Sudah tiga bulan lebih, hubungan gelap Diara dan Bima terjalin. Dan selama itu pula Nadia tidak pernah curiga atau mengendus gelagat mereka sedikitpun.
Diara dan Bina memang sangat berhati-hati sekali. Bagaimanapun juga mereka ingin bermain aman. Mereka tidak ingin, jika hubungannya terbongkar dan malah menimbulkan banyak masalah. Bima rutin mengunjungi Diara dua hari sekali, dan seperti biasa ia selalu menghampiri Diara tengah malam, karena menunggu sampai Nadia benar-benar tidur. Tapi terkadang mereka juga melakukannya pada siang atau pagi hari, ketika ada kesempatan yang memungkinkan atau ketika Nadia tidak ada di rumah. Namun sudah dua minggu ini Bima tidak meminta jatah pada Diara, membuat gadis itu jadi sedikit uring-uringan sebab hasratnya yang tidak tersalurkan. Walau bagaimanapun Bima sudah menjadi candu untuknya, dan ia sangat membutuhkannya. Diara ingin bertanya perihal mengapa Bima tidak meminta jatah, tapi selalu tidak ada celah untuknya melontarkan pertanyaan tersebut. Pasalnya akhir-akhir ini Bima dan Nadia sangat lengket sekali padahal sebelumnya hubungan mereka terjalin biasa-biasa saja, tidak selengket itu. Walau masih tetap terlihat harmonis. Owh ... apa jangan-jangan semua ini terjadi karena mereka yang ingin menambah momongan? Beberapa waktu lalu, Diara memang sempat mendengar pembicaraan mereka, perihal yang ingin menambah seorang anak. Ah iya, sepertinya karena itu Bima menjauhi Diara dan tidak meminta jatah lagi. Bima pasti ingin fokus pada program anak keduanya. Diara memakluminya sih, tapi ia juga tidak bisa menahan gairah untuk tidak bercinta. Sudah Diara katakan bahwa ia sangat begitu candu pada Bima, dan ia juga perlu untuk melampiaskannya. Seharusnya Bima tetap memberikannya waktu walau tak sesering sebelumnya, agar Diara tidak merasa tersiksa seperti ini. Setiap malam Diara pasti tidak bisa tidur dan selalu merasa gelisah. Ia memang mempunyai hormon yang berlebih dari dulu dan hormon itu semakin bertambah lebih lagi saat ia menjalin hubungan dengan Bima. Seperti sekarang ini Diara kembali kesulitan untuk tertidur meski waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sedari tadi ia hanya berguling ke sana kemari di atas ranjang. 'Argh ... Hormon ini benar-benar menyiksaku. Aku harus bagaimana ini?' "Apa aku tuntaskan di kamar mandi aja?" Gumamnya. Memang untuk menanggulangi hormon terlebihnya ini, tak jarang Diara harus mengatasinya sendiri. Biasanya ia akan melakukannya di kamar, namun sekarang ia merasa sangat bosan jika harus menyelesaikannya di kamar terus, ditambah lagi melakukannya sendiri tidak senikmat jika bersama pasangan. Maka ia ingin mencari suasana baru. Sepertinya di kamar mandi cukup menyenangkan, tapi berhubung kamarnya ini tidak memiliki kamar mandi di dalam, jadi ia harus ke luar--menuju kamar mandi yang terdapat di dekat dapur. Namun, seperti mendapat durian runtuh. Netranya seketika berbinar manakala melihat seseorang yang begitu ia damba dan inginkan tengah berada di ruang dapur. Sepertinya lelaki itu terbangun dan kehausaan. Meski penerangan sangat minim karena sebagian lampu memang sudah dimatikan (termasuk lampu area dapur) tapi Diara masih bisa mengenali dengan jelas dan ia bisa pastikan bahwa seseorang itu adalah Bima. Sontak saja, dengan langkah mengendap-endap Diara dekatinya yang kini tengah menenggak air mineral dengan posisi membelakangi kemudian dengan gerakan cepat, Diara lingkaran tangannya di perut