JAERYN SALIM
“Jaeryn! Jaeryn! Jaeryn!” suara sorakan fans terdengar kencang saat aku hendak menaiki panggung. Malam ini, aku akan melakukan siaran langsung dari studio Okay Tv.
“Halo semuanya ... namaku Jaeryn.” Aku menyapa sambil melambaikan tangan ke kamera dan membungkuk memberi hormat kepada penonton.
“Aku akan mempraktekkan makeup natural ala cewek jepang. Makeup ini akan memberikan hasil yang sempurna bagi kalian pecinta no makeup look. Makeup ini akan membuat kulit kalian terlihat super mulus tanpa terkesan cakey.”
“Pertama-tama ... kalian harus menyemprotkan toner, agar kulit kalian menjadi lembab,” ucapku sembari menyemprotkan toner ke wajah. Tetapi entah mengapa, saat itu aku malah merasa sekujur tubuhku ikutan basah oleh karena butiran-butiran cairan toner yang berterbangan tertiup angin.
“Woi! Bangun Jaeryn! Sekarang sudah siang! Udah nganggur bukannya bantuin Bunda jualan di depan! Malah molor aja. Bunda mau boker, nih!” bentak bunda yang membuyarkan mimpi indahku. Ternyata Bunda membangunkanku sambil menyipratkan air.
“Ah ... Bunda ... padahal aku tadi lagi mimpi jadi makeup artist terkenal,” jawabku sembari mengacak rambut.
“Haduh! Buang jauh-jauh mimpimu itu. Buktinya sampai hari ini kamu belum juga dipanggil untuk kerja, kan? Lamaran yang kamu bikin itu hanya buang-buang kertas saja. Kasihan pohon-pohon yang tertebang karena lamaran gak berguna kamu."
“Ih ... apaan, sih! Katanya mau boker? Yaudah sana,” jawabku sambil mengusir Bunda.
Aku pun beranjak ke depan untuk menjaga toko sembari meratapi nasibku yang masih jadi pengangguran. Aku sudah banyak melamar ke berbagi agensi artis untuk berkeja sebagai penata rias di sana. Ini sudah bulan kelima semenjak aku lulus SMA serta mencoba peruntunganku. Dan hari ini, aku masih begini-begini saja. Bangun siang lalu membantu Bunda berjualan di toko kosmetik yang telah dirintis orang tuaku sejak 22 tahun silam. Lebih tepatnya Ayahku. Tetapi karena Ayah dan Bundaku memutuskan untuk bercerai 5 tahun lalu, toko kosmetik ini diambil alih oleh Bunda. Lewat penghasilan dari toko kosmetik ini lah, kami bergantung untuk melanjutkan hidup.
Bosan rasanya jika hidupku hanya begini saja, hanya mampu mengeluh akan keadaan. Sambil meneguk segelas air putih di hadapanku, aku berdoa agar impiaku menjadi seorang penata rias dapat segera terwujud.
Di sela-sela aku berkeluh kesah, seorang pembeli yang masih memakai seragam SMA masuk ke dalam toko.
“Hai Kak, aku mau nyari lipstick yang warnanya natural. Mau aku pakai ke sekolah soalnya. Takut ketahuan guru. Hehehe ...”
“Kalau gitu kamu pakai lipbalm merk Noki-Noki aja. Nih ... aku ajarin kamu caranya supaya nggak ketahuan guru. Pertama-tama kamu pakai dulu ke bibir lalu diamkan selama 5 menit. Setelah itu, hapus pakai tisu. Nanti bibirmu akan merah alami,” jelasku panjang lebar.
“Wah ... gitu, ya, Kak? Oke lah! Kalau gitu aku coba satu.”
“Ashiaaap ... ini harganya 18 ribu, ya,” ucapku sambil menaruh lipbalm itu ke dalam kantung plastik.
“Sip ... makasih, ya, Kak,” ucap pelajar itu sembari membayar. Dia pun pergi meningalkan toko.
Karena merasa sangat lapar, aku pun bergegas ke dapur untuk mengambil sarapan. Tetapi langkahku terhenti karena ponselku berdering. Aku pun memutar langkahku untuk melihat siapa yang menelepon, dan ternyata panggilan itu dari nomor yang tidak aku kenal.
“Yaudalah angkat aja,” pikirku.
“Halo ...”
“Halo ... apa benar ini dengan Mbak Jaeryn?” tanya si penelepon dengan nada ramah.
“Iya benar, saya sendiri. Dengan siapa, ya?” tanyaku kembali.
