Persetujuan Emma untuk ikut serta ke dalam petualangan yang Louis rencanakan secara mendadak membawa mereka ke Connacht setelah perjalanan darat dan laut yang melelahkan. Linus Wroldsen menyambut kedatangan Louis dengan kuning yang terang selagi menambahkan pelukan. Keduanya tampak begitu bersemangat setelah berpisah beberapa bulan saja dan beristirahat setelah kelelahan tuntutan kemiliteran. Buktinya pertukaran pelukan mereka belum terlepas hingga manik Linus menyadari kehadiran seseorang di balik kebahagiaan.Ia pun menarik tubuhnya untuk melepas pelukannya. Saat itu, Louis melihat kedua sudut-sudut bibir Linus terangkat perlahan. "Whoah, Wist. Jadi ini alasan di balik penolakanmu untuk undangan natal Desember nanti. Kau sudah memiliki seorang istri!" Louis terkekeh kencang, begitu pula hatinya yang tiba-tiba berseri kegirangan.Emma yang menjadi objek mencoba memadamkan kedua pipinya di bawah tekanan lelucon kedua tentara Britania itu. Ia berharap hanya segaris senyuman yang wajahn
Di sela-sela bisikan angin itu, senyuman Emma tercipta. Wajah seseorang pun muncul dalam kelapa. "Artur," gumamnya. "Dia anak laki-laki yang manis. Membuatku ingin memiliki seorang adik untuk dilindungi."Keheningan tiba setelah ucapan itu dan percakapan mereka sebelumnya telah terbang terbawa angin yang cukup kencang di atas tebing ini. Seperkian menit setelah membiarkan angin yang mendeklarasikan isi hatinya, Louis bertanya, "Apa yang kau tulis di sana?"Wanita itu menatap buku catatannya dan Louis secara bergantian sebelum menggeleng. "Bukan apa-apa." Lalu ia menutup sebuah halaman dengan cepat. "Hanya beberapa kisah tentang perjalanan kali ini." Kemudian jemarinya menarik beberapa helai rambut untuk disembunyikan di balik daun telinga."Bolehlah aku membacanya?" Emma terdiam sesaat sebelum mengatakan, "Sungguh, tak ada yang istimewa.""Hanya membacanya sedikit, Emma. Siapa tahu aku mendapatkan sedikit pengatahuan dari sana. Blighty Boys pernah berkata pengetahuan itu manis."Emma
Belum tepat sebulan Louis dan Emma sudah kembali Newcastle Upon Tyne karena undangan pesta ulang tahun dari Anthony Wistletone. Sebenarnya Emma sempat menolak ajakan Louis untuk menghadiri pesta karena dirinya merasa tidak enak dengan keluarga Wistletone sendiri terutama Richard Wistletone. Namun, Louis terus memaksanya dan akhirnya jelas Emma yang kalah. Ia hanya tidak siap untuk mengetahui berita hubungannya sudah didengar orang lain.Meninggalkan indahnya Connacht dengan cerita yang tersimpan di dalamnya, Ruenna membukakan pintu rumahnya lebar-lebar untuk salah satu sahabatnya itu agar ia bisa tinggal beberapa minggu lagi sebelum kembali ke asrama Wistletone's School. Ia sudah memutuskan untuk tak kembali ke Atherstone sampai libur Natal. Ia hanya tak ingin membuat orangtuanya kecewa.Maka ketika Rabu malam tiba, di mana beberapa kilat cahaya menembus pepohonan taman Wistletone hingga menampakkan bayangannya menempel di wajah awan, Louis dan Emma sudah dalam balutan pakaian pestany
Pasca diterima oleh Putri Anne untuk berdansa, Louis menyadarkan Ian dengan memberikan acungan jempol sehingga pria itu bisa menuntun Putri Anne ke lantai dansa. Hal serupa berlaku untuk Louis dan Emma. Mengikuti irama musik yang begitu sesuai dengan alam malam ini, tubuh mereka terbebas untuk melemparkan semua masalah dan kelelahan meskipun hanya sesaat. Pukul delapan malam semua tamu mulai berkumpul di sudut utara taman untuk menyaksikan peniupan lilin dan pemotongan kue setinggi lima puluh centimeter. Anthony sangat menyukai pesta. Tak heran jika ia menyiapkan hal-hal luar biasa dalam pestanya. Mempekerjakan kurang lebih tiga puluh pelayan hanya untuk mengurus hidangan dan sekitar dua puluh untuk dekorasi. Ia selalu memerhatikan hal-hal kecil dalam pestanya, terutama roti ulang tahun yang ada di atas meja. Bahkan hanya untuk meniup lilin pun, ia mengganti setelan jasnya sehingga para tamu harus menunggunya kembali ke atmosfer pesta. Beberapa langkah lagi Anthony akan meraih kerumu
