"Tu-tuan muda! Ini tidak seperti yang anda lihat." Ibu—Eva segera mengatupkan kedua tangannya setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ghatan. "Ayah, cepat minta maaf kepada tuan muda!" seru Eva panik kepada suaminya, ia memaksa sang suami untuk ikut mengatupkan kedua tangannya.
"Maafkan kami tuan muda, kami tidak bermaksud seperti ini. Karena dia kami harus kehilangan rumah. Tolong kami tuan muda." Eva terus memohon kepada Ghatan yang hanya diam saja. Melihat kedua orang tuanya memohon seperti itu kepada Ghatan, hati Anjeli hancur. Gejolak panas muncul di dadanya kala Eva dan Yuan mulai menunduk di hadapan Ghatan. "Ibu! Ayah! Jangan melakukan itu!" Anjeli berusaha untuk menarik mereka agar berdiri. "Ibu dan Ayah boleh memukuliku, asal kalian berdua bangun! Huhuhu, aku mohon...." Eva menepis tangan Anjeli kasar, bahkan dengan tega ia mendorong anaknya. Sebelum hal buruk kembali terjadi pada Anjeli, Ghatan memerintah pengawalnya untuk menahan Eva yang hendak mendekati Anjeli. "Lepaskan!" Eva berontak, melakukan segala cara untuk lepas dari kungkungan para pengawal. "Aku harus memberinya pelajaran agar tahu diri!" Kemudian Eva menoleh ke arah Yuan yang hanya diam sambil menundukkan kepala. "Ayah! Bangun! Jangan beri dia ampun sampai bersujud di hadapan pak Presdir untuk meminta kembali tempat tinggal ini!" "Ibu jangan seperti ini! Aku ini anak Ibu!" Melihat Anjeli menangis membuat Ghatan meringis, melihat wanita malang itu tersiksa membuat Ghatan ingin cepat-cepat menyelesaikan urusannya di sini. "Bawa barang-barang wanita itu secukupnya, kemudian taruh di bagasi mobil." perintah Ghatan dan langsung dilaksanakan oleh para pengawal. "Setelah semua urusan selesai, bawa wanita ini ke tempatku." Mendengar hal itu sontak Anjeli membulatkan mata. Tanpa mengatakan sepatah kata pada Ghatan, Anjeli berlari menyusul para pengawal yang masuk ke rumahnya. Anjeli tidak boleh membiarkan mereka menyentuh barang miliknya, dan tidak akan membiarkan dirinya dibawa layaknya segenggam uang. "Tidak! Jangan sentuh barang-barang ku!" Kini tersisa Ghatan dengan kedua orang tua Anjeli. Pria angkuh itu menatap dingin pada Yuan dan Eva, membiarkan mereka berdua tetap terduduk di tanah kotor. Menyumpah serapah anaknya sendiri dan menangis berharap hal buruk tidak akan terjadi. "Tandatangani ini, maka utang kalian kepada ayahku akan lunas," ucap Ghatan seraya memerintah manajernya supaya menyerahkan selembar kertas untuk mereka tandatangani. Dengan brutal mereka langsung menarik kertas itu, menandatangani dengan emosi. Tanpa membaca isi dari kontrak tersebut, tanpa peduli apa yang akan terjadi jika mereka menandatangani kontrak tersebut. Yang mereka inginkan hanya satu, utang mereka lunas. Ghatan tertawa. "Dengan kalian menandatangani kontrak tersebut, maka kalian menyetujui pernikahan yang akan dilaksanakan Minggu depan antara tuan muda Ghatan dengan putri kalian, Anjeli." Manajer menjelaskan isi dari kontrak tersebut, lantas menarik kertas itu dan dimasukkan ke dalam tas. Yuan dan Eva saling pandang. "Kami siap atas syarat yang ada dalam kontrak tersebut, tolong lunasi utang kami tuan muda." Sekali lagi Ghatan merasa kasihan pada Anjeli karena memiliki orang tua seperti Yuan