si lelaki seraya menyandarkan kepala di punggung lebarnya. "Mas, aku kangen kamu." Lirih Diara. Kau tidak perlu heran dan mengira bahwa kau salah dengar. Diara memang sudah mengganti panggilannya pada Bima dengan sebutan 'Mas' tepat satu bulan mereka menjalin hubungan. Diara lakukan itu atas permintaan Bima dan ia akan memanggil dengan panggilan tersebut saat mereka sedang berdua saja. Bima terkejut dan hampir saja tersedak minumannya karena perlakukan Diara yang tiba-tiba. Ia lalu melepaskan tangan Diara yang melingkari perutnya dengan kasar dan berbalik. "Diara! Kamu apa-apaan sih?" Geramnya tertahan karena tidak ingin membuat semua orang terbangun. "Kalau ada yang lihat kita bagaimana? Kamu tahu 'kan sekarang sedang ada orang tuaku di sini." Memang sudah dua hari ini orang tua Bima (yang tinggal beda kota) datang berkunjung dan menginap. Alasannya sih sudah lama tidak bertemu dan ingin menengok cucu karena rindu, katanya. "Iya aku tahu, tapi aku kangen kamu Mas. Dua minggu loh kamu tidak mengunjungiku." "Aku sedang program anak kedua, jadi aku harus fokus dan harus sering melakukannya dengan istriku." Jelasnya membenarkan praduga Diara sebelumnya. "Tapi seharusnya Mas tetap menemuiku walau tidak sesering kemarin-kemarin. Atau jangan-jangan itu cuman alasan Mas saja? dan sebenarnya Mas sudah bosan 'kan sama aku?" Ucap Diara pura-pura merajuk dan membuat raut wajah menjadi begitu sedih. Ia melakukan itu untuk menarik simpati Bima. Bima terdengar menghela napas kasar lalu menangkup wajah Diara yang menunduk agar melihatnya. "Tidak. Mana mungkin Mas bosan sama kamu. Mas sudah pernah bilang 'kan bahwa pelayanan kamu jauh lebih memuaskan dibanding istrinya Mas?" Ucapnya dengan nada yang begitu lembut, berbeda sekali dengan beberapa saat lalu. "Mas melakukan itu, murni cuman untuk program anak kedua. Setelah istri Mas dinyatakan hamil, Mas pasti akan lebih sering sama kamu lagi." "Tapi sampai kapan aku harus menunggu? Dan mana mungkin aku bisa tahan selama itu?" Bima tampak terdiam, entah apa yang tengah dipikirkannya. Namun, karena gairah Diara sudah benar-benar tidak bisa dibendung lagi. Sebelum Bima kembali melontarkan kata, Diara sudah lebih dulu membuka tiga kancing teratas piama yang dikenakan dan lebih merapatkan tubuh pada Bima. Diara tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. "Mas Bima, aku mohon sentuh aku malam ini. Tolong aku, aku sudah tidak bisa menahannya lagi." Ujarnya memelas namun sangat menggoda sembari menyentuh bagian dadanya dengan gerakan seduktif. Bima meneguk salivanya dengan kasar seraya memejamkan mata, sepertinya ia sedang merasakan suatu yang tengah bergejolak dalam dirinya akibat sentuhan yang Diara berikan. Melihat itu, dalam hati Diara bersorak senang, ia sangat yakin Bima tidak akan bisa menolak. Sebab ia tahu; sama seperti dirinya yang begitu candu pada lelaki itu, Bima juga sangat candu padanya. "Kurang ajar kamu, Diara!" Geramnya rendah. "Kamu memang tahu kelemahanku." Tanpa menghiraukan posisi mereka yang masih berada di ruang dapur, Bima lantas memeluk Diara dan mencumbunya dengan bergairah. Diara hanya tersenyum menyeringai dan menerima perlakuannya dengan senang hati, tentu saja. Sama seperti Bima, Diara juga sudah tidak peduli di mana mereka terada sekarang dan ia juga tidak peduli jika akan ada yang melihat kegiatan mereka. Sebab yang terpenting untuknya saat ini ialah, malam ini dan detik ini juga, apa yang ia inginkan