Dedaunan berguguran dengan deras layaknya sekawanan air di Jesmond Dene yang mulai bermanipulasi. Detik demi detik bergulir untuk mengubah jam, hari, hingga bulan. Buliran-buliran salju pun mulai berjatuhan tak begitu deras mengubah warna-warni Newcastle menjadi putih. Lalu lagu-lagu kebahagiaan natal dinyanyikan. Pria-pria memakai janggut putih mereka. Doa-doa tak berhenti terlontar mengisi setiap ruang gereja. Saat itulah merah dan hijau hadir menemani putih yang tak bernoda. Mereka yang bersyukur masih bernafas pun, merasakan kebahagiaan yang mengisi penuh hati mereka hingga hampir meledak. Terlebih setelah kepulangan dari gereja dan kotak-kotak hadiah sudah menanti di bawah pohon cemara yang berdiri tegak di ruang keluarga. Kehangatan perapian pun, rasanya dikalahkan atmosfer yang mereka ciptakan. Atmosfer yang akan membawa mereka pulang.Sebuah kotak agak besar berwarna hijau polos berada tepat di bawah kaki seseorang. Saat itulah ia meraihnya secepat kilat dan berkata, "Ini puny
Di lantai atas, tepatnya di perpustakaan kediaman Wistletone, Louis dan Anthony berhenti karena mendengar tangisan seseorang. Pintunya tertutup tapi mereka mencoba mengintip dari celah bawah pintu. Yang mereka lihat hanyalah sepasang kaki seseorang yang duduk di atas sofa dan lainnya bersimpuh di hadapannya. Kemudian mereka bertukar tanda tanya. Tak ada yang mampu mengungkap siapa hingga Louis memutuskan untuk masuk ke kamarnya mengambil hadiah untuk saudara dan orang tuanya—begitu pula Anthony.Ketika keduanya mencoba menuruni tangga menuju ruang keluarga, suara dari balik pintu perpustakaan bertambah. Sepasang alis mereka yang mengernyit akhirnya mendorong keduanya untuk mengetuk pintu dan jelas dipersilahkan masuk.Di sana, Fantine Wistletone masih terduduk di atas sofa utama perpustakaan di antara rak-rak yang dipenuhi buku. Sedangkan Virginia dan Celestine bersimpuh di atas karpet merah berajut rapih sebagai alas di atas lantai. Keduanya menangis, entah mengapa. Itu pun menjadi a
Malam itu empat pemuda Newcastle belum mengetuk pintu rumah masing-masing setelah jam sembilan berlalu. Mereka masih di jalanan menyanyikan lagu kebangsaan Inggris dengan sebotol bir di tangan. Tidak, bukan teh kali ini. Dan mereka berpikir itu pantas untuk diteguk di malam akhir bulan Januari.Menyisir trotoar Newcastle dengan sisa orang yang tak terlalu banyak, mereka bahkan tak tahu ke mana kaki akan membawa. Sedangkan beberapa pejalan kaki lainnya merasa terganggu. Tak lagi, ketika salah satu dari mereka menghentikkan langkah membuat tiga sisanya mengikuti."Apa-apaan kau berhenti sembarangan, Pete!" pekik Dan agak kesal karena pemberhentiannya yang tak mulus sehingga pipinya terhantam tengkorak belakang Pete.Pria itu berbalik. Melemparkan pandangnya bukan untuk Dan melainkan Louis yang berdiri paling belakang. "Bukankah itu Emma, Lou?" tanyanya sehingga Louis menyipitkan matanya sebelum bertepuk tangan sekali. "Benar!" pekiknya."Apa yang sedang dilakukannya malam-malam seperti
Hanya satu koper yang mengisi bagasi mobil. Namun, semua senyum dibawanya. Sekiranya akan sesak keadaan Newcastle Central pagi ini hanya karena kehadiran satu keluarga yang diakui dengan kebijaksanaannya—meskipun tak selalu demikian. Tak ada orang asing di dalam mobil. Hanya dipenuhi orang-orang yang memiliki DNA serupa. Itu cukup menarik lembut kedua sudut bibir Louis ketika maniknya menyaksikan senyuman mereka yang akan meninggali hatinya. Bahkan, kenangan pagi ini tak bisa dilupakannya. Terdorongnya tubuh Judith Hope untuk memeluk pria itu dalam balutan jas yang sama seperti empat tahun silam, embun tenggelam dalam pandangannya. Louis tak menyangka jika perpisahan bisa begitu berat untuk dilalui meskipun hanya sementara sifatnya. Dan salam perpisahan dari Judith Hope, masih digenggam hatinya.Empat rodanya melambat dan berhenti tepat di parkiran yang cukup luas. Situasinya tak begitu ramai. Namun, hati Louis sudah sesak karena emosi. Bahkan Anthony harus menuntun pria itu keluar da