“Mbak Jaeryn, saya Rudi dari Horas Entertainment. Saya ingin memberi kabar bahwa Mbak diundang untuk uji tes kemampuan ke kantor kami pada hari senin pukul 10 pagi. Apakah Mbak Jaeryn berkenaan untuk hadir?”
“Hah! Saya mas? Saya diundang tes? Tentu saja saya akan hadir,” ucapku antusias.
“Bagus sekali. Tetapi syaratnya Mbak Jaeryn harus membawa bahan praktek Mbak sendiri, ya. Mbak akan praktek langsung bersama artis yang nantinya akan berkerja sama dengan Mbak, jika Mbak diterima,” jelas Mas Rudi.
“Baik Mas Rudi. Saya akan menunjukkan kemampuan terbaik saya. Terima kasih banyak.”
“Ditunggu kehadirannya Mbak Jaeryn,” tutup Mas Rudi.
Aku senang setengah mati setelah mendengar kabar baik itu. Aku pun langsung menyambar kamar mandi untuk memberi tahu Bunda.
“Wah, gila! Bunda!” teriakku sembari menggedor pintu kamar mandi.
Bunda pun keluar dengan wajah kesal akibat kebisingan yang aku timbulkan. Bunda mulai bertanya mengapa aku begitu heboh. Kujelaskan padanya bahwa aku diundang uji tes kemampuan hari senin. Dan tak lupa pula kuberitahu bahwa aku mungkin akan mengambil beberapa bahan makeup dari toko.
Namun, reaksi Bunda sedikit mengecewakanku. Bunda pikir, semua itu hanyalah panggilan dari orang yang iseng. Atau mungkin hanyalah percobaan penipuan. Aku kesal mendengar ucapan bunda yang sama sekali tidak mendukung apalagi mendoakan. Tapi, aku tidak akan menyerah kali ini. Aku akan segigih mungkin, seakan-akan aku akan mati besok.
Daripada meratapi nasibku yang tidak mendapatkan dukungan, aku lebih baik memikirkan look apa yang sebaiknya aku tunjukkan pada hari senin nanti. Tapi, aku baru tersadar bahwa aku tidak tahu siapa artis yang dimaksud Mas Rudi. Jika aku tahu siapa artis itu, tentu akan lebih mudah bagiku. Agar aku juga tidak perlu terlalu banyak berlatih untuk look yang mungkin tidak cocok dengan artis itu.
***
Di dalam kamar, aku sibuk mengotak-atik komputerku.
“Artis yang bernaung di bawah Horas Entertainment.”
Aku mengetik kata kunci itu pada g****e, berusaha mendapatkan ide yang bagus. Muncullah kumpulan nama yang aku cari. Aku pun membuka gambar mereka satu per satu. Sialnya, tidak ada satu pun dari mereka yang aku kenali. Karena jujur saja, aku bukanlah pecandu musik atau hiburan televisi.
Setelah berjam-jam berselancar di internet, aku mulai menyerah. Anehnya tidak ada satu pun ide yang muncul di kepalaku. Tetapi sebelum aku mematikan komputer, aku memutuskan untuk menyelidiki nama terakhir pada daftar panjang orang-orang yang bernaung di bawah Horas Entertainment.
“Oh ... jadi ini yang namanya Geraldy,” gumamku sambil menatap layar komputerku.
Aku kembali teringat masa SMA. Teman-teman sekelasku tidak henti-hentinya mengucapkan nama itu setiap hari. Dan hari ini akhirnya aku mengetahui, apa alasan di balik kekaguman itu. Ternyata ketampanan Geraldy memang tampak tidak manusiawi. Bahkan aku mendadak jadi punya ide bagus.
Aku akhirnya memutuskan untuk membaca biodatanya karena penasaran. Aku tertawa kecil karena merasa terlambat mengagumi Geraldy. Biodatanya yang terpampang di komputer, merangkum lengkap jejak-jejak kelahirnya di bumi ini.
BIODATA GERALDY
Nama Lengkap: Geraldy Pratama
Tempat & Tanggal Lahir: Russia, 9 Desember 1998
Zodiak: Capricorn
Pekerjaan: Penyanyi dan Penulis Lagu
Tahun Aktif: 2018 - sekarang
Label: Horas Entertainment
Aku akhirnya tahu alasan mengapa Geraldy begitu tampan. Ternyata Geraldy adalah blasteran. Aku sangat berharap kalau artis yang akan berkerja sama dengaku itu adalah benar Geraldy. Sebab, wajah Geraldy benar-benar memberiku begitu banyak inspirasi. Tapi, mau bagaimanapun aku harus mempersiapkan look cadangan. Untuk jaga-jaga apabila nanti artis yang dimaksud Mas Rudi bukanlah Geraldy.