dan Eva, andai saja Anjeli tahu dirinya akan menikah dengannya atas perjanjian dengan orang tuanya pasti wanita itu akan marah besar seperti di kafe beberapa waktu lalu. Ghatan menyeringai, mengingat bagaimana wanita itu mengacungkan jari tengahnya. "Dasar tidak punya rasa takut," gumamnya. "Tuan! Wanita di dalam sana mengamuk, dia tidak ingin dibawa pergi dari sini." ujar seorang pria dengan terengah-engah. Ghatan berdecak, baru saja akan pulang dan menikmati segelas teh ada saja hal yang membuatnya repot. "Cih, mengurus satu wanita saja tak becus." Dengan langkah lebar Ghatan akan menemui Anjeli di dalam sana. *** "AKU TAK AKAN PERGI DARI SINI!" Suara teriakan Anjeli sudah terdengar begitu kakinya melangkah ke dalam rumah. "ARGH! SIALAN! JANGAN BERANI-BERANI MENYENTUH BARANGKU!" Teriakan kedua yang Ghatan dengar, kali ini ia melihat wanita itu sedang merebut kembali barangnya yang hendak dikemas ke dalam koper. "KALIAN TIDAK DENGAR, HAH!?" Di depan pintu Ghatan berhenti, memerhatikan tingkah Anjeli yang seperti orang kesetanan. Wanita itu mengamuk, terus mengambil barangnya yang sudah dibawa oleh para pengawal. Bahkan, Anjeli mengeluarkan baju-bajunya dan sengaja menghamburkan di mana saja agar mereka kelelahan. Para pengawal itu tampak kewalahan. Melihat Ghatan datang bersama kedua orang tuanya, Anjeli langsung berlari ke arah Ibunya dan meminta bantuan. "Ibu tolong aku!" seru Anjeli penuh permohonan, memegangi lengan sang Ibu berharap mendapat pertolongan. "Mereka ingin membawaku pergi dari sini." Eva justru melepaskan cekalan tangan Anjeli, menatap sang anak tanpa ekspresi membuat Anjeli kalut. "I-ibu ... Ibu tolong aku, kenapa Ibu seperti ini? A-ayah." Anjeli bingung, dia melirik sang Ayah berharap mendapat pertolongan darinya. Namun justru Yuan malah mengemasi barang Anjeli, tak terlihat khawatir sama sekali disaat putrinya akan dibawa oleh mereka. "Sudah kubilang apa, ayo menikah denganku," ujar Ghatan mengambil alih atensi Anjeli. "Apa kau tidak memikirkan bagaimana nasib keluargamu jika mereka diusir dari sini?" Ghatan bersedekap dada, menatap Anjeli miris. "Huh, seandainya kau menikah denganku maka keluargamu akan baik-baik saja." "Aku tidak sudi!" Anjeli terus menolak dengan tegas. Sifat Anjeli yang keras kepala membuat Ghatan menggeram, ia kesal dan tak bisa berlaku lembut lagi terhadap wanita ini. "Kau pikir aku melakukan ini bukan tanpa alasan? Situasimu akan semakin buruk jika kau terus menolak." Matanya melirik Yuan dan Eva bergantian. "Bahkan bukan situasimu saja, tapi situasi keluargamu juga. Akan tinggal di mana mereka setelah pergi dari sini? Pikirkanlah dengan benar, kau sudah diberi kehidupan oleh keluargamu tapi kau membalasnya seperti ini?" Setelah bicara panjang lebar berharap Anjeli akan sadar dengan situasinya, yang didapat oleh Ghatan adalah sebuah tatapan lempeng tanda tak peduli dengan nasib yang akan terjadi pada hidupnya. Rahangnya mengetat, raut wajahnya menunjukkan bahwa kesabarannya telah habis. "Ah, sial! Kenapa aku harus bicara sebanyak ini?" Ghatan sudah dongkol, ia pergi tanpa mendengar penyangkalan Anjeli. "Bawa dia bagaimanapun caranya, jika bisa dibius saja sekalian." "HEI! KAU PIKIR AKU INI MAINAN MU!?" "An..." Suara