Angelina berjalan menyosori gedung kejagung, dan mendapati Levon yang tengah duduk di salah satu sudut gedung.
“Tuan?” sapa Angelina pada Levon yang sedang menyandarkan tubuhnya dalam keadaan mata terpejam.
Levon membuka matanya dan menghembus napas pelan, “Duduklah, Angel,” suruh Levon sambil menunjuk ke samping.
“Baik, Tuan.” Angelina duduk di samping Levon. “Apa yang bisa saya kerjakan, Tuan?” Angelina yakin, Levon memanggilnya untuk diberikan tugas.
Levon menoleh ke arah samping, dan kini berhadapan dengan Angelina. “Saya hanya ingin bertanya padamu, mungkin kau tahu bayak hal mengenai riwayat Rose dan Frankie.”
“Riwayat Kak Rose dan Papa?” tanya Angelina mengerutkan kening, apalagi raut wajah Levon terlihat sangat serius.
“Dulu sebelum Rose dihukum mati, aku sempat mengabulkan permintaannya. Dia meminta ponsel untuk menghubungi seseorang. Dia sudah mengirim pesan ke beberapa orang terdekatnya yang tidak aku ketahui. Kemungkin
Keesokannya Levon, Amelia, dan Angelina hendak berangkat kerja seperti biasanya, sedangkan Azmir dibawa pulang ke mansion bersama dengan seorang dokter yang merawatnya. “Baba, cepatlah sembuh,” ucap Levon sembari mengecup kening Azmir yang terbaring di kasurnya. “Hem, Baba sudah sembuh.” Azmir menerbitkan senyuman. Ia tahu alasan Levon memilih membawanya ke mansion, disini keselamatannya lebih terjaga. Levon berdehem pelan, lalu ia mencium punggung tangan Azmir, “Leo berangkat kerja dulu.” Azmir mengedipkan kedua matanya, “Hati-hati di jalan.” *** Di perusahaan, Levon tidak menemukan keberadaan Pulisic. Padahal orang kepercayaannya itu tidak pernah datang terlambat. “Kemana, Pulisic?” Levon mendaratkan tubuhnya di sofa ruangan CEO, kemudian mengambil ponsel di saku bajunya untuk menghubungi Pulisic. Levon menghembus napas pelan ketika nomor pulisic tidak bisa dihubungi, “Ponselnya mati, tidak seperti biasanya. Mungkin d
Kejadian kemarin, Pulisic bersiap-siap pergi ke rumah Brielle. Ia yakin Levon dan keluarganya pasti sudah mendengar berita kematian anak kecil. Saat Pulisic membuka pintu apartemen miliknya, tiba-tiba ada tangan yang membekap mulutnya dengan sebuah kain. Ia memberontak, tetapi tak butuh waktu lama matanya seolah kabur dan akhirnya tak sadarkan diri. Entah berapa lama Pulisic pingsan, ia terperanjat kaget saat pintu gudang, tempatnya terkurung dibuka dari luar. Tampak orang bertubuh kekar masuk ke dalam membawa makanan. Orang itu membuka kasar lakban yang membekap mulut Pulisic, tetapi tidak pada tali yang melilit tangan dan kakinya. “Makanlah, Sang CEO,” ucapnya dengan nada sindiran sambil meletakkan makanan di depan Pulisic. “Siapa kau? Mengapa kau menculikku, Bajingan!” Pulisic meluapkan amarahnya, tetapi justru orang itu semakin memperlihatkan wajah semringah dan tawa bernada ejekan. “Jangan kau berani bermain denganku, Baji
Lima buah mobil berhenti sekitar 100 meter dari gudang yang terbengkalai agar penculik itu tidak menyadari kedatangannya. Levon turun dari mobil, diikuti oleh semua anak buahnya. Aura mengerikan begitu kental keluar dari diri Levon, tangannya mengepal penuh emosi. “Dobrak pintu itu!” titah Levon begitu dingin dan datar ketika sudah sampai di depan pintu gudang. “Baik, Tuan.” tiga anak buahnya maju dan mendobrak pintu gudang, seketika ada banyak gengster yang ada di dalam spontam terperanjat. “Kalian hajar mereka. Biar aku yang mencari Pulisic.” Levon menyuruh anak buahnya dengan tegas, dan langsung dituruti. Perkelahian dua kubu tak terhindarkan, anak buah Levon baku hantam melawan para gengster yang sudah pasti anak buah Sang Penculik. Sementara itu, Levon menyisir sekitar gudang untuk mencari keberadaan Pulisic. Saat ia melihat sebuah ruangan yang terkunci, ia bergegas melangkah. Klek, klek, klek ... Levon tidak bisa memuka p
