"Hm?" Anjeli mengernyitkan keningnya begitu menyadari sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu di wajahku," katanya seraya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Anjeli mengangkat ponselnya dan menatap wajahnya di sana, berlagak seakan tengah menyingkirkan sesuatu dari wajahnya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia pastikan, semenjak keluar dari kantor akan menemui Bas, Anjeli merasa ada yang mengikutinya. "Ternyata ada sesuatu di mataku, pantas saja seperti ada yang menghalangi pandanganku." Anjeli sengaja menabrak orang yang baru saja keluar dari toko pakaian. "Maaf-maaf ... aku akan lebih berhati-hati." Anjeli menoleh ke belakang dan sesuai dugaannya, orang yang mengikutinya tampak bersembunyi dan ini kesempatan Anjeli untuk menghilangkan jejak. Ia memutuskan untuk masuk ke toko pakaian, mengambil baju dan topi lantas mengganti pakaiannya. Setelah Anjeli mengganti pakaian, orang itu tampak kebingungan dan tak lagi mengikutinya. "Siapa orang itu?" ujar Anjeli bertanya-tanya.
Brak! Pintu ruangan Presdir GP Property dibuka dengan keras membuat sang pemilik ruangan spontan mengangkat kepala, kening yang berkerut menandakan ia marah dan tak terima dengan sikap lancang karyawannya. "Ada apa ini?" tanyanya dengan nada dingin, memandang tajam sang karyawan seakan siap memecatnya sekarang juga. Seolah tidak peduli dengan tatapan itu, karyawan yang berhasil menerobos masuk ke dalam ruangan Presdir meskipun sudah ditahan berakhir berdiri tepat di depan meja kebesaran bosnya. "Pak, apa maksud dari semua ini?" tanyanya seraya menyimpan secarik kertas di atas meja. "Apa bapak ingin mempermainkan saya di sini, dengan memotong setengah gaji saya untuk membayar utang orang tua saya?" Pak Presdir—Gama langsung mengalihkan pandangan ke sembarang arah. "Hm, tanyakan langsung pada pimpinan, saya tidak tahu apa-apa." "Pak!" Anjeli sudah menahan rasa kesalnya sejak tadi. "Bagaimana bisa saya percaya pada ucapan bapak? Sementara ini pimpinan sedang terbaring di rumah s
"Ayo kita menikah." Lagi-lagi kata 'menikah' keluar dari mulut Ghatan setelah ia dengan halus mengusir Sena dan menyuruhnya pergi tanpa membawa map rincian utang keluarga Anjeli. Sekarang hanya ada Ghatan dan Anjeli di sini, di sebuah kafe tak jauh dari kantor. "Apa maksudnya?" tanya Anjeli tak mengerti, memandang wajah tenang Ghatan yang terdengar santai mengajaknya mengikat janji suci. "Anda bilang apa tadi?" Tidak banyak yang Anjeli ketahui tentang cucu pimpinan Prajanata yang nantinya akan mewarisi perusahaan GP Property. Yang Anjeli tahu pasti, 32 tahunnya dihabiskan untuk menjadi pemilik GP Property. Sebagai putra tunggal, beban yang ditanggungnya memanglah sangat berat. Hanya dia satu-satunya penerus GP Property. Karena itulah, mau tidak mau dia dididik dengan keras. Tak heran ia tumbuh menjadi orang yang tidak bisa membuka hati dan menunjukkan perasaannya kepada orang lain. Ada alasan kenapa Anjeli berpikir seperti itu, karena sudah keempat kalinya ia membatalkan perjod
