“Siapa kamu?” bentak Bunda tiba-tiba.
Aku yang sudah tertidur lelap pun sontak membuka mata.
“Mau apa kamu?” Bunda tampak sangat terganggu.
Astaga! Yang benar saja. Arwah bapak-bapak yang biasa menggangguku itu kembali menghantuiku. Parahnya dia bahkan turut menakut-nakuti Bunda.
“Pergi kamu! Berhenti mengikutiku!” Kali ini aku jauh lebih berani dari sebelumnya.
“Jaeryn ....” arwah itu kembali memanggil lirih namaku.
“Aku bilang pergi dari sini!” Usirku lagi.
Namun, arwah itu tampak punya nyali. Semakin kami mengusirnya, ia malah semakin mendekat.
“Kalian miskin dan pantas mati,” ucap arwah itu dengan tatapan yang penuh dengan kegelapan.
Tanpa basa-basi, dia langsung mendorong Bunda ke dinding kemudian mencekik Bunda. Bunda tampak tidak berdaya untuk menyerang balik ataupun menyelamatkan diri. Serta merta aku pun syok dan langsung berteriak.
&
“Ih, Bunda. Kok gitu, sih, ngomongnya,” protesku sambil melipat tangan dengan raut cemberut.“Kenapa? Nggak terima? Kita memang miskin. Dari awal Bunda nikah sama Ayahmu, kita ini sudah miskin.”“Haduh, si Bunda malah bawa-bawa Ayah lagi,” protesku di dalam hati.“Tapi nggak seharusnya Geraldy menghinaku miskin hanya karena aku mau mengundurkan diri. Lagian mengundurkan diri itu hakku. Emangnya kerja rodi?” Balasku lagi.Ops! Tapi ... Bunda, kan, tidak tahu kalau Geraldy mencaciku pada saat aku sedang berpura-pura sakit kemarin. Ya ampun, aku baru sadar kalau dari tadi aku keceplosan.“Emangnya kapan dia hina kamu miskin?” tanya Bunda curiga.Aku terpaksa memberikan alasan bahwa Geraldy mencaciku melalui pesan Whatsapp.Namun, Bunda masih saja menyudutkan aku. Bunda bilang, bahwa aku memang layak untuk dicaci oleh Geraldy. Sebab, dia sudah begitu baik mau menawarkan
“Jadi tanggal berapa lo bakalan masuk ke apartemen gue?”Seketika aku membeku setelah membaca pesan dari Geraldy. Tak kusangka dia benar-benar akan menagih tentang ini kepadaku. Aku jadi semakin kepikiran, apa benar dia seniat itu untuk bertanggung-jawab? Ah, rasanya tidak mungkin. Dia pasti berharap bahwa aku menjawab ‘tidak’ untuk tawarannya itu.Namun, entah mengapa aku tak berani membalas pesan itu dengan penolakan. Anehnya … alasanku bukanlah karena takut akan dicaci oleh Geraldy lagi, melainkan aku takut kalau Geraldy akan kecewa. Bagaimana kalau dia benar-benar tulus? Bunda bisa saja benar. Meskipun, firasatku mengatakan bahwa Bunda salah jauh lebih besar.Apa sebaiknya kubuktikan saja? Aku tinggal membalas pesannya dengan mengatakan bahwa minggu depan aku akan pindah ke apartemennya. Lalu menelaah reaksinya.Akh! Tapi jangan deh! Nanti aku terkesan murahan. Sial … bahkan di masa cuti seperti ini aku t
Satu minggu berlalu cepat, hari di mana aku harus mengungsi ke apartemen Geraldy pun tiba. Dokter Farhan resmi memperbolehkan aku pulang meskipun setelah ini, aku masih harus istirahat total.Seorang suster mengingatkan Bunda tentang jadwal minum obatku. Setelah itu ia melepas infus dari tangan kiriku kemudian memberiku selamat. Ia juga membantuku duduk di kursi roda.Setelah berpamitan dengan beberapa suster yang saat itu sedang jaga, aku dan Bunda memasuki lift untuk turun ke lobby. Geraldy sudah menjadwalkan seorang supir untuk menjemput kami hari ini.Ketika pintu lift membuka, mataku langsung menangkap sosok Pak Tarno; supir Horas Entertainment yang biasa mengantarku.“Pak Tarno!” Sapaku bersemangat.“Eh, Jaeryn. Gimana keadaanmu? Maaf Bapak tidak berani datang menjengguk, takut malah ganggu,” balas Pak Tarno.“Selamat siang, Bu,” Pak Tarno turut menyapa Bunda dan Bunda melempar senyum.“
