Pria itu duduk dengan gelisah di depan komputernya. Selagi mengerjakan pekerjaan kantornya hari ini, sesekali matanya terus melihat ke arah pintu ruangan seakan tengah menunggu seseorang datang. Pagi ini, hanya ada ia seorang diri. Datang lebih awal dari rekannya yang lain, hanya untuk menunggu seseorang dan mengatakan sesuatu yang membuatnya gundah sejak malam. Sampai akhirnya suara derit pintu terdengar, Leon segera bangkit dari duduknya dan menatap ke arah pintu. Dan benar saja, wanita yang ditunggunya sejak tadi pagi datang juga. Dengan raut wajah polos menatap Leon bingung, ia hanya diam memegang kenop pintu. "Leon?" gumam Anjeli lantas ia mulai bergerak mendekati Leon. "Kupikir aku yang datang lebih awal ke kantor," kata Anjeli dan duduk di kursinya. Leon mendekati Anjeli, menyeret kursi dan duduk tepat di samping Anjeli yang mulai mempersiapkan diri untuk bekerja hari ini. "An..." panggil Leon sedikit berbisik. "Kenapa semalam kau tidak mengangkat panggilanku?" tanyany
Duduk di depan komputer berjam-jam membuat Anjeli jenuh, ia sedikit meregangkan tubuhnya dan melihat sekelilingnya. Setelah Pak Hans datang membawakan sarapan, terjadi kehebohan kecil di ruangan ini karena sikap perhatian pak direktur yang tidak disangka-sangka, dalam sekejap mereka kembali dengan urusan masing-masing. Rasa jenuh membuat Anjeli mengantuk, ia memilih untuk beranjak dari kursinya dan pergi ke dapur untuk membuat kopi. Sambil mengaduk kopi itu, Anjeli mulai merenung. "Pagi ini pak Ghatan tidak menyapaku, bahkan dia tidak menatapku sama sekali." Anjeli terus berpikir, memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi pada pria itu. "Apa terjadi sesuatu saat bertemu dengan pimpinan? Atau aku melakukan kesalahan?" Anjeli menarik napas, menyesap kopi itu lantas meneguknya perlahan. "Aku tidak merasa melakukan kesalahan, tunggu...." Anjeli teringat pada kontak Leon yang mendadak terhapus. "Jangan-jangan yang menghapus kontak Leon dan yang memindahkan ku ke kamar adalah...." A
Di ruangan direktur pria itu tampak lelah berkutat dengan pekerjaan, disamping itu banyak hal yang terus mengganggu pikirannya. Ghatan meraih gelas yang tersimpan tepat di sampingnya, lalu menghela napas panjang begitu melihat tidak ada kopi di dalamnya. Tiba-tiba wajah seseorang terlintas di benaknya, mata yang terpejam dengan embusan napas teratur, sebentar lagi Ghatan akan gila karena terus memikirkannya. "Anjeli," sebutnya seraya memikirkan bagaimana jika seandainya wanita itu datang kemari dan membuatkannya segelas kopi. "Akan aneh jika aku mendadak memanggilnya kemari," ucapnya lantas menggelengkan kepala. "Aku tidak ingin membuatnya tidak nyaman." Ghatan menyalakan ponselnya, ia akan menghubungi manajernya untuk membelikan kopi di luar. Namun pergerakan tangannya mendadak berhenti begitu sesuatu terlintas di kepalanya. "Sepertinya membeli kopi sendiri bukan ide yang buruk." Ghatan memilih untuk pergi membeli kopi sendiri, hitung-hitung kembali menyegarkan otaknya yang teras