harus segera tertuntaskan. Dan ... Selanjutnya, merekapun benar-benar melakukannya di ruang dapur, sesuatu yang baru pertama kali mereka lakukan. Namun tepat saat pelepasan mereka dapatkan, seseorang memasuki area dapur ini dan melihat keduanya yang masih dengan keadaan berantakan dengan napas yang masih tertarik tak beraturan. Dengan mata yang membelalak sempurna seseorang itu kemudian bersuara. "Apa yang kalian lakukan?" Bersambung..."Apa yang kalian lakukan?""Ayah." Cicit Bima dengan mata yang membola. Lalu dengan tergesa-gesa Bima dan Diara merapikan pakaian masing-masing. Sungguh demi apapun, sekarang Diara merasa takut sekali. Entah ke mana perginya keberanian yang tadi sempat singgah dalam benaknya. Keberanian itu malah menguap begitu saja bersamaan dengan puncak pelepasaan yang didapat. "Apa yang kamu lakukan dengan pembantumu ini?" Kambali Endy--ayah dari Bima melayangkan pertanyaan yang sama seraya mengayunkan tungkai kakinya mendekati mereka. Sontak saja Diara menunduk dan mengerut takut di belakang tubuh Bima, ketika melihat sorot mata pria tua itu yang menatapnya tajam. "A-ku bisa jelaskan, Yah. I-ini semua--""Kamu berselingkuh dengan pembantumu?!" Endy langsung memotong ucapan anaknya. Bima semerta-merta bersimpuh di kaki Endy. "Maafkan aku Yah, aku khilaf. Aku mohon jangan beritahu Nadia. Aku janji tidak akan melakukannya lagi."Diara terkejut mendengar kalimat yang baru saja dikuapkan oleh Bim
Semenjak malam itu, pekerjaan Diara menjadi bertambah lagi. Bagaimana tidak? Endy jadi sering berkunjung ke rumah Bima. Bisa satu bulan sekali, kadang dua minggu sekali. Padahal tempat tinggalnya cukup jauh dan berbeda kota. Dulu sebelum mempunyai hubungan dengan Diara, lelaki tua itu hanya akan ke rumah sekirannya tiga bulan atau enam bulan sekali untuk menengok sang cucu, itu pun selalu bersama dengan istrinya. Namun sekarang, Endy sering datang sendiri. Entah alasan apa yang lelaki itu kemukakan pada istri, juga pada Nadia (selaku menantu dan pemilik rumah) agar tidak curiga. Diara benar-benar tidak tahu dan tidak ingin tahu. Namun sekarang terjadi sesuatu yang berbeda dengan perasaan Diara pada Endy. Entah mungkin karena sering berhubungan dengannya, sehingga membuat Diara mulai merasakan nyaman terhadap laki-laki tua itu. Padahal pada awalnya Diara sangat muak dan membencinya setengah mati. Sebab kau tahu? Endy bukanlah tipenya. Seperti menjilat ludah sendiri, kini Diara mal
Sesuai prediksi. Diara lah yang akhirnya terusir dan terhina. Sedikitpun ia tidak pernah menyangka bahwa kedua laki-laki itu sangat pecundang sekali. Keduanya dengan sengaja melimpahkan semua kesalahan pada Diara. Membuat gadis itu seolah-olah menjadi tersangka utama dan satu-satunya. Nadia dan Rani dengan mudahnya malah mempercayai begitu saja kedua lelaki pendusta itu. Dua wanita itu seketika sangat murka pada Diara. Mereka menjambak secara membabi buta sebelum akhirnya menendangnya dari rumah. Diara menangis, meraung, meminta ampun. Ia sudah tidak peduli lagi dengan tatapan para tetangga dan orang-orang yang melintas--yang menatapnya dengan tatapan jijik, seolah Diara adalah seonggok kotoran yang sangat menjijikkan."Ampun Bu. Ampun Bu Nadia, Bu Rani. Ampuni saya."Diara terus memohon pada mereka, khususnya pada Nadia dan Rani, agar kedua wanita itu memberikannya sedikit rasa belas kasihan. Mungkin karena memang mereka merasa kasihan pada Diara yang sudah tidak berdaya atau mung