Graha Palace, tempat ini benar-benar terlihat seperti istana. Aku tak percaya bisa memijakkan kaki di dalam bagunan tinggi nan megah yang sebelumnya hanya bisa kulihat melalui televisi. Eh … bukan memijakkan kaki, deng! Naik kursi roda maksudku.Cederaku membuat orang-orang memperlakukan aku layaknya seorang putri. Pak Tarno membantu mendorong kursi roda, kemudian ada dua orang pemuda yang mengenakan jas lengkap dengan dasinya membantu membawakan barang-barangku. Rasanya seperti dikawal.Memang, sih, rasanya enak. Tetapi di lubuk hatiku terdalam tetap ada perasaan tak biasa. Sebab … ini pertama kalinya aku diperlakukan begitu spesial. Orang miskin sepertiku, selama ini hanya menjadi kacung saja. Hmm … lagi-lagi aku iri sama Geraldy karena dia bisa menikmati kemewahan ini setiap hari.“Saya antar sampai sini saja, ya,” ucap Pak Tarno setelah ia memarkirkan kursi rodaku tepat di depan pintu apartemen Geraldy.“Te
“Jadi, rencana Bunda sampai kapan kerja di sini?” Tanyaku sambil menemani Bunda mempersiapkan makan malam di dapur.“Nggak tahu, liat nanti.” Bunda menjawab cuek sambil menggoreng ayam.“Yaudah! Kalau cederaku sudah sembuh, aku bakalan balik sendiri ke rumah,” ancamku.“Lho? Emangnya kamu berani tinggal sendiri?” Bunda meledekku.“Ih … Bunda yang serius, dong! Kerja di sini juga bukan solusi,” protesku dengan rengekan.“Lalu, apa Jaeryn? Kamu mau apa? Dapat banyak duit, kok, nggak mau.”Tak kusangka, ternyata Bunda benar-benar kukuh dengan pekerjaan ini. Ia tidak merasa terbebani atau terhina. Bahkan menurut Bunda, kesempatan seperti ini tidak akan datang dua kali. Seakan-akan, aku adalah orang yang tidak pandai bersyukur.Sejujurnya bukan tidak bersyukur, sih. Kalau mau ngomongin bersyukur, tentu mau tidak mau aku harus bersyukur bisa tinggal di tempat yan
Makanan yang disajikan di depanku, tak mampu membuatku berselera. Kusendok makanan di piringku dengan lesu. Aku khawatir dengan Bunda, dan sibuk memikirkan berbagai hal ketimbang makan malam. Salah satunya adalah ambisiku. Semenjak cedera, aku menjadi lebih cemas daripada biasanya.Menjadi penata rias terkenal, itulah mimpiku. Mimpi yang selalu kugenggam erat, dan tak akan kubiarkan seorang pun merampasnya. Mimpi yang sampai membuatku terlibat dalam sebuah kecelakaan - dan akhirnya berada di sini, satu rumah dengan artis papan atas berwatak dingin dengan berbagai kelakuan anehnya.Tentu saja impianku itu terasa masih terlalu jauh untuk terwujud. Saat ini, aku hanyalah seorang penata rias faktor keberuntungan karena tak punya bakat yang memadai. Yah, begitulah menurut Geraldy.Ditambah lagi, sekarang aku malah harus berakhir menjadi anak seorang pembantu rumah tangga. Aku tak berdaya untuk merubah kondisi. Sebab, aku miskin … dan sedang cedera. Saat ini, t
Jika aku bisa memilih untuk tidak mengikuti Geraldy, tentu saja aku tidak akan membiarkan dia mendorong kursi rodaku menuju sebuah tempat – di mana ia menyekap seseorang. Rasanya muak sekali menghabiskan lebih banyak waktu bersama dengan seseorang yang baru saja menjatuhkan harga diriku. Aish, seharusnya tadi aku menamparnya saja. Yah ... andaikan saja aku bukan bawahannya. Sepertinya pilihanku untuk tinggal di sini adalah kesalahan besar. Aku tak menyangka, bisa-bisanya Geraldy menyekap seseorang. Lagipula aku yakin, orang yang Geraldy sekap itu tidak bersalah kepadanya. Dia memang pria aneh! Mau tidak mau aku harus mengikuti kemauannya. Aku terlanjur panik karena tidak ingin orang itu terluka karena kegilaan Geraldy. Mau bagaimanapun, aku harus mencari cara untuk menyelamatkan orang itu. Geraldy bilang, semua ini adalah kejutan. Kejutan spesial untukku. Sebentar ia mencaciku, setelah itu ia menyiapkan sebuah kejutan. Hahaha …. Ada apa, sih, dengan pria ini?