"Bagaimana ini? Kenapa pintunya tidak bisa dibuka." Anjeli masih berusaha membuka pintu itu dengan ekspresi panik bukan main. Ruangan yang gelap tanpa adanya fentilasi membuat dada Anjeli berdegup dengan cepat, tetapi hal yang membuat Anjeli semakin merasa sesak adalah mengingat dirinya hanya berdua bersama Ghatan. Hanya berdua di tempat yang gelap, bernapas di satu ruangan tanpa adanya pertukaran udara. Ghatan dapat mendengar jelas bagaimana Anjeli bernapas dan suara panik yang terus wanita itu keluarkan. "Tolong!" teriak Anjeli dan mulai memukul pintu berharap seseorang dapat mengeluarkannya dari sini. "Apa di luar ada sese—mph!" Ghatan membekap mulut Anjeli, menghentikan suaranya sebelum seseorang mendengar dan membuka pintu itu. Ghatan tidak akan membiarkan siapa pun melihatnya bersama Anjeli di ruangan ini. Anjeli tak berontak, justru ia diam seperti patung seraya menahan napasnya. "Sstt!" bisik Ghatan tepat di telinganya, ia dapat merasakan helaan napas itu. Rasanya d
Saat tangan berjari lentik itu akan membelai wajahnya, Ghatan segera menepisnya dan berjalan melewati Anindya tanpa menatap wanita itu. "Pergilah, aku tidak ada waktu untuk mu." Ghatan memfokuskan diri pada layar komputer di depannya, membuka beberapa dokumen yang harus ia tanda tangani. "Lain kali jika tak ada hal penting jangan langsung datang ke kantorku, lalu...." "Lalu?" tanya Anindya dengan alis terangkat, menunggu Ghatan melanjutkan kata-katanya. Ghatan menatap Anindya tajam. "Jangan seenaknya datang ke sini tanpa janji temu, aku sibuk." "Sibuk berduaan dengan wanita itu?" Brak! Ghatan mengebrak meja, kesabarannya sudah habis akibat sikap lancang Anindya. Tanpa banyak kata, Ghatan segera menghubungi sekretarisnya di depan untuk membantu Anindya keluar dari ruangannya. "Sekretaris Kim, apa kau bisa tolong bantu nona Anindya keluar?" ucap Ghatan dengan suara dingin. "Pertemuan kita sudah selesai, sepertinya dia lupa jalan pulang." Anindya tertawa hambar, menatap Gh
"Aku sudah tidak tahan lagi...." Bas menatap Anjeli iba tetapi di sisi lain ia tidak bisa menolong adiknya begitu saja. Bahkan Bas tak sanggup jika harus ikut campur dalam urusan rumah tangga Anjeli dengan suaminya. "Aku tahu kau sedang kesulitan," kata Bas sembari memegang kedua bahu Anjeli menenangkan. "Tapi aku tidak bisa membawamu kembali ke rumah, apa lagi statusmu sekarang adalah istri Ghatan." Bas melepas kedua tangannya dari bahu Anjeli, kembali menatap Anjeli penuh simpatik. Mata Anjeli berkaca-kaca, ia kembali menangis menatap Bas tidak percaya. "Kau jahat...." ujarnya pelan. "Bukankah kau keluargaku? Kenapa kau setega ini padaku, huhuhu." Bas bingung. Bas sudah tahu jika Anjeli menikah dengan Ghatan. Dan faktanya Ghatan ini adalah teman Bas saat SMA dulu, mereka berteman baik bahkan sangat baik. Saking baiknya hubungan Bas dengan Ghatan sebagai teman, Bas sudah tahu bagaimana sifat baik buruk pria itu. Bahkan Bas sempat menjadi tempat cerita, tempat mengeluh, hin
Anjeli tidak bisa dipermainkan seperti ini. Melihat Ghatan hanya diam seribu bahasa tanpa mengatakan apa pun, membuat dada Anjeli semakin sesak. Bahkan pria itu tak menyangkal sama sekali, tak berusaha memberi alasan kepada Anjeli meski hanya sekedar untuk menenangkannya. Ghatan hanya diam menatap Anjeli datar. "Ayo sudahi saja," kata Anjeli setelah berusaha mengeluarkan suara. Setelah mengatakan hal itu ia keluar dari mobil, meninggalkan Ghatan yang masih diam tak berkutik di tempatnya. Rasanya benar-benar menyakitkan. "Jadi seperti ini rasanya disakiti..." Anjeli terisak. Berjalan tanpa tujuan setelah keluar dari mobil Ghatan dan pria itu tak mengejar atau menahannya seakan tak peduli. Entah apa yang sedang Ghatan pikirkan hingga tak bersuara di hadapan Anjeli. Atau mungkin pria itu memang tak bisa mengelak lagi karena semua kejadian yang Anjeli lihat memang benar apa adanya. "Dia benar-benar pria bajingan," gumam Anjeli ditelusuri oleh rasa sesak yang semakin menyayat.
