Sudah tiga bulan lebih, hubungan gelap Diara dan Bima terjalin. Dan selama itu pula Nadia tidak pernah curiga atau mengendus gelagat mereka sedikitpun.
Diara dan Bina memang sangat berhati-hati sekali. Bagaimanapun juga mereka ingin bermain aman. Mereka tidak ingin, jika hubungannya terbongkar dan malah menimbulkan banyak masalah. Bima rutin mengunjungi Diara dua hari sekali, dan seperti biasa ia selalu menghampiri Diara tengah malam, karena menunggu sampai Nadia benar-benar tidur. Tapi terkadang mereka juga melakukannya pada siang atau pagi hari, ketika ada kesempatan yang memungkinkan atau ketika Nadia tidak ada di rumah. Namun sudah dua minggu ini Bima tidak meminta jatah pada Diara, membuat gadis itu jadi sedikit uring-uringan sebab hasratnya yang tidak tersalurkan. Walau bagaimanapun Bima sudah menjadi candu untuknya, dan ia sangat membutuhkannya. Diara ingin bertanya perihal mengapa Bima tidak meminta jatah, tapi selalu tidak ada celah untuknya melontarkan pertanyaan tersebut. Pasalnya akhir-akhir ini Bima dan Nadia sangat lengket sekali padahal sebelumnya hubungan mereka terjalin biasa-biasa saja, tidak selengket itu. Walau masih tetap terlihat harmonis. Owh ... apa jangan-jangan semua ini terjadi karena mereka yang ingin menambah momongan? Beberapa waktu lalu, Diara memang sempat mendengar pembicaraan mereka, perihal yang ingin menambah seorang anak. Ah iya, sepertinya karena itu Bima menjauhi Diara dan tidak meminta jatah lagi. Bima pasti ingin fokus pada program anak keduanya. Diara memakluminya sih, tapi ia juga tidak bisa menahan gairah untuk tidak bercinta. Sudah Diara katakan bahwa ia sangat begitu candu pada Bima, dan ia juga perlu untuk melampiaskannya. Seharusnya Bima tetap memberikannya waktu walau tak sesering sebelumnya, agar Diara tidak merasa tersiksa seperti ini. Setiap malam Diara pasti tidak bisa tidur dan selalu merasa gelisah. Ia memang mempunyai hormon yang berlebih dari dulu dan hormon itu semakin bertambah lebih lagi saat ia menjalin hubungan dengan Bima. Seperti sekarang ini Diara kembali kesulitan untuk tertidur meski waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sedari tadi ia hanya berguling ke sana kemari di atas ranjang. 'Argh ... Hormon ini benar-benar menyiksaku. Aku harus bagaimana ini?' "Apa aku tuntaskan di kamar mandi aja?" Gumamnya. Memang untuk menanggulangi hormon terlebihnya ini, tak jarang Diara harus mengatasinya sendiri. Biasanya ia akan melakukannya di kamar, namun sekarang ia merasa sangat bosan jika harus menyelesaikannya di kamar terus, ditambah lagi melakukannya sendiri tidak senikmat jika bersama pasangan. Maka ia ingin mencari suasana baru. Sepertinya di kamar mandi cukup menyenangkan, tapi berhubung kamarnya ini tidak memiliki kamar mandi di dalam, jadi ia harus ke luar--menuju kamar mandi yang terdapat di dekat dapur. Namun, seperti mendapat durian runtuh. Netranya seketika berbinar manakala melihat seseorang yang begitu ia damba dan inginkan tengah berada di ruang dapur. Sepertinya lelaki itu terbangun dan kehausaan. Meski penerangan sangat minim karena sebagian lampu memang sudah dimatikan (termasuk lampu area dapur) tapi Diara masih bisa mengenali dengan jelas dan ia bisa pastikan bahwa seseorang itu adalah Bima. Sontak saja, dengan langkah mengendap-endap Diara dekatinya yang kini tengah menenggak air mineral dengan posisi membelakangi kemudian dengan gerakan cepat, Diara lingkaran tangannya di perut si lelaki seraya menyandarkan kepala di punggung lebarnya. "Mas, aku kangen kamu." Lirih Diara. Kau tidak perlu heran dan mengira bahwa kau salah dengar. Diara memang sudah mengganti panggilannya pada Bima dengan sebutan 'Mas' tepat satu bulan mereka menjalin hubungan. Diara lakukan itu atas permintaan Bima dan ia akan memanggil dengan panggilan tersebut