Pagi harinya, Istana Kadipaten Dinang menjadi gempar. Bagaimana tidak, ratusan penjaga Istana terbantai tadi malam, dan tidak ada satupun dari mereka yang selamat.Kabar itu tersebar hingga ke segala sudut kadipaten Dinang, menciptakan ketegangan di kalangan warga yang tinggal di sana.Beberapa prajurit Kadipaten Dinang merasa ini adalah ulah Penjaga Dunia, tapi kemudian prajurit yang lain membantah ucapan temannya.Tidak mungkin Penjaga Dunia menyerang Kadipaten Dinang, mengingat hubungan baik antara Kelelawar Hitam alias Pimpinan Bulan Merah menjalin hubungan dengan Penjaga Dunia.Lagipula, tidak ada untungnya menyerang Kadipaten ini, jika memang Penjaga Dunia yang melakukannya.“Kurang ajar! Siapa yang berani mengacau di istanaku?” Sisadano begitu geram saat ini, dia menarik golok besar berwarna merah tua, lalu mengayunkan senjata itu pada meja besar di depannya.Boom.Meja itu terbelah menjadi dua bagian.“Kelompok mana yang berani menginjak kehormatanku sebagai Adipati di Kadipat
Rawai Tingkis berjalan dengan tenang setelah menutup pintu Istana. Diluar maupun di dalam, tidak ada yang tahu jika dia telah berada di dalam markas musuh.Sebuah Istana yang cukup besar, akan banyak orang yang akan dihadapi oleh pemuda itu, tapi Rawai Tingkis tidak peduli.Dia berjalan dari satu ruangan ke ruangan lain, dengan pedang yang terus menebas ke segala arah.Rawai Tingkis tidak peduli, jika lantai bersih telah ternoda darah merah.“Penyusup!” salah satu prajurit di dalam Istana berteriak, tapi tidak lama setelah itu, Rawai Tingkis merenggut nyawanya.Beberapa teman dari prajurit itu rupanya sempat mendengar teriakan, jadi mereka datang secara berbondong-bondong.Rawai Tingkis sengaja mencari tempat yang lebih luas dari hanya sekedar lorong saja.“Sekarang kau tidak bisa lari kemanapun Penyusup!”“Siapa yang ingin lari?” tanya Rawai Tingkis, “Jika aku ingin pergi, aku sudah melakukannya sejak tadi malam, tapi aku malah mendatangi kediaman kalian.”“Ta …tadi malam?”“Ja… jang
Puluhan orang tiba-tiba masuk dari pintu yang telah dirusak oleh Rawai Tingkis, diantara mereka Sisadano berada paling depan, tapi kala dia melihat tubuh Garantong, pria itu langsung tertawa terbahak-bahak.“Setan alas, apa yang kau tawakan, pria tua bau bangkai?”“Perkututmu …” ucap Sisadano, tidak bisa menahan tawanya meski dia tahu ada Rawai Tingkis di dalam ruangan tersebut, “benda kecil itu yang kau bangga-banggakan? Hanya sebesar ini …” Sisadano mengangkat jari kelingkingnya.Prajurit yang lain mengembungkan pipi, karena menahan tawa melihat barang kesayangan milik Gantarong.Pantaslah saja sejak tadi, Rawai Tingkis tertawa gelak-gelak saat melihat tubuh Gantarong.“Diam kalian semua!” bentak Gantarong. “Aku akan membunuh siapapapun yang berani menertawakanku!”Di antara semua orang, Rawai Tingkis dan Sisadano lah yang tidak berhenti tertawa saat ini, dan ini membuat Gantarong semakin geram.Dengan tidak peduli lagi pada barang kecil miliknya, Sisadano menarik tangannya di sampi
Gantarong pada akhirnya memutuskan untuk menyerang Rawai Tingkis lebih dahulu. Sementara itu, Sisadano masih memperhatikan kekuatan Rawai Tingkis saat ini.Sisadano yang merasa Rawai Tingkis memiliki kekuatan di atas rata-rata, menganggap pemuda itu lawan yang cukup kuat, jadi dia ingin memastikan dugaanya salah.Namun, Sisadano seketika langsung terkejut. Bagaimana tidak, semua serangan yang dilakukan oleh Gantarong dapat diantisipasi dengan sangat baik.Pertukaran serangan yang terjadi diantara mereka berdua, sepertinya akan berakhir dengan Gantarong sebagai pihak yang kalah.Sebuah serangan kini bergerak cepat ke arah Rawai Tingkis. Tinju Gantarong yang memiliki tekanan begitu berat itu, mampu menumbangkan pohon besar yang ada di belakang Rawai Tingkis.“Pukulan yang keras!” Rawai Tingkis tersenyum kala dia berhasil mengelak dari serangan lawan, hanya dengan menarik wajahnya ke kiri, dan pukulan itu menghantam pohon.Merasa begitu kesal, Gantarong kembali melancarkan serangan berun
