"Oya? Bagaimana dia?" Benar, pertanyaan Herman berlanjut."Baik, ramah." Helios menjawab seraya mengambil sepotong roti tawar yang sudah lengkap dengan topingan untuk disantap."Benarkah?" Herman seperti tidak percaya dengan yang Helios katakan."Ya, kami berkeliling beberapa kali. Menyenangkan," kata Helios."Vio ... Gadis itu sudah dewasa." Kalimat Herman itu menyiratkan sesuatu. Tatapan matanya berubah. dia seolah-olah menerawang ke tempat lain atau ke masa lain."Berapa usia Violetta?" tanya Helios."Kalau aku ga salah ingat, tahun ini dua puluh dua. Tapi ya begitulah, masih manja. Hanya suka bersenang-senang. Tidak tahu apa yang dia ingin lakukan dalam hidupnya," jawab Herman dengan lengkap.Jika yang Herman katakan benar, sayang sekali. Kalau ada istilah 'sayang seribu sayang' mungkin lebih tepat lagi mengungkapnnya.Dengan hidup sebagai keluarga Hartawan yang bisa mendapatkan segala fasilitas, sangat mudah bagi Violetta meraih cita-cita. Lalu, dia hanya menghabiskan waktu begit
Helios masih berpikir bagaimana dia menjawab Donita. Wanita itu adalah mentornya dalam pendidikan yang dia tempuh. Apakah wajar jika dia punya kedekatan di luar kelas? Apalagi, kisah hidup Helios tidak wajar. Apakah bisa begitu saja Helios urai pada orang lain? Apa untungnya dan apa pula baiknya? Kalau justru jadi bahan cemooh?"Kamu tahu bukan, di sekolah-sekolah ada ruang BK? Kamu tahu itu fungsinya apa?" Donita bertanya lagi."Tentu aku tahu. Apa salah satu tugas Miss Doni menjadi guru BK buat peserta kelas?" Helios balik bertanya "Tugasku adalah memastikan menti yang aku tangani bisa belajar maksimal. Halangan apapun tidak boleh membuat dia mundur atau gagal. Memang, aku tidak menjamin semua akan berhasil. Tapi, tentu aku harus memperjuangkannya," jelas Donita.Helios paham bagian itu."Terserah kamu jika tidak bersedia terbuka. Yang pasti, aku tidak mau gangguan apapun terjadi dalam proses belajar. Kamu harus ingat itu, Helios." Donita menambahkan, terlihat gamblang dan dia sang
"Bagaimana, Helios? Kamu tidak tertarik melepas lelah?" Donita yang ada di samping Helios bicara sambil ikut memperhatikan area bermain yang ramai dan riuh."Oke. I am ready." Helios tersenyum lebar.Donita mengangkat kakinya dan berjalan masuk ke area bermain itu. Helios menguntit di belakangnya. Dia tidak sabar ingin mencoba permainan apa saja yang ada di sana. Setelah sekian lama, apakah dia masih cukup jago?Tidak sampai sepuluh menit, tampak Helios memulai petualangannya menjelajah area bermain yang lengkap dengan segala macam jenis permainan. Sebagian besar Helios pernah bermain waktu masih di Semarang. Donita mengikuti saja ke sisi mana Helios bergerak. Donita lumayan paham dengan permainan yang ada. Dia cukup mengimbangi semua model permainan yang Helios pilih."Hahaha!!! Aku menang lagi! Ini seru sekali!" Tawa lepas Helios menghiasi wajahnya.Kelesuan lenyap begitu saja dari pemuda itu. Galau yang tersembunyi dan muncul di sorot matanya hilang. Donita bisa melihat sisi lain