Yas terkejut, tetapi di detik ini dirinya belum merasa takut meski Levon menodongkan pistol padanya. Yas menemukan celah untuk menggoyahkan pendirian Levon. “Bonus besar? Berapa bonus yang Tuan Leo janjikan padamu? Katakan, bosku akan memberikan lebih dari yang Tuan Leo berikan.” “Sangat besar dan bosmu pasti tidak sanggup menandingi pemberian Tuan Leo.” Levon tersenyum miring, meremehkan kekayaan orang yang menyuruh Yas. Namun, itu hanya trik saja. Levon memancing Yas untuk menceritakan siapa yang sudah menyuruhnya untuk menculik Pulisic. “Jangan remehkan bosku. Ya! Tuan Leo memang lebih kaya, tetapi aku jamin bosku pasti memberikan hadiah sesuai dengan apa yang kau minta. Apapun itu!” Yas meyakinkan Levon dengan mempertegas di dua kata terakhirnya. Levon merespon dengan memainkan pistol di tanganya, kemudian diarahkan ke depan mata Yas dan seolah ingin menarik pelatuknya. Ketakutan mulai menyelimuti diri Yas, keringat dingin su
Tampak seseorang menyeringai di depan layar laptopnya. Menyaksikan ulang rekaman cctv yang terhubung di gedung terbengkalai tersebut. Kemudian ia tertawa sambil bertepuk tangan berulang kali. “Hebat, hebat. Aku akui Tuan Leo pasti menyelamatkan Pulisic. Tapi ini disengaja, aku tidak menyuruh Yas untuk membunuh Pulisic, karena aku ingin tahu wajah Tuan Leo.” seseorang itu tampak kecewa karena rencana liciknya untuk mengetahui wajah Tuan Leo gagal total, bahkan kini Yas tertangkap. Namun, kekecewaan orang itu mendadak berubah menjadi senyuman jahat. Ia teringat aksi Levon dalam menyelamatkan Pulisic. “Levon? Mantan suami Rose? Dia juga harus mendapat hukuman dariku,” ucap seseorang itu mengulas senyuman licik. Di kepalanya sudah ada rangkaian rencana teror lanjutan untuk Tuan Leo. “Tapi sebelum aku menghukumnya, aku harus memanfaatkan kelemahannya. Dia bekerja pada Tuan Leo karena uang. Jadi aku akan memberikan dia sejumlah uang yang sangat banyak agar dia mau
Di perusahaan, di sela kesibukan mengerjakan beberapa tugasnya, Amelia memikirkan penculikan terhadap Pulisic. Ia cemas ceo perusahaan itu diculik karena dijadikan alat untuk menghancurkan Levon. “Mengapa Pulisic diculik? Apa ini ada kaitannya dengan musuh-musuh Levon? Apakah mereka ingin balas dendam pada Levon dengan memanfaatkan Pulisic?” tanya Amelia dalam batinnya. Raut wajahnya sangat cemas, tetapi bukan mencemaskan keselamatan Pulisic, melainkan Levon. Sementara itu, Jennie tersenyum sendiri saat sedang membersihkan ruangan Amelia. Ia membayangkan Levon menjadi suaminya. “Tuan, semakin hari bayanganmu selalu menghantui pikiranku. Satu jam tidak bertemu denganmu rasanya seperti satu tahun,” batinnya. “Sekarang Tuan ada dimana? Aku sangat merindukan Tuan.” Amelia yang tidak fokus bekerja, tak sengaja melihat Jennie yang menyengir sendiri seperti orang gila. Yang tadinya Amelia melamun, kini ia seolah menemukan cara mengobati rasa cemasnya
