"Apa yang kalian lakukan?"
"Ayah." Cicit Bima dengan mata yang membola. Lalu dengan tergesa-gesa Bima dan Diara merapikan pakaian masing-masing. Sungguh demi apapun, sekarang Diara merasa takut sekali. Entah ke mana perginya keberanian yang tadi sempat singgah dalam benaknya. Keberanian itu malah menguap begitu saja bersamaan dengan puncak pelepasaan yang didapat. "Apa yang kamu lakukan dengan pembantumu ini?" Kambali Endy--ayah dari Bima melayangkan pertanyaan yang sama seraya mengayunkan tungkai kakinya mendekati mereka. Sontak saja Diara menunduk dan mengerut takut di belakang tubuh Bima, ketika melihat sorot mata pria tua itu yang menatapnya tajam. "A-ku bisa jelaskan, Yah. I-ini semua--" "Kamu berselingkuh dengan pembantumu?!" Endy langsung memotong ucapan anaknya. Bima semerta-merta bersimpuh di kaki Endy. "Maafkan aku Yah, aku khilaf. Aku mohon jangan beritahu Nadia. Aku janji tidak akan melakukannya lagi." Diara terkejut mendengar kalimat yang baru saja dikuapkan oleh Bima. Bagaimana tidak? Jika itu benar terjadi, itu artinya Bima tidak akan melakukan dengannya lagi dan hubungan mereka akan berakhir? Tidak! Diara tidak ingin hubungannya dengan Bima berakhir begitu saja. Meski tidak ada ikatan apapun diantara mereka tapi Diara tidak rela jika hubungan saling menguntungkan itu kandas. Diara menggelengkan kepala kuat dan berucap tegas. "Mas!" Namun bukan hanya Bima yang menoleh, justru Endy juga mengalihkan atensinya pada gadis itu dan melesatkan tatapan yang begitu mengerikan. "Apa? Mas? Kamu memanggil anak saya dengan sebutan Mas?" Tanyanya. Diara semakin menunduk mendengar pertanyaan mengintimidasi itu. 'Aduh, bodoh! kenapa aku harus keceplosan memanggil Mas Bima dengan embel-embel Mas dalam situasi seperti ini sih? Membuat tambah runyam saja!' "Jadi sudah sejauh itu hubungan kalian?" Endy bertanya lagi dan lidah Diara semakin kelu tidak bisa menjawab apapun. "Tidak, Yah. Kami--" "Tidak apa, ha? Kamu sudah jelas tertangkap basah Bima!" Bima semakin bersimpuh di kaki ayahnya memohon agar Endy tidak memberitahukan hal ini pada Nadia. Sementara Diara tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa terdiam membisu seraya menundukkan kepala semakin dalam. Dalam hati Diara terus merutuki dirinya sendiri. Semua ini terjadi memang karena salahnya, lebih tepatnya salah hormonnya yang tidak bisa diajak berkompromi. Andai saja tadi Diara bisa sedikit menahan dan mengajak Bima untuk pindah ke kamarnya terlebih dahulu. Semua ini pasti tidak akan pernah terjadi. Huft ... namun nasi sudah menjadi basi, mau diapakan lagi? Sekarang Diara hanya tinggal menerima keputusan apa yang akan menimpanya. Yah semoga saja, dan Diara berharap Endy bisa diajak bernegosiasi, agar ia masih bisa tetap bekerja di sana. "Yah, Bima mohon jangan beritahu Nadia. Bima tidak mau pisah dengan Nadia. Bima akan melakukan apa saja, yang penting Ayah rahasiakan masalah ini." Dengan posisi yang sama Bima terus memohon pada ayahnya. Endy masih bergeming, belum melontarkan kalimatnya kembali. Namun terlihat dari ekor mata Diara, Endy seperti memehatikannya tapi dengan sorot mata yang berbeda dari yang sebelumnya. Meski tidak begitu jelas, tapi Diara bisa pastikan bahwa ada maksud lain dari tatapanya itu. "Ayah tidak akan mengadukannya pada Nadia." Ucapnya membuat Diara dan Bima seketika menoleh padanya dan rasa lega mulai merambat di benak keduanya. "Tapi dengan satu syarat." Lanjutnya lagi. Bima lantas berdiri. "Apa syaratnya, Yah? Bima akan lakukan apapun itu." Ujarnya penuh keyakinan. Sepertinya Bima begitu tidak ingin berpisah dengan istrinya. Kemudian Endy kembali memerhatikan Diara, bahkan bola matanya bergulir dari bawah sampai atas, membuat Diara jadi agak risih. Lalu ... Kalimat yang dilontarkan Endy selanjutnya sukses