Ghatan menarik napas panjang, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana karena udara semakin terasa dingin ditambah gerimis yang mulai membesar. "Hujan mulai turun, An." Ghatan berusaha untuk tidak meluapkan emosinya. Melihat Anjeli masih duduk dan tak berdiri, Ghatan memilih untuk membalikan tubuh dan berjalan membiarkan Anjeli melakukan apa pun yang dia inginkan. "Pria jahat," ketus Anjeli dengan suara bergetar. Hidungnya memerah, Anjeli tidak ingin mati kedinginan di sini. Setelah Ghatan berjalan jauh, Anjeli baru bangkit dan mengikuti pria itu dari belakang. Tidak ada tempat untuk pulang selain apartemen milik Ghatan, mau tidak mau Anjeli kembali ke apartemen ini dengan perasaan yang masih belum baik-baik saja. Malam yang melelahkan, Anjeli memilih untuk masuk ke dalam kamarnya daripada membahas hal yang tak juga Ghatan katakan kebenarannya. "An," panggil Ghatan begitu melihat Anjeli. "Aku ingin menjelaskan—" Brak! Pintu tertutup. "Baiklah, kau pasti lelah."
"Hm?" Anjeli mengernyitkan keningnya begitu menyadari sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu di wajahku," katanya seraya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Anjeli mengangkat ponselnya dan menatap wajahnya di sana, berlagak seakan tengah menyingkirkan sesuatu dari wajahnya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia pastikan, semenjak keluar dari kantor akan menemui Bas, Anjeli merasa ada yang mengikutinya. "Ternyata ada sesuatu di mataku, pantas saja seperti ada yang menghalangi pandanganku." Anjeli sengaja menabrak orang yang baru saja keluar dari toko pakaian. "Maaf-maaf ... aku akan lebih berhati-hati." Anjeli menoleh ke belakang dan sesuai dugaannya, orang yang mengikutinya tampak bersembunyi dan ini kesempatan Anjeli untuk menghilangkan jejak. Ia memutuskan untuk masuk ke toko pakaian, mengambil baju dan topi lantas mengganti pakaiannya. Setelah Anjeli mengganti pakaian, orang itu tampak kebingungan dan tak lagi mengikutinya. "Siapa orang itu?" ujar Anjeli bertanya-tanya.
"Apa-apaan penampilanmu ini?" Suara kencang sang ayah membuat wanita yang kini tengah duduk di sofa itu memejamkan matanya. Ekspresinya seolah tak peduli pada respon sang ayah mengenai dirinya. "Jangan coba-coba untuk berontak, Karina." Karina memutar bola matanya malas. Dengan penampilan yang berubah 180 derajat, tentu saja membuat Tama terkejut dan tak terima. Putri yang selalu ia banggakan kini berani membangkangnya, melawan setiap ucapannya, dan bersikap tidak sopan. Jaket kulit berwarna hitam yang Karina pakai seakan membuat mata Tama sakit. Ditambah celana jeans ketat menambah kesan tomboy pada karakter Karina yang awalnya anggun bak putri kerajaan. "Kemana pakaian pink-pink mu itu, Karina?" tanya Tama dengan kedua tangan disimpan di sisi pinggangnya. "Apa kau ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang di kantor ini?" Karina menghela napas, lantas mengeluarkan sesuatu dan berhasil meningkatkan emosi Tama saat ini juga. "KARINA! DARI MANA ROKOK ELEKTRIK ITU!?" Kar