saat mereka sedang berdua saja. Bima terkejut dan hampir saja tersedak minumannya karena perlakukan Diara yang tiba-tiba. Ia lalu melepaskan tangan Diara yang melingkari perutnya dengan kasar dan berbalik. "Diara! Kamu apa-apaan sih?" Geramnya tertahan karena tidak ingin membuat semua orang terbangun. "Kalau ada yang lihat kita bagaimana? Kamu tahu 'kan sekarang sedang ada orang tuaku di sini." Memang sudah dua hari ini orang tua Bima (yang tinggal beda kota) datang berkunjung dan menginap. Alasannya sih sudah lama tidak bertemu dan ingin menengok cucu karena rindu, katanya. "Iya aku tahu, tapi aku kangen kamu Mas. Dua minggu loh kamu tidak mengunjungiku." "Aku sedang program anak kedua, jadi aku harus fokus dan harus sering melakukannya dengan istriku." Jelasnya membenarkan praduga Diara sebelumnya. "Tapi seharusnya Mas tetap menemuiku walau tidak sesering kemarin-kemarin. Atau jangan-jangan itu cuman alasan Mas saja? dan sebenarnya Mas sudah bosan 'kan sama aku?" Ucap Diara pura-pura merajuk dan membuat raut wajah menjadi begitu sedih. Ia melakukan itu untuk menarik simpati Bima. Bima terdengar menghela napas kasar lalu menangkup wajah Diara yang menunduk agar melihatnya. "Tidak. Mana mungkin Mas bosan sama kamu. Mas sudah pernah bilang 'kan bahwa pelayanan kamu jauh lebih memuaskan dibanding istrinya Mas?" Ucapnya dengan nada yang begitu lembut, berbeda sekali dengan beberapa saat lalu. "Mas melakukan itu, murni cuman untuk program anak kedua. Setelah istri Mas dinyatakan hamil, Mas pasti akan lebih sering sama kamu lagi." "Tapi sampai kapan aku harus menunggu? Dan mana mungkin aku bisa tahan selama itu?" Bima tampak terdiam, entah apa yang tengah dipikirkannya. Namun, karena gairah Diara sudah benar-benar tidak bisa dibendung lagi. Sebelum Bima kembali melontarkan kata, Diara sudah lebih dulu membuka tiga kancing teratas piama yang dikenakan dan lebih merapatkan tubuh pada Bima. Diara tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. "Mas Bima, aku mohon sentuh aku malam ini. Tolong aku, aku sudah tidak bisa menahannya lagi." Ujarnya memelas namun sangat menggoda sembari menyentuh bagian dadanya dengan gerakan seduktif. Bima meneguk salivanya dengan kasar seraya memejamkan mata, sepertinya ia sedang merasakan suatu yang tengah bergejolak dalam dirinya akibat sentuhan yang Diara berikan. Melihat itu, dalam hati Diara bersorak senang, ia sangat yakin Bima tidak akan bisa menolak. Sebab ia tahu; sama seperti dirinya yang begitu candu pada lelaki itu, Bima juga sangat candu padanya. "Kurang ajar kamu, Diara!" Geramnya rendah. "Kamu memang tahu kelemahanku." Tanpa menghiraukan posisi mereka yang masih berada di ruang dapur, Bima lantas memeluk Diara dan mencumbunya dengan bergairah. Diara hanya tersenyum menyeringai dan menerima perlakuannya dengan senang hati, tentu saja. Sama seperti Bima, Diara juga sudah tidak peduli di mana mereka terada sekarang dan ia juga tidak peduli jika akan ada yang melihat kegiatan mereka. Sebab yang terpenting untuknya saat ini ialah, malam ini dan detik ini juga, apa yang ia inginkan harus segera tertuntaskan. Dan ... Selanjutnya, merekapun benar-benar melakukannya di ruang dapur, sesuatu yang baru pertama kali mereka lakukan. Namun tepat saat pelepasan mereka dapatkan, seseorang memasuki area dapur ini dan melihat keduanya yang masih dengan keadaan berantakan dengan napas yang masih tertarik tak beraturan. Dengan mata yang membelalak sempurna seseorang itu kemudian bersuara. "Apa yang kalian lakukan?" Bersambung..."Apa yang kalian lakukan?""Ayah." Cicit Bima dengan mata yang membola. Lalu dengan tergesa-gesa Bima dan Diara merapikan pakaian masing-masing. Sungguh demi apapun, sekarang Diara merasa takut sekali. Entah ke mana perginya keberanian yang tadi sempat singgah dalam