Ibu lirih, menahan Anjeli yang akan berlari mengejar Ghatan. "Ibu mohon menikahlah dengan tuan muda, memangnya itu merugikan mu?" "Tapi Bu, masih banyak yang harus kulakukan. Jika aku menikah sekarang, bagaimana dengan kalian?" tanya Anjeli. "Aku tidak ingin menikah sebelum membahagiakan kalian berdua," tuturnya sungguh-sungguh. Yuan selesai mengemasi barang-barang Anjeli yang sekiranya diperlukan. Dia berjalan menghampiri anak dan istrinya, menarik tangan Anjeli memberikan koper tersebut. "Sudahlah, An. Pergilah, ini yang terbaik untuk mu." "A-apa kalian ingin membuang ku?" Anjeli menunduk, menahan air mata yang sudah di pelupuk mata. "Ibu ... Ayah ... aku sudah berjanji akan membuatkan rumah untuk keluarga kita. Bagaimana dengan kakak? Dia ingin—" "AN!" Eva menjerit, ia mulai menangis sejadi-jadinya. "Ini yang terbaik untukmu, tolong bantu kami sekali ini saja, An. Kami sudah menghidupimu, dan sekarang giliran kau yang membiarkan kami hidup." Melihat sang anak terkejut, Eva menarik tangan Anjeli dan menggenggamnya. "Ibu sayang padamu, tapi Ibu pun ingin hidup tenang." "Sebenarnya ada apa?" tanya Anjeli parau. "Huh ... ini waktunya kau mengetahui semuanya." Yuan menarik napas, mengumpulkan tekad yang selama ini telah ia tahan. "Kau bukan anak kandung kami, An." "A-apa maksudnya?" Waktu seolah berhenti setelah Yuan mengatakan kalimat yang tak dapat dipercaya, Anjeli terpaku sesaat sebelum para pengawal itu akhirnya menarik Anjeli dengan paksa. "ARGH! LEPASKAN AKU SIALAN!" Sekuat tenaga Anjeli memberontak. "AKU INGIN MENDENGARKAN PENJELASAN ORANG TUAKU DULU!" "Tuan muda sudah menunggu anda di luar, nona." "Ibu! Tolong katakan bahwa yang Ayah katakan tidak benar!" jerit Anjeli histeris, ia terus berteriak kepada orang tuanya tetapi mereka hanya diam saja. "Huhuhu, kenapa kalian tega sekali? Aku tidak peduli aku anak siapa, tapi tolong jangan buang aku seperti ini!" Saat merasa pegangan para pengawal itu mengendur, Anjeli menyikut mereka."Argh! Aku bisa jalan sendiri, brengsek." Anjeli berhenti, menatap sedih ke arah orang tuanya yang hanya menundukkan kepala. Disaat para pengawal itu lengah, Anjeli mengambil kesempatan untuk berlari ke dalam rumahnya untuk mendengarkan penjelasan lebih jelas. Namun para pengawal itu lebih cepat menahan Anjeli. "AH! LEPASKAN! AKU INGIN BICARA DENGAN MEREKA SEBENTAR SAJA!" Anjeli terus meronta-ronta sampai di dalam mobil, bahkan dia memukul-mukul Ghatan tetapi Ghatan tidak mengindahkannya. "Apa yang kau inginkan? Apa aku pernah melakukan kesalahan sampai kau tega melakukan ini kepadaku?" tanya Anjeli penuh penuntutan, rasa harap yang besar mendapat jawaban yang jelas. "Jika iya maafkan aku, jangan seperti ini ... aku harus mendengarkan penjelasan mereka, aku tidak bisa seperti ini." Anjeli sudah lelah, dia hanya bisa menutup wajah sambil menangis pasrah. "Huhuhu! Sialan, kau sama saja seperti ayahmu, tidak punya hati!" Ghatan sama sekali tak menghiraukannya, bahkan pria itu tak melirik Anjeli barang sedetik. Mendadak Ghatan teringat pada ucapan ayahnya tentang perjodohan dengan putri konglomerat, pemilik perusahaan ternama. "Apa pun yang terjadi, kau harus menikah dengan Karina." Di meja kebesarannya Gama menatap Ghatan, ucapannya