Lagi-lagi tidak ada suara ibu yang membangunkannya pagi ini, rasanya masih sama seperti pagi kemarin. Begitu membuka mata, Anjeli hanya bisa menghela napas.
"Ah, hari ini aku harus mulai bekerja." Anjeli mengusap rambutnya ke belakang. Ia baru ingat jika hari ini adalah hari Senin dan hari pertamanya bekerja di perusahaan Ghatan, anak perusahaan GP Property. "Hari ini dia pasti bekerja juga, apa sudah berangkat ya?"Namun kala Anjeli keluar dari kamarnya, ia mendengar sesuatu dari arah dapur. Begitu sampai di dapur, hal pertama yang ia lihat adalah punggung Ghatan.Anjeli mengernyit, jari-jemarinya spontan merapikan rambut yang sedikit berantakan."Pak?" ucap Anjeli.Tepat saat itu juga Ghatan menolehkan kepala dan berjalan ke arah meja seraya membawa sepiring roti panggang dan segelas susu putih."Sudah bangun?" tanya Ghatan tanpa menatap Anjeli, ia masih sibuk sendiri."Ya..." jawab Anjeli seadanya. Dia cukup bingung sekarang, bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya seakan ada yang memeluknya agar dia tidak bisa bergerak. "Aku pikir kau sudah pergi, ternyata masih di sini."Ghatan memakan satu roti yang tersedia di piring itu, lalu meneguk susu hingga tandas. "Aku akan pergi lebih dulu, sebelum berangkat makan roti ini dan minum segelas air." Setelah mengatakan kalimat tersebut Ghatan menyambar jas miliknya dan pergi melewati Anjeli.Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Anjeli untuk menjawab perintah itu. Bahkan, Anjeli sulit untuk berpikir jernih saat menyadari jika seorang Ghatan membuatkannya roti panggang untuk sarapan."Apa yang aku lihat barusan?" tanyanya pada diri sendiri. "Apa dia baru saja membuatkan ku sarapan?"Kala Anjeli hendak melangkah menuju meja, Ghatan kembali datang."Aku pikir kau tak melupakan syarat yang pernah aku katakan," ujar Ghatan dengan wajah serius. "Meskipun kita adalah suami istri, tetapi di kantor hubungan kita adalah bos dan karyawan." Tatapan matanya sungguh membuat Anjeli ciut. "Kau paham?"Anjeli mengedipkan matanya dua kali lalu mengangguk paham.Setelah mengatakan hal tersebut Ghatan pergi.Pria itu benar-benar tidak ingin pernikahan dengannya diketahui oleh banyak orang. Sikapnya yang menurut Anjeli membingungkan benar-benar membuat Anjeli sakit kepala."Ayo, An! Kau pasti bisa melewati hari-hari tak menyenangkan ini," kata Anjeli menyemangati dirinya sendiri. "Semangat, hari-hari dengannya akan segera berlalu!"Setelah menghabiskan sarapan yang dibuatkan Ghatan ditambah meminum air sesuai perintah Ghatan, Anjeli pergi mandi dan berpakaian rapi untuk pergi ke kantor.Hari ini Anjeli harus menyiapkan hati.Begitu sampai di luar apartemen, Anjeli cukup dibuat terkejut kala seorang pria tiba-tiba menuntunnya pergi ke arah sebuah mobil mewah dan membukakan pintu untuknya."Silakan nona."Tentu saja Anjeli tidak langsung masuk ke dalam, ia cukup waspada dan memerhatikan pria itu dengan seksama. Ekspresinya yang jelas menunjukkan sejuta pertanyaan, segera pria itu membuka mulut untuk menjelaskan."Pak direktur menyuruh saya untuk mengantar anda ke kantor," jelasnya secara singkat. Tetapi ekspresi yang Anjeli tunjukkan tampak belum puas, membuatnya kembali membuka suara. "Ini perintah dari pak Ghatan, nona."Anjeli speechless.Sebenernya apa yang Ghatan inginkan darinya?