***
Waktu bergulir cepat, hari senin pun tiba. Aku mengawali hari dengan penuh semangat meskipun semalam aku tidak bisa tidur nyenyak karena terlalu khawatir. Aku merias wajahku sesempurna mungkin, guna mempercantik diri sekaligus menunjukkan bakat. Aku harus tampil dengan penampilan yang tidak terkesan berlebihan, tetapi tetap terlihat sebagai sosok yang profesional. Kesan pertama sangat penting bagiku.
Aku berjalan ke ruang depan untuk mengambil beberapa alat makeup di toko. Aku menoleh ke arah bunda sembari tersenyum, tetapi bunda sama sekali tidak membalas senyumanku. Sembari membuka rak kaca aku berkata,
“Bunda aku ambil foundation yang merk Noki-Noki, ya.”
“Kenapa bawa yang mahal? Belum tentu diterima juga, kan. Bikin rugi aja kamu ini,” ucap bunda yang sukses membuatku patah semangat.
“Iya, maaf bunda. Tetapi memulai karir, kan, memang perlu modal. Nanti Jaeryn ganti, deh, kalau sudah punya uang,” balasku dengan nada lemas.
Aku menghela nafas panjang. Entah mengapa Bunda tidak pernah mau mendukung impianku sebagai penata rias. Aku sangat tidak paham mengapa bunda seperti itu. Apa karena Ayah? Aku menghela nafas lagi.
***
Aku memutuskan untuk menaiki taxi online menuju gedung Horas Entertainment. Sepanjang perjalanan, aku jantungan setengah mati. Aku menebak-nebak bagaimanakah nasib impianku setelah ini. Apakah kali ini aku akan berhasil ataukah gagal?
Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya aku tiba di depan gedung Horas Entertainment. Gedung itu menjulang tinggi, setinggi harapanku. Di depan gedung, terpampang luas pamflet dengan wajah karismatik Geraldy.
“Dia pasti artis kebangaan Horas Entertainment,” gumamku.
Aku lantas memasuki gedung Horas Entertainment dan segera mengampiri meja informasi. Segera kutanyakan pada staff di balik meja informasi itu, bagaimana caranya agar aku dapat bertemu dengan Mas Rudi. Awalnya staff itu menatapku ragu, tapi akhirnya ia menunjukkan jalannya padaku setelah aku menceritakan apa tujuanku menemui Mas Rudi.
Aku diarahkan untuk naik ke lantai 5 gedung ini. Dan setelah sampai di lantai 5, aku harus mencari sebuah ruangan yang bertuliskan kamar rias.
Pintu lift pun terbuka saat aku telah tiba pada lantai 5. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari kamar rias, tetapi tidak juga aku temukan. Aku memutuskan untuk berjalan sampai ke ujung lorong. Akhirnya, aku menemukannya!
“Tok ... tok … tok ...”
Aku mengetuk pintu ruangan yang bertuliskan kamar rias itu. Seorang pria membukakan pintu untukku dan berkata, “Mbak Jaeryn, kan?”
Aku mengiyakan sembari mengikuti ajakannya memasuki ruangan itu. Di dalam ruangan, terjejer rapi meja-meja rias berserta lampu bercahaya kuning untuk membantu penerangan. Ada seorang pria lainnya di sana, ia duduk membelakangiku sambil menggunakan headset. Setelah kuintip layar ponselnya, dia sedang bermain game. Ku tebak pria ini adalah artis yang nantinya akan bekerja sama denganku.
“Pagi Mbak Jaeryn … saya Rudi yang menelepon kemarin,” ucap Mas Rudi sambil menyodorkan tanganya untuk aku jabat. Aku pun melayani jabatan tangan itu. Kemudian Mas Rudi menepuk pundak pria yang duduk membelakangiku itu. Dia sedaritadi juga tidak menyadari kedatanganku. Pria itu pun menoleh cepat.
“Geraldy?!” Jeritku dalam hati. Aku tertohok menatap Geraldy tanpa berkedip.
Tak bisa kupercaya bahwa pria itu adalah Geraldy. Iya … itu benar adalah Geraldy, seorang pria yang memiliki paras tampan yang tidak manusiawi.
Geraldy pun segera melepaskan headsetnya dan berhenti bermain game setelah menyadari kedatanganku. Geraldy beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menghampiriku. Dia benar-benar tidak terlihat seperti seorang manusia, wujudnya itu terlalu sempurna untuk disebut sebagai seorang manusia. Tubuhnya berotot tebal dan bahunya lebar. Kulitnya sangat mulus dan kilat persis seperti yang kulihat dari foto. Ketika dia berdiri di depanku untuk berkenalan, aku tebak tingginya pasti diatas 185cm. Matanya sangat besar serta bersinar, hidungnya pun mancung bagai menantang, lalu bibirnya tebal dan juga berwarna segar.