Terhitung sudah sekitar satu bulan Diara tinggal di kostan itu. Ia merasa betah, karena kostannya cukup bagus, bersih, nyaman, dan orang-orang di sana juga baik. Tapi yang ia pikirkan sekarang adalah biaya sewanya.Tujuh ratus ribu bagi Diara terlalu mahal, apalagi mengingat ia yang sampai sekarang belum juga mendapat pekerjaan lagi. Untuk makan sehari-hari saja ia hanya mengandalkan uang yang ada dalam tas. Jumlahnya lima juta rupiah kala itu, dan sekarang semakin hari jumlahnya semakin berkurang."Tinggal sisa dua juta lagi bagaimana ini?" Gumamnya setelah menghitung lagi.Diara memang baru saja membayar biaya sewa kost untuk bulan ini. Walau biayanya terbilang mahal, tapi ia memutuskan untuk memperpanjang sewa. Lagipula sebenarnya harga segitu wajar untuk ukuran kost-kostan yang ada dipusat ibu kota, yang menjadi masalah hanya terletak pada dirinya yang belum juga mendapat pekerjaan.Sebenarnya Diara sudah berusaha untuk mencari pekerjaan, tapi
"Ti makasih ya, lo udah mau ngajak gue kerja di sini."Sekarang ini Diara sedang menunggu angkutan umum untuk kembali ke kostan karena ia baru mulai bekerja esok hari. Rianti meminta izin untuk menantar Diara ke depan Cafe seraya menemaninya menunggu angkutan umum."Ya elah santai aja kali, yang penting gajian pertama traktir gue." Balas Rianti jenaka sambil tertawa kecil.Diara ikut tertawa. "Hahaha beres." Katanya. "Oh ya, omong-omong gue gak punya baju buat besok kerja. Apa gue beli aja ya sebelum berangkat? Tapi kira-kira baju kaya lo gini harganya berapaan?" Diara memegang ujung bawah drass yang sedang dikenakan oleh Rianti.Tadi setelah tanda tangan kontrak, Roni sudah menjelaskan pekerjaan yang harus Diara kerjakan, termasuk perihal pakaian yang harus dikenakan oleh gadis itu. Tidak ada pakaian khusus seperti para pegawai, Diara dibebaskan memakai pakaian apapun yang terpenting pakaian itu harus menarik.Diara cukup paham dengan ap
"Lo boleh pake baju yang mana aja. pilih suka-suka lo pokoknya." Kata Rianti. Gadis itu membuka lemari dan menunjukkan koleksi pakaiannya pada Diara.Lemari di kamar kost Rianti, memang tidak sama dengan lemari pakaian yang ada di kamar kost Diara. Tentu saja. Hal tersebut dikarenakan tipe kamar mereka yang berbeda, dan jelas harganya pun berbeda. Harga sewa kamar Diara hanya sekitar tujuh ratus ribu rupiah sementara harga sewa kamar Rianti satu juta empat ratus ribu rupiah. Dua kali lipat dari harga sewa kamar Diara.Kostan ini memang memiliki dua tipe. Untuk kamar Diara sudah pernah dijelaskan keadaanya 'kan? Jadi sekarang tinggal menjelaskan yang tipe kamar kost yang ditempati oleh Rianti.Secara ukuran jelas berbeda, kamar kost Rianti jauh lebih luas dari kamar Diara yang hanya berukuran dua kali tiga dan tidak ada kamar mandi di dalam. Sesuai harganya, kamar kost Rianti luasnya dua kali lipat dari kamar Diara dan dilengkapi dengan kamar mand
Dengan pelan dan penuh kehati-hatian Diara berjalan selangkah demi selangkah menuju tempat duduk di cafe tempatnya bekerja.Gadis itu sudah siap untuk mulai bekerja di tempat itu. Rianti sudah mendandaninya hingga ia tampak begitu cantik bak seorang putri.Tidak hanya wajahnya saja yang dipoles dengan makeup hingga sedemikian rupa, tapi rambutnya juga tak luput dari sentuhan tangan terampil Rianti yang serba bisa. Rambut Diara yang tadinya hanya lurus dan kaku, kini berubah menjadi bergelombang. Jujur tatanan rambut yang seperti ini membuat Diara jauh lebih menarik lagi.Namun ada satu yang Diara tidak sukai dari semua yang Rianti lakukan pada dirinya, yaitu Rianti menitahnya untuk memakai sepatu hak tinggi dengan penyangga tumit yang runcing. Rianti bilang itu namanya sepatu jenis high heels.'Huh sungguh sepatu ini sangat menyulitkan gerak kakiku.' Seumur-umur baru kali ini Diara memakai sepatu dengan model seperti itu.Diara sempat men