seakan tidak dapat menerima penolakan. "Jika kau menikah dengannya akan baik untuk perusahaan." "Saya sudah bilang tidak ada keinginan untuk menikah." "Anak kurang ajar!" bentak Gama bersamaan dengan tangan yang terkepal mengebrak meja. "Kakekmu diprediksi hanya bisa bertahan selama 4 bulan..." Mengingat itu kepala Ghatan rasanya akan pecah. Dia mengurut keningnya, membuang napas kasar dan menoleh ke arah Anjeli tepat ketika wanita itu melontarkan pertanyaan. "Kenapa kau memilih wanita sepertiku?" Selang beberapa detik, Ghatan menjawab, "Kau ingin tahu kenapa aku memilihmu?"Anjeli terus menatap Ghatan menunggu jawabannya. Begitupun Ghatan, pria itu terus menatap Anjeli seolah akan memberikan jawaban yang jelas. Namun ditunggu seberapa lama pun, Anjeli tak kunjung mendengar suara itu. Anjeli mendecak, ia orang pertama yang memutus kontak mata. Wajah frustrasinya tak dapat disembunyikan seiring air matanya kembali menetes, teringat pada ucapan orang tuanya yang tak pernah terbesit sekalipun dalam pikiran Anjeli. "Hah ... kenapa ibu dan ayah begitu tega?" Tangannya dengan keras mengusap air mata yang terus mengalir. "Rasanya seperti jutaan belati menusuk jantungku, lebih baik aku mati daripada harus menikah denganmu." "Huh? Kau tidak tahu kalau orang tuamu menandatangani kontrak denganku demi utang-utang mereka lunas," ujar Ghatan memberitahu yang sebenarnya kepada Anjeli. "Dan lagi mereka menyetujui syarat yang tertulis dalam kontrak tersebut." "Apa kau bilang?" Anjeli tak habis pikir, dia tidak memercayai ucapan pria ini sepenuhnya. "Apa syarat kontrak
"Syarat?" beo Anjeli dengan dahi berkerut dalam, ia menatap Ghatan penuh pertanyaan. Ghatan mengangguk. "Ya, syarat yang harus kau patuhi," ucapnya seraya menatap Anjeli. Namun beberapa saat kemudian Ghatan membelakangi Anjeli. "Ah, apa mungkin lebih tepat jika disebut aturan?" Merasa jika Ghatan sedang bertele-tele, Anjeli mendecak kesal. "Cepat katakan." "Setelah menikah kita tidak boleh tidur bersama—" "Apa!?" seru Anjeli menginterupsi kalimat yang hendak Ghatan katakan, bahkan pria itu termenung beberapa saat karena Anjeli yang begitu terkejut. Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa respon mu seperti itu? Jangan-jangan kau ingin tidur—" "Argh!" Lagi-lagi Anjeli memotong ucapan Ghatan, wanita itu mendorong Ghatan agar keluar dari kamarnya. "Kenapa kita tidak bicara setelah aku pakai baju?" tanya Anjeli dan berhasil mengeluarkan Ghatan dari kamarnya, tetapi ketika Anjeli sudah menutup pintu ia membukanya kembali. "Dan satu lagi, aku tidak akan mematuhi aturan jika tidak disetuj
Entah apa yang Ghatan pikirkan hingga dengan mudah ia menyerang Anjeli seperti ini. Mencumbu setiap inci wajah Anjeli, mengendus nafsu aroma tubuh Anjeli yang memabukkan. Hingga akhirnya ia berhenti melakukan aksi diluar kendalinya kala merasakan cakaran pada lehernya. "Hei!" Napas Anjeli terengah-engah, dalam sekejap bajunya berantakan akibat ulah Ghatan. "Apa kau gila!?" bentaknya, tak dapat dipungkiri jika sikap Ghatan membuatnya marah. "Apa kau memang selalu mempermainkan wanita seperti ini?" Ghatan terdiam, tak membalas ucapan Anjeli. Ia termenung beberapa saat hingga akhirnya pandangannya teralihkan ke sembarang arah. "Kenapa tidak menjawabku?" Anjeli melempar satu pertanyaan lagi, sontak Ghatan mengalihkan pandangannya ke arah Anjeli. Pria itu mengusap bibirnya dengan ibu jari, tatapan tajamnya seolah tak ingin mengakui kesalahannya. "Hah, apa kau sedang mengancam ku sekarang?" Dia mendengus. "Apa kau tidak peduli jika keluargamu dalam bahaya?" tanya Ghatan, tetapi terde
