“Oh sial!” umpat Levon setelah mengetahui fakta bahwa bukan hanya Kenny yang membalaskan dendam atas kematian Rose dan Frankie.
Kenny lebih mengeraskan tawanya, wajahnya begitu semringah, “Ada apa, Tuan Leo? Apa sekarang kau mulai takut? Lebih baik kau nikmati hidupmu sebelum kematian menjemputmu.”
Mendadak Levon tertawa renyah, keterkejutannya berganti dengan tatapan geli, “Terima kasih, Kenny.”
Kenny menutup mulutnya rapat-rapat. Matanya memicing tajam, “Apa maksudmu, Tuan Leo?”
“Kau benar, Kenny. Kau memang bodoh dan terlalu gampang terbawa perasaan. Emosimu mudah meledak, duaaarrr ...” sindir Levon terkekeh geli, Jack dan teman-temannya pun menertawakan Kenny.
Kenny mencoba mencerna maksud dari ucapan Levon, tetapi ia tak mengerti sama sekali, “Apa maksudmu, Tuan Leo. Apakah kau berusaha mengelabuhiku?!” tanya Kenny sekali lagi dengan meraung keras.
“Mengelabuhimu? Justru aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Kau sudah memberi
Kejadian sebelumnya, di New York. Air mata Brielle terus mengalir sepanjang acara pemakaman berlangsung. Tubuh Brielle merosot, kakinya tak sanggup lagi menahan tubuhnya ketika anaknya mulai ditimbun tanah. “Kane ... anakku,” lirih Brielle ditengah isak tangisnya. “Sudahlah, sayang. Jangan menangis. Biarkan Kane pergi dengan tenang.” Scholes mengelus punggung Brielle, kemudian membantunya berdiri. Satu persatu pelayat berpamitan pulang. Kini tinggal keluarga Levon yang setia menemani Brielle dan suaminya. Brielle menangis sambil menciumi nissan Kane. Ia masih belum merelakan kepergian anaknya, “Kemarin malam kita masih bermain petak umpet, Kane.” “Relakan kepergian Kane, Nyonya. Jika Nyonya terus menangis, Kane tidak akan pergi dengan tenang,” sahut Angelina. Brielle menangis sambil mencium nissan Kane lagi, “Maafkan Mama, Kane. Sekarang tidurlah dengan tenang.” Brielle perlahan sudah merelakan Kane. Ia mengusap a
Semua orang yang ada di dalam apartemen itu memperhatikan ekspresi Levon. Mereka mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, tak terkecuali Kenny. Sebenarnya apa yang terjadi? Siapa yang ditembak? “Ada apa, Tuan?” tanya Jack yang melihat raut wajah Levon tampak cemas. Levon yang baru saja memutus sambungan, memasukkan ponsel ke dalam saku bajunya. Ia menghembus napas berat sebelum menjawab pertanyaan dari Jack. “Baba ditembak oleh orang yang tak dikenal. Sekarang Baba dibawa ke rumah sakit.” jawab Levon. Semua orang merasakan kesedihan Levon, tetapi Kenny justru tertawa puas mendengar berita ini. “Salah satu di antara mereka sudah datang, Tuan Leo,” ungkap Kenny di tengah tawanya. “Lihatlah! Perkataanku terbukti. Mereka sangat cerdas. Bayangkan saja, Tuan Leo. Mereka bisa melukai keluargamu meskipun dijaga ketat oleh anak buahmu. Benteng kokohmu tidak berguna, Tuan Leo!” Levon sangat geram mendengar ucapan Kenny, tetapi ia tetap mengont
Levon pergi ke gedung kejagung, menemui pria kurus itu di ruangan khusus pertemuan. Saat melihat kedatangan Levon, pria kurus yang berusia sekitar 20 tahunan langsung mendekat dan berlutut. Ia gemetar dan ketakutan, “Maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar tidak sadarkan diri melakukan penembakan itu. Saya dipengaruhi alkohol ... Saya siap bertanggung jawab, saya pantas dihukum.” “Kemarilah dan ceritakan kejadian yang sebenarnya,” ucap Levon sambil berjalan ke arah kursi. Ia berusaha menutupi amarahnya. Bagaimana pun juga, pria kurus itu hampir membunuh Azmir. Pria kurus itu berdiri dan menghampiri Sang Tuan, kemudian ia menarik salah satu kursi setelah mendapat isyarat. Menangkap ketakutan yang ada pada diri pria kurus itu, Levon mencairkan suasana dengan menunjukkan wajah bersahabat, “Oh ya siapa namamu?” tanya Levon. “Fergie, Tuan,” jawabnya dengan suara gemetar. “Tenanglah, Fergie. Jangan takut. Aku yakin kau orang baik.” Levon berusa
Bukan hanya Brielle yang tampak ragu dan takut, Scholes pun juga terlihat sama. “Ya, Nyonya? Apa permintaan keempatmu?” tanya Levon mengulas senyum paksa. Sejujurnya ia juga merasa cemas dengan permintaan Brielle yang mungkin saja dirinya terpaksa memenuhinya. “Saya ingin melihat wajah Tuan Leo.” Brielle menjawab dengan tarikan satu napas. Brielle dan suaminya mulai berkeringat dingin karena takut permintaan itu membuat Levon marah. Namun, Levon membalas dengan senyuman. Lalu berucap, “Baiklah, permintaan Nyonya pasti terwujud. Tapi bukan sekarang, nanti atau besok.” Levon tidak bisa memenuhi permintaan Brielle sekarang karena di gedung kejagung ada orang yang bukan anak buahnya. “Baik, Tuan. Kami berterima kasih banyak,” sahut Scholes senang bukan kepalang, sama seperti yang dirasakan oleh Brielle. Levon mengangguk, lalu ia menggerakkan tangan untuk memberi isyarat pada Scholes dan Brielle untuk pergi ke sel tahanan nomor 103.