Benar saja, pukul sepuluh malam tamu tersebut datang. Lelaki itu datang ditemani satu orang laki-laki yang lebih muda. Mungkin asistennya.Sesuai yang sempat Rianti jabarkan sedikit mengenai lelaki itu--yang Diara ketahui sekarang bernama Steno. Benar, laki-laki itu memang sudah berumur, tapi masih sangat terlihat segar dan cukup menggoda. Jika dibandingkan dengan Endy ayah Bima, jelas Steno jauh lebih segalanya.Secara umur saja masih lebih muda Steno. Aura kewibawaannya lebih terpancar, mungkin karena Steno merupakan seseorang yang terpandang dan mempunyai jabatan. Awalnya Diara mengira sosok Steno adalah laki-laki tua yang memiliki perut buncit, tapi ternyata tidak. Meski lelaki itu sudah berumur, tapi yang Diara lihat lelaki itu seperti berumur tiga puluhan. Steno juga tidak memiliki perut buncit seperti yang Diara sempat pikirkan tadi. Perutnya rata, yah mungkin jika dikira-kira lelaki itu memiliki berat badan enam puluhan dan tinggi badan seratus t
Perlahan Diara membuka mata, hal pertama yang ia lihat setelah matanya terbuka dengan lebar adalah presensi Zaenal dengan wajah panik.Zaenal sudah melontarkan tanya, mengenai keadaan sang istri, namun alih-alih mendapat jawab, istrinya itu justru tidak mengindahkan dan malah mengedarkan pandangan--menelisik sekitar guna mengetahui keberadaannya sekarang.Diara tidak menemukan apapun yang berbau rumah sakit, aroma khas rumah sakit juga tidak tercium indra penciumannya. Ia mengenali ruangan ini dan ya, ternyata Diara berada di kamarnya sendiri--kamarnya di rumah sang suami.Jadi Zaenal tidak membawanya ke rumah sakit? Ah syukurlah, pasalnya Diara tidak mau menginap lagi di sana. Dan fakta ini sudah cukup menjawab pertanyaan yang sedari tadi bergelindang dalam benak, mengenai keadaannya sendiri. Bukankah sudah jelas membuktikan, bahwa tidak terjadi hal buruk pada dirinya dan kandungannya? Ah iya Diara yakin, pasti ia tidak apa-apa, sebab jika ia kenapa-kenapa ia tidak akan berada di sin
Walaupun Diara tidak keberatan atas keputusan Zaenal yang tidak ingin menceraikan Echa, namun tetap saja ia merasa penasaran dan ingin tahu apa-apa saja yang dikatakan Zaenal pada istri pertamanya itu.Sebagai pihak yang dirugikan dan disakiti, Diara yakin Echa pasti bersikukuh meminta untuk tetap berpisah. Dan sudah pasti juga bukan hal mudah untuk Zaenal membujuk istrinya untuk mempertahankan pernikahan mereka.Awalnya Zaenal enggan untuk menceritakannya, entah kenapa lelaki tidak mau bercerita. Tapi Diara terus memaksa, sehingga mau tak mau Zaenal pun menceritakan semuanya.Zaenal bilang, sebetulnya Echa masih sulit menerima. Tapi Zaenal tidak mau tahu dan tidak mau dibantah, lelaki itu juga sampai harus sedikit memberi ancaman agar Echa tidak berani mengajukan perceraian. Tentang apa ancamannya, Zaenal tidak memberitahukan secara detail, Diara juga enggan untuk bertanya lagi, namun yang pasti Zaenal berhasil membuat Echa menurut.Tapi Diara yakin Zaenal tidak hanya memberikan anca