membuat Diara terkejut setengah mati, begitu pun dengan Bima. Sebab Diara maupun Bima tidak pernah memprediksikan kalimat tersebut akan ke luar dari belah bibir Endy. "Ayah juga ingin mencicipi pembantumu ini." Bima sontak menatap tak percaya pada ayahnya, namun kemudian Bima berganti menatap Diara. "Mas.." Diara menggelengkan kepala pada Bima, bermaksud memberitahu bahwa ia tidak mau melakukan hal itu dengan Endy. Meski hormon Diara berlebih, tapi ia juga cukup pemilih. Diara tidak mau jika harus menyalurkan hasratnya dengan laki-laki tua seperti Endy. Namun sayang, di sana Bima malah menanggapi permintaan ayahnya dengan kalimat yang tidak sesuai dengan apa yang Diara inginkan. "Baiklah Yah, jika Ayah ingin merasakan Diara juga, silakan. Asal Ayah janji, rahasiakan hal ini." Diara sontak menatap Bima tidak percaya. "Tapi, Mas.. Aku--" "Sudahlah Dira. "Potong Bima. "Ini demi kebaikanmu juga. Memangnya kamu mau dipecat dan tidak bisa bermain lagi denganku?" Diara menggeleng lemah. Jelaslah ia tidak ingin hal itu terjadi. "Ya sudah kalau begitu turuti saja." Kata Bima. "Lagi pula, kamu pasti akan dapat banyak dari Ayahku." Dan akhirnya Diara hanya bisa mengangguk pasrah. Biarlah jika ia harus sedikit berkorban, yang terpenting ia masih bisa menjalin hubungan gelap dengan Bimw. "Bagus.. " Endy terdengar kembali bersuara. "Kalau begitu Ayah ingin merasakannya sekarang juga." Netra Diara seketika membelalak. 'Hah yang benar saja? Apa laki-laki tua ini tidak waras? Dia 'kan tahu kalau aku baru saja melakukannya dengan putranya. Seharusnya dia mengerti bahwa aku masih lelah.' Sontak saja Diara melontarkan penolakan. "Tidak bisa sekarang, Pak. Saya baru saja melakukannya dengan anak Bapak. Saya sangat lelah." 'Huh mau seenaknya saja dia, memangnya aku ini apaan?' "Oh ya sudah kalau kamu tidak mau, saya akan adukan hal ini pada Nadia sekarang juga!" Ancamnya sembari berbalik dan melangkah pergi. Namun dengan gesit Bima langsung menahannya. "Jangan, Yah." Bima memegang tangan ayahnya yang membuat langkah laki-laki tua itu berhenti. "Diara please.. Layani Ayahku sekarang juga." "Tapi Mas aku lelah sekali. Kamu tahu 'kan bagaimana tadi kita bermain?" "Iya aku tahu, tapi ini demi kita juga. Aku mohon." Pinta Bima. Diara terdiam, mencoba menimbang-nimbang. Namun belum sempat ia menjawab, Endy kembali berucap. "Terlalu lama! Sudah, biar Ayah beritahu Nadia sekarang saja!" 'Sial laki-laki tua ini!' Dalam hati Diara menggeram kesal. Bima kembali menahan Ayahnya. "Yah, yah, tolong Yah. Jangan beritahu Nadia." "Tapi jalangmu ini sangat lama. Ini sudah sangat malam!" 'Apa jalang? Dia memanggilku jalang? Benar-benar laki-laki tua kurang ajar!' Meski Diara berhubungan dengan Bima di belakang. Tapi bukan berarti ia jalang. Asal kau tahu, selama ini Diara hanya pernah melakukannya dengan dua orang laki-laki saja; Herman dan Bima. Jadi Diara bukanlah jalang! "Diara, aku mohon turuti keinginan Ayahku. Ini demi kita!" Lagi Bima memohon padanya. Mau tak mau, dengan hati yang begitu berat, Diara kembali menganggukan kepala, membuat Endy tersenyum senang. 'Dasar laki-laki tua bangka, mesum, tak punya malu!' Batinnya mengumpat. "Ya sudah kalian lakukanlah di kamarmu saja, Diara." Perintah Bima. Diara tidak menjawab lagi ucapan Bima. Ia memilih langsung melenggang pergi ke kamarnya, dan tentunya di ikuti oleh laki-laki tua itu. 