Telekinesis adalah kemampuan batin yang mampu menggerakkan obyek fisik, hanya melalui pikirannya. Begitulah yang internet katakan setelah aku menghabiskan waktu selama dua jam untuk mencari tahu. Semua yang terjadi padaku semalam adalah nyata. Ya, meskipun aku sendiri masih sulit mempercayainya. Lakban di mulut Mas Rudi yang terbuka sendiri, serta kursi rodaku yang bergerak maju tanpa kusentuh ... semua itu bukanlah kebetulan. Bukan pula karena bantuan setan. Melainkan, Geraldy punya kemampuan telekinesis. Aku sangat yakin akan hal itu. Memang, sih, aku juga tahu kalau Geraldy punya teman dari dunia lain. Ia mengerjaiku beberapa kali dengan hal itu. Namun, kini aku sangat yakin akan fakta baru tentang Geraldy yang tidak diketahui oleh semua orang. Fakta itu adalah ... Geraldy tidak hanya indigo, tetapi ia juga memiliki kemampuan telekinesis. *** Flashback “I-itu ... itu ba-barusan apa, Ger?” Suaraku bergetar hebat. Geraldy mendekatkan wajahnya ke
“Sekali lagi maaf udah bikin kamu marah.” Jaeryn menyadari kemarahanku dari rautku yang kesal.“Sumpah aku nggak maksud nuduh ataupun menyudutkan kamu. Aku cuma nanya aja tadi.” Jaeryn kembali meminta maaf dengan mata berkaca-kaca.Haduh, lagi-lagi air mata dan air mata. Memuakkan. Sepertinya sia-sia berusaha mengajari gadis bodoh ini untuk menjadi lebih kuat dan berani.Aku kembali mendekatkan wajahku ke wajahnya dan menatapnya benci,“Emangnya lo berharap bakalan terjadi apa?”Jaeryn tersentak mendengar pertanyaanku dan ia tidak berani menjawab apa-apa.Karena sudah malas berlama-lama dengannya, aku pun langsung meluruskan rasa penasarannya dengan berkata,“Lo ngompol semalam,” jelasku cuek lalu menegakkan tubuhku.Jaeryn sontak menatapku dengan sikap tubuh yang tak lagi tegang.“Agak aneh kalau Bunda lo tahu lo ngompol, jadi gue gantiin sama sempak emak gue yang ada,” lanjutku kemudian.“Ahh ... gitu,” jawab Jaeryn. Ia tampak begitu malu.“Sekali lagi maaf udah ngerepotin.” Jaeryn
“Kenapa? Ada yang mau lo tanyakan?” Aku menyadari kehadiran Jaeryn di sela-sela pemikiranku. Sepertinya dia sudah berdiri cukup lama di belakangku tanpa bersuara.“Oh, iya.”“Dari semalam mau nanya nggak sempat,” jawab Jaeryn ragu.“Apa?” Aku pun membalikkan badan dan menatapnya.“I-itu. Soal ....” Jaeryn masih tergagu-gagu.“Apaan, sih?” Aku mulai kesal. “Masih soal yang tadi?”“Bukan!” Jaeryn menjawab cepat.“Terus? Apa?”“Itu ... soal pelaku utama yang bakalan di sidang beberapa hari lagi. Kira-kira kamu udah nyogok dia belum, ya?”“Maksudku, dia nggak bakalan bilang ke hakim kalau aku hamil anak Mas Rudi, kan?” Jaeryn menundukkan kepalanya.“Enggak,” jawabku singkat.“Hah? Enggak?”“Kamu nggak nyogok dia? Atau ... nggak, untuk apa, nih?”“Itu gapapa? Maksudnya ... rahasiaku gapapa?” Jaeryn tampak panik.“Lagipula yang ngehamilin lo di tenda itu gue. Sehingga lo hamil anak gue, bukan Rudi. Jadi, enggak bakalan ada yang tahu.” Aku membatin puas.“Iya, engga. Nggak bakalan ada orang
