Dedaunan berguguran dengan deras layaknya sekawanan air di Jesmond Dene yang mulai bermanipulasi. Detik demi detik bergulir untuk mengubah jam, hari, hingga bulan. Buliran-buliran salju pun mulai berjatuhan tak begitu deras mengubah warna-warni Newcastle menjadi putih. Lalu lagu-lagu kebahagiaan natal dinyanyikan. Pria-pria memakai janggut putih mereka. Doa-doa tak berhenti terlontar mengisi setiap ruang gereja. Saat itulah merah dan hijau hadir menemani putih yang tak bernoda. Mereka yang bersyukur masih bernafas pun, merasakan kebahagiaan yang mengisi penuh hati mereka hingga hampir meledak. Terlebih setelah kepulangan dari gereja dan kotak-kotak hadiah sudah menanti di bawah pohon cemara yang berdiri tegak di ruang keluarga. Kehangatan perapian pun, rasanya dikalahkan atmosfer yang mereka ciptakan. Atmosfer yang akan membawa mereka pulang.Sebuah kotak agak besar berwarna hijau polos berada tepat di bawah kaki seseorang. Saat itulah ia meraihnya secepat kilat dan berkata, "Ini puny
Di lantai atas, tepatnya di perpustakaan kediaman Wistletone, Louis dan Anthony berhenti karena mendengar tangisan seseorang. Pintunya tertutup tapi mereka mencoba mengintip dari celah bawah pintu. Yang mereka lihat hanyalah sepasang kaki seseorang yang duduk di atas sofa dan lainnya bersimpuh di hadapannya. Kemudian mereka bertukar tanda tanya. Tak ada yang mampu mengungkap siapa hingga Louis memutuskan untuk masuk ke kamarnya mengambil hadiah untuk saudara dan orang tuanya—begitu pula Anthony.Ketika keduanya mencoba menuruni tangga menuju ruang keluarga, suara dari balik pintu perpustakaan bertambah. Sepasang alis mereka yang mengernyit akhirnya mendorong keduanya untuk mengetuk pintu dan jelas dipersilahkan masuk.Di sana, Fantine Wistletone masih terduduk di atas sofa utama perpustakaan di antara rak-rak yang dipenuhi buku. Sedangkan Virginia dan Celestine bersimpuh di atas karpet merah berajut rapih sebagai alas di atas lantai. Keduanya menangis, entah mengapa. Itu pun menjadi a
Malam itu empat pemuda Newcastle belum mengetuk pintu rumah masing-masing setelah jam sembilan berlalu. Mereka masih di jalanan menyanyikan lagu kebangsaan Inggris dengan sebotol bir di tangan. Tidak, bukan teh kali ini. Dan mereka berpikir itu pantas untuk diteguk di malam akhir bulan Januari.Menyisir trotoar Newcastle dengan sisa orang yang tak terlalu banyak, mereka bahkan tak tahu ke mana kaki akan membawa. Sedangkan beberapa pejalan kaki lainnya merasa terganggu. Tak lagi, ketika salah satu dari mereka menghentikkan langkah membuat tiga sisanya mengikuti."Apa-apaan kau berhenti sembarangan, Pete!" pekik Dan agak kesal karena pemberhentiannya yang tak mulus sehingga pipinya terhantam tengkorak belakang Pete.Pria itu berbalik. Melemparkan pandangnya bukan untuk Dan melainkan Louis yang berdiri paling belakang. "Bukankah itu Emma, Lou?" tanyanya sehingga Louis menyipitkan matanya sebelum bertepuk tangan sekali. "Benar!" pekiknya."Apa yang sedang dilakukannya malam-malam seperti
Hanya satu koper yang mengisi bagasi mobil. Namun, semua senyum dibawanya. Sekiranya akan sesak keadaan Newcastle Central pagi ini hanya karena kehadiran satu keluarga yang diakui dengan kebijaksanaannya—meskipun tak selalu demikian. Tak ada orang asing di dalam mobil. Hanya dipenuhi orang-orang yang memiliki DNA serupa. Itu cukup menarik lembut kedua sudut bibir Louis ketika maniknya menyaksikan senyuman mereka yang akan meninggali hatinya. Bahkan, kenangan pagi ini tak bisa dilupakannya. Terdorongnya tubuh Judith Hope untuk memeluk pria itu dalam balutan jas yang sama seperti empat tahun silam, embun tenggelam dalam pandangannya. Louis tak menyangka jika perpisahan bisa begitu berat untuk dilalui meskipun hanya sementara sifatnya. Dan salam perpisahan dari Judith Hope, masih digenggam hatinya.Empat rodanya melambat dan berhenti tepat di parkiran yang cukup luas. Situasinya tak begitu ramai. Namun, hati Louis sudah sesak karena emosi. Bahkan Anthony harus menuntun pria itu keluar da