benaknya. Keberanian itu malah menguap begitu saja bersamaan dengan puncak pelepasaan yang didapat. "Apa yang kamu lakukan dengan pembantumu ini?" Kambali Endy--ayah dari Bima melayangkan pertanyaan yang sama seraya mengayunkan tungkai kakinya mendekati mereka. Sontak saja Diara menunduk dan mengerut takut di belakang tubuh Bima, ketika melihat sorot mata pria tua itu yang menatapnya tajam. "A-ku bisa jelaskan, Yah. I-ini semua--""Kamu berselingkuh dengan pembantumu?!" Endy langsung memotong ucapan anaknya. Bima semerta-merta bersimpuh di kaki Endy. "Maafkan aku Yah, aku khilaf. Aku mohon jangan beritahu Nadia. Aku janji tidak akan melakukannya lagi."Diara terkejut mendengar kalimat yang baru saja dikuapkan oleh Bim
Semenjak malam itu, pekerjaan Diara menjadi bertambah lagi. Bagaimana tidak? Endy jadi sering berkunjung ke rumah Bima. Bisa satu bulan sekali, kadang dua minggu sekali. Padahal tempat tinggalnya cukup jauh dan berbeda kota. Dulu sebelum mempunyai hubungan dengan Diara, lelaki tua itu hanya akan ke rumah sekirannya tiga bulan atau enam bulan sekali untuk menengok sang cucu, itu pun selalu bersama dengan istrinya. Namun sekarang, Endy sering datang sendiri. Entah alasan apa yang lelaki itu kemukakan pada istri, juga pada Nadia (selaku menantu dan pemilik rumah) agar tidak curiga. Diara benar-benar tidak tahu dan tidak ingin tahu. Namun sekarang terjadi sesuatu yang berbeda dengan perasaan Diara pada Endy. Entah mungkin karena sering berhubungan dengannya, sehingga membuat Diara mulai merasakan nyaman terhadap laki-laki tua itu. Padahal pada awalnya Diara sangat muak dan membencinya setengah mati. Sebab kau tahu? Endy bukanlah tipenya. Seperti menjilat ludah sendiri, kini Diara mal
Sesuai prediksi. Diara lah yang akhirnya terusir dan terhina. Sedikitpun ia tidak pernah menyangka bahwa kedua laki-laki itu sangat pecundang sekali. Keduanya dengan sengaja melimpahkan semua kesalahan pada Diara. Membuat gadis itu seolah-olah menjadi tersangka utama dan satu-satunya. Nadia dan Rani dengan mudahnya malah mempercayai begitu saja kedua lelaki pendusta itu. Dua wanita itu seketika sangat murka pada Diara. Mereka menjambak secara membabi buta sebelum akhirnya menendangnya dari rumah. Diara menangis, meraung, meminta ampun. Ia sudah tidak peduli lagi dengan tatapan para tetangga dan orang-orang yang melintas--yang menatapnya dengan tatapan jijik, seolah Diara adalah seonggok kotoran yang sangat menjijikkan."Ampun Bu. Ampun Bu Nadia, Bu Rani. Ampuni saya."Diara terus memohon pada mereka, khususnya pada Nadia dan Rani, agar kedua wanita itu memberikannya sedikit rasa belas kasihan. Mungkin karena memang mereka merasa kasihan pada Diara yang sudah tidak berdaya atau mung
Terhitung sudah sekitar satu bulan Diara tinggal di kostan itu. Ia merasa betah, karena kostannya cukup bagus, bersih, nyaman, dan orang-orang di sana juga baik. Tapi yang ia pikirkan sekarang adalah biaya sewanya.Tujuh ratus ribu bagi Diara terlalu mahal, apalagi mengingat ia yang sampai sekarang belum juga mendapat pekerjaan lagi. Untuk makan sehari-hari saja ia hanya mengandalkan uang yang ada dalam tas. Jumlahnya lima juta rupiah kala itu, dan sekarang semakin hari jumlahnya semakin berkurang."Tinggal sisa dua juta lagi bagaimana ini?" Gumamnya setelah menghitung lagi.Diara memang baru saja membayar biaya sewa kost untuk bulan ini. Walau biayanya terbilang mahal, tapi ia memutuskan untuk memperpanjang sewa. Lagipula sebenarnya harga segitu wajar untuk ukuran kost-kostan yang ada dipusat ibu kota, yang menjadi masalah hanya terletak pada dirinya yang belum juga mendapat pekerjaan.Sebenarnya Diara sudah berusaha untuk mencari pekerjaan, tapi
