas Anjeli terengah-engah, dalam sekejap bajunya berantakan akibat ulah Ghatan. "Apa kau gila!?" bentaknya, tak dapat dipungkiri jika sikap Ghatan membuatnya marah. "Apa kau memang selalu mempermainkan wanita seperti ini?" Ghatan terdiam, tak membalas ucapan Anjeli. Ia termenung beberapa saat hingga akhirnya pandangannya teralihkan ke sembarang arah. "Kenapa tidak menjawabku?" Anjeli melempar satu pertanyaan lagi, sontak Ghatan mengalihkan pandangannya ke arah Anjeli. Pria itu mengusap bibirnya dengan ibu jari, tatapan tajamnya seolah tak ingin mengakui kesalahannya. "Hah, apa kau sedang mengancam ku sekarang?" Dia mendengus. "Apa kau tidak peduli jika keluargamu dalam bahaya?" tanya Ghatan, tetapi terde
Lagi-lagi tidak ada suara ibu yang membangunkannya pagi ini, rasanya masih sama seperti pagi kemarin. Begitu membuka mata, Anjeli hanya bisa menghela napas. "Ah, hari ini aku harus mulai bekerja." Anjeli mengusap rambutnya ke belakang. Ia baru ingat jika hari ini adalah hari Senin dan hari pertamanya bekerja di perusahaan Ghatan, anak perusahaan GP Property. "Hari ini dia pasti bekerja juga, apa sudah berangkat ya?" Namun kala Anjeli keluar dari kamarnya, ia mendengar sesuatu dari arah dapur. Begitu sampai di dapur, hal pertama yang ia lihat adalah punggung Ghatan. Anjeli mengernyit, jari-jemarinya spontan merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Pak?" ucap Anjeli. Tepat saat itu juga Ghatan menolehkan kepala dan berjalan ke arah meja seraya membawa sepiring roti panggang dan segelas susu putih. "Sudah bangun?" tanya Ghatan tanpa menatap Anjeli, ia masih sibuk sendiri. "Ya..." jawab Anjeli seadanya. Dia cukup bingung sekarang, bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya se
"Alasan apa yang harus aku gunakan untuk tidak datang makan siang?" Anjeli tidak bisa berpikir dengan baik setelah Ghatan menghampirinya di ruangan. Meski Ghatan mengatakan bahwa itu hanya sebuah sapaan bos pada karyawan barunya, tetap saja Ghatan membuat Anjeli kesulitan. Ia membasuh wajahnya, memandangi dirinya di cermin sambil terus memikirkan alasan apa yang harus ia katakan pada rekan kerjanya?"Sebenarnya mengapa pak Ghatan tiba-tiba ingin makan siang bersama?" Pertanyaan itu mengisi ruang kosong kepala Anjeli. "Ah! Apa dia tipe bos yang royal? Namun aku rasa itu sangat tidak mungkin." "Tidak! Tidak! Tidak!" Anjeli menggelengkan kepalanya, ia memejamkan mata serta menepuk-nepuk pipinya pelan. "Ayo pikirkan bagaimana cara agar tidak pergi ke sana. Haruskah aku pura-pura sakit dan izin pergi ke klinik?" Anjeli terus menggeleng dengan segala ide anehnya. Tok. Tok. Tok. Anjeli terkejut mendengar suara ketukan pintu itu. "Apa ada seseorang di dalam?" "I-iya! Ada saya, Anjeli!"
