Orang bilang, apabila kita bermimpi tersesat di hutan, maka mimpi itu melambangkan bahwa seseorang yang kita anggap baik, nyatanya adalah seseorang yang buruk. Apakah semua ini adalah pertanda? Apakah ini tentang Mas Rudi? Atau justru Geraldy?
Namun, aku yakin sekarang ini tidak sedang terjebak dalam mimpi.
Aku yakin bahwa jari-jari hangat yang sedang melingkar pada lenganku, adalah benar jari manusia. Meskipun pria yang masih terus memegangiku saat ini, tampak seperti pria yang ada di dalam dongeng. Seakan dia itu tidak nyata. Tetapi ini bukanlah mimpi!
“Jaeryn, kamu gapapa?” panggilan Mas Rudi menjadi sihir yang mengubah segalanya kembali menjadi normal.
“Iya, gapapa,” jawabku lesu.
Meskipun yang kubalas adalah pertanyaan Mas Rudi, tetapi yang kutatap adalah wajah Geraldy. Sebab, entah bagaimana wajahnya itu seakan memiliki magnet yang membuatku tak bisa melepaskan pandangan.
“Kalau masih nggak enak badan, kamu pulang aja Jaeryn.” Mas Rudi sekali lagi menunjukkan perhatiannya.
Tentu saja aku ingin mengiyakan, tetapi aku masih terlalu syok untuk mengeluarkan suara. Aku masih butuh beberapa saat lagi untuk mengembalikan kesadaran sepenuhnya.
Namun, Geraldy mendahuluiku dengan berkata,
“Enak aja!”
“Udah lo jangan manja! Cepat lanjut makeup-in.” Geraldy yang jarinya masih melingkar di lenganku, kini menarikku untuk mengikuti langkahnya.
Geraldy benar-benar menyebalkan. Aku yakin dia adalah orang yang membuat semua hal tak masuk akal ini menimpaku. Tetapi dia malah sama sekali tidak menunjukkan nuraninya.
Dengan langkah kaki lesu dan jantung yang masih berdegup kencang, aku mengikuti Geraldy kembali ke tenda. Dan tentu saja Geraldy mengunci tenda.
“Lemah banget, sih, lo! Baru kerja beberapa hari aja udah tumbang.” Geraldy mengkritikku lagi.
“Bukan gitu. Tadi tiba-tiba ada yang memanggil namaku. Padahal aku cuma sendirian di toilet. Terus pas aku ketemu kamu, yang terlihat di depan mataku semuanya adalah hutan. Kemarin juga kayak gitu, makanya aku sampai pingsan,” jelasku panjang lebar sambil berharap Geraldy akan menjelaskan sesuatu kepadaku.
“Lah, terus? Masalahnya di mana?” Geraldy malah seakan sengaja membuatku berada di posisi yang salah. Hal itu membuatku kehabisan jawaban.
“Lo bisu apa gimana, sih? Kalau ditanya sering diam!”
“Enggak bermaksud gitu, aku cuma –”
“Takut?” Geraldy langsung menskakmat.
Tanpa mampu menjawab, mataku mulai berkaca-kaca. Gerlady benar-benar tega. Aku merasa tengah disudutkan.
Dan di sela-sela situasi nggak mengenakkan ini, tiba-tiba suara menyeramkan itu kembali terdengar,
“Jaeryn ... Jaeryn ... Jaeryn ....”
Aku sontak berjongkok dan menangis.
“Akh ... hentikan! Sudah cukup!” Bentakku.
“Cu ... kup,” bisikku lagi.
Tanpa basa basi Geraldy berjongkok di depanku dan tersenyum aneh. Aku pun menatap ke arahnya dengan mata yang sudah berlinang air mata.
“Udah gue bilang kalau mereka itu temanku. Nggak usah lebai, deh! Atau jangan-jangan lo mau nyari perhatian gue, ya?”
Aku langsung mengambil sikap berdiri dan menggeleng sambil tersedu-sedu. Geraldy pun turut melakukan hal yang sama dan melanjutkan perkataannya,
“Duh, nggak usah munafik! Lo pasti berharap buat gue peluk, kan?