Lagi-lagi tidak ada suara ibu yang membangunkannya pagi ini, rasanya masih sama seperti pagi kemarin. Begitu membuka mata, Anjeli hanya bisa menghela napas. "Ah, hari ini aku harus mulai bekerja." Anjeli mengusap rambutnya ke belakang. Ia baru ingat jika hari ini adalah hari Senin dan hari pertamanya bekerja di perusahaan Ghatan, anak perusahaan GP Property. "Hari ini dia pasti bekerja juga, apa sudah berangkat ya?" Namun kala Anjeli keluar dari kamarnya, ia mendengar sesuatu dari arah dapur. Begitu sampai di dapur, hal pertama yang ia lihat adalah punggung Ghatan. Anjeli mengernyit, jari-jemarinya spontan merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Pak?" ucap Anjeli. Tepat saat itu juga Ghatan menolehkan kepala dan berjalan ke arah meja seraya membawa sepiring roti panggang dan segelas susu putih. "Sudah bangun?" tanya Ghatan tanpa menatap Anjeli, ia masih sibuk sendiri. "Ya..." jawab Anjeli seadanya. Dia cukup bingung sekarang, bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya se
"Alasan apa yang harus aku gunakan untuk tidak datang makan siang?" Anjeli tidak bisa berpikir dengan baik setelah Ghatan menghampirinya di ruangan. Meski Ghatan mengatakan bahwa itu hanya sebuah sapaan bos pada karyawan barunya, tetap saja Ghatan membuat Anjeli kesulitan. Ia membasuh wajahnya, memandangi dirinya di cermin sambil terus memikirkan alasan apa yang harus ia katakan pada rekan kerjanya?"Sebenarnya mengapa pak Ghatan tiba-tiba ingin makan siang bersama?" Pertanyaan itu mengisi ruang kosong kepala Anjeli. "Ah! Apa dia tipe bos yang royal? Namun aku rasa itu sangat tidak mungkin." "Tidak! Tidak! Tidak!" Anjeli menggelengkan kepalanya, ia memejamkan mata serta menepuk-nepuk pipinya pelan. "Ayo pikirkan bagaimana cara agar tidak pergi ke sana. Haruskah aku pura-pura sakit dan izin pergi ke klinik?" Anjeli terus menggeleng dengan segala ide anehnya. Tok. Tok. Tok. Anjeli terkejut mendengar suara ketukan pintu itu. "Apa ada seseorang di dalam?" "I-iya! Ada saya, Anjeli!"
Setelah makan siang bersama rekan-rekannya, kini Anjeli sudah kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya ia kembali dengan yang lain, tetapi entah bagaimana mereka berpencar akhirnya menyisakan Anjeli seorang diri. "Kenapa aku memikirkan hubungan wanita itu dengan pak Ghatan ya?" Anjeli bermonolog, benaknya merasa terganggu setelah pertemuan tak sengaja dengan Anindya di restoran. "Sepertinya aku harus bertemu dengan kak Sena untuk mendapatkan lebih banyak informasi." Anjeli berjalan memasuki kantor dengan perasaan yang tak karuan. Banyak perasaan aneh yang datang setelah Anjeli menikah dengan Ghatan, apa lagi sekarang ia bekerja di perusahaan pria itu. Entah apa yang akan terjadi selama ia bekerja di sini. Saat di lobi, di pertengahan jalan Anjeli menahan langkahnya kala seseorang berhenti tepat di depannya. Orang itu adalah Gama Prajanata. Begitu Anjeli menatap mata Presdir, ia langsung mengeluarkan suaranya. "Setelah bekerja dari kantorku, rupanya kau beker