"Ti makasih ya, lo udah mau ngajak gue kerja di sini."Sekarang ini Diara sedang menunggu angkutan umum untuk kembali ke kostan karena ia baru mulai bekerja esok hari. Rianti meminta izin untuk menantar Diara ke depan Cafe seraya menemaninya menunggu angkutan umum."Ya elah santai aja kali, yang penting gajian pertama traktir gue." Balas Rianti jenaka sambil tertawa kecil.Diara ikut tertawa. "Hahaha beres." Katanya. "Oh ya, omong-omong gue gak punya baju buat besok kerja. Apa gue beli aja ya sebelum berangkat? Tapi kira-kira baju kaya lo gini harganya berapaan?" Diara memegang ujung bawah drass yang sedang dikenakan oleh Rianti.Tadi setelah tanda tangan kontrak, Roni sudah menjelaskan pekerjaan yang harus Diara kerjakan, termasuk perihal pakaian yang harus dikenakan oleh gadis itu. Tidak ada pakaian khusus seperti para pegawai, Diara dibebaskan memakai pakaian apapun yang terpenting pakaian itu harus menarik.Diara cukup paham dengan ap
"BAJINGAN!""Laki-laki biadab!""Dan kamu pelacar muruhan. Rasakan ini!""Aahh ... Lepaskan! Dasar perempuan tua tidak berguna. Lepaskan tanganmu dari rambutku!""Lepaskan tanganmu Ratih! Sudahlah terima saja nasibmu. Aku sudah bosan denganmu!""Tidak! Aku tidak akan lepaskan. Wanita murahan ini harus merasakan rasa sakitku!""Ahhh mas kepalaku sakit.""Kubilang lepaskan!""TIDAK!""Mas. Hiks ... Tolong."Plak!Sebuah tamparan keras mendarat di pipi wanita paruh baya itu. Seketika jambakannya pada rambut wanita muda yang merupakan selingkuhan dari sang suami terlepas.Sontak perempuan itu berlari ke arah lelakinya. "Mas kepalaku sakit." Adunya dengan manja. "Maaf ya sayang." Sambil mengelus lembut kepala selingkuhannya. Melihat hal tersebut membuat sang istri menatap tak percaya dengan air mata yang sudah menganak sungai. "Kamu membelanya dan menamparku?" "Itu memang pantas untukmu!" Ucapnya tanpa rasa bersalah, Kemudian lelaki itu pergi membawa serta wanita mudanya meninggalkan sa
"Ngh.""Ahh ... Mas."Suara-suara itu sukses membuat pergerakan Diara yang tengah menuang air ke dalam gelas berhenti. Ia segera menutup kran dispenser lalu menajamkan pendengarnya.Diikutinya arah suara tersebut dengan mengendap-endap hingga sampai di ruang tamu, di sana ia menemukan sepasang manusia yang tengah memadu kasih.Mereka adalah kedua majikannya. Sejujurnya Diara tidak begitu terkejut melihat pemandangan itu, sebab hal tersebut bukanlah yang pertama ia lihat melainkan kali ketiga selama enam bulan ia bekerja sebagai pembantu di sana."Kayanya mereka suka banget menjelajah semua sudut ruangan di rumah ini." Gumam Diara terkikik.Bukannya lekas pergi seperti kali pertama dan kedua ia memergoki, kali ini Diara justru malah bersembunyi dibalik tembak penyekat antar ruang keluarga dan ruang tamu.Entah mengapa melihat majikannya yang tengah bersenggama itu malah membuat sesuatu dalam diri Diara bangkit. Sebagai seseorang yang sudah pernah merasakan nikmatnya bercinta hal terse
Pagi ini Diara terbangun sedikit lebih telat dari biasanya. Kau pasti sudah tahu 'kan apa penyebabnya? Iya. Benar. Semalam Diara melakukannya. Melakukan sesuatu yang sudah lama sekali tidak ia lakukan. Sungguh ia sangat senang sekali, akhirnya ia bisa merasakan kenikmatan itu lagi. Dan ... Apa kau tahu? Ada satu hal lagi yang membuat perasaan Diara berkali-kali lipat lebih senang dan begitu bahagia. Iya. Itu karena ia melakukannya dengan seseorang yang sudah lama ia kagumi secara diam-diam. Bima Pratama.Lelaki yang sejak awal melihatnya, Diara sudah menaruh kekaguman padanya. Bagaimana tidak? Lelaki itu, begitu luar biasa sempurna.Wajahnya tampan, tubuhnya tegap dan tinggi, berwibawa dan pastinya mapan. Ah beruntung sekali Nadia--istri Bima--bisa memiliki suami seperti majikan lelakinya tersebut. Jika boleh jujur, sebenarnya Diara sempat merasa iri, tapi ia tepis rasa iri itu karena ia cukup tahu diri. Namun siapa sangka, kini ia bahkan sudah merasakan bagaimana nikmatnya berci