Belum tepat sebulan Louis dan Emma sudah kembali Newcastle Upon Tyne karena undangan pesta ulang tahun dari Anthony Wistletone. Sebenarnya Emma sempat menolak ajakan Louis untuk menghadiri pesta karena dirinya merasa tidak enak dengan keluarga Wistletone sendiri terutama Richard Wistletone. Namun, Louis terus memaksanya dan akhirnya jelas Emma yang kalah. Ia hanya tidak siap untuk mengetahui berita hubungannya sudah didengar orang lain.Meninggalkan indahnya Connacht dengan cerita yang tersimpan di dalamnya, Ruenna membukakan pintu rumahnya lebar-lebar untuk salah satu sahabatnya itu agar ia bisa tinggal beberapa minggu lagi sebelum kembali ke asrama Wistletone's School. Ia sudah memutuskan untuk tak kembali ke Atherstone sampai libur Natal. Ia hanya tak ingin membuat orangtuanya kecewa.Maka ketika Rabu malam tiba, di mana beberapa kilat cahaya menembus pepohonan taman Wistletone hingga menampakkan bayangannya menempel di wajah awan, Louis dan Emma sudah dalam balutan pakaian pestany
Pasca diterima oleh Putri Anne untuk berdansa, Louis menyadarkan Ian dengan memberikan acungan jempol sehingga pria itu bisa menuntun Putri Anne ke lantai dansa. Hal serupa berlaku untuk Louis dan Emma. Mengikuti irama musik yang begitu sesuai dengan alam malam ini, tubuh mereka terbebas untuk melemparkan semua masalah dan kelelahan meskipun hanya sesaat. Pukul delapan malam semua tamu mulai berkumpul di sudut utara taman untuk menyaksikan peniupan lilin dan pemotongan kue setinggi lima puluh centimeter. Anthony sangat menyukai pesta. Tak heran jika ia menyiapkan hal-hal luar biasa dalam pestanya. Mempekerjakan kurang lebih tiga puluh pelayan hanya untuk mengurus hidangan dan sekitar dua puluh untuk dekorasi. Ia selalu memerhatikan hal-hal kecil dalam pestanya, terutama roti ulang tahun yang ada di atas meja. Bahkan hanya untuk meniup lilin pun, ia mengganti setelan jasnya sehingga para tamu harus menunggunya kembali ke atmosfer pesta. Beberapa langkah lagi Anthony akan meraih kerumu
Dedaunan berguguran dengan deras layaknya sekawanan air di Jesmond Dene yang mulai bermanipulasi. Detik demi detik bergulir untuk mengubah jam, hari, hingga bulan. Buliran-buliran salju pun mulai berjatuhan tak begitu deras mengubah warna-warni Newcastle menjadi putih. Lalu lagu-lagu kebahagiaan natal dinyanyikan. Pria-pria memakai janggut putih mereka. Doa-doa tak berhenti terlontar mengisi setiap ruang gereja. Saat itulah merah dan hijau hadir menemani putih yang tak bernoda. Mereka yang bersyukur masih bernafas pun, merasakan kebahagiaan yang mengisi penuh hati mereka hingga hampir meledak. Terlebih setelah kepulangan dari gereja dan kotak-kotak hadiah sudah menanti di bawah pohon cemara yang berdiri tegak di ruang keluarga. Kehangatan perapian pun, rasanya dikalahkan atmosfer yang mereka ciptakan. Atmosfer yang akan membawa mereka pulang.Sebuah kotak agak besar berwarna hijau polos berada tepat di bawah kaki seseorang. Saat itulah ia meraihnya secepat kilat dan berkata, "Ini puny
Di lantai atas, tepatnya di perpustakaan kediaman Wistletone, Louis dan Anthony berhenti karena mendengar tangisan seseorang. Pintunya tertutup tapi mereka mencoba mengintip dari celah bawah pintu. Yang mereka lihat hanyalah sepasang kaki seseorang yang duduk di atas sofa dan lainnya bersimpuh di hadapannya. Kemudian mereka bertukar tanda tanya. Tak ada yang mampu mengungkap siapa hingga Louis memutuskan untuk masuk ke kamarnya mengambil hadiah untuk saudara dan orang tuanya—begitu pula Anthony.Ketika keduanya mencoba menuruni tangga menuju ruang keluarga, suara dari balik pintu perpustakaan bertambah. Sepasang alis mereka yang mengernyit akhirnya mendorong keduanya untuk mengetuk pintu dan jelas dipersilahkan masuk.Di sana, Fantine Wistletone masih terduduk di atas sofa utama perpustakaan di antara rak-rak yang dipenuhi buku. Sedangkan Virginia dan Celestine bersimpuh di atas karpet merah berajut rapih sebagai alas di atas lantai. Keduanya menangis, entah mengapa. Itu pun menjadi a