Wajah Herman datar memandang Helios. Mereka akan memulai sarapan pagi itu. Dan Herman menanyakan malam sebelumnya Helios tidak pulang tepat waktu tanpa tidak memberi kabar. "Ada papa kamu di rumah, menunggu kamu pulang. Tidak terpikir sedikitpun kamu ingin mengirim pesan?" ucap Herman. Tenang, tidak ada nada marah, tapi Helios tahu, Herman kecewa. "Pa, aku minta maaf. Itu mendadak dan aku tidak bisa menolak. Karena Miss Donita mengajak begitu saja. Dia tidak menjelaskan akan ke mana dan bagaimana, jadi aku tidak bisa menolaknya." Helios mencoba menjelaskan yang terjadi. Herman menatap lurus pada Helios. Ekspresinya tidak berubah. "Papa, aku minta maaf. Aku sama sekali tidak terpikir. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Helios bicara dengan sungguh-sungguh. Rasanya aneh sekali. Herman marah. Dia bertindak seperti seorang ayah yang mendapati anaknya tidak taat dengan aturan rumah. Apa memang Herman melihat Helios benar-benar sebagai anak? Helios masih melihat Herman sebagai o
Senyum lebar menghiasi bibir Violetta. Dia masih berdiri di balkon memperhatikan Herman dan Helios. Kemudian dia berbalik melangkah masuk lagi ke dalam kamar Siska."Kenapa kamu senyum sendiri? Apa yang lucu?" tanya Siska heran."Om Herman." Violetta menjawab sambil terus berjalan keluar kamar itu. "Aneh. Apanya yang lucu? Menyebalkan yang iya." Siska bicara seakan-akan Violetta masih bisa mendengar.Sedangkan Violetta terus ke lantai bawah, meninggalkan rumah besar itu dan mengarahkan langkah kakinya menuju ke taman di mana Herman dan Helios berada."Hai! Slamat pagi!" Dengan suara ceria Violetta menyapa.Herman dan Helios menoleh ke arah dari mana Violetta datang."Hai, Vio! Pagi!" Herman membalas sapaan itu. "Dari rumah aku lihat Om gembira sekali pagi ini." kata Violetta. Dia menghentikan langkah di depan meja di antara Herman dan Helios duduk."Helios yang punya ide. Dia mengajak sarapan di luar rumah. Seru juga ternyata," ujar Herman.Helios memperhatikan Violetta. Gadis itu m
"Kamu mungkin yang salah, Erma. Nyonya minta beli bukan tiga, tapi lebih." Vemy menenangkan Erma."Nggak mungkin, Bu. Jelas sekali dia bilang tiga kotak." Erma memastikan dia tidak mendengar jumlah yang salah."Ya sudah. Kamu belikan tiga sisa uangnya kamu kembalikan." Dengan tenang Vemy menjawab."Aku sih, merasa ada yang aneh, Bu." Erma mengerutkan kening.Wanita muda itu membawa ingatan pada perbincangannya dengan Siska."Nyonya nanya soal Tuan Besar, juga nanya Tuan Muda," kata Erma."Nanya apa?" Vemy jadi ingin tahu.Singkat, Erma menuturkan apa saja yang Siska tanyakan."Aneh ga aneh, menurutku. Cuma, mengingat mereka selalu saja ribut ... ya pantas kamu merasa gimana, gitu." Vemy mengangkat kedua bahunya."Jadi ini gumana, Bu? Uangnya?" Erma bertanya lagi."Pergi saja sana, sesuai pesanan. Lalu antar dan kembalikan sisa uangnya. Daripada jadi pikiran, lebih baik kamu urus segera saja." Vemy memberi saran."Iya, Bu." Erma manut.Dia pun pamitan keluar untuk mengurus pesanan Siska
Helios masuk ke dapur. Dia ingin membuat jus jambu. Di dapur ada Erma, sendirian."Tuan Muda? Ada yang bisa saya bantu? Kenapa tidak panggil saja?" Erma kaget melihat Helios ke dapur."Aku mau buat jus. Jambu masih ada, kan?" tanya Helios."Biar saya siapkan, Tuan Muda. Silakan kembali ke kamar, nanti saya antar." Erma bicara seraya bergerak menuju kulkas."Ga apa-apa, Mbak. Buat jus itu gampang. Aku buat sendiri aja. Mbak Erma bisa lanjutkan pekerjaan." Helios mendekati Erma dan meminta jambu yang ada di tangan wanita itu."Tuan Muda, tidak boleh begitu. Tugas saya-""Sini. Mana jambunya?" Helios memaksa.Erma tidak berani menolak lagi. Dia berikan dua jambu yang lumayan besar di tangannya pada Helios. Lalu Erma menunjukkan di mana blender dan gelas, juga beberapa barang lain yang mungkin Helios butuhkan, Erma memberitahu di mana posisinya.Helios benar-benar membuat jus sendiri. Sesekali Erma menoleh memperhatikan jika Helios butuh bantuan."Mbak Erma mau?" tanya Helios."Ya, Tuan?"