***Ternyata Anjeli disambut cukup baik oleh karyawan lain, bahkan ada beberapa karyawan yang mengetahui bahwa ia dipindahtugaskan dari kantor utama. Dan yang paling membuat Anjeli senang bersama mereka yaitu, mereka tidak banyak bertanya tentang alasan Anjeli pindah ke kantor ini.Kini Anjeli tengah duduk di depan komputer, sambil celingukan memerhatikan semua orang yang tampak sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.Tuk. Tuk.Seseorang mengetuk kursi Anjeli.Pria itu tersenyum manis, menatap Anjeli dengan ramah. "Jika ada sesuatu yang tidak dimengerti, anda bisa bertanya pada saya," tuturnya dengan senyuman yang tak lepas dari wajah cerianya. "Jangan malu-malu, andalkan saya saja. Oke?"Anjeli mengangguk. "Baik, terima kasih."Namun ternyata tidak sampai di situ, pria itu kembali mendekati Anjeli. "Hm, apa saya boleh minta nomor hp mu?" tanyanya seraya menyodorkan ponselnya."Ti-tidak mungkin...""Pak Ghatan?"Kala tangan Anjeli sudah hampir mengambil ponsel pria tersebut, keributan yang dibuat oleh para karyawan membuatnya mengurungkan niat memberikan nomor ponselnya. Atensi Anjeli teralihkan ke arah pintu masuk, di sana seseorang yang membuatkan Anjeli sarapan tengah berjalan menatap tajam ke arahnya.'Astaga, kenapa pria itu tiba-tiba datang ke sini?'Anjeli merasa gusar.'Padahal dia sendiri yang tak ingin hubungan ini diketahui oleh orang-orang.'"Ya ampun, ada apa anda datang kemari?"Kepala tim datang menghampiri Ghatan membuat pria itu berhenti sejenak."Saya kebetulan lewat," jawab Ghatan tanpa mengubah ekspresi wajahnya. Di kantor pun pria itu tetap terlihat dingin. "Karena waktu makan siang beberapa menit lagi, saya ingin mengajak kalian untuk makan siang bersama."Semua orang di tim ini langsung heboh kesenangan, terkecuali Anjeli yang merasa tertekan. Apa lagi kala Ghatan menatap Anjeli cukup lama, dengan senyuman yang tak pernah ia tunjukkan pada dirinya di rumah."Anjeli," sebut Ghatan dengan nada suara ramah. "Apa ada kesulitan di hari pertamamu bekerja?""Ti-tidak, Pak." Rasanya Anjeli kesulitan untuk mengeluarkan suara. "Semuanya berjalan lancar.""Baguslah kalau begitu," katanya kemudian ia pamit untuk pergi.Beberapa detik Ghatan keluar dari ruangan, Anjeli menyusul Ghatan dengan alasan akan pergi ke toilet. Ia berjalan terburu-buru karena tidak ingin kehilangan Ghatan, tapi ternyata pria itu sedang berdiri di depan pintu ruangan dengan tangan disilangkan di depan dada.Tampaknya pria ini memang sengaja menunggu Anjeli keluar dari ruangan."Bukannya anda tak ingin ada yang tahu tentang hubungan kita? Tapi kenapa anda menemui saya?" Anjeli langsung menanyai Ghatan tanpa basa-basi. Meski begitu Anjeli terus menatap sekeliling dengan waspada, dia tidak ingin ada orang lain yang melihatnya.Dengan santai Ghatan menjawab, "Anggap saja tadi itu adalah sapaan bos terhadap karyawan barunya. Di sini kau harus bersikap sopan pada saya, layaknya seorang karyawan kepada bosnya." Ghatan menatap Anjeli yang hanya diam saja. "Kenapa masih di sini? Tidak melanjutkan pekerjaan mu?"Dan saat itu juga Anjeli tersadar. Perkataan Ghatan memang benar, seharusnya dia tetap di dalam dan tak mengejar pria ini."Baik Pak," jawab Anjeli patuh lalu ia kembali ke dalam.Untuk saat ini saja Anjeli akan mengalah, dia tahu posisinya di sini. Namun sebelum Anjeli kembali ke mejanya, Ghatan justru menahan lengan Anjeli. Membuat Anjeli otomatis menjauh."Tunggu." Tahan Ghatan. "Apa orang-orang di sana mengganggumu?""Eh?""Jangan beri nomormu pada siapapun," Ghatan memberikan sebuah ponsel. "Pakai ini, ini ponsel khusus untuk bekerja. Pisahkan antara pekerjaan dan urusan