Malam itu empat pemuda Newcastle belum mengetuk pintu rumah masing-masing setelah jam sembilan berlalu. Mereka masih di jalanan menyanyikan lagu kebangsaan Inggris dengan sebotol bir di tangan. Tidak, bukan teh kali ini. Dan mereka berpikir itu pantas untuk diteguk di malam akhir bulan Januari.Menyisir trotoar Newcastle dengan sisa orang yang tak terlalu banyak, mereka bahkan tak tahu ke mana kaki akan membawa. Sedangkan beberapa pejalan kaki lainnya merasa terganggu. Tak lagi, ketika salah satu dari mereka menghentikkan langkah membuat tiga sisanya mengikuti."Apa-apaan kau berhenti sembarangan, Pete!" pekik Dan agak kesal karena pemberhentiannya yang tak mulus sehingga pipinya terhantam tengkorak belakang Pete.Pria itu berbalik. Melemparkan pandangnya bukan untuk Dan melainkan Louis yang berdiri paling belakang. "Bukankah itu Emma, Lou?" tanyanya sehingga Louis menyipitkan matanya sebelum bertepuk tangan sekali. "Benar!" pekiknya."Apa yang sedang dilakukannya malam-malam seperti
Hanya satu koper yang mengisi bagasi mobil. Namun, semua senyum dibawanya. Sekiranya akan sesak keadaan Newcastle Central pagi ini hanya karena kehadiran satu keluarga yang diakui dengan kebijaksanaannya—meskipun tak selalu demikian. Tak ada orang asing di dalam mobil. Hanya dipenuhi orang-orang yang memiliki DNA serupa. Itu cukup menarik lembut kedua sudut bibir Louis ketika maniknya menyaksikan senyuman mereka yang akan meninggali hatinya. Bahkan, kenangan pagi ini tak bisa dilupakannya. Terdorongnya tubuh Judith Hope untuk memeluk pria itu dalam balutan jas yang sama seperti empat tahun silam, embun tenggelam dalam pandangannya. Louis tak menyangka jika perpisahan bisa begitu berat untuk dilalui meskipun hanya sementara sifatnya. Dan salam perpisahan dari Judith Hope, masih digenggam hatinya.Empat rodanya melambat dan berhenti tepat di parkiran yang cukup luas. Situasinya tak begitu ramai. Namun, hati Louis sudah sesak karena emosi. Bahkan Anthony harus menuntun pria itu keluar da
Butiran-butiran salju masih menggetarkan hawa dingin yang memeluk erat atmosfer Royal Military Academy Sandhurst yang mulai kembali dipadati pria-pria berseragam rapih dengan koper di genggaman mereka. Lonceng berdentang cukup kencang memecah kelompok demi kelompok pria untuk menyibukkan diri sendiri dalam mimik tak begitu senang selagi desahan mengiringi. Namun, kedisiplinan adalah hal utama yang sekolah ini teriakan setiap tahun pasca upacara dimulainya tahun ajaran baru.Ketika sinar surya perlahan menusuk-nusuk bumi dari balik dedaunan yang menggigil, kehangatannya menembus serpihan salju di udara sehingga hanya ada uap air yang tiba. Saat itulah tangan kanan terakhir bertengger sejajar dengan alis, sebelum kelompok demi kelompok pria meninggalkan lapangan Sandhurst dalam formasi.Pelukan berhamburan di mana-mana ketika aula utama mulai dipadati pria-pria berseragam serupa dengan topi di atas kepala. Sudut-sudut bibir pun terangkat melawan udara. Lencana berkilau di pakaian mereka