Gantarong berhasil berdiri dan menguasai dirinya kembali, tapi kini semua pakain yang dia rampasa dari salah satu prajurit kini telah terkoyak.Kantong menyan pria itu telah kembali terlihat, tapi kali ini dia tidak lagi peduli dengan baranya.Lagipula, Sisadano yang berada di sebelahnya juga tidak peduli dengan barang kecil lagi.Sekarang, mereka menghadapi musuh yang ternyata diluar dugaan. Kekuatan Rawai Tingkis benar-benar tidak terukur saat ini, dan Sisadano sepertinya lebih ingin menarik diri daripada meneruskan pertarungan ini.Namun, Gantarong tidak demikian, dia malah semakin marah dan emosi saat ini. Rawai Tingkis telah terlalu menghina dirinya.Daripada hidup dengan malu, sepertinya Gantarong lebih memilih mati saja.“Aku …aku tidak akan membiarkan dirimu hidup!”Wush.Gantarong menggunakan seluruh tenaganya saat ini, langsung melesat secepat suara ke arah Rawai Tingkis.Kepalan tinjunya mengandung tenaga pisik yang cukup besar, dan kini tinju itu bergerak ke arah Rawai Tin
Sisadano tidak memiliki cara lain untuk melarikan, pada akhirnya dia memutuskan untuk bertarung melawan Rawai Tingkis.Pria itu mulai memasang kuda-kuda, bersiap untuk menyerang musuhnya. Sementara itu, Rawai Tingkis menunjukan senyum tipis yang sinis, dengan pedang yang bersiap untuk menyambut serangan lawan.Sisadano lantas melakukan gerakan ke arah samping, berusaha mendekati Rawai Tingkis atau pula mencari celah untuk membunuh pemuda tersebut.Dia berlari di sekitar batang-batang pohon, lalu melempar benda apapun ke arah Rawai Tingkis.Dedaunan basah, ranting kering, dan kerikil kini menjadi senjatanya.Apakah dia pikir dengan benda-benda itu dapat menekan Rawai Tingkis? Tentu saja tidak.Mata Rawai Tingkis yang tajam dapat melihat semua benda yang bergerak cepat, jadi semua benda yang mengarah ke tubuhnya dapat dihindari dengan sangat baik.Tidak ingin menyerah begitu saja, Sisadano melompat ke atas dahan, dia sempat mengambil pohon sebesar lengan untuk dijadikan sebagai tombak.
Rawai Tingkis mengeluarkan aura suci pada saat yang sama pula, dia bergerak dengan kecepatan suara menuju dua lawannya.Ketika dia berada sekitar satu depa dari salah satu lawan, Rawai Tingkis mengayunkan pedangnya dengan aliran energi mistik yang kuat.Tidak, dua lawan itu tidak dapat bergerak saat ini. Tubuh mereka telah dikunci oleh aura suci, bahkan meskipun mereka bisa melepaskan diri dari pengaruh aura suci, mereka tidak akan sempat menghindari pedang gading cempaka dari jarak sedekat itu.“Sisadano, bertahan-“Ucapan Gantarong langsung terhenti, ketika matanya mendadak melihat sosok Rawai Tingkis telah berubah bentuk menjadi singa emas.Mata Gantarong tidak dapat berkedip, hanya terbelalak dengan mulut mengangaa lebar.Sementara itu, Sisadano yang berada sedikit di belakang Gantarong rupanya telah melihat singa ema situ tepat ketika Rawai Tingkis melepaskan aura sucinya.Ini membuat Sisadano benar-benar terpaku, dan sejenak dia tercerahkan, bahwa Rawai Tingkis bukanlah manusia
“Rawai Tingkis, warga meminta dirimu menjadi Adipati Dinang, bagaimana ini?” Rawas Kalat berkata ketika pemuda itu terjaga dari tidurnya.Masih mengucek dua mata yang tembelekan, Rawai Tingkis tidak begitu mendengar perkataan Rawas Kalat.“Hoi Rawai Tingkis, kau mendengarku?!”“Huammm, apa yang kau katakana?”“Warga berkumpul di halaman istana, menuntutmu untuk menjadi Adipati Medang!”“-A …Apa?” Rawai Tingkis terkejut, “Celaka! Cepat! Cepatlah!”Dia mengambur, langsung berdiri dan menyambar pedang gading cempaka, mengenakan jubahnya, dan mulai sibuk mencari beberapa benda yang mungkin dapat dia masukan ke dalam jubah tersebut.Rawas Kalat melihat tingkah Rawai Tingkis hanya bisa menggaruk kepalanya yang entah kenapa mendadak gatal.“Kita akan pergi,” ucap Rawai Tingkis.“Tunggu, apa yang kau katakana Rawai Tingkis?” Danur Jaya muncul di depan pemuda tersebut, lalau menarik kerah baju belakangnya. “Kau tidak bisa meninggalkan mereka begitu saja!”“Benar, kau benar …” Rawai Tingkis mon