Setelah makan siang bersama rekan-rekannya, kini Anjeli sudah kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya ia kembali dengan yang lain, tetapi entah bagaimana mereka berpencar akhirnya menyisakan Anjeli seorang diri. "Kenapa aku memikirkan hubungan wanita itu dengan pak Ghatan ya?" Anjeli bermonolog, benaknya merasa terganggu setelah pertemuan tak sengaja dengan Anindya di restoran. "Sepertinya aku harus bertemu dengan kak Sena untuk mendapatkan lebih banyak informasi." Anjeli berjalan memasuki kantor dengan perasaan yang tak karuan. Banyak perasaan aneh yang datang setelah Anjeli menikah dengan Ghatan, apa lagi sekarang ia bekerja di perusahaan pria itu. Entah apa yang akan terjadi selama ia bekerja di sini. Saat di lobi, di pertengahan jalan Anjeli menahan langkahnya kala seseorang berhenti tepat di depannya. Orang itu adalah Gama Prajanata. Begitu Anjeli menatap mata Presdir, ia langsung mengeluarkan suaranya. "Setelah bekerja dari kantorku, rupanya kau beker
Saat suara Ghatan terdengar tentu saja ia sangat terkejut, bahkan tanpa Anjeli sadari tubuhnya bereaksi cukup berlebihan. Apa lagi ketika Ghatan menarik tangannya cukup kencang, ia hanya bisa pasrah mengikuti setiap pergerakan pria ini. Wajah Anjeli benar-benar pucat, selama di perjalanan pulang ke apartemen mereka hanya diam. Dan entah kenapa kali ini Anjeli tak berani untuk membela diri, aura Ghatan benar-benar menyerap sisa energi yang ada di tubuh Anjeli. Sampainya di apartemen Ghatan masih terlihat marah, keningnya terus mengerut dengan tatapan tajamnya menyorot mata ketakutan Anjeli. "Kau bertemu dengan siapa di kafe itu?" tanya Ghatan dengan suara berat. Anjeli menelan ludahnya, dia sedikit mengalihkan pandangan agar tak terlalu merasa ketakutan. "A-aku hanya mampir sebentar untuk makan dan minum kopi," jawab Anjeli berbohong. "Sejak kapan bapak peduli kepada saya?" tanyanya sedikit menaikkan suaranya supaya tidak terdengar sedang berbohong. Tatapan Ghatan berangsur-angsur
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Ghatan karena melihat Anjeli hanya diam membiarkan ponselnya terus berdering. Anjeli sempat tak bisa bergerak beberapa saat, ia cukup terkejut mendengar perkataan Ghatan yang spontan. Begitu tersadar, Anjeli langsung menjauh dari Ghatan yang jaraknya sangat dekat. "Uh..." Anjeli berusaha mengendalikan dirinya, bahkan tanpa sadar ia mulai melupakan panggilan dari Leon. "Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal semacam itu?" tanya Anjeli. Ghatan menatap Anjeli lempeng, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Bukankah seharusnya kau mengatakan bahwa kau sudah memiliki suami kepada pria yang sedang mencoba mendekatimu?" tanya Ghatan balik, ia menanyakan dengan mudah tanpa peduli ekspresi Anjeli yang penasaran. "A-aku tau, tapi tetap saja—" "Akhirnya kau tak mengangkat panggilannya," ucap Ghatan sembari membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Anjeli. Lagi-lagi Anjeli dibuat terdiam oleh sikap Ghatan. Pria itu benar-benar tak bisa dibaca, entah
Ghatan Prajanata, putra mahkota Prajanata yang didambakan oleh semua orang. Mungkin saja itu hanya kesan yang dibuat-buat. Ghatan yang terlihat selalu tenang dengan sorot tajamnya, sangat menyukai sesuatu yang hangat seperti teh hijau penenang dirinya. Pria yang selalu mementingkan pekerjaan dan perusahaan, mungkin saja sebenarnya menginginkan kebebasan. Bisa saja selama ini dia menekan semua keinginannya, dan dipaksa hidup dalam peraturan yang dibuat oleh Gama Prajanata. "Apa kau kira kau tahu segalanya tentang aku?" tanya Ghatan kepada seseorang yang ia telpon beberapa waktu lalu. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi hubungan kita hanya sebatas rekan yang saling membantu karena memiliki tujuan yang sama." Kerutan di dahi Ghatan semakin dalam begitu ia mendengar respon dari Anindya. "Kita sudah sepakat untuk tidak membahas masalah pribadi, terutama perasaan masing-masing," ucap Ghatan tegas. Mendengar penyangkalan yang terus Anindya buat membuat kepala Ghatan terasa peni
"Hm?" Anjeli mengernyitkan keningnya begitu menyadari sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu di wajahku," katanya seraya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Anjeli mengangkat ponselnya dan menatap wajahnya di sana, berlagak seakan tengah menyingkirkan sesuatu dari wajahnya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia pastikan, semenjak keluar dari kantor akan menemui Bas, Anjeli merasa ada yang mengikutinya. "Ternyata ada sesuatu di mataku, pantas saja seperti ada yang menghalangi pandanganku." Anjeli sengaja menabrak orang yang baru saja keluar dari toko pakaian. "Maaf-maaf ... aku akan lebih berhati-hati." Anjeli menoleh ke belakang dan sesuai dugaannya, orang yang mengikutinya tampak bersembunyi dan ini kesempatan Anjeli untuk menghilangkan jejak. Ia memutuskan untuk masuk ke toko pakaian, mengambil baju dan topi lantas mengganti pakaiannya. Setelah Anjeli mengganti pakaian, orang itu tampak kebingungan dan tak lagi mengikutinya. "Siapa orang itu?" ujar Anjeli bertanya-tanya.