Perjalanan dari Sandhurst, Berkshire menuju Devon, Exeter tidaklah memakan banyak waktu. Hanya sekitar tiga jam tapi cukup membuat jantung Infanteri B-2 bergetar hebat setelah Russel membagi ceritanya di asrama. Secara fisik mungkin Infanteri B-2 terlatih, tapi apakah hal-hal majis bisa dikalahkan secara fisik? Hanya beberapa pria yang begitu religius dalam kelompok ini. Namun, tak seluruh pria religius mengantongi alkitab ataupun kalung salib sehingga mereka yang tak membawa bekal keimanan sungguh gundah hatinya sekarang.Sersan Armitage—komandan barak—tampaknya begitu menghargai waktu karena setibanya Infanteri B-2 di Wyverns Barracks yang sepi, cukup gelap, dan jauh dari pemukiman penduduk, ia segera mengadakan tur keliling Wyverns Barracks dan melewatkan jam makan malam. Ia berkata, "Besok pagi kalian harus bersiap untuk latihan. Akan sangat merepotkan jika kalian belum mengetahui lokasi utama dari barak ini. Tur itu penting, jadi jangan sepelekan hal ini!" Nada tinggi di akhir ka
Dua bulan semenjak pertemuannya dengan Dan Nordstrom, dia masih belum menemukan jawaban. Sebuah kotak—sama persis dengan milik Louis Wistletone ketika ia masih menjadi kepala sekolah di sana—berdiri di sudut meja yang sama. Kebenaran dan kebohongan ada di dalamnya. Apabila Pete mencoba memilih mana yang harus dikatakan lebih dulu, ia tak tahu. Keduanya harus dikatakan bersamaan. Sehingga sore ini ia memilih untuk pulang, kendati tinggal di asrama Wistletone’s School seperti beberapa hari sebelumnya.Jikalau kotak itu milik Louis yang diwariskan untuknya, maka ia memiliki benda untuk diwariskan pula nantinya; sebuah jurnal. Mungkin terdengar tak menyenangkan, tapi sama seperti kotak Louis dengan rahasia di dalamnya, ia juga memiliki beberapa di dalam jurnal itu. Yang Pete butuhkan hanyalah seseorang untuk dipercaya menjaga rahasia dalam jurnal dia.Ia baru saja menuruni beberapa anak tangga ketika kotak itu nyaris lolos dari dekapannya sebab sepasang anak laki-laki berumur 14 tahunan b
The Teahouse tampak berbeda di abad kedua puluh satu. Tidak, bukan karena pelayannya telah digantikan robot semenjak Nyonya Bache pergi. Tidak juga karena interior antiknya berubah mengusung gaya Inggris modern. Mereka tetap serupa, tapi di bawah naungan atmosfer yang berbeda. Bahkan tempat ini sekarang menyajikan kopi semenjak kebudayaan mengonsumsi kopi tak lagi asing di lidah masyarakat Inggris. Tempat ini pun memiliki tambahan & Cafè setelah kata Teahouse dan mereka menghapus awalan The. Meskipun demikian, pria dengan koper persegi panjang di lantai tak pernah mengubah selera tehnya meski kopi mulai menjajaki daftar terfavorit.Pria itu kini memandang beberapa lembar kertas di dalam sebuah stopmap selagi menanti teh pesanannya tiba untuk dicicipi. Ketika ia selesai menumpuk rapi semua kertas dan memasukkannya kembali ke dalam koper, sebuah jurnal dari dalam sana mengganti posisi si stopmap. Tangan menarikan pena itu untuk menulis 28 April 2010. Tak ada perubahan. Masih aku. Masih
Ketika halaman Wistletone's School tampak senyap sebab semua orang disibukkan dengan pembelajaran, sepasang anak laki-laki justru mengendap-endap menuju sisi lain lapangan utama Wistletone's untuk sebuah aksi. Salah satu dari mereka tampak ketakutan dan hampir mengurungkan aksi yang terencana, tapi satunya lagi justru tampak bersemangat dan berkata, "Jangan khawatir, Alexis. Ini akan menyenangkan! Aku berani jamin!" Ia pun mendorong diri lebih jauh menuju objek incarannya."Tapi kita bisa terlibat masalah, Knox! Aku tak ingin dimarahi ayah lagi."Teman sebayanya pun segera melambaikan tangan di udara. "Jangan pedulikan. Ikuti saja perintahku untuk lari setelah ini, maka kau akan selamat dari kejaran bapa."Meski Alexis tampak ingin melontarkan patah kata lainnya, si anak bernama Knox sudah dulu memegangi sebuah tali yang cukup tebal.Kini, Alexis pun terpaksa menggenggam tali itu dan keduanya menghitung dengan cekikikan—atau justru hanya Knox yang tampak bersemangat. "Satu, dua, tiga!
