"Kamu mungkin yang salah, Erma. Nyonya minta beli bukan tiga, tapi lebih." Vemy menenangkan Erma."Nggak mungkin, Bu. Jelas sekali dia bilang tiga kotak." Erma memastikan dia tidak mendengar jumlah yang salah."Ya sudah. Kamu belikan tiga sisa uangnya kamu kembalikan." Dengan tenang Vemy menjawab."Aku sih, merasa ada yang aneh, Bu." Erma mengerutkan kening.Wanita muda itu membawa ingatan pada perbincangannya dengan Siska."Nyonya nanya soal Tuan Besar, juga nanya Tuan Muda," kata Erma."Nanya apa?" Vemy jadi ingin tahu.Singkat, Erma menuturkan apa saja yang Siska tanyakan."Aneh ga aneh, menurutku. Cuma, mengingat mereka selalu saja ribut ... ya pantas kamu merasa gimana, gitu." Vemy mengangkat kedua bahunya."Jadi ini gumana, Bu? Uangnya?" Erma bertanya lagi."Pergi saja sana, sesuai pesanan. Lalu antar dan kembalikan sisa uangnya. Daripada jadi pikiran, lebih baik kamu urus segera saja." Vemy memberi saran."Iya, Bu." Erma manut.Dia pun pamitan keluar untuk mengurus pesanan Siska
Helios masuk ke dapur. Dia ingin membuat jus jambu. Di dapur ada Erma, sendirian."Tuan Muda? Ada yang bisa saya bantu? Kenapa tidak panggil saja?" Erma kaget melihat Helios ke dapur."Aku mau buat jus. Jambu masih ada, kan?" tanya Helios."Biar saya siapkan, Tuan Muda. Silakan kembali ke kamar, nanti saya antar." Erma bicara seraya bergerak menuju kulkas."Ga apa-apa, Mbak. Buat jus itu gampang. Aku buat sendiri aja. Mbak Erma bisa lanjutkan pekerjaan." Helios mendekati Erma dan meminta jambu yang ada di tangan wanita itu."Tuan Muda, tidak boleh begitu. Tugas saya-""Sini. Mana jambunya?" Helios memaksa.Erma tidak berani menolak lagi. Dia berikan dua jambu yang lumayan besar di tangannya pada Helios. Lalu Erma menunjukkan di mana blender dan gelas, juga beberapa barang lain yang mungkin Helios butuhkan, Erma memberitahu di mana posisinya.Helios benar-benar membuat jus sendiri. Sesekali Erma menoleh memperhatikan jika Helios butuh bantuan."Mbak Erma mau?" tanya Helios."Ya, Tuan?"
Cantik, sangat cantik. Hidung yang bangir dengan mata lentik meskipun tidak lebar. BIbir tipis tapi menawan, melengkapi indahnya detil roman gadis dengan rambut coklat kemerahan itu. Helios tidak bisa mengelak. Dia terpesona dengan keelokan Violetta Bianca. Jika disebut bahwa Helios mulai tergoda pun, tidak salah. Helios masih menatap Violetta yang ada hanya beberapa senti di depannya. Wajah gadis itu merah karena terkejut dan hampir terjerembab. "Sorry ... aku kebiasaan, ga bisa pelan-pelan," tandas Violetta. Gadis itu melepaskan tangannya yang mendarat di dada Helios. Sebelah tangannya yang ada di punggung Helios pun mengendur, melepas pegangan pada kaos Helios. "Kamu ga apa-apa, kan?" tanya Helios. "Nop. Fine." Violetta menyahut cepat. "Sampai besok. Bye." Violetta beranjak. Senyum manis masih sempat terlempar sambil matanya melirik pada Helios. Mau tidak mau desiran halus membuat dada Helios meletup. "Kenapa begini? Ini baik tidak buat aku?" bisik hati Helios. Tidak bisa d
Kakak laki-laki. Kata-kata itu membuat Helios seolah-olah tersadar, Violetta ini keponakan Herman. Helios adalah anak Herman. Itu artinya Violetta dan Helios bersaudara. Mereka saudara sepupu."Kamu ga marah, kan, aku bicara kayak gitu?" Violetta memandang Helios."Yang mana?" tanya Helios. Dia membelokkan setir, kendaraan sudah makin dekat dengan lokasi tujuan."Kamu kakak laki-laki buatku," kata Violetta."Nggak. Aku paham. It is okay," ujar Helios.Ya! Singkirkan jauh-jauh semua rasa yang mulai memenuhi hati dan pikiran. Violetta Bianca adalah adik sepupu Helios Bintang Hartawan. Sudah."Thank you," ucap Violetta. Senyum manisnya kembali muncul.Gedung besar dan megah di depan mereka. Mobil Helios masuk ke area dan menuju tempat parkir. Lalu keduanya masuk ke dalam hall besar yang menjadi tempat pertemuan.Baru sampai di depan pintu, terlihat Halim menunggu. Pria itu memandangi Helios dan Violetta yang datang bersama."Kukira Victor mengerjaiku mengatakan kamu datang dengan Nona Vio