Sampai detik ini orang itu tidak mau menyebut namanya. Ia memilih memesan ruangan VVIP restoran dan membawa Levon ke sana. Saat sudah duduk di sofa yang saling menghadap, Levon tersenyum miring ketika melihat ada sebuah benda yang sekilas menyala di dalam saku baju orang itu. Levon yakin benda itu sudah terpasang kamera yang terhubung ke seseorang yang menyuruh lawan bicaranya. “Maaf, Tuan. Saya tidak mungkin mengkhianati Tuan Leo,” ucap Levon, kemudia berhenti sejenak dengan seulas senyuman licik. “Kecuali ...” Orang itu mengembangkan senyuman, mengerti maksud dari Levon, “Aku pasti memberikan berapapun imbalan yang kau minta, sekarang juga aku akan mentransfer ke nomor rekeningmu.” “sungguh Tuan? Apakah kau sangat kaya?” tanya Levon mencondongkan tubuh ke depan seolah mata duitan, tetapi sebenarnya ini hanya pancingan agar orang di depannya itu menceritakan siapa orang yang menyuruhnya. “Aku serius. Katakan saja berapa yang kau minta?” tanya
Sekitar sepukuh menit kemudian, Elanga datang ke ruangan VVIP restoran. Cukup pintar! Elanga memakai penutup wajah. “Cepatlah, Tuan Elanga. Mana uang yang kau janjikan. Aku harus cepat pergi dari tempat ini sebelum Tuan Leo mencurigaiku,” kilah Levon memasang wajah serius. “Kau benar, anak muda. Sebutkan nomor rekeningmu,” ucap Elanga sambil merogoh ponselnya dan mendaratkan tubuhnya di sofa menghadap Levon. Levon menyebut nomor rekeningnya, “Ingat! Satu miliar dollar.” “Aku sudah mengirimkan sesuai dengan yang kau minta. Sekarang lakukan tugasmu dengan baik. Bunuh Tuan Leo untukku,” balas Elanga begitu semringah sambil menunjukkan layar ponselnya pada Levon. Satu miliar dollar sudah masuk ke rekening bernama Azmir Levon. Levon tak kalah semringah, sangat mudah mengelabuhi Elanga. Pada saatnya uang itu akan dikembalikan lagi pada Elanga. Levon hanya menerimanya agar musuhnya terkecoh dan mempercayainya. “Terima kasih, Tuan. Aku pasti m
Air mata Angelina mengalir deras, menumpahkan semua kesedihannya. Kalimatnya barusan diucapkan secara sadar. Ia siap mati, Jika dengan nyawanya bisa membuat Amelia kembali ke jalan yang Sementara itu, Amelia sangat terkejut. Tanpa dugaannya sama sekali, Angelina mengetahui identaitasnya. “Nona Amelia? Aku Ketty ... Namaku Ketty, bukan Nona Amelia,” ucap Amelia masih belum mengaku. “Sudahlah, Nona. Buka topengmu. Jika kau ingin membunuhku, silahkan saja. Aku tidak akan melawannnya,” kata Angelina pasrah. Amelia mulai cemas. Ia mulai curiga bahwa Angelina datang bersama dengan Levon dan orang-orang kepercayaannya. “Aku bukan Nona Amelia!” teriak Amelia. “Aku Ketty ... Aku memanggilmu kesini untuk menyelesaikan masalahku. Tapi kau justru berpihak pada wanita itu.” Amelia masih mempertahankan penyamarannya. Lalu ia berjalan cepat ke arah sudut pintu. Ia melihat layar pengintai aktifitas di luar, depan dan sekitar kamarnya. Tidak ada siapa-siapa, batinnya. Lalu ia kembali memutar ba
“Sayang sekali, padahal kue ini sangat enak,” ucap Amelia sambil meletakkan kue itu ke wadahnya“Em kalau begitu, makanlah,” kata Angelina setengah mengetes.“Ah aku sudah kenyang ... aku sudah banyak menghabiskan kue ini,” kilah Amelia tersenyum paksa, menutupi rasa kesalnya.“Ow ya, Ketty. Rumahmu dimana?” tanya Angelina.“Hemmm dekat dengan mansion Tuan Leo,” jawab Amelia.“Apa Tuan Leo mengenalmu?” tanya Angelina memancing.“Emmm tidak ... Tuan Leo tidak mengenalku,” kilah Amelia. “ow ya lanjutkan pembahasan yang tadi ... Jadi bagaimana menurutmu? Apa aku harus mengalah?”“Terkadang kita harus mengalah demi kebahagiaan orang yang kita cintai,” jawab Angelina bijak. “Tapi aku tidak sudi wanita iblis itu merebut orang yang aku cintai ... Hanya aku yang pantas mendampinginya, bukan wanita iblis itu,” respon Amelia sedikit emosi. Tatapan tajamnya mulai diperlihatkan pada Angelina. “tunggu ... Apa itu artinya kau mendukung wanita itu merebut pujaan hatiku?” tanyanya.Angelina menghela