Saat suara Ghatan terdengar tentu saja ia sangat terkejut, bahkan tanpa Anjeli sadari tubuhnya bereaksi cukup berlebihan. Apa lagi ketika Ghatan menarik tangannya cukup kencang, ia hanya bisa pasrah mengikuti setiap pergerakan pria ini. Wajah Anjeli benar-benar pucat, selama di perjalanan pulang ke apartemen mereka hanya diam. Dan entah kenapa kali ini Anjeli tak berani untuk membela diri, aura Ghatan benar-benar menyerap sisa energi yang ada di tubuh Anjeli. Sampainya di apartemen Ghatan masih terlihat marah, keningnya terus mengerut dengan tatapan tajamnya menyorot mata ketakutan Anjeli. "Kau bertemu dengan siapa di kafe itu?" tanya Ghatan dengan suara berat. Anjeli menelan ludahnya, dia sedikit mengalihkan pandangan agar tak terlalu merasa ketakutan. "A-aku hanya mampir sebentar untuk makan dan minum kopi," jawab Anjeli berbohong. "Sejak kapan bapak peduli kepada saya?" tanyanya sedikit menaikkan suaranya supaya tidak terdengar sedang berbohong. Tatapan Ghatan berangsur-angsur
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Ghatan karena melihat Anjeli hanya diam membiarkan ponselnya terus berdering. Anjeli sempat tak bisa bergerak beberapa saat, ia cukup terkejut mendengar perkataan Ghatan yang spontan. Begitu tersadar, Anjeli langsung menjauh dari Ghatan yang jaraknya sangat dekat. "Uh..." Anjeli berusaha mengendalikan dirinya, bahkan tanpa sadar ia mulai melupakan panggilan dari Leon. "Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal semacam itu?" tanya Anjeli. Ghatan menatap Anjeli lempeng, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Bukankah seharusnya kau mengatakan bahwa kau sudah memiliki suami kepada pria yang sedang mencoba mendekatimu?" tanya Ghatan balik, ia menanyakan dengan mudah tanpa peduli ekspresi Anjeli yang penasaran. "A-aku tau, tapi tetap saja—" "Akhirnya kau tak mengangkat panggilannya," ucap Ghatan sembari membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Anjeli. Lagi-lagi Anjeli dibuat terdiam oleh sikap Ghatan. Pria itu benar-benar tak bisa dibaca, entah
"Hm?" Anjeli mengernyitkan keningnya begitu menyadari sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu di wajahku," katanya seraya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Anjeli mengangkat ponselnya dan menatap wajahnya di sana, berlagak seakan tengah menyingkirkan sesuatu dari wajahnya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia pastikan, semenjak keluar dari kantor akan menemui Bas, Anjeli merasa ada yang mengikutinya. "Ternyata ada sesuatu di mataku, pantas saja seperti ada yang menghalangi pandanganku." Anjeli sengaja menabrak orang yang baru saja keluar dari toko pakaian. "Maaf-maaf ... aku akan lebih berhati-hati." Anjeli menoleh ke belakang dan sesuai dugaannya, orang yang mengikutinya tampak bersembunyi dan ini kesempatan Anjeli untuk menghilangkan jejak. Ia memutuskan untuk masuk ke toko pakaian, mengambil baju dan topi lantas mengganti pakaiannya. Setelah Anjeli mengganti pakaian, orang itu tampak kebingungan dan tak lagi mengikutinya. "Siapa orang itu?" ujar Anjeli bertanya-tanya.