Belum sempat aku menggeleng untuk kedua kalinya, Geraldy langsung menarikku ke dalam dekapannya. Dia mendekapku dengan sangat erat, bahkan aku tak mampu menepisnya. Pipi kananku ditempatkan tepat pada otot dadanya. Dan hangat tubuhnya pun langsung menempel erat pada kulit-kulitku.
Aku yang syok, sontak menghentikan tangisan dan hanya terbelalak. Rasanya jantungku sudah berada pada level detakkan terkencang.
“Apa lagi ini!” batinku.
Tak berapa lama, Geraldy kembali mengubah drastis sikapnya.
“Cengeng banget! Udah cepat makeup-in lagi!”
Ia yang tadinya bersikap manis kembali garang. Dia bahkan menghempaskan aku dengan kasar dari pelukannya, kemudian langsung duduk di kursi kecil yang ada di dalam tenda.
Aku yang masih binggung dan salah tingkah, mau tidak mau menghapus air mataku serta bergegas mempersiapkan peralatan makeup.
“Pria ini benar-benar!” Aku memaki Geraldy dalam batin.
Dengan tangan yang masih gemetaran, aku menambahkan eyeshadow warna coklat pada kedua kelopak matanya. Tak lupa juga kuoleskan lagi lipbalm pada bibirnya.
Namun aku benar-benar terheran, mengapa mimik Geraldy saat ini terlihat begitu santai? Seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Padahal aku jantungan setengah mati karena pelukannya itu.
Huh! Dia pasti berpikir sudah berhasil mempemainkan perasaanku, kan? Tentu saja tidak! Aku mencari perhatiannya? Jangan-jangan dia yang lagi mencari perhatianku.
Bukan bermaksud ge’er, tetapi apa arti di balik semua sikap tak konsistennya itu? Yang sebentar baik, sebentar kasar, lalu norak, dan ya ... bermacam-macam. Seakan bermain tarik-ulur.
Aku yakin dia tidak menyukaiku, dia hanya ingin mempermainkan perasaanku saja. Mentang-mentang dia ganteng, mungkin Geraldy jadi berani melakukan apa saja.
Seperti yang Bunda pernah bilang, kebanyakan pria memang brengsek. Terutama pria ganteng, mereka biasanya lebih berani untuk semena-mena mempermainkan hati perempuan. Aku tidak boleh lengah!
***
Jam menunjukkan pukul 8 malam. Proses shooting pun dilanjutkan.
“Action!” Geraldy dan Victoria kembali adu peran.
Meskipun rasanya aku ingin rebahan di tenda, tetapi aku memilih untuk tetap berada dalam keramaian. Aku tak ingin dihantui oleh hal mistis lagi. Ya, walaupun menonton proses shooting ini juga bukanlah ide yang bagus.
Menonton keromantisan orang lain membuatku geli. Jujur saja, aku agak uwuphobia. Duh, malahan tadi aku baru saja dipeluk oleh seseorang yang nggak kusukai!
Dipeluk sama seseorang yang kusukai saja belum tentu aku mau, apalagi sama orang yang nggak aku sukai! Geraldy benar-benar kurang ajar! Seharusnya aku menamparnya saja tadi.
“Eh, kok aku malah mikirin dia lagi!” batinku sambil memukul kepalaku tiga kali.
Aku pun berusaha mencari kesibukan lain. Kebetulan aku mendapati Mas Rudi sedang sibuk membuat kopi. Akhirnya kuputuskan untuk menghampirinya.
“Mas Rudi,” sapaku.
“Eh, Jaeryn. Kamu di sini.” Mas Rudi mengangkat gelas kopinya.
“Kamu beneran gapapa? Maaf, ya. Soalnya tadi Geraldy yang nggak izinin kamu pulang. Aku nggak bisa berkata apa-apa lagi,” jelas Mas Rudi.
“Justru aku yang mau minta maaf. Mas mah nggak salah apa-apa. Maaf, ya, aku jadi ngerepotin terus,” ujarku memelas.
Jujur aku benar-benar nggak enak hati sama Mas Rudi yang selalu memperhatikan aku. Aku merasa seperti menjadi beban tambahan untuk Mas Rudi.