Flashback Kamar Geraldy.“Bersalah? Untuk apa merasa bersalah kepada orang yang jahat? Yakin … lo juga beneran merasa bersalah? Buktinya sampai hari ini lo nggak ngucapin apapun perihal perasaan kehilangan lo buat Mas Rudi di sosmed. Yang ada tadi lo malah mengupload foto dengan curhatan yang super najis,” ucapku dengan nada tinggi.Perempuan sialan ini malah menyalahkan aku soal kematian Rudi. Dia pikir dia siapa berani menghakimi aku seperti ini.“Tapi … mungkin lo emang secinta itu sama Rudi. Sayang sekali kalian harus beda alam sekarang. Mau gue bantu biar kalian bisa barengan lagi, nggak?” Aku mulai mengancam Jaeryn.“Sebenarnya gue nggak merasa udah ngebunuh Rudi secara langsung, sih. Tapi kalau lo berpikiran gitu … anggap aja dia korban pertama gue. So … haruskah gue jadikan lo korban kedua? Agar gue benar-benar terbiasa dengan membunuh seperti tuduhan lo tadi?” Gertakku lagi sembari menodong serpihan pecahan kaca ke leher Jaeryn.Sikapku ini sukses membuat tubuhnya bergetar.
GERALDY PRATAMATidak ada seorang pun yang tahu, meski demi misi pembalasan dendam .... sesungguhnya aku sangat menyesal sudah ikut menikam Rudi. Seharusnya aku tak perlu sampai melewati batas malam itu, seharusnya kubiarkan saja dia mati dengan sendirinya. Tapi nyatanya, aku turut mengotori tanganku. Sungguh ... aku sangat menyesal untuk itu.Namun, segalanya telah terlanjur terjadi. Bahkan Rudi, kini terus bergentayangan di sekelilingku.Haah ... Biarlah penyesalan ini menjadi hukumanku. Lagipula aku tak bisa memutar waktu.Lalu perempuan ini .... mengapa tiba-tiba saja berubah pikiran? Kemarin dia menyudutkan aku, tetapi sekarang dia berusaha membuatku merasa lebih baik. Dia pikir dia siapa?Aku ... tidak butuh ini.Ah, tidak. Aku membutuhkannya. Aku butuh sebuah pengakuan, bahwa aku bukan pembunuh Rudi. Meski sering mengakui bahwa aku adalah pembunuh Rudi, tapi sejujurnya di dalam hatiku ... terbesit harapan bahwa bukan aku yang membunuhnya.Oleh karena itu, aku bilang kepada Jaer
“Engga juga.” Geraldy menjawab tanpa menatapku.“Ucapan lo kemarin nggak sepenuhnya salah.” Lanjut Geraldy dingin lalu menyuruput susu proteinnya.Mendengar ucapannya, aku hanya bisa terbenggong karena tak terlalu memahami apa yang sebenarnya ia maksud. Tapi setidaknya, Geraldy tidak mencaciku. Fiuh ... hampir saja. Aku lega setengah mati.Namun, aku tetap berusaha keras untuk memahami ucapannya. Bahkan saking terlalu binggung dan penasarannya aku akan makna ucapan Geraldy, tanpa kusadari aku menatapnya kosong cukup lama. Kali ini bukan karena terpaku akan kerupawanan, tapi aku hanya larut dalam tanda tanya pikiranku sendiri.“Makan dulu buburnya, nanti dingin.” Geraldy menunjuk mangkok buburku. Ia berhasil membuyarkan ketidakfokusanku.Aku sampai terlupa belum sempat menyendok sedikitpun bubur yang tersaji hangat di depanku ini, sejak duduk di meja makan.Tanpa merespon dengan kata-kata, aku buru-buru menyantap buburku dan tak berani menatap mata Geraldy lagi.“Kalau dipikir-pikir, m
