Lima buah mobil berhenti sekitar 100 meter dari gudang yang terbengkalai agar penculik itu tidak menyadari kedatangannya.
Levon turun dari mobil, diikuti oleh semua anak buahnya. Aura mengerikan begitu kental keluar dari diri Levon, tangannya mengepal penuh emosi.
“Dobrak pintu itu!” titah Levon begitu dingin dan datar ketika sudah sampai di depan pintu gudang.
“Baik, Tuan.” tiga anak buahnya maju dan mendobrak pintu gudang, seketika ada banyak gengster yang ada di dalam spontam terperanjat.
“Kalian hajar mereka. Biar aku yang mencari Pulisic.” Levon menyuruh anak buahnya dengan tegas, dan langsung dituruti.
Perkelahian dua kubu tak terhindarkan, anak buah Levon baku hantam melawan para gengster yang sudah pasti anak buah Sang Penculik.
Sementara itu, Levon menyisir sekitar gudang untuk mencari keberadaan Pulisic. Saat ia melihat sebuah ruangan yang terkunci, ia bergegas melangkah.
Klek, klek, klek ... Levon tidak bisa memuka p
Yas terkejut, tetapi di detik ini dirinya belum merasa takut meski Levon menodongkan pistol padanya. Yas menemukan celah untuk menggoyahkan pendirian Levon. “Bonus besar? Berapa bonus yang Tuan Leo janjikan padamu? Katakan, bosku akan memberikan lebih dari yang Tuan Leo berikan.” “Sangat besar dan bosmu pasti tidak sanggup menandingi pemberian Tuan Leo.” Levon tersenyum miring, meremehkan kekayaan orang yang menyuruh Yas. Namun, itu hanya trik saja. Levon memancing Yas untuk menceritakan siapa yang sudah menyuruhnya untuk menculik Pulisic. “Jangan remehkan bosku. Ya! Tuan Leo memang lebih kaya, tetapi aku jamin bosku pasti memberikan hadiah sesuai dengan apa yang kau minta. Apapun itu!” Yas meyakinkan Levon dengan mempertegas di dua kata terakhirnya. Levon merespon dengan memainkan pistol di tanganya, kemudian diarahkan ke depan mata Yas dan seolah ingin menarik pelatuknya. Ketakutan mulai menyelimuti diri Yas, keringat dingin su
Tampak seseorang menyeringai di depan layar laptopnya. Menyaksikan ulang rekaman cctv yang terhubung di gedung terbengkalai tersebut. Kemudian ia tertawa sambil bertepuk tangan berulang kali. “Hebat, hebat. Aku akui Tuan Leo pasti menyelamatkan Pulisic. Tapi ini disengaja, aku tidak menyuruh Yas untuk membunuh Pulisic, karena aku ingin tahu wajah Tuan Leo.” seseorang itu tampak kecewa karena rencana liciknya untuk mengetahui wajah Tuan Leo gagal total, bahkan kini Yas tertangkap. Namun, kekecewaan orang itu mendadak berubah menjadi senyuman jahat. Ia teringat aksi Levon dalam menyelamatkan Pulisic. “Levon? Mantan suami Rose? Dia juga harus mendapat hukuman dariku,” ucap seseorang itu mengulas senyuman licik. Di kepalanya sudah ada rangkaian rencana teror lanjutan untuk Tuan Leo. “Tapi sebelum aku menghukumnya, aku harus memanfaatkan kelemahannya. Dia bekerja pada Tuan Leo karena uang. Jadi aku akan memberikan dia sejumlah uang yang sangat banyak agar dia mau
Di perusahaan, di sela kesibukan mengerjakan beberapa tugasnya, Amelia memikirkan penculikan terhadap Pulisic. Ia cemas ceo perusahaan itu diculik karena dijadikan alat untuk menghancurkan Levon. “Mengapa Pulisic diculik? Apa ini ada kaitannya dengan musuh-musuh Levon? Apakah mereka ingin balas dendam pada Levon dengan memanfaatkan Pulisic?” tanya Amelia dalam batinnya. Raut wajahnya sangat cemas, tetapi bukan mencemaskan keselamatan Pulisic, melainkan Levon. Sementara itu, Jennie tersenyum sendiri saat sedang membersihkan ruangan Amelia. Ia membayangkan Levon menjadi suaminya. “Tuan, semakin hari bayanganmu selalu menghantui pikiranku. Satu jam tidak bertemu denganmu rasanya seperti satu tahun,” batinnya. “Sekarang Tuan ada dimana? Aku sangat merindukan Tuan.” Amelia yang tidak fokus bekerja, tak sengaja melihat Jennie yang menyengir sendiri seperti orang gila. Yang tadinya Amelia melamun, kini ia seolah menemukan cara mengobati rasa cemasnya