“Ah, enggak kok. Mas cuma berharap kamu kerasan aja kerja di sini. Soalnya Mas capek nih, kalau penata riasnya Geraldy gonta-ganti mulu.” Mas Rudi menyeruput kopinya.
“Ya, sebenarnya agak berat, sih,” curhatku.
Entah mengapa tiba-tiba aku terbuka untuk bercerita kepada orang yang baru aku kenal. Padahal biasanya aku jarang curhat, bahkan kepada Bunda. Mungkin, karena Mas Rudi orang yang menurutku sangat hangat.
“Berat kenapa? Kalau mau curhat boleh banget, kok,” tawar Mas Rudi.
Aku memainkan jariku karena canggung, tetapi rasanya aku benar-benar ingin menumpahkan uneg-uneg.
Akhirnya aku memutuskan untuk terbuka dan bertukar pikiran dengan Mas Rudi. Kali saja aku bisa merasa lebih lega dan mendapatkan sudut pandang baru. Ku ceritakan pada Mas Rudi semua pengalaman mistis yang aku rasakan sejak hari pertama. Bahkan kejadian yang baru saja menimpaku tadi.
“Oh, kalau tentang itu, sih, bukan cuma kamu aja yang merasakan. Penata rias sebelumnya juga mengalami itu, kok. Makanya penata riasnya Geraldy gonta-ganti mulu,” jelas Mas Rudi.
Sesuai dugaanku, Geraldy pasti tidak hanya mengerjaiku seorang saja.
“Mmm ... gitu, ya. Kalau Mas Rudi sendiri gimana? Pernah nggak?” aku memberanikan diri untuk mengorek informasi lebih jauh.
“Sering banget, sampai ke rumah malah. Bahkan pernah ada sosok yang tampak gantung diri di kamarku. Setelah aku mengucek mata beberapa kali, akhirnya sosok itu hilang.”
Bulu kudukku langsung berdiri mendengar penjelasan Mas Rudi. Aku menatap Mas Rudi dengan tatapan tak percaya.
“Tapi itu dulu, sih. 3 tahun pertama aku kerja sama Geraldy. Tapi belakangan udah jarang.”
“Kamu nanti akan terbiasa, kok,” sambung Mas Rudi lagi.
“Jujur aku, sih, agak penakut. Duh, amit-amit, deh. Jangan sampai aku mengalami hal serupa dengan Mas Rudi,” balasku.
Mas Rudi hanya tertawa kecil kepadaku dan menyeruput kopinya lagi.
Namun, rasa penasaranku masih belum terpuaskan.
“Apa semua ini terjadi karena Geraldy indigo?” Cecarku lagi.
Ternyata pertanyaanku itu membuat Mas Rudi agak kesal, ia bahkan langsung menatap tepat pada mataku.
“Ssstt ... kamu nggak boleh cerita ke siapa-siapa kalau kamu mengalami hal mistis selama kerja untuk Geraldy. Nanti bakalan banyak gosip. Meskipun sudah banyak yang tahu kalau dia itu Indigo, tetapi nggak ada yang tahu kalau beberapa staff di sekeliling Geraldy bakalan turut mengalami hal mistis. Pokoknya kamu tutup mulut aja,” ucap Mas Rudi dengan nada agak mengancam.
Aku yang sedikit terkejut pun mengiyakan dengan cepat. Jangan sampai Mas Rudi menilai bahwa aku adalah orang yang tak bisa dipercaya.
“Aku janji nggak bakalan menyebarkan apa pun, Mas. Aku juga akan berusaha bertahan di sini. Terima kasih, Mas, atas masukannya,” tutupku basa-basi.
Mas Rudi pun kembali menambahkan satu saran kepadaku. Bahwa aku mungkin harus menemukan beberapa motivasi untuk tetap bertahan bekerja untuk Geraldy. Hal itu berguna agar aku lebih memberanikan diri ketika menghadapi kejadian yang menurutku tak masuk akal.
“Uang mungkin? Soalnya gaji di sini besar, lho. Kamu aja yang baru masuk gajinya setara dengan penata rias di agensi lain yang sudah berpengalaman dua tahun,” Mas Rudi mencoba memberikan ide yang bisa memotivasiku untuk bertahan.