Cantik, sangat cantik. Hidung yang bangir dengan mata lentik meskipun tidak lebar. BIbir tipis tapi menawan, melengkapi indahnya detil roman gadis dengan rambut coklat kemerahan itu. Helios tidak bisa mengelak. Dia terpesona dengan keelokan Violetta Bianca. Jika disebut bahwa Helios mulai tergoda pun, tidak salah. Helios masih menatap Violetta yang ada hanya beberapa senti di depannya. Wajah gadis itu merah karena terkejut dan hampir terjerembab. "Sorry ... aku kebiasaan, ga bisa pelan-pelan," tandas Violetta. Gadis itu melepaskan tangannya yang mendarat di dada Helios. Sebelah tangannya yang ada di punggung Helios pun mengendur, melepas pegangan pada kaos Helios. "Kamu ga apa-apa, kan?" tanya Helios. "Nop. Fine." Violetta menyahut cepat. "Sampai besok. Bye." Violetta beranjak. Senyum manis masih sempat terlempar sambil matanya melirik pada Helios. Mau tidak mau desiran halus membuat dada Helios meletup. "Kenapa begini? Ini baik tidak buat aku?" bisik hati Helios. Tidak bisa d
Pesawat mendarat dengan lancar di kota tujuan. Satu per satu penumpang turun dari pesawat. Di antara mereka tampak Helios dan Violetta. dan satu lagi yang ikut dengan mereka, Herman. Juga didampingi satu pelayan yang akan membantu keperluan Herman jika diperlukan. Berempat mereka mendarat di kota kelahiran Helios, Semarang. Tetapi mungkin lebih tepat dikatakan kota kelahiran Ardiandana Krisnadi. Hari itu, apa yang Helios rencanakan akhirnya bisa dia wujudkan. Dia datang ke Semarang untuk berziarah ke makam ibunya. Dia sudah bertemu ayah kandungnya, yang ternyata pria kaya raya dan baik hati. Bahkan saat ibu Helios mengandung kala itu, Herman masih seorang pengusaha muda yang baru meniti karir. "Apa yang kamu rasakan, Hel?" Violetta bertanya pelan di dekat Helios sementara mereka sedang menuju ke hotel untuk beristirahat setelah meninggalkan bandara. "Penuh. Rasanya campur-campur, di sini." Helios memegang dadanya. " Lebih satu tahun aku pergi. Kembali melewati jalan-jalan ini, semu
"Hel! Helios!" Helios tersentak mendengar panggilan keras itu. Dia segera bangun dan duduk. Tampak Violetta berlari menghampiri Helios yang masih belum hilang dari rasa kaget.Violetta naik ke ranjang, duduk di depan Helios. Mata Violetta menatap dengan berbinar pada Helios yang akhirnya mendapatkan kesadaran sepenuhnya."Ada apa?" tanya Helios."Kita ketemu papa hari ini," kata Violetta penuh semangat tapi juga tegang."Papa?" Helios melotot. "Papa nyusul ke sini? Ini bulan madu kita.""Bukan. Salah." Violetta menggeleng-geleng dengan keras. "Bukan Papa Herman. Papaku.""Papa kamu?" Helios kembali harus memberi waktu loading pada otaknya."Ahh, Pieter. Papaku waktu aku kecil." Kembali Violetta menjelaskan."Ooh, oke ..." Helios mengerti yang Violetta maksud. "Serius dia mau ketemu kamu?""Ya." Kali ini Violetta mengangguk dengan tegas. "Awalnya aku ga yakin, tapi ternyata dia mau. Makan siang di resto ... ini ..." Violetta menunjukkan nama dan lokasi tempat Violetta akan bertemu Pie