"Apa-apaan penampilanmu ini?" Suara kencang sang ayah membuat wanita yang kini tengah duduk di sofa itu memejamkan matanya. Ekspresinya seolah tak peduli pada respon sang ayah mengenai dirinya. "Jangan coba-coba untuk berontak, Karina." Karina memutar bola matanya malas. Dengan penampilan yang berubah 180 derajat, tentu saja membuat Tama terkejut dan tak terima. Putri yang selalu ia banggakan kini berani membangkangnya, melawan setiap ucapannya, dan bersikap tidak sopan. Jaket kulit berwarna hitam yang Karina pakai seakan membuat mata Tama sakit. Ditambah celana jeans ketat menambah kesan tomboy pada karakter Karina yang awalnya anggun bak putri kerajaan. "Kemana pakaian pink-pink mu itu, Karina?" tanya Tama dengan kedua tangan disimpan di sisi pinggangnya. "Apa kau ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang di kantor ini?" Karina menghela napas, lantas mengeluarkan sesuatu dan berhasil meningkatkan emosi Tama saat ini juga. "KARINA! DARI MANA ROKOK ELEKTRIK ITU!?" Kar
Anjeli sudah kembali ke kantor dan sekarang ia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruangannya. Dari jauh Anjeli dapat melihat banyak orang menunggu di depan lift membuatnya sedikit menghela napas. "Apa aku harus berdesakan di dalam lift?" keluh Anjeli. "Kenapa disaat seperti ini banyak orang yang ingin naik lift, sih?" Begitu tiba saatnya Anjeli masuk ke dalam, seseorang membuat kakinya berhenti melangkah. Tatapan pria itu membuat Anjeli diam layaknya patung, hingga pria yang tak lain adalah bosnya itu tersenyum lebih dulu kepadanya. "Apa kau tidak akan masuk?" tanyanya. "Eh?" Anjeli linglung beberapa saat. "Selamat siang, Pak." Anjeli sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum kecil. "Silakan anda masuk lebih dulu." "An—" Ghatan seakan ingin menarik tangan Anjeli dan mengajaknya berbicara, tetapi tiba-tiba banyak pegawai datang dan masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dalam sekejap para pegawai itu memenuhi ruang lift. Jarak jauh diantara dirinya dengan Anjeli membua
Anjeli menatap datar ponselnya, lantas ia memasukannya ke dalam saku celana. Setelah Pak Hans datang membawakan makanan untuknya, Anjeli mendapat pesan dari Ghatan tetapi ia tak berniat membalasnya. Semua orang tampak bingung mengapa bosnya itu hanya memberi makanan kepada satu karyawannya saja, dan itu adalah karyawan baru dibandingkan dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja di perusahaan ini. Sophia menatap paper bag yang Anjeli pegang, lalu ia menatap Pak Hans dengan sedikit kerutan di dahinya. "Sebenarnya aku penasaran tentang pertunangan pak Ghatan dengan putri CEO Perusahaan TK itu," kata Sophia terus mendekati Pak Hans. "Kapan mereka akan melakukan pesta pertunangannya?" Pak Hans diam tak langsung menjawab. Namun ketika mulutnya sudah terbuka akan menjawab pertanyaan itu, Leon yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sedikit berseru membuat semua pasang mata beralih ke arahnya. "Wah, bagaimana bisa semua artikel tentang pertunangan itu hilang semuanya?" Leon mendec
Ghatan menggendong Anjeli yang tak sadarkan diri untuk dipindahkan ke tempat tidur. Baru saja beberapa langkah Anjeli membuatnya sedikit resah, dalam keadaan mabuk Anjeli meraba dadanya dan terus melenguh. "Ngh, k-kau..." Ghatan berhasil membaringkan Anjeli di kasur dan menyelimuti istrinya itu, tetapi usahanya sia-sia karena Anjeli menyibaknya dengan kasar. "Ugh ... panas!" Anjeli menggumam, keningnya dipenuhi oleh keringat. "Kenapa kau minum banyak sekali, sih?" Ghatan sedikit kesal mengingat isi botol alkohol tersisa setengahnya lagi. "Jika kau sudah tahu tentang pertunangan itu kenapa tidak marah padaku?" tanya Ghatan frustrasi. "Lebih baik kau marah padaku daripada bersikap seperti ini, An." Ghatan duduk di pinggir kasur, memandangi wajah penuh keringat itu. Tangannya menjulur lalu mengusap keringat di pelipis Anjeli, perlahan ia usap lembut surai legam itu. Ghatan terus memerhatikan wajah Anjeli, tanpa merasa bosan ia usap surai itu dengan penuh perasaan. Namun kala