“Iya, sih. Uang itu hampir selalu menjadi alasan, hehehe.”
“Semangat, ya, Jaeryn. Aku juga demi istri di rumah,” balas Mas Rudi sambil tersenyum optimis.
“Hah, Mas Rudi sudah menikah?” Seketika hatiku dihujani begitu banyak pertanyaan karena terkejut atas pengakuan itu.
“Aku mau ke sana dulu. Ku tinggal dulu, ya, Jaeryn. Semangat!”
Aku pun hanya tersenyum tak ikhlas dan menganggukan kepala. Punggung Mas Rudi perlahan-lahan menjauh dari pandangannku. Dan entah mengapa, aku merasa murung. Mengapa aku malah iri sama istrinya Mas Rudi, ya?
***
Aroma obat-obatan yang begitu tajam membuatku terbangun dari mimpi panjangku. Perlahan-lahan aku berusaha membuka mata, tetapi pandanganku sangat kabur. Kasur yang saat ini kutiduri pun terasa begitu asing.Seluruh tubuhku terasa sakit, seakan tulang-tulangku diremukkan. Dan benar saja, ketika aku membuka mataku untuk kedua kalinya, aku melihat samar bahwa beberapa bagian tubuhku tengah dibalut perban.Dapat kusadari jarum infus terpasang pada nadiku. Dapat pula kurasakan hangat tangan seseorang yang sedang memegangi erat jemariku. Sesungguhnya, ada di mana aku ini? Apakah rumah sakit? Tapi mengapa?"Jaeryn, kamu sudah sadar?"Terdengar bisikan suara seseorang yang bertanya kepadaku. Aku pun berusaha menatap tepat pada wajah orang itu."Geraldy?" Gumamku lesu.Aku semakin binggung atas apa yang tampak di depan mataku saat ini. Mengapa ada Geraldy pagi-pagi begini? Apa jangan-jangan ....Argh, sial! Sepertinya aku pin
Hari sabtu tiba, tetapi jadwal Geraldy masih saja padat. Dengan mengenakan mini dress chiffon, aku kembali berangkat ke lokasi shooting.Aku memilih taxi online sebagai transportasi untuk membawaku tiba di sana. Soalnya, hari ini supir agensi yang biasa menjemputku sedang sakit.Sepanjang perjalanan, hatiku sangat gundah. Entah mengapa aku punya firasat buruk.Ah, mungkin karena aku terlalu memikirkan tentang komentar dari fans berat Geraldy tadi malam. Untung saja video yang diposting oleh fanspage @soulmate_Geraldy itu bukanlah video di mana Geraldy memelukku tiba-tiba. Melainkan hanya video di mana Geraldy berusaha menangkap lenganku agar aku tidak terjatuh ke tanah.Tentu saja raut wajahku sangat aneh di video itu. Bagaimana mungkin tidak? Soalnya aku tengah dipanggil-panggil oleh hantu. Untung saja aku tidak cosplay menjadi reog, saking aku begitu ketakutan.Rasanya komentar-komentar dari bucin Geraldy begitu menggelikan bagi
Salah satu impianku adalah bisa mempraktekkan makeup di depan banyak orang, di mana wajahku disorot langsung oleh cahaya panggung. Aku ingin sekali menjadi yang paling bersinar di antara semua orang yang ada di sekelilingku. Dan saat ini, aku tengah merasakan sebagian kecil dari impianku itu. Yaitu disorot langsung oleh cahaya lampu yang begitu benderang, sampai mataku sulit membuka dengan sempurna. Akulah orang yang paling benderang di lahan parkiran ini. Meskipun begitu, aku sangat terheran dengan sosok pengemudi mobil putih ini. Mengapa dia tiba-tiba saja menghidupkan mobil dan mengenakan topeng aneh? Ini, kan, bukan hari halloween. Ternyata orang aneh di dunia ini, bukan hanya Geraldy. Ah, sial. Ada-ada saja! Hari ini benar-benar hari yang buruk. Aku pun memutuskan untuk mundur selangkah dari hadapan mobil putih yang pengemudinya tampak tidak waras ini. Atau mungkin, yang tidak waras adalah diriku sendiri,ya? Namun, sebelum aku se
