"Yaa! Oke. Jam sepuluh? Deal!" Violetta begitu bersemangat menerima telepon dari Melisa.Hati Helios yang tidak tenang. Ini pertanda buruk baginya.Violetta berdiri di depan Helios sambil melepas senyum lebar."Kakak sepupu yang baik hati, makasih ya, kamu hadir di hidupku." Violetta memegang kedua pipi Helios.Helios benar-benar kaget dengan sikap Violetta yang tak bisa ditebak itu. Spontanitasnya muncul, membuang jauh-jauh sisi jutek dan cuek dari dirinya."Ikut denganmu ke akademi, aku jadi punya teman baru yang menyenangkan." Violetta melanjutkan."Melisa?" ucap Helios. Seolah-olah menebak, tapi dia yakin sekali. "Yup. Melisa. Kami mau hang out hari ini. Bye!" Violetta melepas tangannya dari pipi Helios, lalu bergegas pulang meninggalkan Helios yang bengong, masih heran dengan tingkah gadis itu."Tidak. Kenapa harus Melisa? Carilah teman, tapi jangan dia," kata Helios.Menyesal rasanya, dia mengiyakan Violetta ikut dengannya ke akademi. Kenapa pas hari itu Melisa juga datang men
Bukan Erma tidak tahu kalau Hari jatuh cinta padanya. Tetapi Erma sama sekali tidak ada rasa dengan pria manis itu. Bagaimana mungkin Erma akan memaksa diri menerima Hari?Sisi lain, Hari hanya seorang pelayan dan sopir. Nasib Hari tidak berbeda dengan Erma. Lalu, masa depan mereka nanti akan jadi apa? Hidup sendiri saja sudah pas-pasan. Kalau menikah dan punya anak? Itu yang Erma pikirkan. Dia harus memperbaiki nasib, memperbaiki keturunannya agar jangan semalang dirinya "Aku mau lanjut kerja." Erma berdiri. "Makasih ya, buat rujaknya. Aku simpan dulu. Nanti jam makan siang aja aku makan.""Oh, oke." Hari tersenyum sedikit kecut. Dia membayangkan Erma akan tersenyum senang dengan mata berbinar mendapat oleh-oleh dari Hari. Ternyata Erma seperti tanpa ekspresi menerimanya dan tidak ingin menyentuhnya. Masih panjang perjuangan Hari merebut hati Erma."Nanti kalau mau makan sama-sama, ayo. Biar lebih seru," lanjut Erma."Ya, oke." Senyum Hari melebar. Ah, kalimat itu sedikit memberi
"Deal? Ini hari terakhir aku kelas kepribadian?" Helios mengulurkan tangan pada Donita yang berdiri di depannya.Donita tersenyum lebar. Mata indah wanita itu lurus tertuju pada Helios. Dia pun menerima jabatan tangan Helios."Yup. Kamu sudah mulai terbiasa menjadi Tuan Muda. Kurasa kamu lebih siap menghadapi siapapun," kata Donita."Kalau begitu kita rayakan hari ini, boleh?" Helios punya rencana. Sudah lama ingin dia lakukan, dan sepertinya hari itu adalah saat yang tepat."Merayakan apa? Ini hanya tuntas kelas khusus, bukan kelas utama kamu, Helios." Donita bertanya-tanya apa yang Helios maksud."Sebenarnya ini hari ulang tahun ibuku. Lama aku ingin pergi ke tempat idaman ibu, untuk merayakannya." Helios menjawab dengan tatapan yang sedikit sendu."Really? Kamu dekat sekali dengan ibumu?" Donita makin lekat menatap pria tampan yang mempesonanya itu."Karena salah satu impian ibu, mengajakku ke Monas, entah saat dia ulang tahun atau aku yang ulang tahun," jawab Helios."Ooh?" Ada ra
Victor harus menahan diri agar tidak meledak. Dia menuju ke dalam mobilnya dan dengan cepat meninggalkan mansion. Di atas tol, dengan laju kendaraan yang lumayan kencang, Victor berteriak sekeras-kerasnya melepas rasa berat yang menekan di dadanya."Kenapa harus Tuan Muda, Doni! Kenapa harus dia??!!" Berulang kali Victor berteriak dengan kesal dan sedih menyatu di hati.Jika Donita jatuh cinta pada pria lain, yang tidak bersentuhan dengan hidup Victor, mungkin akan lebih rela melepasnya. Tetapi dengan Helios? Bagaimana bisa?Apalagi yang Victor lihat, Helios makin membuka diri untuk mentor cantik itu. Bukan tidak mungkin, Helios pun luluh dan punya rasa yang sama pada Donita. Jika benar itu terjadi, pasti situasi dia dan Helios tidak akan baik-baik saja. Sedangkan selama Helios menjadi anak Herman, Victor akan terus berada di dekat Helios. "Ini benar-benar di luar pikiranku. Aku melarang Helios, Donita pasti mengira aku cemburu." Victor masih bergulat di dalam hati. "Tapi, aku tid