Ghatan pulang ke apartemen dengan panik, begitu masuk ke dalam hal pertama yang dicari adalah keberadaan Anjeli dan sedikit tenang saat melihat Anjeli sedang menonton tv. Dia bernapas lega, memandang lurus punggung itu. Perlahan Ghatan mendekati Anjeli. Duduk di samping Anjeli, meraih tangan Anjeli lalu menggenggamnya. Anjeli tidak merespon, bahkan kedua matanya lurus ke depan tak menoleh ke arah Ghatan. Dia pasrah setiap Ghatan melakukan apa pun kepadanya. Saat Anjeli merasa wajah Ghatan mendekati wajahnya, ia langsung menoleh dan bertanya, "Sudah pulang?" Sambil tersenyum seakan tidak ada berita yang terdengar ke telinganya. Ghatan menjauhkan wajahnya dan menatap Anjeli heran. "Aku ingin menghubungi mu tapi aku lupa menyimpan ponsel, jadi aku menunggumu di sini." Setelah mendengar laporan itu Ghatan merasa tenang. Rupanya Anjeli tidak melihat ponselnya, berarti berita pertunangannya dengan Karina belum Anjeli ketahui. Ghatan tahu Gama menyebar berita pertunangan itu. Men
"Aku mencintaimu, An." Bayang-bayang wajah Ghatan dan suaranya terngiang di kepala Anjeli. Ungkapan cintanya beberapa waktu lalu pupus begitu saja, seolah hanya sebuah kalimat penenang bagi Anjeli di saat itu. Setelah mendapat kabar bahwa Ghatan akan bertunangan dengan putri pemilik perusahaan TK, semua harapan Anjeli terhadap Ghatan pupus sudah. Anjeli menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tatapan kosongnya lurus ke depan, perasaannya tak dimengerti sampai-sampai Anjeli tak tahu harus berekspresi seperti apa. "Hah...." Anjeli menaruh ponselnya begitu saja di sofa dan beranjak dari sofa pergi menuju kamar. "Sepertinya aku harus mencari udara segar," gumamnya setelah memakai mantel lantas pergi keluar apartemen. Langkahnya terlihat gontai, tatapannya kosong layaknya orang tak memiliki tujuan hidup. Anjeli terus menunduk selama perjalanan keluar dari apartemen. "Hah, sial...." Entah sudah berapa kali Anjeli menghela napasnya. Saat pintu lift terbuka kepalanya tera
Pergi ke toilet adalah alasan Karina agar ia bisa mengejar Ghatan. Rupanya Ghatan pun bukan pergi ke toilet, pria itu berbelok ke arah tangga menunju rooftop. Karina tak memanggilnya, ia mengikuti Ghatan dari belakang dan melihat pria itu berhenti di pagar pembatas. Perlahan Karina mendekati Ghatan. "Kenapa anda mengikuti saya?" Suara dingin Ghatan terdengar sebelum Karina sampai di sampingnya. Pria itu mengatakan hal tersebut tanpa membalikan tubuh seakan tahu jika Karina sudah mengikutinya sejak tadi. "Saya menolak pertunangan itu." Karina tersenyum. Sekarang dia sudah berdiri di samping Ghatan sembari menikmati pemandangan kota di malam hari. Angin yang cukup kencang mengombang-ambing rambutnya. Tak menghiraukan perkataan Ghatan perihal pertunangan, justru Karina lebih tertarik memerhatikan ekspresi wajah itu. Raut wajah yang tak bisa menyembunyikan sebanyak apa masalah yang sedang dipikirkan, Ghatan terlalu ketara menunjukkannya. "Bagaimana kalau kau menyetujuinya untuk
Cekrek! Ghatan menoleh dengan cepat ke arah suara kamera yang didengarnya. Menyadari itu Anjeli menatap Ghatan bingung, ia mengernyitkan kening dan ikut mengarahkan pandangan kemana arah mata Ghatan. "Ada apa?" tanya Anjeli setelah memastikan bahwa tidak ada hal aneh di sana. "Apa ada sesuatu? Atau kau ingin kembali ke ruangan tuan Prajanata?" Ghatan diam sejenak, mata datarnya menatap Anjeli beberapa detik sampai Anjeli merasa suhu disekitarnya sedikit panas. Kala Anjeli mulai salah tingkah ia baru membuka mulutnya. "Tidak ada, sekarang kau pulanglah tanpaku." "Baiklah," jawabnya tanpa bertanya mengapa Ghatan tak pergi bersamanya. Ketika Anjeli akan melangkah, kakinya kembali terhenti karena melihat Ghatan hanya diam sembari memperhatikannya. "Kenapa kau diam?" "Aku akan menyusul mu nanti," jawab Ghatan. "Jangan pergi kemanapun, kau harus tetap di rumah." Mendengar itu Anjeli sedikit kesal. "Baiklah," sahutnya setengah hati. Lantas ia pergi tanpa berpamitan pada Ghatan. R