"Gue kok kasian ya liat istrinya Mas Zaenal." Ucap Rianti, begitu ia beres membantu Diara berbaring dan bersandar di atas kasur, yang mulai hari ini resmi menjadi kamarnya. "Lo yakin gak mau mengurungkan niat?" Diara menatap sang sahabat yang kini duduk di sisi ranjang, kemudian ia gelengan kepala pelan. "Gak. Dia juga tega udah bikin gue dan anak gue celaka. Pokoknya gue mau dia harus tanggung jawab atas perbuatannya!" "Tapi Ra, menurut gue ini terlalu berlebihan. Lagian wajar kalau dia sampe kaya gitu ke lo. Soalnya lo udah ngerebut lakinya. Gue rasa semua istri yang suaminya direbut wanita lain, rata-rata pasti bakal ngelakuin hal yang sama." Ucapan Rianti tersebut membuat Diara terheran, pasalnya baru kali ini sahabatnya itu tidak sepemikiran dengannya. Rianti menentang keinginan Diara. Jujur saja Diara kurang suka sikap Rianti yang seperti ini, gadis itu seolah menyalahkan Diara. Padahal yang awalnya memberikan ide untuk merebut Zaenal dari istrinya adalah Rianti. Namun meng
"Kamu? Mau apa kamu ke rumahku?!" Echa bertanya setelah beberapa saat tadi hanya terdiam.Diara tersenyum kecut seraya berdecih, dalam hati ia membatin. 'Kau boleh bersikap angkuh sekarang, namun sebentar lagi kau pasti akan menangis darah! Huh..'"Aku akan--" Diara baru saja ingin menjawab, akan tetapi Zaenal sudah lebih dulu menghampiri sembari membawa barang-barang milik Diara.Sontak saja hal tersebut menyedot perhatian Echa. Diara bisa menangkap wajah istri pertama suaminya yang sangat kebingungan dengan apa yang terjadi saat ini. Sepertinya Zaenal memang belum menceritakan rencana mereka. Diara menyunggingkan senyum dan hati ia bersyukur. 'baguslah, pasti akan lebih seru lagi.'"Mas!" Dengan wajah yang masih menatap bingung, Echa memanggil suaminya, agaknya wanita itu ingin menuntut penjelasan."Kita bicara di dalam!" Tukas Zaenal tegas.Echa menggelengkan kepalanya. "Tidak! Aku tidak sudi rumahku diinjak wanita murahan ini!" Tunjuknya pada Diara dengan mata yang melotot."Ini r
Akhirnya hari ini Diara sudah diizinkan untuk pulang, setelah tiga hari dirawat. Rasanya sangat senang sekali, apalagi Zaenal menuruti keinginannya untuk tinggal di rumah yang ditempati oleh Echa. Ah Diara sangat tidak sabar, ingin bertemu dengan kakak madunya. Kira-kira bagaimana ya reaksinya nanti? Terkejut? Itu sih sudah pasti, tapi apakah Echa akan mengamuk? Atau mungkin malah pingsan karena saking terkejutnya? Tidak tahulah, pokoknya Diara sudah tidak sabar ingin bertemu. ia sudah tidak sabar ingin segera melihat wajah kekalahannya. Huh pasti sangat lucu sekali, bukan? Diara pastikan kali ini ia menang telak. Buktinya saja selama dirawat di rumah sakit, Zaenal selalu menemaninya, selalu ada di sampingnya. Paling-paling jika pergi hanya untuk urusan pekerjaan yang benar-benar mendesak saja dan tidak bisa diwakilkan oleh orang lain. Perhatian Zaenal sekarang semakin bertambah, ia jadi semakin over protektif. Ketika ia harus pergi, Zaenal akan meminta Rianti untuk menemani. Zaena
"Sstt~" Diara seketika mendesis saat merasakan rasa nyeri itu lagi di bagian perut. Rasanya memang tidak begitu sakit seperti beberapa saat lalu, tapi tetap saja masih terasa sakit juga."Sayang, kamu sudah sadar?" Zaenal semerta-merta menghampiri. Diara tidak langsung menjawab pertanyaan, melainkan matanya mengedar ke seluruh ruangan--meneliti, dan ia baru menyadari bahwa kini dirinya sudah berada di rumah sakit.Ah Diara baru ingat, sepertinya tadi ia pingsan karena dorongan kencang yang dilakukan Echa. Sejurus kemudian matanya membelalak, ketika otaknya mengingat kejadian terakhir itu."Sayang, kamu gak apa-apa 'kan? Apa masih sakit?" Zaenal bertanya lagi, tapi Diara tidak menjawabnya melainkan meraba perutnya dengan panik. Diara takut anaknya gugur. Bisa gawat jika hal itu terjadi. Zaenal bisa saja meninggalkannya karena sesuatu yang mengikatnya sudah tidak ada lagi."Mas! Gimana anak kita? Dia gak gugur 'kan? Dia masih ada di perutku 'kan Mas?" Diara bertanya panik, sungguh ia ta