“Kita langsung mulai saja,” ucap Geraldy tidak ingin basa basi. Aku mulai merasa canggung karena Geraldy tampak seperti orang yang tidak bersahabat. Rasa kagumku padanya menjadi runtuh seketika.
Aku memutuskan untuk menyusun alat makeup yang aku bawa satu per satu ke atas meja rias. Sebelum aku memulai aksiku, Mas Rudi meyemangatiku dengan berkata, “Santai aja, ya … jangan grogi.”
Aku menatap wajah Geraldy yang memberikan ekspresi dingin kepadaku. Aku bertanya kepadanya kira-kira hasil makeup seperti apa yang dia inginkan. Dia menoleh ke arahku dengan tatapan yang sangat tajam. Aku menangkap arti tatapan itu, dia tidak ingin menjawab pertanyaanku. Dengan rasa kesal, aku pun memulai pekerjaanku dengan mengoleskan pelembab pada wajahnya. Geraldy pun memejamkan matanya sembari mencoba untuk tertidur.
Setelah 1 jam berlalu, akhirnya pekerjaanku selesai dengan sempurna. Aku puas dengan hasil riasanku.
“Udah selesai, nih,” ucapku sambil mundur selangkah. Geraldy pun membuka matanya dan mulai berkaca. Dia pun masih tidak mengucapkan sepatah kata pun kepadaku.
“Bagus, nih … Geraldy jadi terlihat semakin karismatik,” puji Mas Rudi. Aku tersenyum lega mendegar ucapan itu. Aku semakin percaya diri kalau aku akan diterima bekerja.
Tiba-tiba Geraldy beranjak dari tempat duduknya. Dia mengambil ponsel, tas dan jaket bewarna coklat yang tergantung di balik kursi. Dia meninggalkan kamar rias begitu saja. Lebih tepatnya dia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Bahkan biasanya kalau seseorang tidak meyukai hasil riasanku, mereka akan memaki. Tapi ini pertama kalinya ada seseorang yang pergi begitu saja tanpa mengkritik atau bahkan memuji. Aku terheran-heran dengan sikap Geraldy.
Mas Rudi pun segera meluruskan situasi dengan berkata “Jika Geraldy tidak bilang apa-apa berarti dia menyukainya. Mulai besok, Mbak Jaeryn sudah resmi bekerja pada Horas Entertainment. Selamat bergabung, ya, Mbak Jaeryn.” Mas Rudi menjabat tanganku sekali lagi.
***
Perasaanku campur aduk, aku tidak tahu harus merasa sedih atau senang. Di satu sisi aku senang dengan fakta bahwa aku diterima bekerja. Tetapi rasanya bukan hal yang bagus jika harus bekerja sama dengan seseorang yang selalu bersikap dingin seperti Geraldy.Karena pikiranku sedikit kalut, aku pun memutuskan pergi ke café untuk duduk santai sembari menenangkan diri. Ku pesan satu gelas besar jus mangga dingin untuk mendinginkan kepalaku yang panas karena tingkah tak lazim Geraldy tadi pagi. Aku mulai menyesali doaku yang meminta untuk dapat bekerja sama dengan Geraldy. Kini, wajah tampannya itu tidak spesial lagi di mataku.Sembari menyeruput jus mangga, aku menatap layar televisi yang terpampang jelas di depanku. Tulisan Okay Tv tertera pada sudut kanan layar televisi, dan tulisan Fav Plasylist tertera pada sudut kiri layar televisi. Ku tebak ini adalah acara yang menampilkan kumpulan tangga lagu yang menjadi juara pekan ini.Ternyata tebakanku s
Akhirnya mulai hari ini aku resmi bekerja untuk Horas Entertainment. Aku tertegun melihat orang-orang di sini bekerja begitu keras. Mereka berjalan dengan langkah kaki yang sangat cepat, bahkan terkesan terburu-buru. Dan aku masih saja dengan langkahku yang lamban dan terkesan tidak ikhlas. Aku bahkan menekan tombol lift dengan lesu.Untuk memasuki lift, aku harus mengarahkan barcode yang tertera pada tanda pengenal yang aku kalungi. Tanda pengenalku itu bertuliskan ‘Jaeryn Salim – Makeup Artist’.Setelah beberapa saat di dalam lift, aku bertemu dengan beberapa staff lainnya. Aku ingin menegur, tetapi mereka sedang sibuk berbincang ria. Mereka mengosipkan pria idaman mereka yang tak lain dan tak bukan adalah Geraldy. Mereka merasa begitu bersyukur dapat bekerja di sini dan dapat sering bertemu dengan Geraldy. Mereka mengakui bahwa sikap dingin yang ditunjukkan oleh Geraldy adalah sebuah pesona yang sangat mematikan. Pesona yang harus dimiliki