"Tu-tuan muda! Ini tidak seperti yang anda lihat." Ibu—Eva segera mengatupkan kedua tangannya setelah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Ghatan. "Ayah, cepat minta maaf kepada tuan muda!" seru Eva panik kepada suaminya, ia memaksa sang suami untuk ikut mengatupkan kedua tangannya. "Maafkan kami tuan muda, kami tidak bermaksud seperti ini. Karena dia kami harus kehilangan rumah. Tolong kami tuan muda." Eva terus memohon kepada Ghatan yang hanya diam saja. Melihat kedua orang tuanya memohon seperti itu kepada Ghatan, hati Anjeli hancur. Gejolak panas muncul di dadanya kala Eva dan Yuan mulai menunduk di hadapan Ghatan. "Ibu! Ayah! Jangan melakukan itu!" Anjeli berusaha untuk menarik mereka agar berdiri. "Ibu dan Ayah boleh memukuliku, asal kalian berdua bangun! Huhuhu, aku mohon...." Eva menepis tangan Anjeli kasar, bahkan dengan tega ia mendorong anaknya. Sebelum hal buruk kembali terjadi pada Anjeli, Ghatan memerintah pengawalnya untuk menahan Eva yang hendak mendekati Anjeli
Anjeli terus menatap Ghatan menunggu jawabannya. Begitupun Ghatan, pria itu terus menatap Anjeli seolah akan memberikan jawaban yang jelas. Namun ditunggu seberapa lama pun, Anjeli tak kunjung mendengar suara itu. Anjeli mendecak, ia orang pertama yang memutus kontak mata. Wajah frustrasinya tak dapat disembunyikan seiring air matanya kembali menetes, teringat pada ucapan orang tuanya yang tak pernah terbesit sekalipun dalam pikiran Anjeli. "Hah ... kenapa ibu dan ayah begitu tega?" Tangannya dengan keras mengusap air mata yang terus mengalir. "Rasanya seperti jutaan belati menusuk jantungku, lebih baik aku mati daripada harus menikah denganmu." "Huh? Kau tidak tahu kalau orang tuamu menandatangani kontrak denganku demi utang-utang mereka lunas," ujar Ghatan memberitahu yang sebenarnya kepada Anjeli. "Dan lagi mereka menyetujui syarat yang tertulis dalam kontrak tersebut." "Apa kau bilang?" Anjeli tak habis pikir, dia tidak memercayai ucapan pria ini sepenuhnya. "Apa syarat kontrak
"Syarat?" beo Anjeli dengan dahi berkerut dalam, ia menatap Ghatan penuh pertanyaan. Ghatan mengangguk. "Ya, syarat yang harus kau patuhi," ucapnya seraya menatap Anjeli. Namun beberapa saat kemudian Ghatan membelakangi Anjeli. "Ah, apa mungkin lebih tepat jika disebut aturan?" Merasa jika Ghatan sedang bertele-tele, Anjeli mendecak kesal. "Cepat katakan." "Setelah menikah kita tidak boleh tidur bersama—" "Apa!?" seru Anjeli menginterupsi kalimat yang hendak Ghatan katakan, bahkan pria itu termenung beberapa saat karena Anjeli yang begitu terkejut. Sebelah alisnya terangkat. "Kenapa respon mu seperti itu? Jangan-jangan kau ingin tidur—" "Argh!" Lagi-lagi Anjeli memotong ucapan Ghatan, wanita itu mendorong Ghatan agar keluar dari kamarnya. "Kenapa kita tidak bicara setelah aku pakai baju?" tanya Anjeli dan berhasil mengeluarkan Ghatan dari kamarnya, tetapi ketika Anjeli sudah menutup pintu ia membukanya kembali. "Dan satu lagi, aku tidak akan mematuhi aturan jika tidak disetuj
Entah apa yang Ghatan pikirkan hingga dengan mudah ia menyerang Anjeli seperti ini. Mencumbu setiap inci wajah Anjeli, mengendus nafsu aroma tubuh Anjeli yang memabukkan. Hingga akhirnya ia berhenti melakukan aksi diluar kendalinya kala merasakan cakaran pada lehernya. "Hei!" Napas Anjeli terengah-engah, dalam sekejap bajunya berantakan akibat ulah Ghatan. "Apa kau gila!?" bentaknya, tak dapat dipungkiri jika sikap Ghatan membuatnya marah. "Apa kau memang selalu mempermainkan wanita seperti ini?" Ghatan terdiam, tak membalas ucapan Anjeli. Ia termenung beberapa saat hingga akhirnya pandangannya teralihkan ke sembarang arah. "Kenapa tidak menjawabku?" Anjeli melempar satu pertanyaan lagi, sontak Ghatan mengalihkan pandangannya ke arah Anjeli. Pria itu mengusap bibirnya dengan ibu jari, tatapan tajamnya seolah tak ingin mengakui kesalahannya. "Hah, apa kau sedang mengancam ku sekarang?" Dia mendengus. "Apa kau tidak peduli jika keluargamu dalam bahaya?" tanya Ghatan, tetapi terde