Anjeli sudah kembali ke kantor dan sekarang ia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruangannya. Dari jauh Anjeli dapat melihat banyak orang menunggu di depan lift membuatnya sedikit menghela napas. "Apa aku harus berdesakan di dalam lift?" keluh Anjeli. "Kenapa disaat seperti ini banyak orang yang ingin naik lift, sih?" Begitu tiba saatnya Anjeli masuk ke dalam, seseorang membuat kakinya berhenti melangkah. Tatapan pria itu membuat Anjeli diam layaknya patung, hingga pria yang tak lain adalah bosnya itu tersenyum lebih dulu kepadanya. "Apa kau tidak akan masuk?" tanyanya. "Eh?" Anjeli linglung beberapa saat. "Selamat siang, Pak." Anjeli sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum kecil. "Silakan anda masuk lebih dulu." "An—" Ghatan seakan ingin menarik tangan Anjeli dan mengajaknya berbicara, tetapi tiba-tiba banyak pegawai datang dan masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dalam sekejap para pegawai itu memenuhi ruang lift. Jarak jauh diantara dirinya dengan Anjeli membua
Anjeli menatap datar ponselnya, lantas ia memasukannya ke dalam saku celana. Setelah Pak Hans datang membawakan makanan untuknya, Anjeli mendapat pesan dari Ghatan tetapi ia tak berniat membalasnya. Semua orang tampak bingung mengapa bosnya itu hanya memberi makanan kepada satu karyawannya saja, dan itu adalah karyawan baru dibandingkan dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja di perusahaan ini. Sophia menatap paper bag yang Anjeli pegang, lalu ia menatap Pak Hans dengan sedikit kerutan di dahinya. "Sebenarnya aku penasaran tentang pertunangan pak Ghatan dengan putri CEO Perusahaan TK itu," kata Sophia terus mendekati Pak Hans. "Kapan mereka akan melakukan pesta pertunangannya?" Pak Hans diam tak langsung menjawab. Namun ketika mulutnya sudah terbuka akan menjawab pertanyaan itu, Leon yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sedikit berseru membuat semua pasang mata beralih ke arahnya. "Wah, bagaimana bisa semua artikel tentang pertunangan itu hilang semuanya?" Leon mendec
Ghatan menggendong Anjeli yang tak sadarkan diri untuk dipindahkan ke tempat tidur. Baru saja beberapa langkah Anjeli membuatnya sedikit resah, dalam keadaan mabuk Anjeli meraba dadanya dan terus melenguh. "Ngh, k-kau..." Ghatan berhasil membaringkan Anjeli di kasur dan menyelimuti istrinya itu, tetapi usahanya sia-sia karena Anjeli menyibaknya dengan kasar. "Ugh ... panas!" Anjeli menggumam, keningnya dipenuhi oleh keringat. "Kenapa kau minum banyak sekali, sih?" Ghatan sedikit kesal mengingat isi botol alkohol tersisa setengahnya lagi. "Jika kau sudah tahu tentang pertunangan itu kenapa tidak marah padaku?" tanya Ghatan frustrasi. "Lebih baik kau marah padaku daripada bersikap seperti ini, An." Ghatan duduk di pinggir kasur, memandangi wajah penuh keringat itu. Tangannya menjulur lalu mengusap keringat di pelipis Anjeli, perlahan ia usap lembut surai legam itu. Ghatan terus memerhatikan wajah Anjeli, tanpa merasa bosan ia usap surai itu dengan penuh perasaan. Namun kala
Ghatan pulang ke apartemen dengan panik, begitu masuk ke dalam hal pertama yang dicari adalah keberadaan Anjeli dan sedikit tenang saat melihat Anjeli sedang menonton tv. Dia bernapas lega, memandang lurus punggung itu. Perlahan Ghatan mendekati Anjeli. Duduk di samping Anjeli, meraih tangan Anjeli lalu menggenggamnya. Anjeli tidak merespon, bahkan kedua matanya lurus ke depan tak menoleh ke arah Ghatan. Dia pasrah setiap Ghatan melakukan apa pun kepadanya. Saat Anjeli merasa wajah Ghatan mendekati wajahnya, ia langsung menoleh dan bertanya, "Sudah pulang?" Sambil tersenyum seakan tidak ada berita yang terdengar ke telinganya. Ghatan menjauhkan wajahnya dan menatap Anjeli heran. "Aku ingin menghubungi mu tapi aku lupa menyimpan ponsel, jadi aku menunggumu di sini." Setelah mendengar laporan itu Ghatan merasa tenang. Rupanya Anjeli tidak melihat ponselnya, berarti berita pertunangannya dengan Karina belum Anjeli ketahui. Ghatan tahu Gama menyebar berita pertunangan itu. Men