“Ya, begitulah. Dari gosip yang kudengar, dulu ayah tirinya Geraldy adalah seorang penata rias untuk ibunya. Dulu zamanya kita masih kecil, ibunya adalah artis papan atas. Setelah ayah kandung Geraldy meninggal karena bunuh diri, sang ibu memilih untuk menikah dengan penata riasnya sendiri. Mau tidak mau, Geraldy jadi punya ayah tiri, deh. Bahkan seluruh kekuasaan diserahkan kepada ayah tirinya Geraldy, sedangkan sang Ibu memilih untuk pensiun dari dunia hiburan dan memutuskan untuk menghabiskan sisa hidup dengan jalan-jalan,” sambung Daniel memperjelas pernyataannya tadi.Senyuman kecil yang kaku aku guratkan pada bibir. Tak kusangka latar belakang Geraldy tidak sesempurna bayanganku. Ayah yang bunuh diri? Sungguh tak terbayang jika hal itu terjadi kepadaku.Salah satu fakta baru tentang Geraldy kutelan bersamaan dengan nasi putihku siang ini.Aku pun berterima kasih kepada Daniel karena sudah menemaniku makan siang, dan telah memberit
Jam menunjukkan pukul 7 malam, Geraldy akhirnya mendapatkan break untuk makan malam. Aku pun memutuskan untuk makan malam juga, karena sepertinya shooting ini akan berakhir larut.“Duduk di sini aja Jaeryn.” Mas Rudi mengajakku duduk di sebelahnya untuk berbagi makanan.“Malam ini kita semua bakalan bergadang. Soalnya shooting harus lanjut sampai subuh,” ungkap Mas Rudi memberikan informasi.“Hah?” Aku hampir tersedak.“Iya, udah kejar tayang, nih, dramanya. Terpaksa harus lanjut sampai subuh. Kalau kamu ngantuk, kamu bisa tidur sebentar di tenda Geraldy. Soalnya tenda di sini terbatas. Nanti kalau lagi perlu kamu, aku bangunin, deh,” jelas Mas Rudi.Mendengar hal itu, aku menjadi tidak berselera menelan makan malamku.“Berada di sini sampai subuh? Bersama Geraldy? Menggunakan tenda Geraldy? Yang benar saja!” batinku.Namun mau bagaimana la
Aku menyusun alat makeup ke dalam tas sambil tertunduk murung. Mataku sudah berkaca-kaca, aku tak mampu berpura-pura bahwa aku baik-baik saja. Rasanya aku benar-benar ingin menumpahkan semua air mata setelah Geraldy kembali memulai shooting. Setelah bercermin untuk melihat hasil riasan, Geraldy bergegas membuka kancing tenda. Tetapi sebelum ia beranjak ke luar, ia menatapku terlebih dahulu. Karena merasa sedang diperhatikan, aku lantas menegakkan kepala dan menatap tepat pada matanya. Tanpa basa-basi Geraldy mengusap area mataku dengan ibu jarinya. Aku spontan memundurkan tubuhku karena kaget. Setelah itu Geraldy langsung beranjak ke luar dari tenda tanpa berbicara. Aku semakin tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Geraldy. Dia bersikap kasar kepadaku dan tidak meminta maaf. Tetapi dia tiba-tiba mengusap mataku saat menyadari bahwa hatiku terluka. “Maksud dia apa, sih?” Apa yang sebenarnya sedang Geraldy renca
Sinar matahari menembus tenda, aku dapat merasakan kehangatannya. Serta merta aku merasa aneh mengapa ada sesuatu yang berat menindih pahaku. Aku menghela nafas dan akhirnya mencoba membuka mataku. Aku berusaha menoleh ke kanan, tapi silau sekali. Akhirnya kuputuskan untuk meraba hal berat yang menindih pahaku.“Hah? Kok ada paha?” Gumamku binggung.Aku membuka lebar mataku sekali lagi. Kali ini aku mengambil posisi setengah duduk. Oh tidak! Aku ketiduran lagi dan Geraldy menumpang paha kanannya di atas pahaku. Dengan perlahan, aku berusaha menyingkirkan pahanya yang sedaritadi menindihku.Aku mengecek ponsel, sudah jam 8 pagi. Tak bisa kupercaya semalam aku benar-benar ketiduran. Lebih tepatnya menjelma menjadi mayat yang masih bernafas.“Ah, kepalaku sakit sekali.”Aku berusaha mengingat kejadian tadi malam. Padahal aku merasa tidak mencoba untuk tertidur. Dan anehnya, Mas Rudi sama sekali