Angelina berjalan menyosori gedung kejagung, dan mendapati Levon yang tengah duduk di salah satu sudut gedung. “Tuan?” sapa Angelina pada Levon yang sedang menyandarkan tubuhnya dalam keadaan mata terpejam. Levon membuka matanya dan menghembus napas pelan, “Duduklah, Angel,” suruh Levon sambil menunjuk ke samping. “Baik, Tuan.” Angelina duduk di samping Levon. “Apa yang bisa saya kerjakan, Tuan?”Angelina yakin, Levon memanggilnya untuk diberikan tugas. Levon menoleh ke arah samping, dan kini berhadapan dengan Angelina. “Saya hanya ingin bertanya padamu, mungkin kau tahu bayak hal mengenai riwayat Rose dan Frankie.” “Riwayat Kak Rose dan Papa?” tanya Angelina mengerutkan kening, apalagi raut wajah Levon terlihat sangat serius. “Dulu sebelum Rose dihukum mati, aku sempat mengabulkan permintaannya. Dia meminta ponsel untuk menghubungi seseorang. Dia sudah mengirim pesan ke beberapa orang terdekatnya yang tidak aku ketahui. Kemungkin
Keesokannya Levon, Amelia, dan Angelina hendak berangkat kerja seperti biasanya, sedangkan Azmir dibawa pulang ke mansion bersama dengan seorang dokter yang merawatnya. “Baba, cepatlah sembuh,” ucap Levon sembari mengecup kening Azmir yang terbaring di kasurnya. “Hem, Baba sudah sembuh.” Azmir menerbitkan senyuman. Ia tahu alasan Levon memilih membawanya ke mansion, disini keselamatannya lebih terjaga. Levon berdehem pelan, lalu ia mencium punggung tangan Azmir, “Leo berangkat kerja dulu.” Azmir mengedipkan kedua matanya, “Hati-hati di jalan.” *** Di perusahaan, Levon tidak menemukan keberadaan Pulisic. Padahal orang kepercayaannya itu tidak pernah datang terlambat. “Kemana, Pulisic?” Levon mendaratkan tubuhnya di sofa ruangan CEO, kemudian mengambil ponsel di saku bajunya untuk menghubungi Pulisic. Levon menghembus napas pelan ketika nomor pulisic tidak bisa dihubungi, “Ponselnya mati, tidak seperti biasanya. Mungkin d
Kejadian kemarin, Pulisic bersiap-siap pergi ke rumah Brielle. Ia yakin Levon dan keluarganya pasti sudah mendengar berita kematian anak kecil. Saat Pulisic membuka pintu apartemen miliknya, tiba-tiba ada tangan yang membekap mulutnya dengan sebuah kain. Ia memberontak, tetapi tak butuh waktu lama matanya seolah kabur dan akhirnya tak sadarkan diri. Entah berapa lama Pulisic pingsan, ia terperanjat kaget saat pintu gudang, tempatnya terkurung dibuka dari luar. Tampak orang bertubuh kekar masuk ke dalam membawa makanan. Orang itu membuka kasar lakban yang membekap mulut Pulisic, tetapi tidak pada tali yang melilit tangan dan kakinya. “Makanlah, Sang CEO,” ucapnya dengan nada sindiran sambil meletakkan makanan di depan Pulisic. “Siapa kau? Mengapa kau menculikku, Bajingan!” Pulisic meluapkan amarahnya, tetapi justru orang itu semakin memperlihatkan wajah semringah dan tawa bernada ejekan. “Jangan kau berani bermain denganku, Baji