“Oh, iya. Ini mau sarapan, kok. Aku mau cuci muka sebentar,” ucapku sembari memegangi pintu yang setengah terbuka. Meskipun tadinya sempat merasa panik sekaligus tegang, Geraldy sukseks membuatku terpaku sejenak memandangi wajahnya; mendonggak dari bawah karena aku terduduk di atas kursi roda.Sungguh ... ia tampan mau dilihat dari sudut manapun. Sebelum bibirku merasakan hangatnya santapan bubur buatan Bunda, mataku sudah terlebih dulu menyatap ketampanan Geraldy. Seperti yang diduga ... itulah mengapa hanya orang-orang pilihan yang bisa menjadi artis terkenal di tanah air. Karena tidak semua orang tetap terlihat rupawan meski tanpa riasan, serta sehabis mengelap iler mimpi semalam.“Oke,” jawab Geraldy singkat, lalu beranjak lebih dulu ke meja makan.Tentu ia sangat berbeda denganku, aku membukakan pintu dalam keadaan rambut yang acak-acakan. Mata yang sedikit bengkak, wajah kusam, bibir pucat ... serta ada perasaan tak nyaman di bawah sana. Ya, celana dalam yang bukan milikku ini t
Geraldy, banyak yang tak tahu sesungguhnya laki-laki seperti apa dirinya. Orang-orang pasti tak menyangka, Geraldy yang biasanya dikenal tampan dan penuh bakat bisa dengan keji melakukan pembunuhan. Pulanya ia tak ambil pusing untuk merasa bersalah.Sebuah serpihan besar botol wine kini menempel di leherku. Tanpa basa-basi Geraldy menyayatkan leherku dengan serpihan tersebut. Aku tak berdaya, begitu pula dengan darahku. Mereka mengalir deras ke arah bawah; mencari tempat yang lebih rendah. Pandanganku pun memudar seiring melemahnya kesadaranku.Geraldy benar-benar menjadikan aku sebagai korban keduanya. Sungguh betapa kejinya ia; seorang pembunuh bertopeng idola.Namun, leherku yang tersayat serpihan botol wine hingga mengeluarkan darah seharusnya terasa dingin. Tapi mengapa, aku malah merasakan kehangatan di sekuju
Di sela-sela perjuanganku untuk fokus, Geraldy kembali berbicara. Ia terdengar sedikit mabuk.“Santai. Lo nggak harus mikirin biaya karena rumah lo gue renov gratis. Kalau orang tanya sementara rumah lo di renov, lo tinggal di mana … ingat! Bilang aja lo nyewa rumah lagi. Jangan sampai keceplosan bilang kalau lo tinggal di rumah gue!”“Iya, siap,” jawabku cepat.Sepertinya sepulang dari rumah sakit tadi Geraldy langsung mengurusi renovasi rumahku. Makanya dia baliknya agak lama.Namun, jujur saja aku agak tak terima Geraldy merenovasi rumahku tanpa izinku dan Bunda. Meskipun hal itu adalah perbuatan baik, tapi setidaknya dia nanya dulu, ngga, sih? Aish … si micellar water ini benar-benar. Kali ini aku mulai kesal kepada Geraldy. Hanya karena dia punya banyak uang, bukan berarti bisa sesukanya saja merubah rumah orang lain.“Tapi kenapa, sih, renov rumahku tanpa izin? Barang-barangku gimana?” Protesk
“Kalau ditanya, tuh, langsung jawab bisa nggak, sih?” Geraldy kembali mendesakku yang terdiam kehabisan kata-kata.“Maaf,” jawabku singkat karena kehabisan kata-kata serta dipenuh rasa bersalah.Karena ditegur Geraldy, aku baru tersadar atas perilakuku yang salah. Memang seharusnya tadi aku mikir dulu sebelum upload foto itu. Sayangnya nasi sudah terlanjur menjadi bubur.“Duh, bodohnya kamu Jaeryn. Mau curhat malah berakhir nambah beban pikiran,” sesalku dalam batin.“Aku harus gimana, dong?” Tanyaku sedih. Aku kembali mengarahkan pandanganku ke lantai.Geraldy beranjak berdiri dan berkata, “Mau gimana lagi. Kalau ditanya lo harus jawab bahwa tadinya lo cuma mampir ke apartemen gue sepulang dari rumah sakit buat ngambil vitamin yang udah gue beli dari luar negeri. Jangan sampai ada yang tahu kalau lo tinggal di sini. Kecuali, kalau lo mau dihujat.”Mendengar ide kebohongan