Lagi-lagi tidak ada suara ibu yang membangunkannya pagi ini, rasanya masih sama seperti pagi kemarin. Begitu membuka mata, Anjeli hanya bisa menghela napas. "Ah, hari ini aku harus mulai bekerja." Anjeli mengusap rambutnya ke belakang. Ia baru ingat jika hari ini adalah hari Senin dan hari pertamanya bekerja di perusahaan Ghatan, anak perusahaan GP Property. "Hari ini dia pasti bekerja juga, apa sudah berangkat ya?" Namun kala Anjeli keluar dari kamarnya, ia mendengar sesuatu dari arah dapur. Begitu sampai di dapur, hal pertama yang ia lihat adalah punggung Ghatan. Anjeli mengernyit, jari-jemarinya spontan merapikan rambut yang sedikit berantakan. "Pak?" ucap Anjeli. Tepat saat itu juga Ghatan menolehkan kepala dan berjalan ke arah meja seraya membawa sepiring roti panggang dan segelas susu putih. "Sudah bangun?" tanya Ghatan tanpa menatap Anjeli, ia masih sibuk sendiri. "Ya..." jawab Anjeli seadanya. Dia cukup bingung sekarang, bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya se
"Hm?" Anjeli mengernyitkan keningnya begitu menyadari sesuatu. "Sepertinya ada sesuatu di wajahku," katanya seraya mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi kamera. Anjeli mengangkat ponselnya dan menatap wajahnya di sana, berlagak seakan tengah menyingkirkan sesuatu dari wajahnya. Padahal ada sesuatu yang ingin ia pastikan, semenjak keluar dari kantor akan menemui Bas, Anjeli merasa ada yang mengikutinya. "Ternyata ada sesuatu di mataku, pantas saja seperti ada yang menghalangi pandanganku." Anjeli sengaja menabrak orang yang baru saja keluar dari toko pakaian. "Maaf-maaf ... aku akan lebih berhati-hati." Anjeli menoleh ke belakang dan sesuai dugaannya, orang yang mengikutinya tampak bersembunyi dan ini kesempatan Anjeli untuk menghilangkan jejak. Ia memutuskan untuk masuk ke toko pakaian, mengambil baju dan topi lantas mengganti pakaiannya. Setelah Anjeli mengganti pakaian, orang itu tampak kebingungan dan tak lagi mengikutinya. "Siapa orang itu?" ujar Anjeli bertanya-tanya.
"Apa-apaan penampilanmu ini?" Suara kencang sang ayah membuat wanita yang kini tengah duduk di sofa itu memejamkan matanya. Ekspresinya seolah tak peduli pada respon sang ayah mengenai dirinya. "Jangan coba-coba untuk berontak, Karina." Karina memutar bola matanya malas. Dengan penampilan yang berubah 180 derajat, tentu saja membuat Tama terkejut dan tak terima. Putri yang selalu ia banggakan kini berani membangkangnya, melawan setiap ucapannya, dan bersikap tidak sopan. Jaket kulit berwarna hitam yang Karina pakai seakan membuat mata Tama sakit. Ditambah celana jeans ketat menambah kesan tomboy pada karakter Karina yang awalnya anggun bak putri kerajaan. "Kemana pakaian pink-pink mu itu, Karina?" tanya Tama dengan kedua tangan disimpan di sisi pinggangnya. "Apa kau ingin menjadi bahan perbincangan orang-orang di kantor ini?" Karina menghela napas, lantas mengeluarkan sesuatu dan berhasil meningkatkan emosi Tama saat ini juga. "KARINA! DARI MANA ROKOK ELEKTRIK ITU!?" Kar