pribadi." Kemudian Ghatan pergi meninggalkan Anjeli tanpa pamit.Sementara Anjeli menatap ponsel pemberian Ghatan dengan otak yang masih mencerna semua kata yang keluar dari mulut pria itu."Aneh...""Alasan apa yang harus aku gunakan untuk tidak datang makan siang?" Anjeli tidak bisa berpikir dengan baik setelah Ghatan menghampirinya di ruangan. Meski Ghatan mengatakan bahwa itu hanya sebuah sapaan bos pada karyawan barunya, tetap saja Ghatan membuat Anjeli kesulitan. Ia membasuh wajahnya, memandangi dirinya di cermin sambil terus memikirkan alasan apa yang harus ia katakan pada rekan kerjanya?"Sebenarnya mengapa pak Ghatan tiba-tiba ingin makan siang bersama?" Pertanyaan itu mengisi ruang kosong kepala Anjeli. "Ah! Apa dia tipe bos yang royal? Namun aku rasa itu sangat tidak mungkin." "Tidak! Tidak! Tidak!" Anjeli menggelengkan kepalanya, ia memejamkan mata serta menepuk-nepuk pipinya pelan. "Ayo pikirkan bagaimana cara agar tidak pergi ke sana. Haruskah aku pura-pura sakit dan izin pergi ke klinik?" Anjeli terus menggeleng dengan segala ide anehnya. Tok. Tok. Tok. Anjeli terkejut mendengar suara ketukan pintu itu. "Apa ada seseorang di dalam?" "I-iya! Ada saya, Anjeli!"
Setelah makan siang bersama rekan-rekannya, kini Anjeli sudah kembali ke kantor untuk melanjutkan pekerjaannya. Awalnya ia kembali dengan yang lain, tetapi entah bagaimana mereka berpencar akhirnya menyisakan Anjeli seorang diri. "Kenapa aku memikirkan hubungan wanita itu dengan pak Ghatan ya?" Anjeli bermonolog, benaknya merasa terganggu setelah pertemuan tak sengaja dengan Anindya di restoran. "Sepertinya aku harus bertemu dengan kak Sena untuk mendapatkan lebih banyak informasi." Anjeli berjalan memasuki kantor dengan perasaan yang tak karuan. Banyak perasaan aneh yang datang setelah Anjeli menikah dengan Ghatan, apa lagi sekarang ia bekerja di perusahaan pria itu. Entah apa yang akan terjadi selama ia bekerja di sini. Saat di lobi, di pertengahan jalan Anjeli menahan langkahnya kala seseorang berhenti tepat di depannya. Orang itu adalah Gama Prajanata. Begitu Anjeli menatap mata Presdir, ia langsung mengeluarkan suaranya. "Setelah bekerja dari kantorku, rupanya kau beker
Saat suara Ghatan terdengar tentu saja ia sangat terkejut, bahkan tanpa Anjeli sadari tubuhnya bereaksi cukup berlebihan. Apa lagi ketika Ghatan menarik tangannya cukup kencang, ia hanya bisa pasrah mengikuti setiap pergerakan pria ini. Wajah Anjeli benar-benar pucat, selama di perjalanan pulang ke apartemen mereka hanya diam. Dan entah kenapa kali ini Anjeli tak berani untuk membela diri, aura Ghatan benar-benar menyerap sisa energi yang ada di tubuh Anjeli. Sampainya di apartemen Ghatan masih terlihat marah, keningnya terus mengerut dengan tatapan tajamnya menyorot mata ketakutan Anjeli. "Kau bertemu dengan siapa di kafe itu?" tanya Ghatan dengan suara berat. Anjeli menelan ludahnya, dia sedikit mengalihkan pandangan agar tak terlalu merasa ketakutan. "A-aku hanya mampir sebentar untuk makan dan minum kopi," jawab Anjeli berbohong. "Sejak kapan bapak peduli kepada saya?" tanyanya sedikit menaikkan suaranya supaya tidak terdengar sedang berbohong. Tatapan Ghatan berangsur-angsur