[Mas di mana? Bisa pulang gak hari ini?] Itu suara Kinanti--istri pertama Zaenal. Diara masih bisa mendengarnya dengan baik sebab jaraknya dengan Zaenal yang memang sangat dekat. Diara tebak, wanita itu pasti ingin menyuruh Zaenal untuk pulang. Ck tidak akan Diara biarkan itu terjadi! Zaenal belum menjawab, lelaki itu malah menatap istri keduanya--seolah meminta pendapat. Sontak saja Diara menggelengkan kepala. Ia tidak akan mengizinkan Zaenal menemuinya, barang sedetik pun. Diara egois? Memang! Masa bodo orang beranggapan seperti apa? Diara tidak peduli, karena yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. Zaenal menghembuskan napasnya dengan kasar, hal tersebut malam membuat Diara tersenyum senang, pasalnya Diara tahu suaminya pasti akan lebih memilih menurutinya. "Mas masih di luar kota, gak bisa pulang sekarang. Emangnya ada apa?" Nah benar 'kan? Zaenal pasti akan lebih memilihnya. Diara sudah menggenggam kelemahan Zaenal yaitu anak dalam perutnya dan juga pelayanannya di
Akhirnya Diara berhasil membuat Zaenal bertekuk lutut. Dengan mengandalkan keahliannya dalam bercinta, ditambah bumbu-bumbu merajuk manja, dan juga tentunya menggunakan bayi dalam kandungannya untuk mengancamnya, ia berhasil membuat Zaenal bertahan tetap bersamanya sampai mengabaikan istri pertamanya. Rasanya sangat luar biasa senang sekali. Semacam ada suatu perasaan yang berbeda yang membuat Diara begitu luar biasa gembira ketika mengetahui bahwa ia menang dari wanita pertama suaminya. Dari sejak malam di mana Diara menyuruh Zaenal untuk datang, lelaki itu sama sekali tidak meninggalkannya lagi. Awalnya Zaenal masih meminta izin pamit untuk pulang ke rumah yang ditempati oleh istri pertamanya, tapi Diara selalu menahan agar tidak pulang. Awalnya memang sulit, tapi semakin lama Zaenal semakin mudah untuk dikendalikan. Ah bahkan sekarang lelaki itu tidak pernah meminta izin untuk pulang lagi, Zaenal hanya izin untuk pergi ke kantor dan ketika pulang, tanpa Diara suruh terlebih dulu
Malam ini, kembali Diara tidak bisa tidur. Sudah empat malam ia selalu seperti ini. Diara tidak tahu apa penyebabnya? namun yang pasti ia jadi tersiksa sekali dengan keadaan ini. Ah andai saja ada Zaenal bersamanya, Diara bisa mengajak lelaki itu bergadang--menengguk surga dunia sampai pagi. Tapi sayang, seperti yang sudah Zaenal katakan saat terakhir kali, lelaki itu benar-benar tidak bisa mengunjungi Diara lagi. Tentu saja saat itu Diara melayangkan protes. Tapi Zaenal terus membujuk dengan mengiming-imingi akan membelikan rumah secepatnya. Dibujuk dengan cara seperti itu, tentu saja Diara menurut pada akhirnya. Namun ternyata tidak dikunjungi selama itu membuat Diara jadi tersiksa. Apalagi Zaenal sama sekali tidak menghubunginya. Lelaki itu seolah hilang seperti ditelan oleh derasnya ombang di lautan. "Apa aku hubungi dia aja ya, suruh dia ke sini?" Zaenal sudah melarang Diara untuk jangan menghubunginya, apalagi di waktu-waktu yang memungkinkan ia sedang bersama istri pertama