Anjeli sudah kembali ke kantor dan sekarang ia berjalan menuju lift untuk pergi ke ruangannya. Dari jauh Anjeli dapat melihat banyak orang menunggu di depan lift membuatnya sedikit menghela napas. "Apa aku harus berdesakan di dalam lift?" keluh Anjeli. "Kenapa disaat seperti ini banyak orang yang ingin naik lift, sih?" Begitu tiba saatnya Anjeli masuk ke dalam, seseorang membuat kakinya berhenti melangkah. Tatapan pria itu membuat Anjeli diam layaknya patung, hingga pria yang tak lain adalah bosnya itu tersenyum lebih dulu kepadanya. "Apa kau tidak akan masuk?" tanyanya. "Eh?" Anjeli linglung beberapa saat. "Selamat siang, Pak." Anjeli sedikit membungkukkan tubuhnya dan tersenyum kecil. "Silakan anda masuk lebih dulu." "An—" Ghatan seakan ingin menarik tangan Anjeli dan mengajaknya berbicara, tetapi tiba-tiba banyak pegawai datang dan masuk ke dalam lift dengan terburu-buru. Dalam sekejap para pegawai itu memenuhi ruang lift. Jarak jauh diantara dirinya dengan Anjeli membua
Anjeli menatap datar ponselnya, lantas ia memasukannya ke dalam saku celana. Setelah Pak Hans datang membawakan makanan untuknya, Anjeli mendapat pesan dari Ghatan tetapi ia tak berniat membalasnya. Semua orang tampak bingung mengapa bosnya itu hanya memberi makanan kepada satu karyawannya saja, dan itu adalah karyawan baru dibandingkan dengan karyawan lain yang sudah lama bekerja di perusahaan ini. Sophia menatap paper bag yang Anjeli pegang, lalu ia menatap Pak Hans dengan sedikit kerutan di dahinya. "Sebenarnya aku penasaran tentang pertunangan pak Ghatan dengan putri CEO Perusahaan TK itu," kata Sophia terus mendekati Pak Hans. "Kapan mereka akan melakukan pesta pertunangannya?" Pak Hans diam tak langsung menjawab. Namun ketika mulutnya sudah terbuka akan menjawab pertanyaan itu, Leon yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sedikit berseru membuat semua pasang mata beralih ke arahnya. "Wah, bagaimana bisa semua artikel tentang pertunangan itu hilang semuanya?" Leon mendec
Ghatan menggendong Anjeli yang tak sadarkan diri untuk dipindahkan ke tempat tidur. Baru saja beberapa langkah Anjeli membuatnya sedikit resah, dalam keadaan mabuk Anjeli meraba dadanya dan terus melenguh. "Ngh, k-kau..." Ghatan berhasil membaringkan Anjeli di kasur dan menyelimuti istrinya itu, tetapi usahanya sia-sia karena Anjeli menyibaknya dengan kasar. "Ugh ... panas!" Anjeli menggumam, keningnya dipenuhi oleh keringat. "Kenapa kau minum banyak sekali, sih?" Ghatan sedikit kesal mengingat isi botol alkohol tersisa setengahnya lagi. "Jika kau sudah tahu tentang pertunangan itu kenapa tidak marah padaku?" tanya Ghatan frustrasi. "Lebih baik kau marah padaku daripada bersikap seperti ini, An." Ghatan duduk di pinggir kasur, memandangi wajah penuh keringat itu. Tangannya menjulur lalu mengusap keringat di pelipis Anjeli, perlahan ia usap lembut surai legam itu. Ghatan terus memerhatikan wajah Anjeli, tanpa merasa bosan ia usap surai itu dengan penuh perasaan. Namun kala
Ghatan pulang ke apartemen dengan panik, begitu masuk ke dalam hal pertama yang dicari adalah keberadaan Anjeli dan sedikit tenang saat melihat Anjeli sedang menonton tv. Dia bernapas lega, memandang lurus punggung itu. Perlahan Ghatan mendekati Anjeli. Duduk di samping Anjeli, meraih tangan Anjeli lalu menggenggamnya. Anjeli tidak merespon, bahkan kedua matanya lurus ke depan tak menoleh ke arah Ghatan. Dia pasrah setiap Ghatan melakukan apa pun kepadanya. Saat Anjeli merasa wajah Ghatan mendekati wajahnya, ia langsung menoleh dan bertanya, "Sudah pulang?" Sambil tersenyum seakan tidak ada berita yang terdengar ke telinganya. Ghatan menjauhkan wajahnya dan menatap Anjeli heran. "Aku ingin menghubungi mu tapi aku lupa menyimpan ponsel, jadi aku menunggumu di sini." Setelah mendengar laporan itu Ghatan merasa tenang. Rupanya Anjeli tidak melihat ponselnya, berarti berita pertunangannya dengan Karina belum Anjeli ketahui. Ghatan tahu Gama menyebar berita pertunangan itu. Men