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Ghatan karena melihat Anjeli hanya diam membiarkan ponselnya terus berdering. Anjeli sempat tak bisa bergerak beberapa saat, ia cukup terkejut mendengar perkataan Ghatan yang spontan. Begitu tersadar, Anjeli langsung menjauh dari Ghatan yang jaraknya sangat dekat. "Uh..." Anjeli berusaha mengendalikan dirinya, bahkan tanpa sadar ia mulai melupakan panggilan dari Leon. "Kenapa kau tiba-tiba mengatakan hal semacam itu?" tanya Anjeli. Ghatan menatap Anjeli lempeng, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Bukankah seharusnya kau mengatakan bahwa kau sudah memiliki suami kepada pria yang sedang mencoba mendekatimu?" tanya Ghatan balik, ia menanyakan dengan mudah tanpa peduli ekspresi Anjeli yang penasaran. "A-aku tau, tapi tetap saja—" "Akhirnya kau tak mengangkat panggilannya," ucap Ghatan sembari membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Anjeli. Lagi-lagi Anjeli dibuat terdiam oleh sikap Ghatan. Pria itu benar-benar tak bisa dibaca, entah
Ghatan Prajanata, putra mahkota Prajanata yang didambakan oleh semua orang. Mungkin saja itu hanya kesan yang dibuat-buat. Ghatan yang terlihat selalu tenang dengan sorot tajamnya, sangat menyukai sesuatu yang hangat seperti teh hijau penenang dirinya. Pria yang selalu mementingkan pekerjaan dan perusahaan, mungkin saja sebenarnya menginginkan kebebasan. Bisa saja selama ini dia menekan semua keinginannya, dan dipaksa hidup dalam peraturan yang dibuat oleh Gama Prajanata. "Apa kau kira kau tahu segalanya tentang aku?" tanya Ghatan kepada seseorang yang ia telpon beberapa waktu lalu. "Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan, tapi hubungan kita hanya sebatas rekan yang saling membantu karena memiliki tujuan yang sama." Kerutan di dahi Ghatan semakin dalam begitu ia mendengar respon dari Anindya. "Kita sudah sepakat untuk tidak membahas masalah pribadi, terutama perasaan masing-masing," ucap Ghatan tegas. Mendengar penyangkalan yang terus Anindya buat membuat kepala Ghatan terasa peni
Keheningan mendominasi di antara mereka, membiarkan jam dinding mengisi kekosongan di keduanya. Sambil terus menatap Anjeli, Ghatan terlihat tak berniat untuk mengatakan sesuatu. Sampai akhirnya ia memilih untuk pergi, meninggalkan Anjeli seorang diri di apartemen ini. "Hah..." Anjeli menarik napas panjang. Sesak yang ia rasakan beberapa saat lalu ketika Ghatan menatapnya tanpa ekspresi, membuat Anjeli merasa menyesal telah mengutarakan ketidakpercayaan dirinya. "Dia langsung paham apa yang aku katakan," ujarnya sembari menatap tempat di mana Ghatan berdiri. "Apa dia akan pergi begitu saja meninggalkan ku di sini?" Anjeli meneguk air minumnya sebelum ia kembali ke kamarnya. Jam 11 malam. Anjeli duduk di sofa sembari menonton film, matanya menunjukkan jika ia sudah mengantuk berat. Berkali-kali ia melirik pada jam dinding, lalu melihat ponselnya menunggu seseorang menghubunginya. "Sudah jam sebelas tapi dia tak menghubungiku sama sekali," ucapnya menatap layar ponsel. "Ah! Kenapa
Pria itu duduk dengan gelisah di depan komputernya. Selagi mengerjakan pekerjaan kantornya hari ini, sesekali matanya terus melihat ke arah pintu ruangan seakan tengah menunggu seseorang datang. Pagi ini, hanya ada ia seorang diri. Datang lebih awal dari rekannya yang lain, hanya untuk menunggu seseorang dan mengatakan sesuatu yang membuatnya gundah sejak malam. Sampai akhirnya suara derit pintu terdengar, Leon segera bangkit dari duduknya dan menatap ke arah pintu. Dan benar saja, wanita yang ditunggunya sejak tadi pagi datang juga. Dengan raut wajah polos menatap Leon bingung, ia hanya diam memegang kenop pintu. "Leon?" gumam Anjeli lantas ia mulai bergerak mendekati Leon. "Kupikir aku yang datang lebih awal ke kantor," kata Anjeli dan duduk di kursinya. Leon mendekati Anjeli, menyeret kursi dan duduk tepat di samping Anjeli yang mulai mempersiapkan diri untuk bekerja hari ini. "An..." panggil Leon sedikit berbisik. "Kenapa semalam kau tidak mengangkat panggilanku?" tanyany
