Kejadian sebelumnya, di New York.
Air mata Brielle terus mengalir sepanjang acara pemakaman berlangsung. Tubuh Brielle merosot, kakinya tak sanggup lagi menahan tubuhnya ketika anaknya mulai ditimbun tanah.
“Kane ... anakku,” lirih Brielle ditengah isak tangisnya.
“Sudahlah, sayang. Jangan menangis. Biarkan Kane pergi dengan tenang.” Scholes mengelus punggung Brielle, kemudian membantunya berdiri.
Satu persatu pelayat berpamitan pulang. Kini tinggal keluarga Levon yang setia menemani Brielle dan suaminya.
Brielle menangis sambil menciumi nissan Kane. Ia masih belum merelakan kepergian anaknya, “Kemarin malam kita masih bermain petak umpet, Kane.”
“Relakan kepergian Kane, Nyonya. Jika Nyonya terus menangis, Kane tidak akan pergi dengan tenang,” sahut Angelina.
Brielle menangis sambil mencium nissan Kane lagi, “Maafkan Mama, Kane. Sekarang tidurlah dengan tenang.”
Brielle perlahan sudah merelakan Kane. Ia mengusap a
Semua orang yang ada di dalam apartemen itu memperhatikan ekspresi Levon. Mereka mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, tak terkecuali Kenny. Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang ditembak? “Ada apa, Tuan?” tanya Jack yang melihat raut wajah Levon tampak cemas. Levon yang baru saja memutus sambungan, memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya. Ia menghembus napas berat sebelum menjawab pertanyaan dari Jack. “Baba ditembak oleh orang yang tak dikenal. Sekarang Baba dibawa ke rumah sakit.” jawab Levon. Semua orang merasakan kesedihan Levon, tetapi Kenny justru tertawa puas mendengar berita ini. “Salah satu di antara mereka sudah datang, Tuan Leo,” ungkap Kenny di tengah tawanya. “Lihatlah! Perkataanku terbukti. Mereka sangat cerdas. Bayangkan saja, Tuan Leo. Mereka bisa melukai keluargamu meskipun dijaga ketat oleh anak buahmu. Benteng kokohmu tidak berguna, Tuan Leo!” Levon sangat geram mendengar ucapan Kenny, tetapi ia tetap mengont
Levon pergi ke gedung kejagung, menemui pria kurus itu di ruangan khusus pertemuan. Saat melihat kedatangan Levon, pria kurus yang berusia sekitar 20 tahunan langsung mendekat dan berlutut. Ia gemetar dan ketakutan, “Maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar tidak sadarkan diri melakukan penembakan itu. Saya dipengaruhi alkohol ... Saya siap bertanggung jawab, saya pantas dihukum.” “Kemarilah dan ceritakan kejadian yang sebenarnya,” ucap Levon sambil berjalan ke arah kursi. Ia berusaha menutupi amarahnya. Bagaimana pun juga, pria kurus itu hampir membunuh Azmir. Pria kurus itu berdiri dan menghampiri Sang Tuan, kemudian ia menarik salah satu kursi setelah mendapat isyarat. Menangkap ketakutan yang ada pada diri pria kurus itu, Levon mencairkan suasana dengan menunjukkan wajah bersahabat, “Oh ya siapa namamu?” tanya Levon. “Fergie, Tuan,” jawabnya dengan suara gemetar. “Tenanglah, Fergie. Jangan takut. Aku yakin kau orang baik.” Levon berusa
Bukan hanya Brielle yang tampak ragu dan takut, Scholes pun juga terlihat sama. “Ya, Nyonya? Apa permintaan keempatmu?” tanya Levon mengulas senyum paksa. Sejujurnya ia juga merasa cemas dengan permintaan Brielle yang mungkin saja dirinya terpaksa memenuhinya. “Saya ingin melihat wajah Tuan Leo.” Brielle menjawab dengan tarikan satu napas. Brielle dan suaminya mulai berkeringat dingin karena takut permintaan itu membuat Levon marah. Namun, Levon membalas dengan senyuman. Lalu berucap, “Baiklah, permintaan Nyonya pasti terwujud. Tapi bukan sekarang, nanti atau besok.” Levon tidak bisa memenuhi permintaan Brielle sekarang karena di gedung kejagung ada orang yang bukan anak buahnya. “Baik, Tuan. Kami berterima kasih banyak,” sahut Scholes senang bukan kepalang, sama seperti yang dirasakan oleh Brielle. Levon mengangguk, lalu ia menggerakkan tangan untuk memberi isyarat pada Scholes dan Brielle untuk pergi ke sel tahanan nomor 103.