"Aku mencintaimu, An." Bayang-bayang wajah Ghatan dan suaranya terngiang di kepala Anjeli. Ungkapan cintanya beberapa waktu lalu pupus begitu saja, seolah hanya sebuah kalimat penenang bagi Anjeli di saat itu. Setelah mendapat kabar bahwa Ghatan akan bertunangan dengan putri pemilik perusahaan TK, semua harapan Anjeli terhadap Ghatan pupus sudah. Anjeli menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tatapan kosongnya lurus ke depan, perasaannya tak dimengerti sampai-sampai Anjeli tak tahu harus berekspresi seperti apa. "Hah...." Anjeli menaruh ponselnya begitu saja di sofa dan beranjak dari sofa pergi menuju kamar. "Sepertinya aku harus mencari udara segar," gumamnya setelah memakai mantel lantas pergi keluar apartemen. Langkahnya terlihat gontai, tatapannya kosong layaknya orang tak memiliki tujuan hidup. Anjeli terus menunduk selama perjalanan keluar dari apartemen. "Hah, sial...." Entah sudah berapa kali Anjeli menghela napasnya. Saat pintu lift terbuka kepalanya tera
Pergi ke toilet adalah alasan Karina agar ia bisa mengejar Ghatan. Rupanya Ghatan pun bukan pergi ke toilet, pria itu berbelok ke arah tangga menunju rooftop. Karina tak memanggilnya, ia mengikuti Ghatan dari belakang dan melihat pria itu berhenti di pagar pembatas. Perlahan Karina mendekati Ghatan. "Kenapa anda mengikuti saya?" Suara dingin Ghatan terdengar sebelum Karina sampai di sampingnya. Pria itu mengatakan hal tersebut tanpa membalikan tubuh seakan tahu jika Karina sudah mengikutinya sejak tadi. "Saya menolak pertunangan itu." Karina tersenyum. Sekarang dia sudah berdiri di samping Ghatan sembari menikmati pemandangan kota di malam hari. Angin yang cukup kencang mengombang-ambing rambutnya. Tak menghiraukan perkataan Ghatan perihal pertunangan, justru Karina lebih tertarik memerhatikan ekspresi wajah itu. Raut wajah yang tak bisa menyembunyikan sebanyak apa masalah yang sedang dipikirkan, Ghatan terlalu ketara menunjukkannya. "Bagaimana kalau kau menyetujuinya untuk
Cekrek! Ghatan menoleh dengan cepat ke arah suara kamera yang didengarnya. Menyadari itu Anjeli menatap Ghatan bingung, ia mengernyitkan kening dan ikut mengarahkan pandangan kemana arah mata Ghatan. "Ada apa?" tanya Anjeli setelah memastikan bahwa tidak ada hal aneh di sana. "Apa ada sesuatu? Atau kau ingin kembali ke ruangan tuan Prajanata?" Ghatan diam sejenak, mata datarnya menatap Anjeli beberapa detik sampai Anjeli merasa suhu disekitarnya sedikit panas. Kala Anjeli mulai salah tingkah ia baru membuka mulutnya. "Tidak ada, sekarang kau pulanglah tanpaku." "Baiklah," jawabnya tanpa bertanya mengapa Ghatan tak pergi bersamanya. Ketika Anjeli akan melangkah, kakinya kembali terhenti karena melihat Ghatan hanya diam sembari memperhatikannya. "Kenapa kau diam?" "Aku akan menyusul mu nanti," jawab Ghatan. "Jangan pergi kemanapun, kau harus tetap di rumah." Mendengar itu Anjeli sedikit kesal. "Baiklah," sahutnya setengah hati. Lantas ia pergi tanpa berpamitan pada Ghatan. R