Helios kaget dengan panggilan keras Melisa. Spontan dia juga menoleh karena nama itu sudah melekat pada dirinya sepanjang hidup. "Hai!" Melisa makin mendekat. Helios segera menata hati dan reaksinya. Dia tidak boleh salah bersikap dan juga menunjukkan ekspresi. "Mencari siapa?" tanya Helios. Dia pura-pura tidak merasa bahwa panggilan itu untuk dirinya. Melisa telah berdiri di hadapan Helios tidak sampai dua meter. Sementara Violetta ada di belakang Melisa dan semakin mendekat. "Sorry! Aku belum terbiasa memanggil kamu ... Helios, ya Helios. Soalnya kamu mirip sekali sama Ardi mantan aku," kata Melisa sambil tersenyum lebar. Helios mengurai senyum tipis di ujung bibir. "Ya, bisa maklum. Tapi aku Helios. Jangan salah lagi," ucap Helios lalu dia berjalan lagi menuju rumah besar. "Hel, kami jadi main ke rumah kamu. Kalau Om Her ga keberatan. Takutnya dia terganggu," kata Violetta. "Hm, di teras samping saja. Tapi aku akan lihat papa lebih dulu," uijar Helios. "Oke, teras samping
"Kamu sudah simpan semua datanya? Jangan sampai lambat gerak. Sesuai target kita, satu minggu harus kelar, Radit." Siska bicara serius di telpon. Dia berdiri di balik kaca dengan tirai tertutup, melihat ke arah rumah besar Herman. "Hmm, ayolah! Jadilah berguna. Aku urus masalah asmara Vio dan Ferry di sini," lanjut Siska. Kening Siska mengkerut. Sepertinya terjadi negosiasi yang alot dengan Raditya. "Aku tidak mau tahu. Aku punya target bulan depan Helios, Ardi, atau entah siapa namanya, aku mau segera terbongkar rahasianya. Herman tidak akan bisa mangkir kecuali mengusir dia dari sini." Siska makin tega bicara dengan emosi lebih tinggi. Klik. Panggilan dia akhiri. "Dasar manusia tak berguna! Setelah Herman, kamu yang aku akan habisi. Ingat itu, Radit," ujar Siska geram. Mata Siska masih memandang ke arah rumah besar Herman. Yang dia lihat di sana, Herman dan putra dadakannya itu tertawa gembira. Tidak tahan lagi Siska melihat semua itu. Tetapi tidak lama lagi jika kenyataan si
Kelas di akademi sudah tinggal beberapa kali pertemuan. Kelas-kelas terakhir bukan lagi mengenai materi, tetapi lebih banyak praktek dan mengerjakan proyek langsung untuk penilaian kelulusan.Suasana kelas lebih tegang dan tidak seceria hari-hari sebelumnya. Tekanan lebih terasa karena para pengajar dan mentor ingin semua lulus dengan hasil maksimal."Gila, tinggal satu minggu, laporan harus masuk. Banyak sekali yang harus disiapkan." Tony memelototi laptopnya. "Ya udah, fokus. Jangan mainan cewek dulu," sahut salah satu teman yang duduk di depan Tony."Sialan. Justru mereka yang ngasih aku energi ekstra," ucap Tony tak mau mengalah."Jangan nyesal aja, kalau kebanyakan perang di ranjang lalu otak kamu agak tumpul, hehehe," kata yang di sebelah kiri Tony.Helios yang mendengar gurauan sangar teman-temannya cuma tersenyum kecut. Ada rasa tidak enak juga yang muncul di hatinya. Salah satu yang jadi mainan Tony adalah mantan Helios."Oke, Class! You have twenty minutes left. Kerjakan de
Helios terkesiap. Dia terkejut tingkat dewa mendapat kecupan dari Donita!Saking kagetnya, Helios tak bisa bergerak. Yang jelas, wajahnya terasa panas, hingga ke dada. Dan ada desiran yang membuat perutnya campur aduk."Helios, aku ..." Donita masih memeluk Helios, dia tidak ada niat melepas pria tampan itu.Helios merasa ada yang bergejolak di dadanya. Mentor cantik itu, yang selama ini berjuang di sampingnya, dia ...Kembali kecupan lembut terasa di bibir Helios. Getaran terasa makin menguat di dada Tuan Muda. Sisi kejantanan Helios tak bisa mengelak pesona Donita dan suasana yang membuat dia mulai terhanyut.Tiba-tiba dering ponsel membuyarkan pergerakan yang mulai menguat di antara Helios dan Donita.Helios spontan melepas pelukan Donita. Kesadarannya segera kembali. Herman yang menghubunginya. "Halo, Pa?" Helios menyapa. "Oh, ya, sedikit lagi aku pulang. Ya, baik. Terima kasih, Pa." Selesai. Panggilan Herman berakhir, tetapi getaran dan debaran di dada Helios belum sepenuhnya s