Lima buah mobil berhenti sekitar 100 meter dari gudang yang terbengkalai agar penculik itu tidak menyadari kedatangannya. Levon turun dari mobil, diikuti oleh semua anak buahnya. Aura mengerikan begitu kental keluar dari diri Levon, tangannya mengepal penuh emosi. “Dobrak pintu itu!” titah Levon begitu dingin dan datar ketika sudah sampai di depan pintu gudang. “Baik, Tuan.” tiga anak buahnya maju dan mendobrak pintu gudang, seketika ada banyak gengster yang ada di dalam spontam terperanjat. “Kalian hajar mereka. Biar aku yang mencari Pulisic.” Levon menyuruh anak buahnya dengan tegas, dan langsung dituruti. Perkelahian dua kubu tak terhindarkan, anak buah Levon baku hantam melawan para gengster yang sudah pasti anak buah Sang Penculik. Sementara itu, Levon menyisir sekitar gudang untuk mencari keberadaan Pulisic. Saat ia melihat sebuah ruangan yang terkunci, ia bergegas melangkah. Klek, klek, klek ... Levon tidak bisa memuka p
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B
“Arg! Sial!” teriak Amelia menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu ia berdiri lagi dan mulai merusak barang-barang miliknya di kamar itu.“Leo!” teriaknya lagi penuh emosi. Kali ini ia mengacak-acak sprei kasur. “Apa kau menginginkan aku mati? Kenapa kau tak mencegahku, Leo? Kenapa kau malah mengantar wanita iblis itu pulang?”Angelina sangat marah karena setelah mengirim video itu, Levon justru tidak panik dan berusaha datang menemuinya.“Leo!” teriakannya lebih kencang hingga suaranya serak. “gara-gara wanita iblis itu, kau jauh dariku!”Sementara itu Levon sudah sampai di mansion. Kedatangannya ditemui Emma.“Leo kenapa pulang? Dimana Angel? Bukannya kau mengantarkan Angel ke Washington?” tanya Emma cemas.“Tidak, Anne. Leo mengantarnya ke apartemen Hoston. Sementara waktu dia lebih baik tinggal di sana sampai keadaan di mans
Amelia mengirimkan sebuah video yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan aksi percobaan bunuh diri dengan cara memakan serbuk sabun cuci.“Ada apa, Leo?” tanya Emma sekilas melihat perubahan ekspresi wajah Levon.“Hem tidak ada apa-apa, Anne,” kilah Levon. Beruntung ia barusan menekan mute suara di ponselnya.“Hem Anne kira ada sesuatu.”Levon menggelengkan kepala. Lalu pandangannya bergeser ke arah Angelina. “Ow ya, Angel. Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak perlu, Tuan. Aku minta bantuan pada Fred saja,” respon Angelina menolak. Ia berusaha menghindar dari Levon.“Biarlah Levon yang mengantarmu pulang, Angel,” kata Emma.“Tidak perlu ....” Angelina berhenti berbicara ketika Emma menatapnya dengan isyarat dirinya tidak boleh menolak dihantar Levon. “Baik, Anne.”Malam ini aja aku menuruti permintaan Anne. Setelah ini aku akan m
“Nona, jangan lakukan itu.” Yang tadinya Angelina diam seribu bahasa, akhirnya bersuara. Tatapannya penuh rasa bersalah. “Aku tidak akan menerima perjodohan ini. Maafkan aku ... aku gadis yang tidak tahu diri. Seharusnya dari dulu aku tidak hadir dalam keluarga Tuan Leo.” “Jika kau menyadari semua kesalahanmu, pergilah sekarang juga!” bentak Amelia pada Angelina dengan sorot mata tajam. “Jika kau tidak ingin melihatku mati, pergilah sejauh mungkin dan jangan perlihatkan wajahmu lagi! Kalau perlu pindah Negara!” Angelina meneteskan air mata, “Baik, Nona. Aku akan pergi dari kehidupan Tuan Leo. Aku akan menjauh dari Tuan Leo ... Maafkan semua kesalahanku. Sejujurnya aku tidak pernah punya niat merebut Tuan Leo dari Nona.” Angelina pun berlari ke kamarnya dengan tangisan, sedangkan sedari tadi tatapan tajam Levon tetap menyorot pada Amelia. “Menikahlah denganku, Leo. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu,” ucap Amelia dengan buliran tangisan, me