Duduk di depan komputer berjam-jam membuat Anjeli jenuh, ia sedikit meregangkan tubuhnya dan melihat sekelilingnya. Setelah Pak Hans datang membawakan sarapan, terjadi kehebohan kecil di ruangan ini karena sikap perhatian pak direktur yang tidak disangka-sangka, dalam sekejap mereka kembali dengan urusan masing-masing. Rasa jenuh membuat Anjeli mengantuk, ia memilih untuk beranjak dari kursinya dan pergi ke dapur untuk membuat kopi. Sambil mengaduk kopi itu, Anjeli mulai merenung. "Pagi ini pak Ghatan tidak menyapaku, bahkan dia tidak menatapku sama sekali." Anjeli terus berpikir, memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi pada pria itu. "Apa terjadi sesuatu saat bertemu dengan pimpinan? Atau aku melakukan kesalahan?" Anjeli menarik napas, menyesap kopi itu lantas meneguknya perlahan. "Aku tidak merasa melakukan kesalahan, tunggu...." Anjeli teringat pada kontak Leon yang mendadak terhapus. "Jangan-jangan yang menghapus kontak Leon dan yang memindahkan ku ke kamar adalah...." A
"Hm?" Anjeli mengernyitkan keningnya begitu menyadari sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu di wajahku," katanya seraya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Anjeli mengangkat ponselnya dan menatap wajahnya di sana, berlagak seakan tengah menyingkirkan sesuatu dari wajahnya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia pastikan, semenjak keluar dari kantor akan menemui Bas, Anjeli merasa ada yang mengikutinya. "Ternyata ada sesuatu di mataku, pantas saja seperti ada yang menghalangi pandanganku." Anjeli sengaja menabrak orang yang baru saja keluar dari toko pakaian. "Maaf-maaf ... aku akan lebih berhati-hati." Anjeli menoleh ke belakang dan sesuai dugaannya, orang yang mengikutinya tampak bersembunyi dan ini kesempatan Anjeli untuk menghilangkan jejak. Ia memutuskan untuk masuk ke toko pakaian, mengambil baju dan topi lantas mengganti pakaiannya. Setelah Anjeli mengganti pakaian, orang itu tampak kebingungan dan tak lagi mengikutinya. "Siapa orang itu?" ujar Anjeli bertanya-tanya.
"Apa-apaan penampilanmu ini?" Suara kencang sang ayah membuat wanita yang kini tengah duduk di sofa itu memejamkan matanya. Ekspresinya seolah tak peduli pada respon sang ayah mengenai dirinya. "Jangan coba-coba untuk berontak, Karina." Karina memutar bola matanya malas. Dengan penampilan yang berubah 180 derajat, tentu saja membuat Tama terkejut dan tak terima. Putri yang selalu ia banggakan kini berani membangkangnya, melawan setiap ucapannya, dan bersikap tidak sopan. Jaket kulit berwarna hitam yang Karina pakai seakan membuat mata Tama sakit. Ditambah celana jeans ketat menambah kesan tomboy pada karakter Karina yang awalnya anggun bak putri kerajaan. "Kemana pakaian pink-pink mu itu, Karina?" tanya Tama dengan kedua tangan disimpan di sisi pinggangnya. "Apa kau ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang di kantor ini?" Karina menghela napas, lantas mengeluarkan sesuatu dan berhasil meningkatkan emosi Tama saat ini juga. "KARINA! DARI MANA ROKOK ELEKTRIK ITU!?" Kar