“Ya, Tuan.” Angelina mengangguk dengan tatapan serius “aku siap kehilangan nyawa asal Nona Amelia kembali menjadi orang baik. Karena aku memang salah.”Mendengar itu, Levon terharu. Ia menatap Angelina dengan tatapan bangga. Jack dan teman-temannya pun merasakan hal yang sama.“Aku tidak salah memilih calon istri ...” ucap Levon dengan tatapan lembut. Lalu ia mengambil ponsel Angelina. “Aku tidak akan membiarkan calon istriku celaka.”Angelina meneteskan air mata, lalu ia spontan memeluk Levon.“Tuan, aku stress. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku ingin sekali menjadi istri Tuan, tapi disisi lain ... aku kasihan pada Nona Amelia. Aku tidak mau merebut Tuan darinya,” kata Angelina menangis dalam pelukan Levon. Lalu ia melepas pelukannya dan mendongak menatap penuh arti pada calon suaminya itu. “Menikahlah saja dengan Nona Amelia, Tuan.”“Aku menyayangi Amelia. Dia adikku, dan selamanya statusnya tidak berubah ... Sementara kau, Angel. Kau adalah calon istriku,” respon Levon tersenyu
Dengan pakaian khas pria bertopeng, Amelia menunggu di salah satu kamar apartemen British, kira-kira jarak tempuhnya sekitar satu jam dari apartemen Hoston. Amelia sudah menyelipkan sebuah pisau di sela-sela lubang sofa. Ia juga mencampurkan racun di makanan ringan berupa kue keju yang ada di atas meja. “Leo sudah berbohong padaku, Angelina tidak pulang ke Washington.” Angelina sangat marah, ia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu dan segera membunuhnya. “Aku pastikan hari adalah hari terakhirnya bisa bernapas!” Sementara itu, Jack bergerak cepat setelah menerima pesan dari Levon. Ia melacak nomor ponsel yang diberikan Sang Tuan. “kamar nomor 987,” ucap temannya pada Jack setelah berhasil melacak keberadaan pemilik nomor itu. Jack dan teman-temannya menyusuri setiap lorong, menaiki lift untuk sampai ke kamar teratas yang ada di apartemen British. Salah satu di antara mereka menyamar sebagai cleaning service, namanya Sancho. TOK! TOK! Sancho mengetok pintu kamar Amelia, se
Levon tampak duduk di kursi ruangan makan yang ada di apartemen Hoston. Ia sudah janjian dengan Angelina untuk makan bersama.“Hem dia sangat cantik,” gerutu Levon ketika melihat Angelina datang. Ia memandangi penampilan gadis itu dari atas sampai bawah. Kecantikannya sangat natural.“Tuan sudah menunggu lama?” tanya Angelina sambil menarik kursi makan yang menghadap Levon.“Hemm dua menit yang lalu,” jawab Levon. lalu ia memanggil waitress“Mau makan apa, Angel?” tanya Levon, Angelina pun mengamati daftar menu makanan dan minuman yang ada di hadapannya.“Tuna sandwich, terus minumannya emmm ...lemon tea.”“Dua tuna sandwich, dua lemon tea,” ulang Levon pada waitress yang berdiri di samping meja makan mereka.“Baik, mohon ditunggu.”Angelina terkekeh pelan, “Kenapa Tuan memesan menu yang sama?”“Karena sebent