Hari kembali berganti, tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul 12 siang. Aku kesulitan tidur semalaman karena terlalu galau memikirkan kelanjutan dari karirku ini. Sepertinya apapun keputusan yang aku ambil, tetap akan membuahkan penyesalan.Sesaat kemudian, dokter Farhan datang untuk memeriksaku. Jujur saja, aku sangat cemas. Otakku terus saja memikirkan kemungkinan terburuk dari situasi ini.“Sejauh ini perkembangan Jaeryn sangat bagus, saya pikir tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Perkiraan saya, Jaeryn membutuhkan waktu dua sampai tiga minggu untuk pemulihan. Selama masa pemulihan, Jaeryn harus istirahat total, ya. Obatnya juga harus tetap jalan sesuai arahan saya,” ucap Dokter Farhan kepada Bunda.Aku langsung lega mendengar penuturan itu, begitu juga dengan Bunda.“Baik, dok, terima kasih banyak,” balas Bunda.“Sama-sama, Bu. Jaeryn, cepat pulih, ya. Dokter tinggal dulu.” Dokter Farhan pun beranjak me
Setelah ruangan hening selama beberapa saat, Geraldy akhirnya buka suara. Kali ini, gantian Bunda yang mematung untuk menyimak pembicaraan.“Kenapa?” Tanyanya sambil membenarkan kerah jaket kulitnya.Geraldy bahkan kembali duduk di kursi dan menatap dalam kedua belah mataku. Seakan – akan ia hendak membunuhku jika aku tidak memberikan jawaban yang tepat.“Apa-apaan sikap sok pedulinya ini,” batinku.Tentu saja aku langsung kikuk dan mati gaya. Jujur saja, baru kali ini aku merasa sangat gugup ketika menatap mata seorang pria. Mata miliknya itu, benar-benar kharismatik dan mengandung banyak arti. Menatap matanya seakan menatap awan; di mana mendung dan cerah terkandung di dalamnya. Tatapan matanya itu, sukses membuatku takjub sekaligus takut.Entah bagaimana, auranya itu menciutkan nyaliku. Padahal, ada banyak uneg-uneg yang ingin kutumpahkan. Bahkan jika bisa, aku ingin memakinya. Namun, diriku yang tadinya be
“Siapa kamu?” bentak Bunda tiba-tiba.Aku yang sudah tertidur lelap pun sontak membuka mata.“Mau apa kamu?” Bunda tampak sangat terganggu.Astaga! Yang benar saja. Arwah bapak-bapak yang biasa menggangguku itu kembali menghantuiku. Parahnya dia bahkan turut menakut-nakuti Bunda.“Pergi kamu! Berhenti mengikutiku!” Kali ini aku jauh lebih berani dari sebelumnya.“Jaeryn ....” arwah itu kembali memanggil lirih namaku.“Aku bilang pergi dari sini!” Usirku lagi.Namun, arwah itu tampak punya nyali. Semakin kami mengusirnya, ia malah semakin mendekat.“Kalian miskin dan pantas mati,” ucap arwah itu dengan tatapan yang penuh dengan kegelapan.Tanpa basa-basi, dia langsung mendorong Bunda ke dinding kemudian mencekik Bunda. Bunda tampak tidak berdaya untuk menyerang balik ataupun menyelamatkan diri. Serta merta aku pun syok dan langsung berteriak.&
“Ih, Bunda. Kok gitu, sih, ngomongnya,” protesku sambil melipat tangan dengan raut cemberut.“Kenapa? Nggak terima? Kita memang miskin. Dari awal Bunda nikah sama Ayahmu, kita ini sudah miskin.”“Haduh, si Bunda malah bawa-bawa Ayah lagi,” protesku di dalam hati.“Tapi nggak seharusnya Geraldy menghinaku miskin hanya karena aku mau mengundurkan diri. Lagian mengundurkan diri itu hakku. Emangnya kerja rodi?” Balasku lagi.Ops! Tapi ... Bunda, kan, tidak tahu kalau Geraldy mencaciku pada saat aku sedang berpura-pura sakit kemarin. Ya ampun, aku baru sadar kalau dari tadi aku keceplosan.“Emangnya kapan dia hina kamu miskin?” tanya Bunda curiga.Aku terpaksa memberikan alasan bahwa Geraldy mencaciku melalui pesan Whatsapp.Namun, Bunda masih saja menyudutkan aku. Bunda bilang, bahwa aku memang layak untuk dicaci oleh Geraldy. Sebab, dia sudah begitu baik mau menawarkan