"Kenapa? Kenapa kamu melihat aku seperti melihat orang aneh?" ujar Herman sambil memandang Helios lagi."Papa restui aku dan Violetta?" Berdetak lebih kuat jantung Helios ketika mengucapkan itu."Vio, mendekatlah kemari." Sekali lagi Helios meminta Violetta datang di sampingnya.Dengan tatapan bingung, Violetta melangkah mendekati Herman."Kamu sungguh-sungguh sayang anakku?" tanya Herman.Pertanyaan itu diucapkan lembut, tidak ada nada sinis atau tidak suka. Benar-benar pertanyaan yang memang ingin tahu yang sebenarnya.Violetta hampir tidak mampu menahan air matanya. Segala kemelut di dadanya seolah-olah perlahan terurai.Helios yang ada di seberang Herman, memperhatikan Violetta. Menunggu jawaban gadis itu."Ya, Om. Aku sayang Helios." Suara lembut Violetta akhirnya terdengar. "Buat anakku bahagia di hidupnya. Kamu bisa?" tanya Herman lagi, dengan nada suara yang sama.Pertanyaan itu langsung membuat air mata Violetta tak bisa dibendung. Dia menutup wajah dengan kedua tangannya. Di
Dua pasang mata di depan Herman menatap padanya. Sudah pasti Helios dan Violette menunggu kalimat berikut yang akan Herman ucapkan. Tetapi muncul sedikit cemas, kalau sampai emosi Herman naik, jantungnya bisa bermasalah lagi."Aku sudah mendapatkan penyelesaian dari semua kemelut yang selama ini membuat hidupku terasa sangat rumit dan menekan." Lebih tegas Herman bicara, meskipun tetap terdengar tenang. "Maksud Papa?" Helios menegakkan punggung. Dadanya tiba-tiba berdegup kuat. Yang dia takutkan jika Herman tidak akan menerima Violetta di mansion karena Siska sudah tidak ada lagi sebagai anak angkat keluarga Hartawan. "Masalahku yang utama adalah aku perlu penerus untuk keluargaku. Aku ini sudah tua dan sakit-sakitan." Herman kembali melanjutkan menikmati makanannya. Helios dan Violetta memperhatikan setiap gerakan Herman. Herman mengangkat wajahnya, dan mengarahkan pandangan pada Violetta. Lalu dia menoleh ke arah belakangnya. Ada pelayan pengganti Erma berdiri beberapa meter di
Herman menanyakan Violetta. Ini benar-benar kejutan. Helios menaikkan kedua alisnya menatap Herman."Aku lihat dia sedang sedih, Helios. Di mana dia?" Herman menegaskan lagi.Helios semakin terkejut. Dari mana Herman tahu jika Violetta sedang bersedih? Tapi memang itu kenyataannya."Aku telpon dia. Aku akan minta dia ke sini." Helios mengeluarkan ponsel dan mencari nomor kontak Violetta.Dering panggilan Helios beberapa kali, tetapi tidak ada respon. Helios mencoba lagi, hingga kali ketiga baru Violetta menerima panggilannya."Hel ... mama ... mama sdh pergi, Hel ..." Terbata-bata sambil menangis Violetta berkata."Apa?" Refleks kata itu yang Helios ucapkan."Hel ... aku, aku ..."Helios menatap Herman. Ini kesedihan yang Herman maksud. Herman tahu kalau Violetta sedang sedih."Pa, aku temui Vio." Helios berkata dengan pandangan datar, sedikit nanar.Victor memperhatikan ekspresi yang tiba-tiba berbeda."Ya, pergilah." Herman mengangguk.Helios mendekati Victor dan berbisik,"Tante Sis
Violetta masuk kamar Siska. Wanita itu kembali menggunakan alat bantu pernapasan dan kondisinya tiba-tiba sangat lemah. Namun, kesadarannya masih ada. Dia memandang Violetta dan mengulurkan tangan kirinya yang gemetar.Violetta mendekat dan memegang tangan kiri Siska. Hatinya sangat sedih. Melihat ibunya berjuang untuk bernapas, Violetta tidak tega."Kamu ... Vio ..." Siska memaksa diri bicara.Violetta mendekat ke dekat wajah Siska agar bisa mendengar yang Siska katakan."Baha ... gia ... Jangan ... ja ... ngan, se ... dih." Semakin pelan terdengar tapi masih dapat Violetta tangkap.Mendengar itu begitu saja air mata meluncur di mata Violetta. Dia mengangkat muka dan memandang Siska. Mata Siska terus menatap pada Violetta. Lemah dan redup, sayu dan semakin berat."Mama, aku pasti bahagia. Aku janji." Violetta berkata sambil berusaha menahan diri agar tidak menangis.Mata Siska tampa makin berat. Senyum kecil di ujung bibirnya. Sedang napasnya semakin berat. Dia mulai tersengal-sengal
