Helios masih berpikir bagaimana dia menjawab Donita. Wanita itu adalah mentornya dalam pendidikan yang dia tempuh. Apakah wajar jika dia punya kedekatan di luar kelas? Apalagi, kisah hidup Helios tidak wajar. Apakah bisa begitu saja Helios urai pada orang lain? Apa untungnya dan apa pula baiknya? Kalau justru jadi bahan cemooh?"Kamu tahu bukan, di sekolah-sekolah ada ruang BK? Kamu tahu itu fungsinya apa?" Donita bertanya lagi."Tentu aku tahu. Apa salah satu tugas Miss Doni menjadi guru BK buat peserta kelas?" Helios balik bertanya "Tugasku adalah memastikan menti yang aku tangani bisa belajar maksimal. Halangan apapun tidak boleh membuat dia mundur atau gagal. Memang, aku tidak menjamin semua akan berhasil. Tapi, tentu aku harus memperjuangkannya," jelas Donita.Helios paham bagian itu."Terserah kamu jika tidak bersedia terbuka. Yang pasti, aku tidak mau gangguan apapun terjadi dalam proses belajar. Kamu harus ingat itu, Helios." Donita menambahkan, terlihat gamblang dan dia sang
"Bagaimana, Helios? Kamu tidak tertarik melepas lelah?" Donita yang ada di samping Helios bicara sambil ikut memperhatikan area bermain yang ramai dan riuh."Oke. I am ready." Helios tersenyum lebar.Donita mengangkat kakinya dan berjalan masuk ke area bermain itu. Helios menguntit di belakangnya. Dia tidak sabar ingin mencoba permainan apa saja yang ada di sana. Setelah sekian lama, apakah dia masih cukup jago?Tidak sampai sepuluh menit, tampak Helios memulai petualangannya menjelajah area bermain yang lengkap dengan segala macam jenis permainan. Sebagian besar Helios pernah bermain waktu masih di Semarang. Donita mengikuti saja ke sisi mana Helios bergerak. Donita lumayan paham dengan permainan yang ada. Dia cukup mengimbangi semua model permainan yang Helios pilih."Hahaha!!! Aku menang lagi! Ini seru sekali!" Tawa lepas Helios menghiasi wajahnya.Kelesuan lenyap begitu saja dari pemuda itu. Galau yang tersembunyi dan muncul di sorot matanya hilang. Donita bisa melihat sisi lain
Wajah Herman datar memandang Helios. Mereka akan memulai sarapan pagi itu. Dan Herman menanyakan malam sebelumnya Helios tidak pulang tepat waktu tanpa tidak memberi kabar. "Ada papa kamu di rumah, menunggu kamu pulang. Tidak terpikir sedikitpun kamu ingin mengirim pesan?" ucap Herman. Tenang, tidak ada nada marah, tapi Helios tahu, Herman kecewa. "Pa, aku minta maaf. Itu mendadak dan aku tidak bisa menolak. Karena Miss Donita mengajak begitu saja. Dia tidak menjelaskan akan ke mana dan bagaimana, jadi aku tidak bisa menolaknya." Helios mencoba menjelaskan yang terjadi. Herman menatap lurus pada Helios. Ekspresinya tidak berubah. "Papa, aku minta maaf. Aku sama sekali tidak terpikir. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Helios bicara dengan sungguh-sungguh. Rasanya aneh sekali. Herman marah. Dia bertindak seperti seorang ayah yang mendapati anaknya tidak taat dengan aturan rumah. Apa memang Herman melihat Helios benar-benar sebagai anak? Helios masih melihat Herman sebagai o
Senyum lebar menghiasi bibir Violetta. Dia masih berdiri di balkon memperhatikan Herman dan Helios. Kemudian dia berbalik melangkah masuk lagi ke dalam kamar Siska."Kenapa kamu senyum sendiri? Apa yang lucu?" tanya Siska heran."Om Herman." Violetta menjawab sambil terus berjalan keluar kamar itu. "Aneh. Apanya yang lucu? Menyebalkan yang iya." Siska bicara seakan-akan Violetta masih bisa mendengar.Sedangkan Violetta terus ke lantai bawah, meninggalkan rumah besar itu dan mengarahkan langkah kakinya menuju ke taman di mana Herman dan Helios berada."Hai! Slamat pagi!" Dengan suara ceria Violetta menyapa.Herman dan Helios menoleh ke arah dari mana Violetta datang."Hai, Vio! Pagi!" Herman membalas sapaan itu. "Dari rumah aku lihat Om gembira sekali pagi ini." kata Violetta. Dia menghentikan langkah di depan meja di antara Herman dan Helios duduk."Helios yang punya ide. Dia mengajak sarapan di luar rumah. Seru juga ternyata," ujar Herman.Helios memperhatikan Violetta. Gadis itu m