Anjeli sudah kembali ke kantor dan sekarang ia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruangannya. Dari jauh Anjeli dapat melihat banyak orang menunggu di depan lift membuatnya sedikit menghela napas. "Apa aku harus berdesakan di dalam lift?" keluh Anjeli. "Kenapa disaat seperti ini banyak orang yang ingin naik lift, sih?" Begitu tiba saatnya Anjeli masuk ke dalam, seseorang membuat kakinya berhenti melangkah. Tatapan pria itu membuat Anjeli diam layaknya patung, hingga pria yang tak lain adalah bosnya itu tersenyum lebih dulu kepadanya. "Apa kau tidak akan masuk?" tanyanya. "Eh?" Anjeli linglung beberapa saat. "Selamat siang, Pak." Anjeli sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum kecil. "Silakan anda masuk lebih dulu." "An—" Ghatan seakan ingin menarik tangan Anjeli dan mengajaknya berbicara, tetapi tiba-tiba banyak pegawai datang dan masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dalam sekejap para pegawai itu memenuhi ruang lift. Jarak jauh diantara dirinya dengan Anjeli membua
Anjeli menatap datar ponselnya, lantas ia memasukannya ke dalam saku celana. Setelah Pak Hans datang membawakan makanan untuknya, Anjeli mendapat pesan dari Ghatan tetapi ia tak berniat membalasnya. Semua orang tampak bingung mengapa bosnya itu hanya memberi makanan kepada satu karyawannya saja, dan itu adalah karyawan baru dibandingkan dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja di perusahaan ini. Sophia menatap paper bag yang Anjeli pegang, lalu ia menatap Pak Hans dengan sedikit kerutan di dahinya. "Sebenarnya aku penasaran tentang pertunangan pak Ghatan dengan putri CEO Perusahaan TK itu," kata Sophia terus mendekati Pak Hans. "Kapan mereka akan melakukan pesta pertunangannya?" Pak Hans diam tak langsung menjawab. Namun ketika mulutnya sudah terbuka akan menjawab pertanyaan itu, Leon yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sedikit berseru membuat semua pasang mata beralih ke arahnya. "Wah, bagaimana bisa semua artikel tentang pertunangan itu hilang semuanya?" Leon mendec
Ghatan menggendong Anjeli yang tak sadarkan diri untuk dipindahkan ke tempat tidur. Baru saja beberapa langkah Anjeli membuatnya sedikit resah, dalam keadaan mabuk Anjeli meraba dadanya dan terus melenguh. "Ngh, k-kau..." Ghatan berhasil membaringkan Anjeli di kasur dan menyelimuti istrinya itu, tetapi usahanya sia-sia karena Anjeli menyibaknya dengan kasar. "Ugh ... panas!" Anjeli menggumam, keningnya dipenuhi oleh keringat. "Kenapa kau minum banyak sekali, sih?" Ghatan sedikit kesal mengingat isi botol alkohol tersisa setengahnya lagi. "Jika kau sudah tahu tentang pertunangan itu kenapa tidak marah padaku?" tanya Ghatan frustrasi. "Lebih baik kau marah padaku daripada bersikap seperti ini, An." Ghatan duduk di pinggir kasur, memandangi wajah penuh keringat itu. Tangannya menjulur lalu mengusap keringat di pelipis Anjeli, perlahan ia usap lembut surai legam itu. Ghatan terus memerhatikan wajah Anjeli, tanpa merasa bosan ia usap surai itu dengan penuh perasaan. Namun kala
Ghatan pulang ke apartemen dengan panik, begitu masuk ke dalam hal pertama yang dicari adalah keberadaan Anjeli dan sedikit tenang saat melihat Anjeli sedang menonton tv. Dia bernapas lega, memandang lurus punggung itu. Perlahan Ghatan mendekati Anjeli. Duduk di samping Anjeli, meraih tangan Anjeli lalu menggenggamnya. Anjeli tidak merespon, bahkan kedua matanya lurus ke depan tak menoleh ke arah Ghatan. Dia pasrah setiap Ghatan melakukan apa pun kepadanya. Saat Anjeli merasa wajah Ghatan mendekati wajahnya, ia langsung menoleh dan bertanya, "Sudah pulang?" Sambil tersenyum seakan tidak ada berita yang terdengar ke telinganya. Ghatan menjauhkan wajahnya dan menatap Anjeli heran. "Aku ingin menghubungi mu tapi aku lupa menyimpan ponsel, jadi aku menunggumu di sini." Setelah mendengar laporan itu Ghatan merasa tenang. Rupanya Anjeli tidak melihat ponselnya, berarti berita pertunangannya dengan Karina belum Anjeli ketahui. Ghatan tahu Gama menyebar berita pertunangan itu. Men