"Apa-apaan penampilanmu ini?" Suara kencang sang ayah membuat wanita yang kini tengah duduk di sofa itu memejamkan matanya. Ekspresinya seolah tak peduli pada respon sang ayah mengenai dirinya. "Jangan coba-coba untuk berontak, Karina." Karina memutar bola matanya malas. Dengan penampilan yang berubah 180 derajat, tentu saja membuat Tama terkejut dan tak terima. Putri yang selalu ia banggakan kini berani membangkangnya, melawan setiap ucapannya, dan bersikap tidak sopan. Jaket kulit berwarna hitam yang Karina pakai seakan membuat mata Tama sakit. Ditambah celana jeans ketat menambah kesan tomboy pada karakter Karina yang awalnya anggun bak putri kerajaan. "Kemana pakaian pink-pink mu itu, Karina?" tanya Tama dengan kedua tangan disimpan di sisi pinggangnya. "Apa kau ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang di kantor ini?" Karina menghela napas, lantas mengeluarkan sesuatu dan berhasil meningkatkan emosi Tama saat ini juga. "KARINA! DARI MANA ROKOK ELEKTRIK ITU!?" Kar
Anjeli sudah kembali ke kantor dan sekarang ia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruangannya. Dari jauh Anjeli dapat melihat banyak orang menunggu di depan lift membuatnya sedikit menghela napas. "Apa aku harus berdesakan di dalam lift?" keluh Anjeli. "Kenapa disaat seperti ini banyak orang yang ingin naik lift, sih?" Begitu tiba saatnya Anjeli masuk ke dalam, seseorang membuat kakinya berhenti melangkah. Tatapan pria itu membuat Anjeli diam layaknya patung, hingga pria yang tak lain adalah bosnya itu tersenyum lebih dulu kepadanya. "Apa kau tidak akan masuk?" tanyanya. "Eh?" Anjeli linglung beberapa saat. "Selamat siang, Pak." Anjeli sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum kecil. "Silakan anda masuk lebih dulu." "An—" Ghatan seakan ingin menarik tangan Anjeli dan mengajaknya berbicara, tetapi tiba-tiba banyak pegawai datang dan masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dalam sekejap para pegawai itu memenuhi ruang lift. Jarak jauh diantara dirinya dengan Anjeli membua
Anjeli menatap datar ponselnya, lantas ia memasukannya ke dalam saku celana. Setelah Pak Hans datang membawakan makanan untuknya, Anjeli mendapat pesan dari Ghatan tetapi ia tak berniat membalasnya. Semua orang tampak bingung mengapa bosnya itu hanya memberi makanan kepada satu karyawannya saja, dan itu adalah karyawan baru dibandingkan dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja di perusahaan ini. Sophia menatap paper bag yang Anjeli pegang, lalu ia menatap Pak Hans dengan sedikit kerutan di dahinya. "Sebenarnya aku penasaran tentang pertunangan pak Ghatan dengan putri CEO Perusahaan TK itu," kata Sophia terus mendekati Pak Hans. "Kapan mereka akan melakukan pesta pertunangannya?" Pak Hans diam tak langsung menjawab. Namun ketika mulutnya sudah terbuka akan menjawab pertanyaan itu, Leon yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sedikit berseru membuat semua pasang mata beralih ke arahnya. "Wah, bagaimana bisa semua artikel tentang pertunangan itu hilang semuanya?" Leon mendec
Ghatan menggendong Anjeli yang tak sadarkan diri untuk dipindahkan ke tempat tidur. Baru saja beberapa langkah Anjeli membuatnya sedikit resah, dalam keadaan mabuk Anjeli meraba dadanya dan terus melenguh. "Ngh, k-kau..." Ghatan berhasil membaringkan Anjeli di kasur dan menyelimuti istrinya itu, tetapi usahanya sia-sia karena Anjeli menyibaknya dengan kasar. "Ugh ... panas!" Anjeli menggumam, keningnya dipenuhi oleh keringat. "Kenapa kau minum banyak sekali, sih?" Ghatan sedikit kesal mengingat isi botol alkohol tersisa setengahnya lagi. "Jika kau sudah tahu tentang pertunangan itu kenapa tidak marah padaku?" tanya Ghatan frustrasi. "Lebih baik kau marah padaku daripada bersikap seperti ini, An." Ghatan duduk di pinggir kasur, memandangi wajah penuh keringat itu. Tangannya menjulur lalu mengusap keringat di pelipis Anjeli, perlahan ia usap lembut surai legam itu. Ghatan terus memerhatikan wajah Anjeli, tanpa merasa bosan ia usap surai itu dengan penuh perasaan. Namun kala