Amelia turun dari atas dan bepura-pura tidak mengetahui apa-apa. Dengan mengenakan pakaian olaharaga, ia menghampiri mereka.“Hai,” sapa Amelia ramah. “Selamat pagi semuanya.”“Pagi,” jawab mereka bersamaan.“Mau kemana, nak?” tanya Emma perhatian. Sebenarnya ia merasa kasihan dan tidak tidak tega mendengar keputusan Levon mengirim sepupunya itu kembali ke Turki.“Mau olahraga, Anne,” jawab Amelia. “Ya udah dulu, lanjutkan obrolan kalian.”Amelia berjalan ke luar mansion. Ia ingin melarikan diri tanpa naik mobil karena orang-orang kepercayaan Levon ada dimana-mana.Pandangannya mengawasi sekitar jalan. Dirasa aman, ia meyetop taksi yang kebetulan lewat.“Nona Amelia?” tanya supir taksi itu setelah tahu siapa penumpangnya.“Hem antarkan aku ke toko pakaian terdekat,” titah Amelia. “cepat, aku terburu-buru.”“B
“Arg! Sial!” teriak Amelia menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Lalu ia berdiri lagi dan mulai merusak barang-barang miliknya di kamar itu.“Leo!” teriaknya lagi penuh emosi. Kali ini ia mengacak-acak sprei kasur. “Apa kau menginginkan aku mati? Kenapa kau tak mencegahku, Leo? Kenapa kau malah mengantar wanita iblis itu pulang?”Angelina sangat marah karena setelah mengirim video itu, Levon justru tidak panik dan berusaha datang menemuinya.“Leo!” teriakannya lebih kencang hingga suaranya serak. “gara-gara wanita iblis itu, kau jauh dariku!”Sementara itu Levon sudah sampai di mansion. Kedatangannya ditemui Emma.“Leo kenapa pulang? Dimana Angel? Bukannya kau mengantarkan Angel ke Washington?” tanya Emma cemas.“Tidak, Anne. Leo mengantarnya ke apartemen Hoston. Sementara waktu dia lebih baik tinggal di sana sampai keadaan di mans
Amelia mengirimkan sebuah video yang memperlihatkan dirinya sedang melakukan aksi percobaan bunuh diri dengan cara memakan serbuk sabun cuci.“Ada apa, Leo?” tanya Emma sekilas melihat perubahan ekspresi wajah Levon.“Hem tidak ada apa-apa, Anne,” kilah Levon. Beruntung ia barusan menekan mute suara di ponselnya.“Hem Anne kira ada sesuatu.”Levon menggelengkan kepala. Lalu pandangannya bergeser ke arah Angelina. “Ow ya, Angel. Aku akan mengantarmu pulang.”“Tidak perlu, Tuan. Aku minta bantuan pada Fred saja,” respon Angelina menolak. Ia berusaha menghindar dari Levon.“Biarlah Levon yang mengantarmu pulang, Angel,” kata Emma.“Tidak perlu ....” Angelina berhenti berbicara ketika Emma menatapnya dengan isyarat dirinya tidak boleh menolak dihantar Levon. “Baik, Anne.”Malam ini aja aku menuruti permintaan Anne. Setelah ini aku akan m
“Nona, jangan lakukan itu.” Yang tadinya Angelina diam seribu bahasa, akhirnya bersuara. Tatapannya penuh rasa bersalah. “Aku tidak akan menerima perjodohan ini. Maafkan aku ... aku gadis yang tidak tahu diri. Seharusnya dari dulu aku tidak hadir dalam keluarga Tuan Leo.” “Jika kau menyadari semua kesalahanmu, pergilah sekarang juga!” bentak Amelia pada Angelina dengan sorot mata tajam. “Jika kau tidak ingin melihatku mati, pergilah sejauh mungkin dan jangan perlihatkan wajahmu lagi! Kalau perlu pindah Negara!” Angelina meneteskan air mata, “Baik, Nona. Aku akan pergi dari kehidupan Tuan Leo. Aku akan menjauh dari Tuan Leo ... Maafkan semua kesalahanku. Sejujurnya aku tidak pernah punya niat merebut Tuan Leo dari Nona.” Angelina pun berlari ke kamarnya dengan tangisan, sedangkan sedari tadi tatapan tajam Levon tetap menyorot pada Amelia. “Menikahlah denganku, Leo. Aku janji akan menjadi istri yang baik untukmu,” ucap Amelia dengan buliran tangisan, me