“Hapus fotonya!” aku merengek kepada Geraldy.Aku tak lagi peduli jika nanti Geraldy akan memakiku. Saat ini yang lebih penting adalah nama baikku. Jangan sampai Geraldy menggunakan foto itu untuk hal yang tidak-tidak.“Tangkap aku kalau bisa,” tantang Geraldy.Aksi kejar-kejaran pun tidak terelakkan. Ku kerahkan semua tenagaku untuk merebut ponsel milik Geraldy. Aku harus menghapus foto itu dengan tanganku sendiri. Dan tanpa kami sadari, kami berdua kejar-kejaran seperti anak TK.“Sini!” perintahku.Ketika berusaha sekuat tenaga untuk merebut ponsel Geraldy dan kesusahan karena dia sangat tinggi, seketika aku menyadari bahwa kami tengah dijepret oleh seseorang. Ya ampun, aku lupa kalau fans Geraldy pasti sedang memperhatikan dan menjepret kami.Aku yang tadinya berniat menjaga nama baikku, kini mungkin telah memperburuk situasi. Jangan-jangan setelah ini akan ada gosip yang mencuat!Karena takut se
Orang bilang, apabila kita bermimpi tersesat di hutan, maka mimpi itu melambangkan bahwa seseorang yang kita anggap baik, nyatanya adalah seseorang yang buruk. Apakah semua ini adalah pertanda? Apakah ini tentang Mas Rudi? Atau justru Geraldy?Namun, aku yakin sekarang ini tidak sedang terjebak dalam mimpi.Aku yakin bahwa jari-jari hangat yang sedang melingkar pada lenganku, adalah benar jari manusia. Meskipun pria yang masih terus memegangiku saat ini, tampak seperti pria yang ada di dalam dongeng. Seakan dia itu tidak nyata. Tetapi ini bukanlah mimpi!“Jaeryn, kamu gapapa?” panggilan Mas Rudi menjadi sihir yang mengubah segalanya kembali menjadi normal.“Iya, gapapa,” jawabku lesu.Meskipun yang kubalas adalah pertanyaan Mas Rudi, tetapi yang kutatap adalah wajah Geraldy. Sebab, entah bagaimana wajahnya itu seakan memiliki magnet yang membuatku tak bisa melepaskan pandangan.“Kalau masih nggak enak badan, kam
“Sekali lagi maaf udah bikin kamu marah.” Jaeryn menyadari kemarahanku dari rautku yang kesal.“Sumpah aku nggak maksud nuduh ataupun menyudutkan kamu. Aku cuma nanya aja tadi.” Jaeryn kembali meminta maaf dengan mata berkaca-kaca.Haduh, lagi-lagi air mata dan air mata. Memuakkan. Sepertinya sia-sia berusaha mengajari gadis bodoh ini untuk menjadi lebih kuat dan berani.Aku kembali mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatapnya benci,“Emangnya lo berharap bakalan terjadi apa?”Jaeryn tersentak mendengar pertanyaanku dan ia tidak berani menjawab apa-apa.Karena sudah malas berlama-lama dengannya, aku pun langsung meluruskan rasa penasarannya dengan berkata,“Lo ngompol semalam,” jelasku cuek lalu menegakkan tubuhku.Jaeryn sontak menatapku dengan sikap tubuh yang tak lagi tegang.“Agak aneh kalau Bunda lo tahu lo ngompol, jadi gue gantiin sama sempak emak gue yang ada,” lanjutku kemudian.“Ahh ... gitu,” jawab Jaeryn. Ia tampak begitu malu.“Sekali lagi maaf udah ngerepotin.” Jaeryn