Ghatan pulang ke apartemen dengan panik, begitu masuk ke dalam hal pertama yang dicari adalah keberadaan Anjeli dan sedikit tenang saat melihat Anjeli sedang menonton tv. Dia bernapas lega, memandang lurus punggung itu. Perlahan Ghatan mendekati Anjeli. Duduk di samping Anjeli, meraih tangan Anjeli lalu menggenggamnya. Anjeli tidak merespon, bahkan kedua matanya lurus ke depan tak menoleh ke arah Ghatan. Dia pasrah setiap Ghatan melakukan apa pun kepadanya. Saat Anjeli merasa wajah Ghatan mendekati wajahnya, ia langsung menoleh dan bertanya, "Sudah pulang?" Sambil tersenyum seakan tidak ada berita yang terdengar ke telinganya. Ghatan menjauhkan wajahnya dan menatap Anjeli heran. "Aku ingin menghubungi mu tapi aku lupa menyimpan ponsel, jadi aku menunggumu di sini." Setelah mendengar laporan itu Ghatan merasa tenang. Rupanya Anjeli tidak melihat ponselnya, berarti berita pertunangannya dengan Karina belum Anjeli ketahui. Ghatan tahu Gama menyebar berita pertunangan itu. Men
"Aku mencintaimu, An." Bayang-bayang wajah Ghatan dan suaranya terngiang di kepala Anjeli. Ungkapan cintanya beberapa waktu lalu pupus begitu saja, seolah hanya sebuah kalimat penenang bagi Anjeli di saat itu. Setelah mendapat kabar bahwa Ghatan akan bertunangan dengan putri pemilik perusahaan TK, semua harapan Anjeli terhadap Ghatan pupus sudah. Anjeli menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tatapan kosongnya lurus ke depan, perasaannya tak dimengerti sampai-sampai Anjeli tak tahu harus berekspresi seperti apa. "Hah...." Anjeli menaruh ponselnya begitu saja di sofa dan beranjak dari sofa pergi menuju kamar. "Sepertinya aku harus mencari udara segar," gumamnya setelah memakai mantel lantas pergi keluar apartemen. Langkahnya terlihat gontai, tatapannya kosong layaknya orang tak memiliki tujuan hidup. Anjeli terus menunduk selama perjalanan keluar dari apartemen. "Hah, sial...." Entah sudah berapa kali Anjeli menghela napasnya. Saat pintu lift terbuka kepalanya tera
Pergi ke toilet adalah alasan Karina agar ia bisa mengejar Ghatan. Rupanya Ghatan pun bukan pergi ke toilet, pria itu berbelok ke arah tangga menunju rooftop. Karina tak memanggilnya, ia mengikuti Ghatan dari belakang dan melihat pria itu berhenti di pagar pembatas. Perlahan Karina mendekati Ghatan. "Kenapa anda mengikuti saya?" Suara dingin Ghatan terdengar sebelum Karina sampai di sampingnya. Pria itu mengatakan hal tersebut tanpa membalikan tubuh seakan tahu jika Karina sudah mengikutinya sejak tadi. "Saya menolak pertunangan itu." Karina tersenyum. Sekarang dia sudah berdiri di samping Ghatan sembari menikmati pemandangan kota di malam hari. Angin yang cukup kencang mengombang-ambing rambutnya. Tak menghiraukan perkataan Ghatan perihal pertunangan, justru Karina lebih tertarik memerhatikan ekspresi wajah itu. Raut wajah yang tak bisa menyembunyikan sebanyak apa masalah yang sedang dipikirkan, Ghatan terlalu ketara menunjukkannya. "Bagaimana kalau kau menyetujuinya untuk
Cekrek! Ghatan menoleh dengan cepat ke arah suara kamera yang didengarnya. Menyadari itu Anjeli menatap Ghatan bingung, ia mengernyitkan kening dan ikut mengarahkan pandangan kemana arah mata Ghatan. "Ada apa?" tanya Anjeli setelah memastikan bahwa tidak ada hal aneh di sana. "Apa ada sesuatu? Atau kau ingin kembali ke ruangan tuan Prajanata?" Ghatan diam sejenak, mata datarnya menatap Anjeli beberapa detik sampai Anjeli merasa suhu disekitarnya sedikit panas. Kala Anjeli mulai salah tingkah ia baru membuka mulutnya. "Tidak ada, sekarang kau pulanglah tanpaku." "Baiklah," jawabnya tanpa bertanya mengapa Ghatan tak pergi bersamanya. Ketika Anjeli akan melangkah, kakinya kembali terhenti karena melihat Ghatan hanya diam sembari memperhatikannya. "Kenapa kau diam?" "Aku akan menyusul mu nanti," jawab Ghatan. "Jangan pergi kemanapun, kau harus tetap di rumah." Mendengar itu Anjeli sedikit kesal. "Baiklah," sahutnya setengah hati. Lantas ia pergi tanpa berpamitan pada Ghatan. R