“Jadi tanggal berapa lo bakalan masuk ke apartemen gue?”Seketika aku membeku setelah membaca pesan dari Geraldy. Tak kusangka dia benar-benar akan menagih tentang ini kepadaku. Aku jadi semakin kepikiran, apa benar dia seniat itu untuk bertanggung-jawab? Ah, rasanya tidak mungkin. Dia pasti berharap bahwa aku menjawab ‘tidak’ untuk tawarannya itu.Namun, entah mengapa aku tak berani membalas pesan itu dengan penolakan. Anehnya … alasanku bukanlah karena takut akan dicaci oleh Geraldy lagi, melainkan aku takut kalau Geraldy akan kecewa. Bagaimana kalau dia benar-benar tulus? Bunda bisa saja benar. Meskipun, firasatku mengatakan bahwa Bunda salah jauh lebih besar.Apa sebaiknya kubuktikan saja? Aku tinggal membalas pesannya dengan mengatakan bahwa minggu depan aku akan pindah ke apartemennya. Lalu menelaah reaksinya.Akh! Tapi jangan deh! Nanti aku terkesan murahan. Sial … bahkan di masa cuti seperti ini aku t
“Sekali lagi maaf udah bikin kamu marah.” Jaeryn menyadari kemarahanku dari rautku yang kesal.“Sumpah aku nggak maksud nuduh ataupun menyudutkan kamu. Aku cuma nanya aja tadi.” Jaeryn kembali meminta maaf dengan mata berkaca-kaca.Haduh, lagi-lagi air mata dan air mata. Memuakkan. Sepertinya sia-sia berusaha mengajari gadis bodoh ini untuk menjadi lebih kuat dan berani.Aku kembali mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatapnya benci,“Emangnya lo berharap bakalan terjadi apa?”Jaeryn tersentak mendengar pertanyaanku dan ia tidak berani menjawab apa-apa.Karena sudah malas berlama-lama dengannya, aku pun langsung meluruskan rasa penasarannya dengan berkata,“Lo ngompol semalam,” jelasku cuek lalu menegakkan tubuhku.Jaeryn sontak menatapku dengan sikap tubuh yang tak lagi tegang.“Agak aneh kalau Bunda lo tahu lo ngompol, jadi gue gantiin sama sempak emak gue yang ada,” lanjutku kemudian.“Ahh ... gitu,” jawab Jaeryn. Ia tampak begitu malu.“Sekali lagi maaf udah ngerepotin.” Jaeryn
“Kenapa? Ada yang mau lo tanyakan?” Aku menyadari kehadiran Jaeryn di sela-sela pemikiranku. Sepertinya dia sudah berdiri cukup lama di belakangku tanpa bersuara.“Oh, iya.”“Dari semalam mau nanya nggak sempat,” jawab Jaeryn ragu.“Apa?” Aku pun membalikkan badan dan menatapnya.“I-itu. Soal ....” Jaeryn masih tergagu-gagu.“Apaan, sih?” Aku mulai kesal. “Masih soal yang tadi?”“Bukan!” Jaeryn menjawab cepat.“Terus? Apa?”“Itu ... soal pelaku utama yang bakalan di sidang beberapa hari lagi. Kira-kira kamu udah nyogok dia belum, ya?”“Maksudku, dia nggak bakalan bilang ke hakim kalau aku hamil anak Mas Rudi, kan?” Jaeryn menundukkan kepalanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Hah? Enggak?”“Kamu nggak nyogok dia? Atau ... nggak, untuk apa, nih?”“Itu gapapa? Maksudnya ... rahasiaku gapapa?” Jaeryn tampak panik.“Lagipula yang ngehamilin lo di tenda itu gue. Sehingga lo hamil anak gue, bukan Rudi. Jadi, enggak bakalan ada yang tahu.” Aku membatin puas.“Iya, engga. Nggak bakalan ada orang