Butiran-butiran salju masih menggetarkan hawa dingin yang memeluk erat atmosfer Royal Military Academy Sandhurst yang mulai kembali dipadati pria-pria berseragam rapih dengan koper di genggaman mereka. Lonceng berdentang cukup kencang memecah kelompok demi kelompok pria untuk menyibukkan diri sendiri dalam mimik tak begitu senang selagi desahan mengiringi. Namun, kedisiplinan adalah hal utama yang sekolah ini teriakan setiap tahun pasca upacara dimulainya tahun ajaran baru.Ketika sinar surya perlahan menusuk-nusuk bumi dari balik dedaunan yang menggigil, kehangatannya menembus serpihan salju di udara sehingga hanya ada uap air yang tiba. Saat itulah tangan kanan terakhir bertengger sejajar dengan alis, sebelum kelompok demi kelompok pria meninggalkan lapangan Sandhurst dalam formasi.Pelukan berhamburan di mana-mana ketika aula utama mulai dipadati pria-pria berseragam serupa dengan topi di atas kepala. Sudut-sudut bibir pun terangkat melawan udara. Lencana berkilau di pakaian mereka
Perjalanan dari Sandhurst, Berkshire menuju Devon, Exeter tidaklah memakan banyak waktu. Hanya sekitar tiga jam tapi cukup membuat jantung Infanteri B-2 bergetar hebat setelah Russel membagi ceritanya di asrama. Secara fisik mungkin Infanteri B-2 terlatih, tapi apakah hal-hal majis bisa dikalahkan secara fisik? Hanya beberapa pria yang begitu religius dalam kelompok ini. Namun, tak seluruh pria religius mengantongi alkitab ataupun kalung salib sehingga mereka yang tak membawa bekal keimanan sungguh gundah hatinya sekarang.Sersan Armitage—komandan barak—tampaknya begitu menghargai waktu karena setibanya Infanteri B-2 di Wyverns Barracks yang sepi, cukup gelap, dan jauh dari pemukiman penduduk, ia segera mengadakan tur keliling Wyverns Barracks dan melewatkan jam makan malam. Ia berkata, "Besok pagi kalian harus bersiap untuk latihan. Akan sangat merepotkan jika kalian belum mengetahui lokasi utama dari barak ini. Tur itu penting, jadi jangan sepelekan hal ini!" Nada tinggi di akhir ka
Pelatihan di Wyverns Barracks sebenarnya tak jauh berbeda dengan Royal Military Academy Sandhurst. Yang membedakan kedua hal ini adalah pelatihnya yang jauh lebih ekstrim dan tak segan untuk memberikan hukuman yang berdampak parah pada fisik maupun mental. Setelah seminggu mereka menjalani latihan, sudah sekitar empat orang merasakan trauma untuk tak lagi melanggar aturan. Bahkan kebanyakan tentara sudah membuka mata sebelum pukul enam pagi. Kedisiplinan benar-benar mereka tunjukan di sini.Memasuki minggu kedua mereka telah melewati latihan kamuflase dan kerja sama tim dalam taktik penyerangan. Belum ada latihan tertulis yang mereka ajarkan sejauh ini. Namun, Infanteri B-2 tampaknya menikmati setiap latihan di luar barak karena Devon benar-benar tempat untuk mengalihkan stress mereka. Sedangkan hari ini, seluruh Infanteri B-2 sudah bersiap di lapangan untuk latihan menembak.Silih berganti Kopral yang berdiri untuk memberikan materi setiap pelatihan, sialnya kali ini mereka harus ber
Dua surat lainnya menunjukkan tulisan tangan dan rangkaian kata dari seorang penyair berbeda aliran. Ian adalah salah satu pengirim surat itu dan pesan yang ia sampaikan tak begitu panjang. Hanya perihal keadaannya, panjat syukur, dan perkembangan sepatu pesanan Louis yang hampir selesai. Saat itu Louis berpikir ini akan menjadi bencana apabila ia tak mampu membayar setiap pasang sepatu Ian, dan tak mungkin juga ayahnya yang melunasi itu semua. Louis berpikir akan menulis surat pribadi kepada Anthony dan meminta bantuannya. Berharap ia bersedia.Satu lainnya sudah jelas datang dari Emma. Louis memang sudah membalas suratnya, begitu pula milik Ian, tapi surat Emma lah yang kata-katanya selalu ia tatap setiap pagi layaknya koran yang menyajikan berita epik setiap harinya. Ia bahkan hampir lupa jika pagi ini akan ada pelatihan di luar barak yang sangat melelahkan. Ia memulai pelatihan dengan mengenakan atribut lengkap sebelum masuk ke dalam formasi.Udara pagi menggembirakan milik Devon