Semalam, awan menangis hebat untuk alasan yang tak pasti. Sehingga pagi ini, dedaunan masih berkeringat dingin menanti sang surya membasuh peluh itu. Atmosfer pun mendingin meski sinar surya berhasil menembus kumpulan awan tipis yang menjulurkan leher mereka untuk mengintip kehidupan di Newcastle pada awal musim gugur, tepatnya pada tanggal sembilan september seribu sembilan ratus delapah puluh sembilan.Seorang pria yang telah mengenakan kemeja dengan balutan vest pun masih berdiri di hadapan kaca selagi gigi saling bergulat menghancurkan secuil roti di dalam mulut. Ia menarik sebuah sisir dari tempatnya untuk merapikan tatanan rambut yang sudah sempurna. Bahkan pagi ini, ia baru saja membersihkan kumis dan berewok seolah sungguh bersiap untuk sebuah pertemuan istimewa.Begitu suara ketukan pintu terdengar, ia segera meletakkan sisirnya dan meneguk habis teh dalam cangkir. Ditariklah gagang pintu itu menampakkan seorang pria dengan sebuket bunga besar yang tampak segar. Ia pun puas m
Sang surya terus didorong rotasi bumi menuju cakrawala yang masih jauh di seberang sana. Sementara itu, Ruenna sendiri baru saja melambaikan tangan setelah mengucapkan terima kasih sehingga Anthony bisa melanjutkan perjalanannya menuju Grainger Town yang diramaikan beberapa pelayat pula untuk jamuan.Puluhan topik melilit percakapan antara dua orang bahkan lebih ketika Louis mendorong diri mengisi salah satu ruang di ruang tamunya. Beberapa hidangan pun tampak mulai dicicipi lidah-lidah para pelayat yang sempat menunjukkan simpati mereka kepada Louis. Pria itu hanya mengangguk, tapi tak tertarik untuk melibatkan diri pada topik yang mereka tawarkan. Sebagai gantinya, ia mencoba menemukan Sylvia yang masih bersama Virginia di perpustakaan sejak ia menuju Jesmond.Ia menyadari bahwa Judith Hope baru saja mendorong diri meninggalkan perpustakaan dengan nampan di tangan. Ketika ia mencoba mengacuhkan wanita itu, ia justru mengelus bahu Louis sekilas selagi netra mencoba memberikan kekuata
Ketika para pelayat mulai berdatangan dan ibadah penghiburan terlalui sudah, peti Emma kembali mengisi ruang di perut ambulan menuju tempat di mana jutaan kisah tinggal. Kali ini Louis ada di sisinya tanpa Sylvia yang kemungkinan berada di bawah asuhan Virginia. Sementara seberhenti ambulan itu tepat di hadapan gerbang berkarat setinggi perut milik pemakaman Jesmond, beberapa orang sudah mendahului Louis mengisi ruang di beberapa sisi lubang galian untuk peti Emma.Pintu ambulan yang terbuka membuat Richard bertatapan dengan emosi Louis yang baru saja menetes tanpa disadari. Pria itu pun menarik napas perlahan sebelum melarikan tangan untuk menggenggam tangan putranya. ❝Whose heart plowing an ungainly perpetually, will never find an undaunted space.❞Namun, ucapan itu membuat Louis menggelengkan kepala sehingga tetesan emosi lainnya luruh sudah. "Jangan memberiku nasihat yang tak bisa dipraktikan, Pap. Aku sudah menyinggung soal kehidupan kita yang berbeda. Semua ini tak akan mudah un