Selama perjalanan pulang Helios sangat tidak tenang. Masih tak bisa dia percaya jika Melisa bisa menemukannya! Bagaimana mungkin mantan kekasihnya berada di Jakarta? Dan yang lebih mengejutkan, menjadi kekasih Tony? Tidak masuk akal!"Aku Helios, bukan Ardi. Aku anak Tuan Besar Herman Hartawan. Ardi sudah tidak ada lagi, dia sudah mati." Berulang kali Helios mengatakan itu. Dia tampak gugup dan cemas. Jika semua terbongkar, habis sudah. Misi gagal, Helios tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi dengan hidupnya kemudian.Bagaimanapun, Helios mulai menikmati dunianya sebagai Tuan Muda. Mengenal orang-orang kelas atas, bicara bisnis, bertemu para karyawan, baik yang di kantor atau yang di lokasi pabrik. Semua terasa menjadi tantangan yang menyenangkan. "Aku Helios. Aku tidak kenal wanita itu. Aku tidak kenal pacar Tony," kata Helios pada dirinya sendiri.Helios tidak mungkin mundur dengan perjanjian yang dia sepakati dan mulai berjalan. Baru dua bulan, ancaman mulai datang. Benar-
"Thank you udah ngantar pulang. Besok kita jalan?" Violetta memeluk Ferry seraya meletakkan kepala di bahu pria itu."Sure. Aku jemput jam sembilan. Aku antar ke mana kamu mau. Oke?" Ferry mengusap pipi Violetta."Oke. Jangan telat. Aku ga suka nunggu, kamu tahu itu," tukas Violetta manja."Iya, janji," ucap Ferry. Dia mendaratkan kecupan sekilas di bibir Violetta lalu melepas gadis itu dan bergegas masuk ke dalam mobilnya.Begitu mobil mewah itu menjauh, Violetta masuk ke dalam rumah. Ternyata ibunya menunggu dengan kedua tangan terlipat di dada."Kamu masih saja berhubungan sama anak manajer itu?" sambut Siska dengan wajah ketus."Iya. Aku ga mau berdebat, Ma. Aku capek," jawab Violetta sambil melangkah ke arah tangga menuju ke lantai atas."Vio! Kapan kamu mau dengar Mama, hah?!" sentak Siska geram.Semakin hari dia dan anak tunggalnya itu makin seperti kucing dan anjing. Apapun bisa jadi pemicu pertengkaran.Violetta berhenti dan membalikkan badan melihat ke arah ibunya. "Kenapa h
"Kamu ngapain?!" Keras Violetta berkata.Tangan gadis itu masih mencengkeram tangan Helios."Ada laba-laba turun dari atas. Hampir kena kepal-""Ahh!!" Violetta menjerit dan melompat.Dia ke belakang Helios dan memeluk Sang Tuan Muda dengan erat. Violetta menelungkupkan wajahnya di punggung Helios."Vio! Heii?!" Helios ganti yang terkejut dengan reaksi Violetta itu."Buang, Helios! Cepat, buang! Aku takut!" teriak Violetta dengan kepala masih terbenam di punggung Helios.Helios tidak menyangka ini yang terjadi. Secepatnya Helios membuang laba-laba dengan jaring panjang yang menggelantung dari langit-langit gazebo."Sudah. Aku sudah buang." Helios mencoba menengok ke belakang melihat Violetta, dia ingin melepas dekapan tangan gadis itu."Jangan bohong!" sahut Violetta."Nggak bohong. Tanganku sudah kosong, Vio," ucap Helios meyakinkan.Perlahan Violetta mengangkat kepalanya dan mengintip dari punggung Helios. Dua tangan terangkat dan tidak apa apapun yang dia pegang."Oke." Pelan-pelan
Kelas sudah sepi. Tinggal Helios dan Donita yang berhadapan."Oke. Kamu hanya punya waktu tiga puluh menit." Donita menyetujui permintaan Helios."Bisa kita pergi ke suatu tempat? It is not about class. It is personal." Helios menegaskan pembicaraan yang dia perlu lakukan."Well, okay." Donita cukup terkejut dengan permintaan Helios. Tetapi dia tetap berusaha tenang.Mereka meninggalkan akademi. Donita mengajak Helios ke sebuah kafe yang tidak terlalu jauh dari situ. Sebenarnya Donita ada jadwal yang harus dikejar. Tapi sepertinya ajakan Helios ini pun serius.Di kafe yang hanya beberapa pengunjung menjadi tempat nyaman Helios bicara."Silakan. Ada apa sampai kamu mengganggu jadwalku hari ini?" Donita memandang Helios.Helios tidak segera menjawab. Dia sendiri bingung mau memulai dari mana. Apakah akan baik jika dia membuka persoalan pribadi pada mentornya?"Waktuku tidak banyak, Helios. Aku tidak suka membuang waktu." Donita mendesak. Bukan soal membuang wakfu sebenarnya. Jujur saja