Flashback Kamar Geraldy.“Bersalah? Untuk apa merasa bersalah kepada orang yang jahat? Yakin … lo juga beneran merasa bersalah? Buktinya sampai hari ini lo nggak ngucapin apapun perihal perasaan kehilangan lo buat Mas Rudi di sosmed. Yang ada tadi lo malah mengupload foto dengan curhatan yang super najis,” ucapku dengan nada tinggi.Perempuan sialan ini malah menyalahkan aku soal kematian Rudi. Dia pikir dia siapa berani menghakimi aku seperti ini.“Tapi … mungkin lo emang secinta itu sama Rudi. Sayang sekali kalian harus beda alam sekarang. Mau gue bantu biar kalian bisa barengan lagi, nggak?” Aku mulai mengancam Jaeryn.“Sebenarnya gue nggak merasa udah ngebunuh Rudi secara langsung, sih. Tapi kalau lo berpikiran gitu … anggap aja dia korban pertama gue. So … haruskah gue jadikan lo korban kedua? Agar gue benar-benar terbiasa dengan membunuh seperti tuduhan lo tadi?” Gertakku lagi sembari menodong serpihan pecahan kaca ke leher Jaeryn.Sikapku ini sukses membuat tubuhnya bergetar.
GERALDY PRATAMATidak ada seorang pun yang tahu, meski demi misi pembalasan dendam .... sesungguhnya aku sangat menyesal sudah ikut menikam Rudi. Seharusnya aku tak perlu sampai melewati batas malam itu, seharusnya kubiarkan saja dia mati dengan sendirinya. Tapi nyatanya, aku turut mengotori tanganku. Sungguh ... aku sangat menyesal untuk itu.Namun, segalanya telah terlanjur terjadi. Bahkan Rudi, kini terus bergentayangan di sekelilingku.Haah ... Biarlah penyesalan ini menjadi hukumanku. Lagipula aku tak bisa memutar waktu.Lalu perempuan ini .... mengapa tiba-tiba saja berubah pikiran? Kemarin dia menyudutkan aku, tetapi sekarang dia berusaha membuatku merasa lebih baik. Dia pikir dia siapa?Aku ... tidak butuh ini.Ah, tidak. Aku membutuhkannya. Aku butuh sebuah pengakuan, bahwa aku bukan pembunuh Rudi. Meski sering mengakui bahwa aku adalah pembunuh Rudi, tapi sejujurnya di dalam hatiku ... terbesit harapan bahwa bukan aku yang membunuhnya.Oleh karena itu, aku bilang kepada Jaer
“Engga juga.” Geraldy menjawab tanpa menatapku.“Ucapan lo kemarin nggak sepenuhnya salah.” Lanjut Geraldy dingin lalu menyuruput susu proteinnya.Mendengar ucapannya, aku hanya bisa terbenggong karena tak terlalu memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi setidaknya, Geraldy tidak mencaciku. Fiuh ... hampir saja. Aku lega setengah mati.Namun, aku tetap berusaha keras untuk memahami ucapannya. Bahkan saking terlalu binggung dan penasarannya aku akan makna ucapan Geraldy, tanpa kusadari aku menatapnya kosong cukup lama. Kali ini bukan karena terpaku akan kerupawanan, tapi aku hanya larut dalam tanda tanya pikiranku sendiri.“Makan dulu buburnya, nanti dingin.” Geraldy menunjuk mangkok buburku. Ia berhasil membuyarkan ketidakfokusanku.Aku sampai terlupa belum sempat menyendok sedikitpun bubur yang tersaji hangat di depanku ini, sejak duduk di meja makan.Tanpa merespon dengan kata-kata, aku buru-buru menyantap buburku dan tak berani menatap mata Geraldy lagi.“Kalau dipikir-pikir, m