'Huft ... Tugas tambahan lagi.' Bersambung...Semenjak malam itu, pekerjaan Diara menjadi bertambah lagi. Bagaimana tidak? Endy jadi sering berkunjung ke rumah Bima. Bisa satu bulan sekali, kadang dua minggu sekali. Padahal tempat tinggalnya cukup jauh dan berbeda kota. Dulu sebelum mempunyai hubungan dengan Diara, lelaki tua itu hanya akan ke rumah sekirannya tiga bulan atau enam bulan sekali untuk menengok sang cucu, itu pun selalu bersama dengan istrinya. Namun sekarang, Endy sering datang sendiri. Entah alasan apa yang lelaki itu kemukakan pada istri, juga pada Nadia (selaku menantu dan pemilik rumah) agar tidak curiga. Diara benar-benar tidak tahu dan tidak ingin tahu. Namun sekarang terjadi sesuatu yang berbeda dengan perasaan Diara pada Endy. Entah mungkin karena sering berhubungan dengannya, sehingga membuat Diara mulai merasakan nyaman terhadap laki-laki tua itu. Padahal pada awalnya Diara sangat muak dan membencinya setengah mati. Sebab kau tahu? Endy bukanlah tipenya. Seperti menjilat ludah sendiri, kini Diara mal
Sesuai prediksi. Diara lah yang akhirnya terusir dan terhina. Sedikitpun ia tidak pernah menyangka bahwa kedua laki-laki itu sangat pecundang sekali. Keduanya dengan sengaja melimpahkan semua kesalahan pada Diara. Membuat gadis itu seolah-olah menjadi tersangka utama dan satu-satunya. Nadia dan Rani dengan mudahnya malah mempercayai begitu saja kedua lelaki pendusta itu. Dua wanita itu seketika sangat murka pada Diara. Mereka menjambak secara membabi buta sebelum akhirnya menendangnya dari rumah. Diara menangis, meraung, meminta ampun. Ia sudah tidak peduli lagi dengan tatapan para tetangga dan orang-orang yang melintas--yang menatapnya dengan tatapan jijik, seolah Diara adalah seonggok kotoran yang sangat menjijikkan."Ampun Bu. Ampun Bu Nadia, Bu Rani. Ampuni saya."Diara terus memohon pada mereka, khususnya pada Nadia dan Rani, agar kedua wanita itu memberikannya sedikit rasa belas kasihan. Mungkin karena memang mereka merasa kasihan pada Diara yang sudah tidak berdaya atau mung
Terhitung sudah sekitar satu bulan Diara tinggal di kostan itu. Ia merasa betah, karena kostannya cukup bagus, bersih, nyaman, dan orang-orang di sana juga baik. Tapi yang ia pikirkan sekarang adalah biaya sewanya.Tujuh ratus ribu bagi Diara terlalu mahal, apalagi mengingat ia yang sampai sekarang belum juga mendapat pekerjaan lagi. Untuk makan sehari-hari saja ia hanya mengandalkan uang yang ada dalam tas. Jumlahnya lima juta rupiah kala itu, dan sekarang semakin hari jumlahnya semakin berkurang."Tinggal sisa dua juta lagi bagaimana ini?" Gumamnya setelah menghitung lagi.Diara memang baru saja membayar biaya sewa kost untuk bulan ini. Walau biayanya terbilang mahal, tapi ia memutuskan untuk memperpanjang sewa. Lagipula sebenarnya harga segitu wajar untuk ukuran kost-kostan yang ada dipusat ibu kota, yang menjadi masalah hanya terletak pada dirinya yang belum juga mendapat pekerjaan.Sebenarnya Diara sudah berusaha untuk mencari pekerjaan, tapi
"Ti makasih ya, lo udah mau ngajak gue kerja di sini."Sekarang ini Diara sedang menunggu angkutan umum untuk kembali ke kostan karena ia baru mulai bekerja esok hari. Rianti meminta izin untuk menantar Diara ke depan Cafe seraya menemaninya menunggu angkutan umum."Ya elah santai aja kali, yang penting gajian pertama traktir gue." Balas Rianti jenaka sambil tertawa kecil.Diara ikut tertawa. "Hahaha beres." Katanya. "Oh ya, omong-omong gue gak punya baju buat besok kerja. Apa gue beli aja ya sebelum berangkat? Tapi kira-kira baju kaya lo gini harganya berapaan?" Diara memegang ujung bawah drass yang sedang dikenakan oleh Rianti.Tadi setelah tanda tangan kontrak, Roni sudah menjelaskan pekerjaan yang harus Diara kerjakan, termasuk perihal pakaian yang harus dikenakan oleh gadis itu. Tidak ada pakaian khusus seperti para pegawai, Diara dibebaskan memakai pakaian apapun yang terpenting pakaian itu harus menarik.Diara cukup paham dengan ap