Ketika rembulan belum bersedia ditelan cakrawala, tak ada satu hal pun yang mampu menyelamatkannya dari duka. Bahkan memori kebohongan semalam pun sempat terganti begitu beberapa orang melenggang masuk ke dalam kamarnya hanya untuk membawa Emma pergi dari belenggu kehidupan yang ingin ditinggalkan.Orang-orang dari rumah sakit segera mengevakuasi tubuh tak tersentuh kehidupan itu beberapa jam setelah semua sandiwara Louis terlaksana. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa orang dari rumah sakit tak menyimpan banyak tanda tanya di kepala begitu melihat wajah Colin Marlowe.Tampaknya skenario kebohongan Louis yang terencana disetujui oleh Tuhan seolah Tuhan pun ingin menyelamatkan nasib Louis kali ini yang terikat nama keluarga dan latar belakang Sylvia—Joan Creveld. Namun, semua skenario yang telah ditulis tak sama sekali membantu Louis menerima takdir ketika kakinya menginjak lantai rumah sakit untuk menyaksikan betapa kering tubuh Emma seperti harapan si wanita. Ia merasa bersalah se
Sepasang iris Louis berdetak menyaksikan seseorang tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia pun mendorong kaki itu cepat menuju seorang wanita yang terbaring lemah di atas ubin yang sangat terawat. Begitu si wanita sudah dalam jangkauan, diangkatlah kepala itu mencoba membawanya kembali ke kehidupan. Tubuh pun sempat diguncang berkali-kali sementara jantung Louis sudah diramaikan ketakutan."Emma!" pekiknya cukup keras selagi tangan menampar pelan pipinya. Namun, wanita itu tak membuka netra. Tubuhnya pun tampak tak bergerak sama sekali. Meski itu gerakan alamiah untuk menunjukkan bekerjanya pernapasan pun, hal itu tak mampu Louis lihat. Sementara sepanjang pipi hingga dagu menampakkan jejak tangisan yang kentara sekali belum sempat dihapus.Ketika Louis mendorong telunjuk mencoba menemukan deru napas meluncur dari lubang hidungnya, hal itu tak dapat dirasakan. Digeletakkan lagi wanita itu di atas ubin, denyut nadi maupun jantung tak lagi bergejolak seolah tubuh itu sudah kehilangan segala
Beberapa momen tercipta sangatlah serupa dengan ekspetasi. Beberapa lagi tercipta lebih baik dari garis rata-rata ekspetasi. Namun, kali ini, momen tak begitu menyenangkan kembali menghampiri akibat waktu yang selalu merespons layaknya gazelle di balik semak-semak. Mereka berlarian begitu cepat untuk mengubah jam menjadi hari. Akibat ulah si waktu yang kelewat cepat untuk sebuah hal fana, sepasang kekasih yang telah mencicipi berbagai rasa kehidupan kembali disaksikan stasiun serupa.Mungkin beberapa hal tampak sama di netra Louis. Namun, selalu ada hal berbeda yang disuguhkan untuknya setiap kali kata perpisahan mengantarkan ke area stasiun bersama setelan jasnya. Bibir masih terkatup ketika tangan itu bertengger di sisi wajah Emma sementara Sylvia ada di gendongan Alma. Gigi gerahamnya bertemu menciptakan bunyi ting yang sangatlah pelan guna menghapus keraguan."Aku tak akan pergi untuk selamanya. Jangan berikan aku kejutan, Emma. Ketika aku pulang, tak ada lagi kesengsaraan yang ka