“Kenapa? Ada yang mau lo tanyakan?” Aku menyadari kehadiran Jaeryn di sela-sela pemikiranku. Sepertinya dia sudah berdiri cukup lama di belakangku tanpa bersuara.“Oh, iya.”“Dari semalam mau nanya nggak sempat,” jawab Jaeryn ragu.“Apa?” Aku pun membalikkan badan dan menatapnya.“I-itu. Soal ....” Jaeryn masih tergagu-gagu.“Apaan, sih?” Aku mulai kesal. “Masih soal yang tadi?”“Bukan!” Jaeryn menjawab cepat.“Terus? Apa?”“Itu ... soal pelaku utama yang bakalan di sidang beberapa hari lagi. Kira-kira kamu udah nyogok dia belum, ya?”“Maksudku, dia nggak bakalan bilang ke hakim kalau aku hamil anak Mas Rudi, kan?” Jaeryn menundukkan kepalanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Hah? Enggak?”“Kamu nggak nyogok dia? Atau ... nggak, untuk apa, nih?”“Itu gapapa? Maksudnya ... rahasiaku gapapa?” Jaeryn tampak panik.“Lagipula yang ngehamilin lo di tenda itu gue. Sehingga lo hamil anak gue, bukan Rudi. Jadi, enggak bakalan ada yang tahu.” Aku membatin puas.“Iya, engga. Nggak bakalan ada orang
Flashback Kamar Geraldy.“Bersalah? Untuk apa merasa bersalah kepada orang yang jahat? Yakin … lo juga beneran merasa bersalah? Buktinya sampai hari ini lo nggak ngucapin apapun perihal perasaan kehilangan lo buat Mas Rudi di sosmed. Yang ada tadi lo malah mengupload foto dengan curhatan yang super najis,” ucapku dengan nada tinggi.Perempuan sialan ini malah menyalahkan aku soal kematian Rudi. Dia pikir dia siapa berani menghakimi aku seperti ini.“Tapi … mungkin lo emang secinta itu sama Rudi. Sayang sekali kalian harus beda alam sekarang. Mau gue bantu biar kalian bisa barengan lagi, nggak?” Aku mulai mengancam Jaeryn.“Sebenarnya gue nggak merasa udah ngebunuh Rudi secara langsung, sih. Tapi kalau lo berpikiran gitu … anggap aja dia korban pertama gue. So … haruskah gue jadikan lo korban kedua? Agar gue benar-benar terbiasa dengan membunuh seperti tuduhan lo tadi?” Gertakku lagi sembari menodong serpihan pecahan kaca ke leher Jaeryn.Sikapku ini sukses membuat tubuhnya bergetar.
GERALDY PRATAMATidak ada seorang pun yang tahu, meski demi misi pembalasan dendam .... sesungguhnya aku sangat menyesal sudah ikut menikam Rudi. Seharusnya aku tak perlu sampai melewati batas malam itu, seharusnya kubiarkan saja dia mati dengan sendirinya. Tapi nyatanya, aku turut mengotori tanganku. Sungguh ... aku sangat menyesal untuk itu.Namun, segalanya telah terlanjur terjadi. Bahkan Rudi, kini terus bergentayangan di sekelilingku.Haah ... Biarlah penyesalan ini menjadi hukumanku. Lagipula aku tak bisa memutar waktu.Lalu perempuan ini .... mengapa tiba-tiba saja berubah pikiran? Kemarin dia menyudutkan aku, tetapi sekarang dia berusaha membuatku merasa lebih baik. Dia pikir dia siapa?Aku ... tidak butuh ini.Ah, tidak. Aku membutuhkannya. Aku butuh sebuah pengakuan, bahwa aku bukan pembunuh Rudi. Meski sering mengakui bahwa aku adalah pembunuh Rudi, tapi sejujurnya di dalam hatiku ... terbesit harapan bahwa bukan aku yang membunuhnya.Oleh karena itu, aku bilang kepada Jaer
“Engga juga.” Geraldy menjawab tanpa menatapku.“Ucapan lo kemarin nggak sepenuhnya salah.” Lanjut Geraldy dingin lalu menyuruput susu proteinnya.Mendengar ucapannya, aku hanya bisa terbenggong karena tak terlalu memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi setidaknya, Geraldy tidak mencaciku. Fiuh ... hampir saja. Aku lega setengah mati.Namun, aku tetap berusaha keras untuk memahami ucapannya. Bahkan saking terlalu binggung dan penasarannya aku akan makna ucapan Geraldy, tanpa kusadari aku menatapnya kosong cukup lama. Kali ini bukan karena terpaku akan kerupawanan, tapi aku hanya larut dalam tanda tanya pikiranku sendiri.“Makan dulu buburnya, nanti dingin.” Geraldy menunjuk mangkok buburku. Ia berhasil membuyarkan ketidakfokusanku.Aku sampai terlupa belum sempat menyendok sedikitpun bubur yang tersaji hangat di depanku ini, sejak duduk di meja makan.Tanpa merespon dengan kata-kata, aku buru-buru menyantap buburku dan tak berani menatap mata Geraldy lagi.“Kalau dipikir-pikir, m