"BAJINGAN!""Laki-laki biadab!""Dan kamu pelacar muruhan. Rasakan ini!""Aahh ... Lepaskan! Dasar perempuan tua tidak berguna. Lepaskan tanganmu dari rambutku!""Lepaskan tanganmu Ratih! Sudahlah terima saja nasibmu. Aku sudah bosan denganmu!""Tidak! Aku tidak akan lepaskan. Wanita murahan ini harus merasakan rasa sakitku!""Ahhh mas kepalaku sakit.""Kubilang lepaskan!""TIDAK!""Mas. Hiks ... Tolong."Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi wanita paruh baya itu. Seketika jambakannya pada rambut wanita muda yang merupakan selingkuhan dari sang suami terlepas.Sontak perempuan itu berlari ke arah lelakinya. "Mas kepalaku sakit." Adunya dengan manja. "Maaf ya sayang." Sambil mengelus lembut kepala selingkuhannya. Melihat hal tersebut membuat sang istri menatap tak percaya dengan air mata yang sudah menganak sungai. "Kamu membelanya dan menamparku?" "Itu memang pantas untukmu!" Ucapnya tanpa rasa bersalah, Kemudian lelaki itu pergi membawa serta wanita mudanya meninggalkan sa
"Ngh.""Ahh ... Mas."Suara-suara itu sukses membuat pergerakan Diara yang tengah menuang air ke dalam gelas berhenti. Ia segera menutup kran dispenser lalu menajamkan pendengarnya.Diikutinya arah suara tersebut dengan mengendap-endap hingga sampai di ruang tamu, di sana ia menemukan sepasang manusia yang tengah memadu kasih.Mereka adalah kedua majikannya. Sejujurnya Diara tidak begitu terkejut melihat pemandangan itu, sebab hal tersebut bukanlah yang pertama ia lihat melainkan kali ketiga selama enam bulan ia bekerja sebagai pembantu di sana."Kayanya mereka suka banget menjelajah semua sudut ruangan di rumah ini." Gumam Diara terkikik.Bukannya lekas pergi seperti kali pertama dan kedua ia memergoki, kali ini Diara justru malah bersembunyi dibalik tembak penyekat antar ruang keluarga dan ruang tamu.Entah mengapa melihat majikannya yang tengah bersenggama itu malah membuat sesuatu dalam diri Diara bangkit. Sebagai seseorang yang sudah pernah merasakan nikmatnya bercinta hal terse
Pagi ini Diara terbangun sedikit lebih telat dari biasanya. Kau pasti sudah tahu 'kan apa penyebabnya? Iya. Benar. Semalam Diara melakukannya. Melakukan sesuatu yang sudah lama sekali tidak ia lakukan. Sungguh ia sangat senang sekali, akhirnya ia bisa merasakan kenikmatan itu lagi. Dan ... Apa kau tahu? Ada satu hal lagi yang membuat perasaan Diara berkali-kali lipat lebih senang dan begitu bahagia. Iya. Itu karena ia melakukannya dengan seseorang yang sudah lama ia kagumi secara diam-diam. Bima Pratama.Lelaki yang sejak awal melihatnya, Diara sudah menaruh kekaguman padanya. Bagaimana tidak? Lelaki itu, begitu luar biasa sempurna.Wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan tinggi, berwibawa dan pastinya mapan. Ah beruntung sekali Nadia--istri Bima--bisa memiliki suami seperti majikan lelakinya tersebut. Jika boleh jujur, sebenarnya Diara sempat merasa iri, tapi ia tepis rasa iri itu karena ia cukup tahu diri. Namun siapa sangka, kini ia bahkan sudah merasakan bagaimana nikmatnya berci
Sedari tadi senyuman yang terpatri di bibir Diara tidak mengendur sama sekali. Apalagi saat matanya memandang tumpukan belanjaan yang ia beli siang tadi di pasar. Rasa-rasanya sudah lama sekali ia tidak merasakan kebahagiaan seperti ini. Mungkin jika ingat-ingat terakhir kali ia merasakanya ketika keluarganya masih utuh. Sebelum datangnya wanita muda yang merebut ayahnya hingga menyebabkan ibunya depresi dan memilih bunuh diri.Teringat kembali kejadian kelam itu, membuat senyuman yang tersemat di bibir Diara mendadak memudar dan menghilang begitu saja. Sebenarnya sempat terbesit dalam benak Diara untuk mencari keberadaan si pelakor dan membalaskan dendam. Namun niat itu langsung terhempas begitu saja sebelum terealisasi. Sebab Diara tidak tahu harus mencari wanita itu ke mana? Diara tidak punya informasi apapun mengenai wanita tersebut, bahkan namanya saja ia tidak tahu. Bagaimana ia bisa mencarinya? Jika yang ia ingat hanya wajahnya saja?"Ah sudahlah sebaiknya aku lupainaja tent