Angelina berjalan menyosori gedung kejagung, dan mendapati Levon yang tengah duduk di salah satu sudut gedung. “Tuan?” sapa Angelina pada Levon yang sedang menyandarkan tubuhnya dalam keadaan mata terpejam. Levon membuka matanya dan menghembus napas pelan, “Duduklah, Angel,” suruh Levon sambil menunjuk ke samping. “Baik, Tuan.” Angelina duduk di samping Levon. “Apa yang bisa saya kerjakan, Tuan?”Angelina yakin, Levon memanggilnya untuk diberikan tugas. Levon menoleh ke arah samping, dan kini berhadapan dengan Angelina. “Saya hanya ingin bertanya padamu, mungkin kau tahu bayak hal mengenai riwayat Rose dan Frankie.” “Riwayat Kak Rose dan Papa?” tanya Angelina mengerutkan kening, apalagi raut wajah Levon terlihat sangat serius. “Dulu sebelum Rose dihukum mati, aku sempat mengabulkan permintaannya. Dia meminta ponsel untuk menghubungi seseorang. Dia sudah mengirim pesan ke beberapa orang terdekatnya yang tidak aku ketahui. Kemungkin
Keesokannya Levon, Amelia, dan Angelina hendak berangkat kerja seperti biasanya, sedangkan Azmir dibawa pulang ke mansion bersama dengan seorang dokter yang merawatnya. “Baba, cepatlah sembuh,” ucap Levon sembari mengecup kening Azmir yang terbaring di kasurnya. “Hem, Baba sudah sembuh.” Azmir menerbitkan senyuman. Ia tahu alasan Levon memilih membawanya ke mansion, disini keselamatannya lebih terjaga. Levon berdehem pelan, lalu ia mencium punggung tangan Azmir, “Leo berangkat kerja dulu.” Azmir mengedipkan kedua matanya, “Hati-hati di jalan.” *** Di perusahaan, Levon tidak menemukan keberadaan Pulisic. Padahal orang kepercayaannya itu tidak pernah datang terlambat. “Kemana, Pulisic?” Levon mendaratkan tubuhnya di sofa ruangan CEO, kemudian mengambil ponsel di saku bajunya untuk menghubungi Pulisic. Levon menghembus napas pelan ketika nomor pulisic tidak bisa dihubungi, “Ponselnya mati, tidak seperti biasanya. Mungkin d
Kejadian kemarin, Pulisic bersiap-siap pergi ke rumah Brielle. Ia yakin Levon dan keluarganya pasti sudah mendengar berita kematian anak kecil. Saat Pulisic membuka pintu apartemen miliknya, tiba-tiba ada tangan yang membekap mulutnya dengan sebuah kain. Ia memberontak, tetapi tak butuh waktu lama matanya seolah kabur dan akhirnya tak sadarkan diri. Entah berapa lama Pulisic pingsan, ia terperanjat kaget saat pintu gudang, tempatnya terkurung dibuka dari luar. Tampak orang bertubuh kekar masuk ke dalam membawa makanan. Orang itu membuka kasar lakban yang membekap mulut Pulisic, tetapi tidak pada tali yang melilit tangan dan kakinya. “Makanlah, Sang CEO,” ucapnya dengan nada sindiran sambil meletakkan makanan di depan Pulisic. “Siapa kau? Mengapa kau menculikku, Bajingan!” Pulisic meluapkan amarahnya, tetapi justru orang itu semakin memperlihatkan wajah semringah dan tawa bernada ejekan. “Jangan kau berani bermain denganku, Baji
Lima buah mobil berhenti sekitar 100 meter dari gudang yang terbengkalai agar penculik itu tidak menyadari kedatangannya. Levon turun dari mobil, diikuti oleh semua anak buahnya. Aura mengerikan begitu kental keluar dari diri Levon, tangannya mengepal penuh emosi. “Dobrak pintu itu!” titah Levon begitu dingin dan datar ketika sudah sampai di depan pintu gudang. “Baik, Tuan.” tiga anak buahnya maju dan mendobrak pintu gudang, seketika ada banyak gengster yang ada di dalam spontam terperanjat. “Kalian hajar mereka. Biar aku yang mencari Pulisic.” Levon menyuruh anak buahnya dengan tegas, dan langsung dituruti. Perkelahian dua kubu tak terhindarkan, anak buah Levon baku hantam melawan para gengster yang sudah pasti anak buah Sang Penculik. Sementara itu, Levon menyisir sekitar gudang untuk mencari keberadaan Pulisic. Saat ia melihat sebuah ruangan yang terkunci, ia bergegas melangkah. Klek, klek, klek ... Levon tidak bisa memuka p
Yas terkejut, tetapi di detik ini dirinya belum merasa takut meski Levon menodongkan pistol padanya. Yas menemukan celah untuk menggoyahkan pendirian Levon. “Bonus besar? Berapa bonus yang Tuan Leo janjikan padamu? Katakan, bosku akan memberikan lebih dari yang Tuan Leo berikan.” “Sangat besar dan bosmu pasti tidak sanggup menandingi pemberian Tuan Leo.” Levon tersenyum miring, meremehkan kekayaan orang yang menyuruh Yas. Namun, itu hanya trik saja. Levon memancing Yas untuk menceritakan siapa yang sudah menyuruhnya untuk menculik Pulisic. “Jangan remehkan bosku. Ya! Tuan Leo memang lebih kaya, tetapi aku jamin bosku pasti memberikan hadiah sesuai dengan apa yang kau minta. Apapun itu!” Yas meyakinkan Levon dengan mempertegas di dua kata terakhirnya. Levon merespon dengan memainkan pistol di tanganya, kemudian diarahkan ke depan mata Yas dan seolah ingin menarik pelatuknya. Ketakutan mulai menyelimuti diri Yas, keringat dingin su