Sampai detik ini orang itu tidak mau menyebut namanya. Ia memilih memesan ruangan VVIP restoran dan membawa Levon ke sana. Saat sudah duduk di sofa yang saling menghadap, Levon tersenyum miring ketika melihat ada sebuah benda yang sekilas menyala di dalam saku baju orang itu. Levon yakin benda itu sudah terpasang kamera yang terhubung ke seseorang yang menyuruh lawan bicaranya. “Maaf, Tuan. Saya tidak mungkin mengkhianati Tuan Leo,” ucap Levon, kemudia berhenti sejenak dengan seulas senyuman licik. “Kecuali ...” Orang itu mengembangkan senyuman, mengerti maksud dari Levon, “Aku pasti memberikan berapapun imbalan yang kau minta, sekarang juga aku akan mentransfer ke nomor rekeningmu.” “sungguh Tuan? Apakah kau sangat kaya?” tanya Levon mencondongkan tubuh ke depan seolah mata duitan, tetapi sebenarnya ini hanya pancingan agar orang di depannya itu menceritakan siapa orang yang menyuruhnya. “Aku serius. Katakan saja berapa yang kau minta?” tanya
Sekitar sepukuh menit kemudian, Elanga datang ke ruangan VVIP restoran. Cukup pintar! Elanga memakai penutup wajah. “Cepatlah, Tuan Elanga. Mana uang yang kau janjikan. Aku harus cepat pergi dari tempat ini sebelum Tuan Leo mencurigaiku,” kilah Levon memasang wajah serius. “Kau benar, anak muda. Sebutkan nomor rekeningmu,” ucap Elanga sambil merogoh ponselnya dan mendaratkan tubuhnya di sofa menghadap Levon. Levon menyebut nomor rekeningnya, “Ingat! Satu miliar dollar.” “Aku sudah mengirimkan sesuai dengan yang kau minta. Sekarang lakukan tugasmu dengan baik. Bunuh Tuan Leo untukku,” balas Elanga begitu semringah sambil menunjukkan layar ponselnya pada Levon. Satu miliar dollar sudah masuk ke rekening bernama Azmir Levon. Levon tak kalah semringah, sangat mudah mengelabuhi Elanga. Pada saatnya uang itu akan dikembalikan lagi pada Elanga. Levon hanya menerimanya agar musuhnya terkecoh dan mempercayainya. “Terima kasih, Tuan. Aku pasti m
Levon berjalan santai menuju kamar apartemen yang sudah dipesan untuk bertemu dengan Ana.Levon menampilkan wajah semringah. Di tangan kanannya membawa kalung liontin yang sudah terpasang kamera, sedangkan di tangan kirinya membawa anggur dengan dosis alkohol tinggi. Tentu saja kedua benda ini bagian dari rencananya.Ketika sudah sampai di depan pintu, Levon langsung membukanya tanpa permisi.Sementara itu,Ana yang sudah menunggu di dalam langsung meyambut Levon dengan gaya sensual, “Hello, Tuan.” Bola matanya bergerak dan tertuju pada tangan Levon. Sebuah kalung liontin, terlihat sangat indah.Ana melihat Levon dari atas sampai bawah. Sempurna, kata-kata itu pantas diberikan pada lelaki itu. Dan yang terpenting pasti dia adalah orang kaya.Benar-benar wanita murahan, batin Levon berkata sambil melihat penampilan Ana yang sangat sexi. Bahkan nyaris tidak berpakaian.Ana semakin memperlihatkan gaya sensualnya ket
Ana mendekatkan wajahnya. Matanya berubah arah menatap bibir Levon. Terlihat sangat menggoda, lelaki di hadapannya begitu sempurna!Brukk!Tubuh Ana tiba-tiba oleng dan jatuh ke lengan Levon.Levon tersenyum kemenangan. Ana sepertinya terlalu mabuk dan tidak sadarkan diri. Rencana Levon berhasil, kini tinggal melakukan langkah selanjutnya.Levon menggendong Ana ke tempat tidur, “Tidurlah dengan nyenyak, Nona.”Levon beranjak mengambil tas kecil Ana yang diletakkan di sudut kasur. Ia tersenyum licik saat menemukan benda yang dicari. Ponsel Ana, pasti di dalamnya terdapat informasi mengenai orang yang menyuruhnya melakukan tindak kejahatan dengan memanfaatkan Fergie.Ponselnya terkunci, tetapi itu tidak masalah. Levon mendekati Ana dan menggunakan sidik jarinya untuk membuka kunci ponsel.Terbuka! Levon menggerakkan layar ponsel, memperhatikan setiap isi yang ada di dalamnya. Perlahan sudut bibirnya terangkat saat melihat ri
Jam sembilam malam, Levon memenuhi panggilan Elanga. Pertemuan ini diadakan di villa, ruangan tengah.Levon sedikit terkejut, orang yang hadir dalam pertemuan ini sebanyak sebelas orang.“Apakah mereka anak buah dari sebelas orang yang ingin balas dendam padaku?” tanya Levon dalam batinnya sambil menjabat tangan mereka satu per satu.Levon memperhatikan setiap utusan, tampak kaku sekali. Sepertinya mereka hanya orang biasa yang disewa untuk menghadiri pertemuan ini.Saat Levon mendaratkan tubuhnya di kursi, ia merogoh ponsel dari saku celananya. Dia terkejut kembali saat titik nomor yang dilacak tidak ada di tempat ini.“Sangat pintar,” batin Levon berkata. Ia berpikir ada banyak kemungkinan. Bisa jadi sebelas orang di tempat ini adalah memang orang biasa yang diutus para musuhnya.Elanga yang juga hadir memulai pembicaraan, “Baiklah, mari kita mulai. Tentu kalian sudah tahu mengapa bos kalian menyur