"Aku mencintaimu, An." Bayang-bayang wajah Ghatan dan suaranya terngiang di kepala Anjeli. Ungkapan cintanya beberapa waktu lalu pupus begitu saja, seolah hanya sebuah kalimat penenang bagi Anjeli di saat itu. Setelah mendapat kabar bahwa Ghatan akan bertunangan dengan putri pemilik perusahaan TK, semua harapan Anjeli terhadap Ghatan pupus sudah. Anjeli menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tatapan kosongnya lurus ke depan, perasaannya tak dimengerti sampai-sampai Anjeli tak tahu harus berekspresi seperti apa. "Hah...." Anjeli menaruh ponselnya begitu saja di sofa dan beranjak dari sofa pergi menuju kamar. "Sepertinya aku harus mencari udara segar," gumamnya setelah memakai mantel lantas pergi keluar apartemen. Langkahnya terlihat gontai, tatapannya kosong layaknya orang tak memiliki tujuan hidup. Anjeli terus menunduk selama perjalanan keluar dari apartemen. "Hah, sial...." Entah sudah berapa kali Anjeli menghela napasnya. Saat pintu lift terbuka kepalanya tera
Pergi ke toilet adalah alasan Karina agar ia bisa mengejar Ghatan. Rupanya Ghatan pun bukan pergi ke toilet, pria itu berbelok ke arah tangga menunju rooftop. Karina tak memanggilnya, ia mengikuti Ghatan dari belakang dan melihat pria itu berhenti di pagar pembatas. Perlahan Karina mendekati Ghatan. "Kenapa anda mengikuti saya?" Suara dingin Ghatan terdengar sebelum Karina sampai di sampingnya. Pria itu mengatakan hal tersebut tanpa membalikan tubuh seakan tahu jika Karina sudah mengikutinya sejak tadi. "Saya menolak pertunangan itu." Karina tersenyum. Sekarang dia sudah berdiri di samping Ghatan sembari menikmati pemandangan kota di malam hari. Angin yang cukup kencang mengombang-ambing rambutnya. Tak menghiraukan perkataan Ghatan perihal pertunangan, justru Karina lebih tertarik memerhatikan ekspresi wajah itu. Raut wajah yang tak bisa menyembunyikan sebanyak apa masalah yang sedang dipikirkan, Ghatan terlalu ketara menunjukkannya. "Bagaimana kalau kau menyetujuinya untuk
Cekrek! Ghatan menoleh dengan cepat ke arah suara kamera yang didengarnya. Menyadari itu Anjeli menatap Ghatan bingung, ia mengernyitkan kening dan ikut mengarahkan pandangan kemana arah mata Ghatan. "Ada apa?" tanya Anjeli setelah memastikan bahwa tidak ada hal aneh di sana. "Apa ada sesuatu? Atau kau ingin kembali ke ruangan tuan Prajanata?" Ghatan diam sejenak, mata datarnya menatap Anjeli beberapa detik sampai Anjeli merasa suhu disekitarnya sedikit panas. Kala Anjeli mulai salah tingkah ia baru membuka mulutnya. "Tidak ada, sekarang kau pulanglah tanpaku." "Baiklah," jawabnya tanpa bertanya mengapa Ghatan tak pergi bersamanya. Ketika Anjeli akan melangkah, kakinya kembali terhenti karena melihat Ghatan hanya diam sembari memperhatikannya. "Kenapa kau diam?" "Aku akan menyusul mu nanti," jawab Ghatan. "Jangan pergi kemanapun, kau harus tetap di rumah." Mendengar itu Anjeli sedikit kesal. "Baiklah," sahutnya setengah hati. Lantas ia pergi tanpa berpamitan pada Ghatan. R