"Kamu mungkin yang salah, Erma. Nyonya minta beli bukan tiga, tapi lebih." Vemy menenangkan Erma."Nggak mungkin, Bu. Jelas sekali dia bilang tiga kotak." Erma memastikan dia tidak mendengar jumlah yang salah."Ya sudah. Kamu belikan tiga sisa uangnya kamu kembalikan." Dengan tenang Vemy menjawab."Aku sih, merasa ada yang aneh, Bu." Erma mengerutkan kening.Wanita muda itu membawa ingatan pada perbincangannya dengan Siska."Nyonya nanya soal Tuan Besar, juga nanya Tuan Muda," kata Erma."Nanya apa?" Vemy jadi ingin tahu.Singkat, Erma menuturkan apa saja yang Siska tanyakan."Aneh ga aneh, menurutku. Cuma, mengingat mereka selalu saja ribut ... ya pantas kamu merasa gimana, gitu." Vemy mengangkat kedua bahunya."Jadi ini gumana, Bu? Uangnya?" Erma bertanya lagi."Pergi saja sana, sesuai pesanan. Lalu antar dan kembalikan sisa uangnya. Daripada jadi pikiran, lebih baik kamu urus segera saja." Vemy memberi saran."Iya, Bu." Erma manut.Dia pun pamitan keluar untuk mengurus pesanan Siska
Helios masuk ke dapur. Dia ingin membuat jus jambu. Di dapur ada Erma, sendirian."Tuan Muda? Ada yang bisa saya bantu? Kenapa tidak panggil saja?" Erma kaget melihat Helios ke dapur."Aku mau buat jus. Jambu masih ada, kan?" tanya Helios."Biar saya siapkan, Tuan Muda. Silakan kembali ke kamar, nanti saya antar." Erma bicara seraya bergerak menuju kulkas."Ga apa-apa, Mbak. Buat jus itu gampang. Aku buat sendiri aja. Mbak Erma bisa lanjutkan pekerjaan." Helios mendekati Erma dan meminta jambu yang ada di tangan wanita itu."Tuan Muda, tidak boleh begitu. Tugas saya-""Sini. Mana jambunya?" Helios memaksa.Erma tidak berani menolak lagi. Dia berikan dua jambu yang lumayan besar di tangannya pada Helios. Lalu Erma menunjukkan di mana blender dan gelas, juga beberapa barang lain yang mungkin Helios butuhkan, Erma memberitahu di mana posisinya.Helios benar-benar membuat jus sendiri. Sesekali Erma menoleh memperhatikan jika Helios butuh bantuan."Mbak Erma mau?" tanya Helios."Ya, Tuan?"
Cantik, sangat cantik. Hidung yang bangir dengan mata lentik meskipun tidak lebar. BIbir tipis tapi menawan, melengkapi indahnya detil roman gadis dengan rambut coklat kemerahan itu. Helios tidak bisa mengelak. Dia terpesona dengan keelokan Violetta Bianca. Jika disebut bahwa Helios mulai tergoda pun, tidak salah. Helios masih menatap Violetta yang ada hanya beberapa senti di depannya. Wajah gadis itu merah karena terkejut dan hampir terjerembab. "Sorry ... aku kebiasaan, ga bisa pelan-pelan," tandas Violetta. Gadis itu melepaskan tangannya yang mendarat di dada Helios. Sebelah tangannya yang ada di punggung Helios pun mengendur, melepas pegangan pada kaos Helios. "Kamu ga apa-apa, kan?" tanya Helios. "Nop. Fine." Violetta menyahut cepat. "Sampai besok. Bye." Violetta beranjak. Senyum manis masih sempat terlempar sambil matanya melirik pada Helios. Mau tidak mau desiran halus membuat dada Helios meletup. "Kenapa begini? Ini baik tidak buat aku?" bisik hati Helios. Tidak bisa d
Kakak laki-laki. Kata-kata itu membuat Helios seolah-olah tersadar, Violetta ini keponakan Herman. Helios adalah anak Herman. Itu artinya Violetta dan Helios bersaudara. Mereka saudara sepupu."Kamu ga marah, kan, aku bicara kayak gitu?" Violetta memandang Helios."Yang mana?" tanya Helios. Dia membelokkan setir, kendaraan sudah makin dekat dengan lokasi tujuan."Kamu kakak laki-laki buatku," kata Violetta."Nggak. Aku paham. It is okay," ujar Helios.Ya! Singkirkan jauh-jauh semua rasa yang mulai memenuhi hati dan pikiran. Violetta Bianca adalah adik sepupu Helios Bintang Hartawan. Sudah."Thank you," ucap Violetta. Senyum manisnya kembali muncul.Gedung besar dan megah di depan mereka. Mobil Helios masuk ke area dan menuju tempat parkir. Lalu keduanya masuk ke dalam hall besar yang menjadi tempat pertemuan.Baru sampai di depan pintu, terlihat Halim menunggu. Pria itu memandangi Helios dan Violetta yang datang bersama."Kukira Victor mengerjaiku mengatakan kamu datang dengan Nona Vio