Halim dan Victor bertindak. Niat Helios ingin meluruskan postingan Siska segera mereka tanggapi. Halim membantu Helios menata apa-apa yang perlu Helios katakan di publik dan bagian mana yang cukup menjadi konsumsi pribadi saja.Sedangkan Victor, dia memanggil tiga media yang cukup dikenal dan kredibel untuk ikut membuat video ketika Helios membuat pernyataan. Ini sengaja dilakukan, langsung dengan media, bukan video yang siap ditayangkan setelah lewat proses editing dan lain-lain.Tetap sangat dibatasi berapa dari pers yang bisa datang, karena lokasi dilakukan di rumah sakit. Dua hari persiapan maka rencana dijalankan. Saat memulai Helios sangat tegang. Violetta, Halim, dan Victor juga sama."Hel, good luck. Thanks for all." Violetta mengatakan itu sepenuh hati dan juga menyemangati Helios.Helios mengangguk lalu berjalan ke kursi yang disiapkan untuknya. Pengambilan gambar dilakukan di taman yang tidak jauh dari tempat Herman dirawat."Hari ini, meskipun bukan yang aku inginkan, aku
Helios dengan cepat berdiri. Violetta menatap padanya dengan mata berkaca-kaca. Helios melangkah mendekat. Seketika tangis Violetta pecah. Dalam dekapan Helios, gadis itu melepas penat yang begitu menekan dirinya."God, thank you, You bring her back." Lirih Helios bicara. Dengan kuat dia peluk Violetta. Helios mau membuat Violetta tenang, yakin, Helios akan mendukung dan mendampingi dirinya. Pelukan ini yang Violetta butuhkan. Pelukan cinta tulus untuknya. Apapun keadaannya, cinta itu akan tetap ada. Tanpa tujuan lain, tanpa motivasi apa-apa, selain karena sayang."Terima kasih kamu mau balik. Terima kasih, Vio." Lembut sekali Helios bicara. Terasa rasa lega yang begitu besar dari nada suara Helios.Victor memandang keduanya. Begitu rumit yang terjadi di sekeliling mereka. Cinta mereka diuji berulang kali dengan banyak hal yang jika dipikir tidak harus mereka lalui. Mengingat kisah cintanya sendiri dengan Donita, yang Helios dan Violetta hadapi masih lebih berat."Aku mau lihat mama
Violetta menoleh ke arah gerbang menuju pesawat. Petugas menunggu dengan senyum ramah. Para penumpang satu per satu masuk ke sana.Violetta berdiri. Dia menarik napas dalam. Ada perasaan campur aduk di dada. Dia akan pergi atau kembali. Hatinya bergelut luar biasa. Violetta hanya ingin tenang, lelah dengan semua carut marut yang menekan hidupnya. Setiap berurusan dengan ibunya, hanya luka dan pedih yang dia dapatkan. Jika dia pergi, semua akan selesai. Tapi, apakah dia sejahat itu sebagai anak? Lalu, Helios? Apakah Violetta juga tega membiarkan Helios menghadapi semua sendiri?"Vio, please ..." Terdengar sendu suara Helios. "Aku sayang kamu. Aku mau kita sama-sama. Aku janji akan bilang papa kalau aku akan-"Klik. Violetta mematikan panggilan Helios. Dia masukkan ponsel ke dalam tas, lalu berjalan cepat meninggalkan ruang tunggu dan pergi keluar. Violetta mencari taksi. Dia akan kembali. Dia tidak akan membiarkan Helios menyelesaikan kekacauan yang dibuat oleh ibunya.Bagaimanapun, s