"Aku mencintaimu, An." Bayang-bayang wajah Ghatan dan suaranya terngiang di kepala Anjeli. Ungkapan cintanya beberapa waktu lalu pupus begitu saja, seolah hanya sebuah kalimat penenang bagi Anjeli di saat itu. Setelah mendapat kabar bahwa Ghatan akan bertunangan dengan putri pemilik perusahaan TK, semua harapan Anjeli terhadap Ghatan pupus sudah. Anjeli menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tatapan kosongnya lurus ke depan, perasaannya tak dimengerti sampai-sampai Anjeli tak tahu harus berekspresi seperti apa. "Hah...." Anjeli menaruh ponselnya begitu saja di sofa dan beranjak dari sofa pergi menuju kamar. "Sepertinya aku harus mencari udara segar," gumamnya setelah memakai mantel lantas pergi keluar apartemen. Langkahnya terlihat gontai, tatapannya kosong layaknya orang tak memiliki tujuan hidup. Anjeli terus menunduk selama perjalanan keluar dari apartemen. "Hah, sial...." Entah sudah berapa kali Anjeli menghela napasnya. Saat pintu lift terbuka kepalanya tera
Pergi ke toilet adalah alasan Karina agar ia bisa mengejar Ghatan. Rupanya Ghatan pun bukan pergi ke toilet, pria itu berbelok ke arah tangga menunju rooftop. Karina tak memanggilnya, ia mengikuti Ghatan dari belakang dan melihat pria itu berhenti di pagar pembatas. Perlahan Karina mendekati Ghatan. "Kenapa anda mengikuti saya?" Suara dingin Ghatan terdengar sebelum Karina sampai di sampingnya. Pria itu mengatakan hal tersebut tanpa membalikan tubuh seakan tahu jika Karina sudah mengikutinya sejak tadi. "Saya menolak pertunangan itu." Karina tersenyum. Sekarang dia sudah berdiri di samping Ghatan sembari menikmati pemandangan kota di malam hari. Angin yang cukup kencang mengombang-ambing rambutnya. Tak menghiraukan perkataan Ghatan perihal pertunangan, justru Karina lebih tertarik memerhatikan ekspresi wajah itu. Raut wajah yang tak bisa menyembunyikan sebanyak apa masalah yang sedang dipikirkan, Ghatan terlalu ketara menunjukkannya. "Bagaimana kalau kau menyetujuinya untuk
Cekrek! Ghatan menoleh dengan cepat ke arah suara kamera yang didengarnya. Menyadari itu Anjeli menatap Ghatan bingung, ia mengernyitkan kening dan ikut mengarahkan pandangan kemana arah mata Ghatan. "Ada apa?" tanya Anjeli setelah memastikan bahwa tidak ada hal aneh di sana. "Apa ada sesuatu? Atau kau ingin kembali ke ruangan tuan Prajanata?" Ghatan diam sejenak, mata datarnya menatap Anjeli beberapa detik sampai Anjeli merasa suhu disekitarnya sedikit panas. Kala Anjeli mulai salah tingkah ia baru membuka mulutnya. "Tidak ada, sekarang kau pulanglah tanpaku." "Baiklah," jawabnya tanpa bertanya mengapa Ghatan tak pergi bersamanya. Ketika Anjeli akan melangkah, kakinya kembali terhenti karena melihat Ghatan hanya diam sembari memperhatikannya. "Kenapa kau diam?" "Aku akan menyusul mu nanti," jawab Ghatan. "Jangan pergi kemanapun, kau harus tetap di rumah." Mendengar itu Anjeli sedikit kesal. "Baiklah," sahutnya setengah hati. Lantas ia pergi tanpa berpamitan pada Ghatan. R