“Oh, iya. Ini mau sarapan, kok. Aku mau cuci muka sebentar,” ucapku sembari memegangi pintu yang setengah terbuka. Meskipun tadinya sempat merasa panik sekaligus tegang, Geraldy sukseks membuatku terpaku sejenak memandangi wajahnya; mendonggak dari bawah karena aku terduduk di atas kursi roda.Sungguh ... ia tampan mau dilihat dari sudut manapun. Sebelum bibirku merasakan hangatnya santapan bubur buatan Bunda, mataku sudah terlebih dulu menyatap ketampanan Geraldy. Seperti yang diduga ... itulah mengapa hanya orang-orang pilihan yang bisa menjadi artis terkenal di tanah air. Karena tidak semua orang tetap terlihat rupawan meski tanpa riasan, serta sehabis mengelap iler mimpi semalam.“Oke,” jawab Geraldy singkat, lalu beranjak lebih dulu ke meja makan.Tentu ia sangat berbeda denganku, aku membukakan pintu dalam keadaan rambut yang acak-acakan. Mata yang sedikit bengkak, wajah kusam, bibir pucat ... serta ada perasaan tak nyaman di bawah sana. Ya, celana dalam yang bukan milikku ini t
Geraldy, banyak yang tak tahu sesungguhnya laki-laki seperti apa dirinya. Orang-orang pasti tak menyangka, Geraldy yang biasanya dikenal tampan dan penuh bakat bisa dengan keji melakukan pembunuhan. Pulanya ia tak ambil pusing untuk merasa bersalah.Sebuah serpihan besar botol wine kini menempel di leherku. Tanpa basa-basi Geraldy menyayatkan leherku dengan serpihan tersebut. Aku tak berdaya, begitu pula dengan darahku. Mereka mengalir deras ke arah bawah; mencari tempat yang lebih rendah. Pandanganku pun memudar seiring melemahnya kesadaranku.Geraldy benar-benar menjadikan aku sebagai korban keduanya. Sungguh betapa kejinya ia; seorang pembunuh bertopeng idola.Namun, leherku yang tersayat serpihan botol wine hingga mengeluarkan darah seharusnya terasa dingin. Tapi mengapa, aku malah merasakan kehangatan di sekuju
Di sela-sela perjuanganku untuk fokus, Geraldy kembali berbicara. Ia terdengar sedikit mabuk.“Santai. Lo nggak harus mikirin biaya karena rumah lo gue renov gratis. Kalau orang tanya sementara rumah lo di renov, lo tinggal di mana … ingat! Bilang aja lo nyewa rumah lagi. Jangan sampai keceplosan bilang kalau lo tinggal di rumah gue!”“Iya, siap,” jawabku cepat.Sepertinya sepulang dari rumah sakit tadi Geraldy langsung mengurusi renovasi rumahku. Makanya dia baliknya agak lama.Namun, jujur saja aku agak tak terima Geraldy merenovasi rumahku tanpa izinku dan Bunda. Meskipun hal itu adalah perbuatan baik, tapi setidaknya dia nanya dulu, ngga, sih? Aish … si micellar water ini benar-benar. Kali ini aku mulai kesal kepada Geraldy. Hanya karena dia punya banyak uang, bukan berarti bisa sesukanya saja merubah rumah orang lain.“Tapi kenapa, sih, renov rumahku tanpa izin? Barang-barangku gimana?” Protesk
“Kalau ditanya, tuh, langsung jawab bisa nggak, sih?” Geraldy kembali mendesakku yang terdiam kehabisan kata-kata.“Maaf,” jawabku singkat karena kehabisan kata-kata serta dipenuh rasa bersalah.Karena ditegur Geraldy, aku baru tersadar atas perilakuku yang salah. Memang seharusnya tadi aku mikir dulu sebelum upload foto itu. Sayangnya nasi sudah terlanjur menjadi bubur.“Duh, bodohnya kamu Jaeryn. Mau curhat malah berakhir nambah beban pikiran,” sesalku dalam batin.“Aku harus gimana, dong?” Tanyaku sedih. Aku kembali mengarahkan pandanganku ke lantai.Geraldy beranjak berdiri dan berkata, “Mau gimana lagi. Kalau ditanya lo harus jawab bahwa tadinya lo cuma mampir ke apartemen gue sepulang dari rumah sakit buat ngambil vitamin yang udah gue beli dari luar negeri. Jangan sampai ada yang tahu kalau lo tinggal di sini. Kecuali, kalau lo mau dihujat.”Mendengar ide kebohongan