“Oh, iya. Ini mau sarapan, kok. Aku mau cuci muka sebentar,” ucapku sembari memegangi pintu yang setengah terbuka. Meskipun tadinya sempat merasa panik sekaligus tegang, Geraldy sukseks membuatku terpaku sejenak memandangi wajahnya; mendonggak dari bawah karena aku terduduk di atas kursi roda.Sungguh ... ia tampan mau dilihat dari sudut manapun. Sebelum bibirku merasakan hangatnya santapan bubur buatan Bunda, mataku sudah terlebih dulu menyatap ketampanan Geraldy. Seperti yang diduga ... itulah mengapa hanya orang-orang pilihan yang bisa menjadi artis terkenal di tanah air. Karena tidak semua orang tetap terlihat rupawan meski tanpa riasan, serta sehabis mengelap iler mimpi semalam.“Oke,” jawab Geraldy singkat, lalu beranjak lebih dulu ke meja makan.Tentu ia sangat berbeda denganku, aku membukakan pintu dalam keadaan rambut yang acak-acakan. Mata yang sedikit bengkak, wajah kusam, bibir pucat ... serta ada perasaan tak nyaman di bawah sana. Ya, celana dalam yang bukan milikku ini t
Geraldy, banyak yang tak tahu sesungguhnya laki-laki seperti apa dirinya. Orang-orang pasti tak menyangka, Geraldy yang biasanya dikenal tampan dan penuh bakat bisa dengan keji melakukan pembunuhan. Pulanya ia tak ambil pusing untuk merasa bersalah.Sebuah serpihan besar botol wine kini menempel di leherku. Tanpa basa-basi Geraldy menyayatkan leherku dengan serpihan tersebut. Aku tak berdaya, begitu pula dengan darahku. Mereka mengalir deras ke arah bawah; mencari tempat yang lebih rendah. Pandanganku pun memudar seiring melemahnya kesadaranku.Geraldy benar-benar menjadikan aku sebagai korban keduanya. Sungguh betapa kejinya ia; seorang pembunuh bertopeng idola.Namun, leherku yang tersayat serpihan botol wine hingga mengeluarkan darah seharusnya terasa dingin. Tapi mengapa, aku malah merasakan kehangatan di sekuju
Di sela-sela perjuanganku untuk fokus, Geraldy kembali berbicara. Ia terdengar sedikit mabuk.“Santai. Lo nggak harus mikirin biaya karena rumah lo gue renov gratis. Kalau orang tanya sementara rumah lo di renov, lo tinggal di mana … ingat! Bilang aja lo nyewa rumah lagi. Jangan sampai keceplosan bilang kalau lo tinggal di rumah gue!”“Iya, siap,” jawabku cepat.Sepertinya sepulang dari rumah sakit tadi Geraldy langsung mengurusi renovasi rumahku. Makanya dia baliknya agak lama.Namun, jujur saja aku agak tak terima Geraldy merenovasi rumahku tanpa izinku dan Bunda. Meskipun hal itu adalah perbuatan baik, tapi setidaknya dia nanya dulu, ngga, sih? Aish … si micellar water ini benar-benar. Kali ini aku mulai kesal kepada Geraldy. Hanya karena dia punya banyak uang, bukan berarti bisa sesukanya saja merubah rumah orang lain.“Tapi kenapa, sih, renov rumahku tanpa izin? Barang-barangku gimana?” Protesk
“Kalau ditanya, tuh, langsung jawab bisa nggak, sih?” Geraldy kembali mendesakku yang terdiam kehabisan kata-kata.“Maaf,” jawabku singkat karena kehabisan kata-kata serta dipenuh rasa bersalah.Karena ditegur Geraldy, aku baru tersadar atas perilakuku yang salah. Memang seharusnya tadi aku mikir dulu sebelum upload foto itu. Sayangnya nasi sudah terlanjur menjadi bubur.“Duh, bodohnya kamu Jaeryn. Mau curhat malah berakhir nambah beban pikiran,” sesalku dalam batin.“Aku harus gimana, dong?” Tanyaku sedih. Aku kembali mengarahkan pandanganku ke lantai.Geraldy beranjak berdiri dan berkata, “Mau gimana lagi. Kalau ditanya lo harus jawab bahwa tadinya lo cuma mampir ke apartemen gue sepulang dari rumah sakit buat ngambil vitamin yang udah gue beli dari luar negeri. Jangan sampai ada yang tahu kalau lo tinggal di sini. Kecuali, kalau lo mau dihujat.”Mendengar ide kebohongan